Minggu, Desember 14, 2008

PENEMU BUDAYA YANG HILANG

Saya melihat Bapa Louis Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai gembala yang mencari dan menemukan Budaya Lisan yang hilang dan membawanya kembali ke kandang budaya tulisan. Nilai-nilai budaya yang diungkapkan secara lisan dalam mitos dan telah nyaris hilang dicari dan ditemukan serta dibawa kembali ke kandang mitos yang tertulis dalam karya monumental mereka sehingga setiap generasi muda suku Bunak yang sedang berada di persimpangan jalan, mana jalan suku Bunak mana jalan kemanusiaan mana jalan religius dapat menemukan kembali jalannya menuju hakekat pribadi sebagai suku Bunak karena ada rambu-rambu peringatan tertulis secara ilmiah dari Bapa Lousi Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai orang tua yang melahirkan kembali Nilai suku Bunak untuk kedua kalinya. Nilai-nilai budaya telah lahir dari rahim leluhur suku Bunak dalam mistos dan lahir kedua dalam mitos yang ditulis dalam karya monumental mereka dalam kandungan bahasa Prancis dan kini bagi para generasi suku Bunak untuk membawa kembali ke rahim suku bunak dalam bahasa ibu Pertiwi Suku Bunak dan ibu pertiwi Indonesia agar nilai-nilai itu kembali akrab dengan suku Bunak. Kelahrian ketiga ini dinanti-nantikan oleh semua manusia suku bangsa bunak. Suku Bunak merasa yakin kelahiran dan kedatangan ketiga ini pasti terjadi berkat atau lewat tulisan - tulisan suku Bunak sendiri.


Yes You Can. Kata-kata ini akan bergema di hati nurani suku Bunak untuk mulai merasa diri yakin untuk menulis tentang budayanya sendiri dengan berguru pada Bapa Louis Berthe dengan mama Claudine friedberg. Kamu mau kamu bisa.

Penemu Suku Bunak

Siapa yang menjadi penemu Suku Bunak? Secara formal ilmiah penemu suku Bunak adalah LOUIS BERTHE bersama isterinya Dr. Claudine Friedberg. Keduanya menulis tentang Bunak dari sudut Antropologi Budaya dan Bioantropologi. Louis Berthe menekankan "EN GUA" artinya asal manusia suku Bunak dari Wujud Tertinggi dalam mytos suku Bunak. Sebuah mitos memiliki keunikannya tersendiri. "Dalam mitos, keyakinan atas yang ideal itu umumnya melampaui batas nalar. Hal terpenting dalam mitos memang bukan benar atau salah, logis atau tidak, melainkan yakin atau tidak". (Lihat ACEP IWAN SAIDI : Dosen FSRD ITB, Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB. ACEP sebagai perensesi Buku yang berjudul JANTUNG LEBAH RATU, HIMPUNAN PUISI, KARYA NIRWAN DEWANTO. Resensi bukunya itu termuat dalam KOMPAS, Minggu 14 Desember 2008, halaman 11. JUDUL RESENSI: MITOS BARA BIRU NIRWAN DEWANTO). . Mitos ini digali dari keyakinan Suku Bunak oleh anropolog suku Bunak, LOUIS BERTHE. Suku Bunak yakin bahwa manusia suku Bunak berasal dari Wujud Tertinggi. Keyakinan yang sudah berakar dalam diri manusia suku Bunak itu yang terungkap dalam Karya Monumental LOUIS BERTHE : BEI GUA artinya perjalnan leluhur suku Bunak dalam mitos. Mitos itu dirangkai dalam kata sastra yang diceriterakan lisan dalam upacara adat resmi bukan ditulis dan dibacakan. Mitos lisan itulah yang beralih menuju mitos tertulis sehingga tidak hilang oleh antropolog LOUIS BERTHE yang menemukan kembali mitos yang hampir hilang. Sumbangan dan kerja keras Louis Berthe sangat berarti dan harus diberi apresiasi yang lebih. Unsur lebih itu harus terungkap dalam budaya menulis oleh orang Bunak Sendiri.


