Sabtu, Desember 29, 2007

FENOMENA RITUS DI "UMON" MELAHIRKAN GAYA BERPIKIR SUKU BUNAQ AITOUN


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*


Setiap fenomena yang tampak di mata kita dapat kita lihat dengan kacamata tertentu untuk menemukan nomena di baliknya. Salah satu fenomena yang mau ditampilkan dalam konteks tulisan ini adalah aksi ritus adat di atas UMON (mezbah) di setiap kebun, ladang atau sawah setiap orang dari dan di wilayah Suku Bunaq Aitoun. Dari observasi mendalam atas aksi ritus adat di atas UMON oleh suku Bunaq dapat menentukan gaya berpikir dan perasaannya. Fenomena tindakan yang tampak di depan indera mengantar observer menggali lebih dalam untuk menemukan cara berpikir dan perasaan yang masih belum tampak telanjang di mata publik. Fokus observer mengobservasi tindakan yang diobservasi untuk mendapat ketepatan hubungannya dengan perasaan dan pikiran yang diobservasi adalah tilikan tajam dalam membaca fenomena manusia secara utuh dengan menggunakan kacamata "Cognitive behavioral therapy" (CBT) dalam dunia psikologi konseling. Tetapi  di dalam konteks ini tidak ada proses therapy, hanya ambil cara berpikir, perasaan dan tindakan Suku Bunaq Aitoun dalam satu event "ritus di atas UMON" yang berlaku umum bagi suku Bunaq Aitoun dari leluhur hingga dewasa ini dan tentu seterusnya.

Di Atas Umon pembaca merasakan pola pikir Suku Bunaq Aitoun. Pola Pikir Suku Bunaq Aitoun dalam ritus adat di UMON (Mezbah) di tengah kebun atau ladang atau sawah di dalam bagan (A, B, C) berikut.










Umon adalah satu kosa kata yang sangat akrab di telinga para petani suku Bunaq. Baik itu petani di kebun, di ladang, atau di sawah di wilayah Suku Bunaq Aitoun.

Bicara dalam bahasa Petani, kosa kata UMON pasti mereka langsung mengerti. UMON ini adalah semacam altar-tugu- atau lebih tepatnya mezbah yang disusun atau dibentuk dari batu-batu, dan altar ini diletakkan atau ditempatkan tepat di pertengahan kebun atau ladang atau sawah yang sedang dibuka atau diolah untuk menanam jagung, padi, atau kacang-kacangan atau bawang. Nezbah ini biasanya sudah ada sejak luluhur pertama yang membuka lahan atau ladang atau sawah sebagai tempat perayaan ritus di kebun.




UMON ini berfungsi sebagai pusat atau sentral dari sebuah kebun. Biasanya UMON ini sudah ada di setiap pemilik kebun dan dibuat sejak dulu kala oleh orang pertama yang membuka atau mengolah kebun tersebut. UMON itu sebagai pusat pelaksanaan adat sebelum menanam dan saat tiba panen hasil.

Setelah lahan sudah dibersihkan, dan akan siap untuk memulai menanam benih yang telah disiapkan, diawali dengan upacara adat.

Adat itu sebagai berikut: seekor ayam jantan, atau babi, atau kambing, atau anjing dikorbankan di atas UMON itu oleh pemilik kebun.

Darah korban binatang itu dipercikkan di atas UMON itu, juga dipercikan diatas segenggam beras, sirih pinang, kapur yang telah disediakan atau disimpan di sebuah wadah anyaman berupa TAKA GOL, yang juga disimpan di atas UMON, sambil mengucapkan mantra-mantra sakti adat.  Inti mantra sakti itu adalah bahwa korban darah yang dipercikkan itu menunjukkan pemberian jatah atau bagian kepada kekutan-kekuatan jahat yang dipandang akan menjadi hama atau perusak tanaman yang akan ditanam.

Kekuatan-kekuatan jahat itu diperintahkan pemantra adat dan menyuruh pergi kekuatan jahat dari kebun itu agar yang ada di kebun itu hanyalah kekutan yang baik, yang memberi kesuburan bagi tanaman dan memberikan hasil yang baik dan berlimpah.

Saat pengucapan mantra sakti itu, disusul pemantra menghamburkan beras dari UMON tersebut ke empat sudut kebun sesuai arah mata angin sebagai bukti memberikan makanan yang menjadi bagian dari kekuatan jahat yang akan menjadi hama, dan sekaligus menyuruh pergi dari kebun itu dengan bekalnya yaitu beras yang telah dihamburkan ke empat sudut mata angin tersebut.

Setelah mantra itu, korban binatang itu dimasak, dan satu piring nasi dengan daging yang telah masak itu disimpan di atas UMON itu sebagai bagian dari kekuatan jahat. Peletakan makanan dan daging di atas UMON itu adalah makanan dan daging yang terbaik untuk kekuatan jahat. Mereka diberi makanan terbaik agar mereka makan kenyang lalu dipindahkan pergi ke kediamannya dalam keadaan perut yang tidak lapar lagi. Dengan demikian dia tidak akan memakan tanaman di kebun tersebut.

