Sabtu, Januari 26, 2008

"En Alan Gie Giol" artinya Suara Orang Pinggiran

Akhir-akhir ini penulis menerima banyak SMS dan Via Telephone tentang situasi suku Bunaq. Situasi suku Bunaq akhir-akhir ini diwarnai oleh konflik politik pemilihan kepala desa. Kelompok yang menang dan kalah dalam pemilu itu berending dengan sebuah hasil konflik yang berkepanjangan. Efek konflik politik itu masuk ke dalam relasi kekeluargaan dalam Suku-suku kecil Suku Bunaq. Perpecahan antara suku-suku Kecil bahkan anggota sesuku kecil pun mulai merusak persatuan dan kekompakan dalam Suku Tersebut. Pengaruh politik begitu kuat sampai relasi kekeluargaan adat yang akrab dirusak. Penulis melihat ini sebagai sebuah realitas dalam Suku Bunaq.


Pengalaman ini penulis alami sendiri pada bulan Agustus tahun 2007, ketika seminggu penulis cuti ke ibu pertiwi suku Bangsa Bunaq. Merasa sangat tidak enak hidup dalam sebuah kelompok suku yang hidup dalam perpecahan. Penulis melihat bahwa pihak-pihak yang konflik adalah orang-orang yang beragama Katholik dan secara administratif beriman Katholik. Penulis sebagai orang pinggiran yang tinggal di luar pusat kota Suku Bunaq menyuarakan Sabda Allah lewat tulisan dan media ini agar sedikit berguna bagi sesama anggota suku Bunaq untuk bertobat agar dapat menyambut Yesus Sang Terang Sejati Bagi Bangsa-bangsa termasuk kepada Suku Bunaq.


Keadaan perpecahan suku Bunaq ini memberi inspirasi untuk menyusun satu renungan pada hari Minggu III A yang bersumber pada Bacaan I Yes 8 : 23b - 9: 3 tentang janji Allah kepada Yesaya tentang datangnya Terang Besar Bagi Bangsa-Bangsa yang tinggal dalam kegelapan.


Bacaan II dimbil dari 1 Kor 1 : 10 -13, 17 tentang umat beriman Katholik/Kristen harus seia-sekata bahwa Kristus adalah fokus persatuan dan persekutuan iman mereka. Kristus adalah sang terang sejati bagi para pengikutNya. Para pengikut yang berbeda latarbelakang, budaya, asal dan profesi tetapi memiliki satu hati Yesus Pembawa Damai dan Terang sejati.


Bacaan Injil dari Mat 4 : 12 - 23 tentang keterbukaan hati manusia kepada sang terang sejati yang datang menyelamatkan dan membaharui dunia tanpa kekerasan. Yesus mengubah dunia lewat cara tanpa frontal menghadapi lawan atau musuh. Hal ini Dia nyatakan lewat menyepi ke Galilea, daerah pinggiran dimata orang Yahudi, setelah Yohanes ditangkap. Galilea sebagai tempat yang terbuka bagi semua bangsa, tanpa kontrol dari pihak pemerintah dan agama seperti di Yerusalem. Gerakan pembaharuan Yohanes dikontrol ketat oleh Herodes dan pihak penguasa agama, sebagai satu gerakan membahayakan. Maka tokoh kunci Yohanes ditangkap dan dipenjarakan.


Melihat pengalaman Yohanes itu Yesus mengambil jalan tanpa frontal dengan menyingkir ke Galilea. Di Galilea bukan Yesus menyembunyikan diri dari pengejaran para pencari dari pihak Negara atau pemerintah dan agama Yahudi, tetapi justru di Galilea yang dicap Orang Yahudi di Yerusalem sebagai negeri kafir itu, Yesus melaksanakan misinya mewartakan Kerajaan Allah.


Peluang di Galilea bagus untuk pewartaan Keraajan Allah. Yesus melihat bahwa ada jalan untuk menanamkan nilai Kerajaan Allah dalam diri umat Galilea yang dicap kafir oleh orang Yahudi itu. Maka tenaga pribadi Yesus sendiri tidak memadai. Yesus memilih para murid menjadi penjala manusia masuk kedalam jaring Kerajaan Allah yang berwarna kemanusian dan keimanan atau keilahian. Jaring kerajaan Allah yang dibawah oleh Yesus dan para murid perdana adalah jaring yang warna khas mengutamakan manusia semua golongan sebagai citra Allah dan berkemanusiaan.


Kita semua adalah kelompok para beriman kepada Kristus sang terang sejati bagi kita. Tanda bahwa kita telah menerima Dia sebagai terang sejati dalam diri kita adalah kita memiliki HATI yang diliputi oleh kemanusiaan dan keilahian yang bersumber pada Kristus iman sekaligus Yesus historis. Itu adalah "Jas Merah" iman kita. Konsekuensi pola permenungan ini hebat bahwa semua tindakan meremehkan sesama tidak diberi tempat. Semua manusia baik kriting, hitam jelek, cacat, memiliki hakekat kemanusiaan dan keilahian. Nilai Pemerintahan Allah ini bukan hanya sebuah teori melainkan harus menjadi Gaya Hidup kita orang beriman. Kita pasti bisa. Asal kita rendah hati dan terbuka di hadapan Tuhan pembawa terang keilahian dan kemanusiaan sebagai dua tinga kembar peziarahan kehidupan iman kita.


Inilah suara orang pinggiran yang tidak tinggal di pusat kota suku Bunaq. Dari tanah orang, penulis prihatian atas tanah kelahiran, ibu pertiwi suku Bangsa Bunaq. Suara orang pinggiran ini kiranya menyentuh setiap insan suku Bunaq untuk mengubah umat suku Bunaq, mulai dari mengubah diri sendiri dari habitus lama kepada habitus baru sebab Kerajaan Allah sudah dekat.