Sementara itu Claudine friedberg isteri Louis Berthe, menemukan suku Bunak dalam ilmu bioantropologinya. Kalau Louis Berteh menulis tentang BEI GUA artinya asal-asal manusia suku Bunak dalam Mitos yang sangat diyakini oleh suku bunak yang hidup religius, sedangkan Claudine Friedberg menulis tentang Suku Bunak dengan fokusnya A GUA artinya asal manusia digali dari biologi Suku Bunak, yaitu dari tumbuhan dan hewan dalam pola pemahaman suku Bunak yang diangkat ke taraf ilmiah. Claudine Friedberg ini sekarang menjadi profesor emeritus tinggal di litbangnya di Paris. Mereka berdua patut diberi apresiasi yang tinggi, karena mengangkat identitas manusia suku Bunak dari budaya lisan kepada budaya tulisan. Dengan tulisan mereka mengabadikan identitas alamiah suku Bunak. Suku Bunak kembali ke Asalnya lewat pintu lebar yang telah dibuka oleh kedua Bapa dan Mama penemu suku Bunak ini.***

ALASAN MENULIS BUKU KEMBALI KE AKAR

Saya menyampaikan beberapa hal yang mendorong saya untuk menulis buku KEMBALI KE AKAR. Pertama, saya termotivasi menulis tentang Budaya asal saya karena sepanjang saya belajar di pendidikan formal dari SD sampai Seminari Tinggi saya belajar tentang budaya orang lain dan saya tidak pernah belajar tentang budaya asal saya. Saya memberanikan diri memulai sesuatu yang baru. Memulai sesuatu yang baru seperti seorang petani yang membuka lahan baru dengan sebuah perjuangan yang luar biasa, untuk mendapat sebuah hasil yang baik bagi diri dan tentu secara sosial bagi anak-cucu. Hanya lewat menulis, anak cucu sesudah kita tahu tentang adat dan budaya kita sendiri. Kita sendiri harus menulis tentang diri sendiri dan kita sendiri harus tahu tentang diri kita sendiri agar orang luar tidak menipu kita dengan pandangan mereka.

Hal kedua yang mendorong saya untuk menulis KEMBALI KE AKAR adalah agar saya yang pastor ini mati dikenang karena sebuah hasil karya. Pastor tidak punya isteri dan tidak punya anak. Mati akan tidak dikenang kalau tidak mempunyai hasil karya BUKU yang resmi.

Hal ketiga yang membuat saya terdorong untuk untuk menulis tentang budaya saya adalah anak-anak muda yang kuliah di Jawa mengalami krisis identitas. Budaya asalnya tidak berakar dan budaya Jawa pun tahu setengah-setengah akhirnya mereka hidup terbawa arus zaman yang tidak tahu tujuannya kemana.

Rabu, Desember 10, 2008

"AGAN BULA HO'ON"

Suku Bunak merayakan adat syukuran setelah seorang Suku Bunak sembuh dari sakitnya. Penyakit itu bukan karena soal medis seratus persen. Suku Bunak merasa yakin bahwa sakit itu datang dari kemarahan leluhur pertama yang orang Bunak menyebutnya dalam bahasa "POR GOMO" dan juga sakit itu datang dari kemarahan jiwa anggota suku yang telah meninggal dunia terhadap seorang anggota suku yang sedang sakit.

Keyakinan itu menjadi kepercayaan publiki suku Bunak. Pelegitimasi adalah para dukun kampung yang menebak sumber penyakit dia yang sedang sakit. Semua anggota suku mengakui dukun kampung di dalam geografis suku Bunak. Pengakuan itu muncul dari pemimpin suku atau ketua suku sampai dengan anggota suku pada umumnya. Pengakuan ini membuat gerak dukun dalam menebak sumber penyakit si sakit secara leluasa tanpa ada partai oposisi terhadap dukun.

Pengamatan penulis selama mengikuti sang dukun penebak sumber sakit itu meliputi tiga hal ini. Pertama, dukun menebak sumber penyakit itu dari para suanggi yang ada di suku Bunak dan selalu berelasi dengan si sakit. Orang yang suanggi dalam suku Bunak dikenal dalam sebutan "PUAN" artinya suanggi yang memberi kekuatan jahat kepada orang yang sakit. Mengapa kekuatan jahat puan itu ditanggung oleh orang yang sakit itu? Karena orang yang sakit itu dalam hidup berelasi dengan orang yang "PUAN" itu pernah membuat orang yang "PUAN" itu sakit hati karena kata-katanya kasar dan permintaannya tidak si sakit menerima atau mengabulkannya. Si Sakit itu tidak memenuhi permintaan Puan pada dirinya. Kebencian "PUAN" itu tersalur lewat kekuatan jahat yang dikirim kepada si sakit. Tebakan si dukun atas sumber penyakit si sakit ini meminta upah berupa beras, korban binatang, uang serta minuman alkohol tertentu. Si dukun akan memberi permintaan PUANG pada si sakit dalam bentuk simbol. Maksudnya, uang atau beras atau apapun yang pernah diminta "PUAN" pada si sakit, harus diingatkan kembali si sakit di waktu yang lalu, dan itu harus diberikan kepada si "PUAN" lewat adat pengembalian kekuatan jahat kepada pengirim kekuatan jahat yaitu "PUAN". Dukun akan meminta siri, pinang, kapur, dan beras pada sebuah wadah yang telah diciptakan dari anyaman lalu dukun hening dan mengucapkan mantra-mantra dilanjutkan memberikan uang atau materi yang sebelumnya diminta kepada si sakit, lewat si sakit menyerahkan kepada si "PUAN" dengan kata-kata dukun yang isinya memberikan materi berupa uang, beras yang "PUAN" butuhkan dengan kata-kata minta maaf dan menyuruh si "PUAN" tidak mengganggu si sakit di waktu-waktu yang akan datang. Adat ini implisit mengakui kedudukan "PUAN" pada tempat yang suerior dalam relasi sosial masyarakat suku Bunak. Perasaan rendah diri rakyat sederhana di hadapan "PUAN" pembawa kekuatan jahat bagi sesama dalam relasi. Mereka yang "PUAN" pembawa kekuatan gelap dalam masyarakat secara adat tetap diakui keberadaannya. Ada ketakutan yang tidak terungkap dalam diri manusia Bunak yang bukan "PUAN" atau pembawa kebaikan bagi sesama dalam berelasi. Ketertindasan oleh keberadaan "PUAN" dalam hidup masyarakat suku Bunak yang memperlemah kekutan dalam diri rakyat bukan "PUAN" untuk mudah dikuasai Kekuatan jahat "PUAN". Keberadaan Kekuatan jahat atau kekuatan Gelap "PUAN" menjadi penjajahan psikologis dan sosial dalam ruang lingkup suku Bunak. Kerapkali kelompok khusus mereka yang tergolong sebagai manusia "PUAN" berdasarkan pegalaman berulang-berulang, mereka itu dijauhkan dalam berelasi. Mereka menjadi orang asing atau terasing dalam hidup bersama suku Bunak. Namun semakin mereka diasingkan semakin mereka menjadi-menjadi menajamkan kekuatan jahat atau kekuatan gelab yang mereka kirim kepada sesama yang bukan "PUAN" dan menimbulkan kematian. Proses kematian seorang yang irasional itu kalau diproses maka kerapkali si "PUAN" yang dianggap penyebab kematin itu mengakui dirinya yang membawa kematian tersebut. Eksistensi kekuatan jahat yang melekat dalam diri mereka yang "PUAN" ini dipandang masyarakat setempat sebagai warisan leluhur yang masih mencari-cari peluang untuk menghilangkannya dalam wilayah geografis suku bangsa Bunak. Semacam sebuah misteri kejahatan yang masih dalam sebuah pergulatan panjang untuk ditiadakan keberadaannya.


Kedua, dukun menebak sumber penyakit si sakit itu berasal dari kemarahan pemilik jiwa si sakit yang tidak peduli kepada pemilik jiwa si sakit itu. Pemilik jiwa si sakit itu dalam bahasa Bunak disebut "POR GOMO" yang berdiam di sebuah tuguh yang disusun dari bebatuan dekat sebuah sumber air sebagai tempat pertama tibanya leluhur di situ dan di situlah lahir manusia suku Bunak yang berkembang maju sampai saat ini.Tebakan sang dukun ini dipandang benar oleh anggota suku yang seorang anggotanya sedang sakit dan sumber penyakitnya sedang sang dukun menebak sumber penyalitnya itu. Pemulihan relasi harmonis si sakit dengan "POR GOMO" itu membtuhkan sejumlah uang, beras, binatang korban, minuman beralkohol dan siri,pinang dan kapur serta uang lelah kepada jasa dukun sang penebak sumber penyakit si sakit.Pemulihan itu dikenal dalam bahasa Bunak "BULA HO'ON" yang dipimpin oleh "AGAN" artinya dukun kampung suku Bunak. Adat pemulihan relasi harmonis antara si sakit dengan "POR GOMO" itu berlangsung di tuguh yang disusun dari bebatuan tempat perdana para leluhur perdana tiba. Tuguh itu dalam bahasa Bunak disebut "BOSOK". Di atas tuguh inilah "AGAN BULA HO'ON" artinya dukun menyelenggarakan adat pemulihan relasi harmonis antara dia yang sakit dengan "POR GOMO" pemilik dan penguasa atas jiwa si sakit.