Sedangkan makanan dan daging yang lainnya akan dimakan oleh pemilik kebun itu serta anggota keluarganya itu merupakan bagian roh yang baik yang akan memberikan hasil yang baik.

Namun menaruk juga bahwa makanan terbaik di atas UMON juga akan diambil dan dimakan oleh hadirin dalam ritus adat tersebut. 

Saat hasilnya akan dipanen, sebelum panen dimulai, pemilik kebun itu memilih hasil yang unggul, lalu hasil itu disimpan di atas UMON tersebut, dengan mantra-mantra sakti yang isinya syukur dan terimakasih kepada sang pemberi hasil yang baik. Di sana juga ada korban binatang ayam atau babi atau anjing atau kambing atau bahkan sapi. Darah korban binatang itu dipercikan di atas UMON dengan semua hasil bumi unggul yang diletakkan di atas UMON.

Perasaan syukur itu pertama-tama lewat mempersembahkan hasil unggul sulung yang diserahkan atau dipersembahkan kembali kepada Wujud Tertinggi, HOT ESEN, di atas UMON-ALTAR itu.

Hasil unggul itu dipersembahkan kepada wujud tertinggi, bersama daging ayam, atau babi atau kambing, yang dikorbankan dan dipercikkan darahnya di atas UMON tersebut.

Daging yang ditempatkan itu adalah bagian daging yang paling baik. Daging yang lainnya dimakan oleh pemilik kebun dan anggota keluarganya.

Setelah itu dimulailah panen seluruh hasil di kebun tersebut. Para pemanen akan bersukacita selama memanen karena hasilnya yang berlimpah, yang membuat mereka tidak kelaparan.


Adat kebiasaan itu sudah berlaku dalam dunia pertanian sejak dulukala, dan diturunkan dari generasi ke generasi selama Suku Bunaq hidup sebagai petani.

Peristiwa adat ini telah bersatu erat dengan masyarakat petani Suku Bunaq. Penulis sejak kecil, sebagai anak petani, sudah mengalami dan merasakan adat di atas UMON bersama orang tua,  sebagai petani di tanah kelahiran Dusun Asueman, Desa Aitoun.

Pengalaman itu memberi masukkan bahwa Suku Bangsa Bunaq sejak nenek moyang dulu kala telah mengakui dan menerima kekuatan jahat dan kekuatan yang baik dalam konteks dunia pertanian.

Kekuatan jahat itu dilihat dalam perusak tanaman atau hama. Sebaliknya kekuatan baik itu adalah pemelihara tanaman, pemberi kesuburan kepada tanaman sehingga memberi hasil yang maksimal.

Suku Bunaq Aitoun mengakui kedua kekuatan itu lewat upacara adat yang dilaksanakan di kebun di atas UMON. Dari adat itu, ditampilkan bahwa pada dasarnya Suku Bunaq Aitoun mengutamakan kekuatan baik daripada kekuatan jahat.

Ritus Adat kepada kekuatan jahat di awal musim tanam. Ritus adat kepada kekuatan baik di saat sebelum memulai memanen hasil. Hasil terbaik dipersembahkan kepada sang sumber kebaikan, wujud tertinggi suku Bunaq Aitoun, HOT EZEN.  Di sinilah ditemukan titik pertemuan fenomena fisikal UMON dengan nomena-metafisikal sang wujud tertinggi, HOT EZEN suku Bunaq Aiitoun.

Dari ritus adat di atas umon ini juga pembaca menemukan ada  rasa pola pikir Suku Bunaq  tentang harmoni secara sangat mendalam.

Harmony dalam konsep suku Bunaq Aitiun bukan berarti hanya mengutamakan atau menerima semua yang baik-positif saja seperti pola pikir Agama Katolik, dengan menolak secara ketat semua yang jahat-negatif.


Tetapi ada rasa istimewa harmoni dalam konsep suku Bunaq Aitoun, berilah porsinya kepada roh jahat-negatif dan roh baik-positif secara proporsional agar  dengan demikian masing-masing berada pada tempat dan jalurnya masing-masing dengan perut yang kenyang, tidak lapar, sehingga tidak saling mengganggu satu sama lain, tidak berkelahi, tidak terjadi kaos, tidak terjadi konflik.

Itulah rasa harmoni suku Bunaq Aitoun yang lahir dalam ritus adat di atas UMON di kebun. Konsep ini selalu terbuka untuk menentukan pola pikir suku Bunaq Aitoun secara utuh menyeluruh. Memang asyik sekali merasakan Pola Pikir Suku Bunaq Aitoun dari atas UMON di tengah kebun atau ladang atau sawah bukan di bangku kuliah. ***


Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978



Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar