Sabtu, Januari 19, 2008

Sistem Relasi "Malu-Ai" Rumah Suku Monewalu di Aitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*



Suku Monewalu adalah satu suku kecil yang ada, dan hidup serta berkembang dalam suku Bunaq sebagai suku Besar. Suku Monewalu ini ada karena ada suku-suku lain yang disebut sebagai asal suku Monewalu. Para suku-suku kecil yang disebut sebagai asal-usul suku Monewalu ini, dikenal dengan nama suku "malu" dalam pandangan Suku Monewalu. Suku-Suku "Malu" itu adalah suku-suku yang memberi perempuan suku-suku itu kepada suku Monewalu. Suku Monewalu disebut suku yang menerima perempuan dari suku-suku "Malu" itu. Dalam pandangan suku Monewalu, pemberi perempuan kepada suku Monewalu disebut sebagai "Malu". Suku Monewalu sendiri sebagai suku yang menerima perempuan disebut sebagai "Aiba'a".



Suku-suku yang tergolong sebagai "Malu" dalam kacamata Suku Monewalu itu adalah Suku Laimea; Suku Monesogo; Suku Si Gup; Suku Lianain; Suku Hoki'ik yang ada di Desa Aitoun-Kecamatan Raihat-Kabupaten Dati II Belu - Propinsi Nusa Tenggara Timur - Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suku-suku kecil yang disebut "Malu" itu adalah suku-suku yang menjadi asal-usul suku Monewalu. Suku Monewalu tahu diri sebagai sebuah suku yang berasal dari orang lain, yaitu suku-suku yang disebut sebagai "Malu". Suku Monewalu tetap menggemakan kembali, menghidupkan kembali kesadaran tentang asal-usul sukunya dalam setiap perayaan adat yang diselenggarakan oleh setiap anggota Suku Monewalu. Dalamsetiap upacara adat yang diselenggarakan suku Monewalu, suku Monewalu dengan rendah hati mengundang secara hormat para suku "Malu" yaitu suku-suku yang menjadi asal-usulnya. Dengan demikian relasi adat yang diselenggarakan oleh Suku Monewalu, menjadi satu perayaan adat yang kembali mengokohkan relasi suku Monewalu dengan para suku "Malu" yaitu suku-suku yang menjadi asal-usul suku Monewalu.




Khususnya dalam adat kematian seorang Suku Manewalu, semua suku "Malu" itu diundang oleh suku oleh suku Monewalu. Di situ ada adat-adat yang mengokohkan relasi adat antara Suku Monewalu sebagai Aiba'a dengan para suku "Malu" sebagai suku-suku yang disebut sebagai asal-usul suku Monewalu. Ada adat-adat yang menguatkan atau menggemakan kembali rerlasi "MALU" dengan "AIBA'A" yaitu adat "TAIS HOTA" dan "KABA". Dalam adat "KABA" dan "TAIS HOTA" terjadi semacam persembahan/kolekte adat dari "IABA'A" kepada "MALU". Adat "KABA" berarti para suku "MALU" membuat tanda salib di dahi suku "AIBA'A" dengan siri-pinang, tanda berkat berlimpah Allah kepada manusia yang disalurkan melalui para suku "MALU" sebagai asal-usul suku "AIBA'A" yaitu suku Monewalu. Para suku "Malu" meletakkan tangan di atas kepala suku "AIBA'A", mendoakan suku "AIBA'A" lalu membuat tanda salib di dahi anggota suku Monewalu yang menerima adat "KABA" dari suku "MALU". Ini seperti anak-anak sekolah Minggu atau para bayi yang menerima berkat tanda salib di dahinya oleh Pastor pada hari Minggu di Gereja.



Saling memberkati-saling mendoakan secara tulus sudah ada sejak dahulu kala, tampak jelas dalam adat suku Monewalu, khusus dalam adat "KABA". Saling mendoakan dalam adat suku Monewalu, tidak hanya pada waktu adat kematian. Anggota suku Monewalu sebagai "AIBA'A" , sebelum pergi ke tempat yang jauh, misalnya ke luar pulau untuk bekerja, untuk tugas tertentu, datang kepada salah seorang "MALU", supaya "MALU" itu meletakkan tangan di atas kepala, mendoakan, dan meniupkan napas rahmat dan kekutan Allah di atas kepala anggota suku "AIBA'A" yang akan pergi ke tempat yang kauh, serta membuat tanda salib di dahinya oleh "MALU", sebagai bukti bahwa ramat leluhur disalurkan lewat pendoa yaitu "MALU". Doa-doa itu secara psikologis dan spiritual sangat memberi kekuatan kepada anggota suku "AIBA'A" yang akan pergi ke tempat yang jauh. Dia yang akan ke tempat yang jauh mendapat kepercayaan diri untuk memasuki wilayah yang baru. Dia lewat doa para "MALU" itu, yakin bahwa para leluhur, yang menjadi asal-usulnya selalu memberkati dia, mendampingi dia dalam setiap langkah suka duka hidupnya.



Dalam Gereja Katholik, sering muncul pertanyaan yang menantang iman Katholik dari pihak luar. Misalnya, mengapa orang harus berdoa dengan perantaraan Santa Maria? Mengapa tidak langsung berdoa kepada Allah? Mengapa harus mengaku dosa kepada Pastor/imam? Mengapa tidak langsung mengaku dosa kepada Tuhan? Realitas adat suku Monewalu seperti di atas, yaitu mendoakan sesama yang membutuhkan doa dari sesama, dukungan dari sesama yang menguatkan, sebelum pergi ke tempat jauh, atau dalam ke adaan normal, menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam diri manusia ada kebutuhan didoakan sebagai satu kekuatan tersendiri bagi dirinya. Doa tulus dari sesama, dapat memberi kekuatan yang luar biasa kepada sesama yang didoakan.



Dalam kehidupan kita manusia pada umumnya, ketika seorang anak akan pergi meninggalkan kedua orang tuanya, sanak saudaranya untuk bekerja atau menuntut ilmu, sebelum berangkat, kedua orang tua, kakek-nenek, para Om, sanak-saudara berkumpul dan berdoa dan mendoakan dia yang akan pergi jauh. Doa itu sungguh memberi kekuatan yang luar biasa kepada anak yang akan pergi ke tempat yang jauh. Anak akan merasa percaya diri dan diberi kekuatan sendiri untuk memasuki lingkungan yang baru. Anak akan diberi kekauatan untuk bersaing secara sehat di lingkungan dunia baru yang dimasukinya.




Dalam Kitab Suci, jelas bahwa doa tulus para beriman memberi kesembuhan dan keselamatan bagi orang yang didoakan. Doa Yudas Makabe bagi sahabat-sahabatnya meninggal, membawa kebangkitan kepada mereka yang didoakan. Doa/Iman seorang perwira membangkitkan hambanya. Doa dan iman sahabat-sahabat orang sakit/mati dapat menyembuhkan/membangkitkan orang mati.


Berdasarkan pengalaman umum dan praktek doa manusia, apa yang tertulis dalam kitab suci tentang betapa penting doa sesama bago orang lain dapat menguatkan dan menyembuhkan, bahkan menyelamatkan dan menyembuhkan, maka tidak ada alasan yang cukup untuk membatalkan orang Katholik untuk berdoa bagi sesama dengan perantaraan para santo-santa, para imam, rohaniwan dan biarawan dan biarawati, atau setiap orang yang memiliki kharisma tertentu *** 



Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..