Ketiga, Dukun menebak sumber penyakit berasal dari kemarahan para anggota keluarga yang telah meninggal karena si sakit tidak memperhatikan atau lupa mereka. Tebakan ini benar maka diadakan pemulihan relasi harmonis dengan jiwa para pendahulu di kuburan jiwa leluhur yang marah terhadap dirinya. Di atas kuburan dia yang marah terhadap si sakit, dukun itu mengadakan "BULA HO'ON". Adat pemulihan kembali relasi harmonis dengan leluhur di atas kuburan itu membuthkan sejumlah uang jasa bagi sang dukun yang menebak sumber sakit itu, beras, korban binatang dan sirih, pinang, kapur dan kain adat dan wadah-wadah yang terbuat dari anyaman. Dengan adat pemulihan yang dipimpin oleh dukun itu, diakui oleh suku Bunak sebagai jalan menuju kesembuhan si sakit.


Keunikan adat pemulihan kembali relasi harmonis si sakit dengan para leluhur maupun dengan mereka yang telah meninggal di atas kuburan maupun di atas tuguh tempat perdana tiba di Suku Bunak itu melahirkan beberapa catatan kritis bahwa para leluhur itu seperti pisau bermata dua bisa membantu tetapi juga mengganggu dalam arti menyakiti yang diyakini sebagai kekuatan jahat yang datang dari para leluhur. Para leluhur itu selalu ingin diperhatikan oleh setiap generasi lewat adat dan lewat kontak bathin dengan para leluhur. Itu adalah jalan para leluhur senantiasa menyalurkan rahmatnya yang berlimpah kepada generasi suku Bunak. Generasi suku Bunak zaman ini tersebar di segala ujung bumi karena dunia ini semakin mudah terjangkau, maka hanya lewat media komunikasi khususnya lewat tulisan dalam Buku ini yang dapat dibawa oleh setiap generasi suku Bunak di segala ujung bumi untuk membaca buku ini dan isinya direnungkan dengan demikian kesadaran anggota suku di luar geografis suku Bunak dibangkitkan untuk tetap membangun relasi harmonis dengan para leluhur pertama dan sesudah mereka. Buku ini adalah jiwa LELUHUR yang selalu menjadi pengingat setiap anggota suku Bunak untuk tiada bosan-bosannya membangun relasi harmonis berelanjutan dengan para leluhur agar para leluhur tidak kesepian dalam keleluhurannya karena anak muda generasi berikut tetap membawa kemudaannya dalam membangun relasi dengan para leluhur sehinngga yang tua (leluhur) diimbangi dengan kemudaan generasi muda suku Bunak yang selalu mengadakan kontak bathin dengan para leluhur, dan diyakini sebaliknya, para leluhur terus mengalirkan berkat bagi generasi muda suku Bunak yang selalu rindu KEMBALI KE AKAR yaitu para leluhur yang telah menurunkannya. Bacalah buku, tulisan ini, karena ini adalah ROH LELUHUR yang tampil dimata pembaca suku Bunak yang selalu rindu kesehatannya. ***













BEI GUA BERARTI ASAL USUL LELUHUR ATAU NENEK MOYANG SUKU BUNAK. ISTILAH BEI GUA SANGAT SPESIFIK. JUDUL "BEI GUA" DIUBAH MENJADI "EN GUA" ARTINYA ASAL - USUL MANUSIA DALAM PERSPEKTIF SUKU BANGSA BUNAK.DENGAN DEMIKIAN "EN GUA" ARTINYA LEBIH LUAS.