Minggu, Februari 24, 2008

Suku Bunak Timor Leste Tenunlah Persatuan dalam Rumah Adat Suku Bunak



Konflik mencuat di Timor Leste merupakan satu keprihatinan penulis sebagai putra Suku Bunak. Sebagian besar Suku Bunak tinggal di Timor Leste yang sedang konflik ditingkat elite dan disaksikan oleh dunia internasional. Penulis bretemu dengan teman-teman pastor dari Timor Leste yang sama-sama menimbah ilmu pengetahuan, khususnya Filsafat dan Theologi di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi "Widya Sasana" Malang, Jawa Timur, Indonesia. Ada kesatuan adat suku Bunak Timor Leste dengan Suku Bunak Timor Barat.


Berdasarkan satu bahasa Bunak, suku Bunak di Timor Leste dan Timor Barat-Indonesia ada hubungan kesatuan. Di Timor Barat-Indonesia, khususnya di Lamaknen danDesa Aitoun, suku Bunak ini meliputi suku-suku kecil yang menyebar di Kecamatan Lamaknen yang terdiri dari tiga Paroki St. Theodorus Weluli dengan Pastor Parokinya Romo Stef Boisala Pr; Paroki St. Gerardus Nualain; dan Paroki Ratu Damai Fulur. Penulis kira suku Bunak di Timor Leste juga meliputi suku-suku Kecil yang menyebar di seluruh Timor Leste.


Di Timor Barat, suku-suku kecil yang menyebar itu memiliki relasi keterikatan yang kokoh. Keterikatan persatuan relasi antara suku-suku kecil itu adalah relasi hubungan " Suku Malu" dengan "Suku Aiba'a". Suku "Aiba'a" adalah suku yang menerima perempuan dari suku "Malu" sebagai pemberi perempuan. Perempuan itulah berkembang menjadi satu suku kecil, suku "Aiba'a" yang berbeda dengan suku pemberi perempuan. Relasi ini dewasa ini dimengerti dalam kacamata sistem Matrilineal suku Bunak. Persoalan model apapun, konflik semacam apapun yang terjadi dalam suku Bunak pasti ada jalan penyelesaiannya yaitu lewat relasi "malu" dengan "aiba'a" ini.


Penulis kira, relasi semacam ini juga ada dan bertumbuh subur dalam suku bunak di Timor Leste. Maka konflik intern di Timor Leste, konflik intern suku Bunak Timor Leste dapat diselesaikan lewat pintu ini. Suku Bunak Timor Leste bersatu secara kedalam sebagai satu kesaksian keluar dalam relasi dengan suku-suku lain yang tersebar di Timor Leste. Suku Bunak harus hidup damai dan bersatu mulai dari dalam, dari diri sendiri. Suku Bunak Timor Leste janganlah diadu domba oleh pengaruh asing yang anti humanitas.


Nenek moyang suku Bunak telah beradap dalam sistem adatnya yang sudah ada sebelum penjajah datang di suku Bunak. Para pendahulu suku Bunak telah membentuk satu kelompok adat berdasarkan relasi adat. Relasi adat "Malu" dengan "Aiba'a" ini harus dijaga agar identitas suku Bunak yang sarat dengan persatuan ini tidak mengalami keguguran oleh karena kepentingan politis yang tidak manusiawi. Suku Bunak Bersatulah... Penulisan ini mengetuk hati nurani para peneliti dari berbagai disiplin ilmu untuk meneliti adat suku Bunak dalam gandengannya dengan solusi tanpa kekerasan terhadap aneka konflik dalam Timor Leste yang sedang mencuat.


Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

ARTI SEBUAH NAMA MANUSIA DALAM ADAT SUKU BUNAK

Anak yang baru lahir dari seorang ayah dan ibu, pasti diberi nama adat Suku Bunak oleh kedua orang tuanya, sebelum dibaptis secara agama. Mengapa harus memberikan nama kepada bayi secara adat suku bunak dalam zaman modern seperti ini? Nama itu harus diberikan berdasarkan dogma adat suku Bangsa Bunak. Bayi yang tanpa nama, terus menangis dan tidak mau menetek ASI (Air Susu Ibu). Menurut dogma adat, bayi itu akan diam, tidak menangis atau berhenti menangis setelah diberi nama sesuai kehendak para leluhur yang telah hidup di dunia seberang, tetap dekat dan terus hadir rohnya di sekitar ibu yang baru melahirkan dan sedang memberikan nama kepada bayi yang telah lahir. Para leluhur adalah saksi ketika ibu dan ayah sedang memberikan nama kepada Bayi itu. Nama yang dikenakan kepada bati diambil dari nama-nama adat kampung suku Bunak yang berasal dari nama-nama leluhur dari suku ibu maupun ayah yang telah hidup di dunia seberang, dan sedang menyaksikan pemberian nama oleh kedua orang tua kepada bayi tersebut.

Selama pemberian nama itu belum tepat maka bayi itu terus menangis dan tidak mau meminum ASI. Setelah pemberian nama itu tepat sesuai kehendak para leluhur maka bayi itu tidak menangis dan langsung meminum ASI. Pemberian nama itu atas keterlibatan lahiriah kedua orang tua bayi tersebut atau kakek, nenek, om yang turut hadir ketiaka sedang memberi nama kepada bayi, dan berdialog dengan para leluhur yang diyakini hadir di sekitar ibu yang baru melahirkan, agar pemberian nama itu secepatnya secara tepat sesuai yang dininginkan oleh para leluhur suku ayah dan ibu dari anak atau bayi yang sedang diberi nama itu.

Penulis menyaksikan hal ini sebagai satu keyakinan suku Bunak dalam pemberian nama adat kepada bayi yang baru dilahirkan. Nama itu diambil dari nama para leluhur sesuku ayah dan ibu bayi itu. Dan berdasarkan pengalaman penulis selama hidup dalam suku Bangsa Bunak, benar-benar ditati oleh masyarakat suku Bunak. Lewat nama leluhur, nama leluhur tidak hilang tetapi tetap hidup. Itulah arti sebuah Nama dalam adat suku Bunak.

Selain nama itu mengabadikan keturunan, lewat nama itu para leluhur yang diyakini Suku Bunak hidup kekal di dunia seberang, menurunkan rahmat dan berkat berlimpah kepada bayi yang menerima nama itu. Para peneliti dari berbagai bidang ilmu diajak untuk melakukan pendalaman secara ilmiah atas adat suku bunak yang sangat menarik untuk didalami.