Minggu, April 06, 2008

Tahap-Tahap Rekonsiliasi Suku Bunaq Aitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Suku-suku kecil yang menyebar di suku Bunak kerapkali mengalami konflik baik secara intern maupun secara ekstern dengan suku-suku lain. Suku-suku lain itu adalah suku Sabu-Rote misalnya. Mahasiswa suku Bunak yang ada di Kupang atau di Jawa atau di Pulau dewata, mempunyai peluang besar konflik dengan suku-suku lain karena berbagai soal sederhana sampai soal yang paling komplit.Kalau toh generasi muda sekarang ini konflik maka ada jalan penyelesaiannya. Konflik model apapun antara Suku-Suku Kecil di dalam suku Bunak maupun konflik antar suku Bunak pada umumnya dengan suku Sabu - Rote ada penyelesaiannya melalui sebuah yaitu pendekatan Budaya. Ada tiga pendekatan dari segi budaya untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Pendekatan penyelesaian ini diperoleh lewat wawancara langsung dengan pastor sulung dari Suku Bunak, Pater Yustus Asa, SVD yang kini sebagai Vikjen keuskupan Atambua. Wawancara informal dengan Pater Yustus Asa, SVD berlangsung dari pukul 20.30-21.30 WIB, hari Sabtu 2 Februari 2008, di Ruang Rekreasi Wisma Santo Arnoldus Janssen SVD Surabaya. Ada tiga pendekatan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dan dialami dalam kehidupan suku Bunak.

Pertama, dalam bahasa adat suku Bunak dan sejarah suku Bunak dan Sabu ada istilah "HULO LEB", artinya ada sebuah sumpah adat yang telah dibuat antara kakak beradik di daerah Suku Bunak. Kakak beradik itu mengadakan sumpah dengan minum darah bersama. Sumpah yang diikat dengan meminum darah yang diambil darah kedua kakak dan adik itu diadakan sebelum mengadakan perpisahan antara kakak dan adik tersebut. Sumpah perpisahan itu bermakna bahwa meskipun kedua kakak-beradik itu berpisah dan akan berkembang biak di tempat yang berbeda, mereka akan tetap hidup rukun-guyub-bersatu dan damai. Diceriterakan bahwa kakak itu setelah diikat oleh sumpah itu tetap tinggal di Suku Bunak sedang adiknya itu pergi ke tempat yang namanya Sabu-Rote dan berkembang di sana. Keduanya berkembangbiak sampai hari ini di Suku Bunak maupun di Sabu-Rote. Ciri-ciri yang menyatukan kedua suku tersebut adalah ada nama-nama manusia suku Bunak dan suku Sabu - Rote yang mirip dan bahkan ada yang sama. Misalnya ada nama Mali di Sabu dan Rote juga ada di Suku Bunak. Ada nama Bere di Sabu-Rote dan Bunak.

Menurut sejarah suku bunak, sumpah itu tidak boleh dilanggar. Pihak yang melanggar akan termakan oleh darahnya sendiri yang telah dia minum dalam sumpah adat tersebut. Pihak yang melanggar sumpah itu akan dikutuk yaitu muntah darah, berak darah, dan penyakit yang lainnya. Pola pendekatan ini sangat ampuh dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi dalam kehidupan bersama antara suku Bunak dengan suku Sabu Rote, baik di Kupang, ibukota propinsi NTT maupun di Luar pulau cendana.

Kedua, Konflik yang terjadi antara suku-suku kecil yang menyebar di dalam suku Bangsa Bunak, secara khusus di Dusun Asueman, Kedesaan Aitoun, kecamatan Rai Hat, Keuskupan Atambua. Konflik itu terjadi disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari hal yang sederhana sampai dengan hal yang kompleks-rumit. Konflik - konflik yang terjadi dan ada itu diselesaikan dengan pendekatan adat-budaya yaitu "Hubungan Malu-Ai", yaitu hubungan antara suku-suku pemberi perempuan dengan suku-suku penerima perempuan. Relasi hubungan "Malu-Ai" ini menjadi senjata yang ampuh untuk menyelesaikan berbagai konflik yang ada di suku Bunak. Semua suku - suku Kecil yang ada dalam suku Bunak adalah suku-suku yang terikat erat oleh hubungan "Malu-Ai" ini. Hubungan "malu-ai" ini abadi dan hubungan ini menjadi "roh" yang menggerakkan semua relasi adat yang ada dalam suku Bunak. Hubungan “Malu-Ai” ini seperti jaring-jaring yang saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan yang menyatukan semua suku-suku kecil yang tersebar di dalam suku Bunak dewasa ini dan seterusnya. Semua urusan adat pasti ada aturan mainnya yang digariskan oleh tua adat berdasarkan "Hubungan Malu -Ai " ini. Hubungan "malu-ai" ini rusak maka semua urusan adat tidak akan berjalan atau dilaksanakan. Hubungan "Malu-Ai" ini baik maka semua urusan adat dan urusan rohani misalnya misa syukur tahbisan dan sejenisnya, dan juga urusan pemerintahan akan dapat berjalan dengan baik. Konflik antara suku-suku kecil yang ada dalam suku Bunak pasti akan diselesaikan berdasarkan relasi hubungan "Malu-Ai" yang digunakan oleh para "lal gomo" atau "makoan" bersama para pendamai lainnya dalam hal ini presiden suku atau ketua suku.
Ketiga, Semakin banyak penduduk, semakin padat penduduk, semakin besar peluang untuk menciptakan konflik yang beraneka ragam dan lebih luas cakupan konflik. Semakin terbuka suku Bunak karena transportasi lancar dan komunikasi lancar lewat sms dan telephone via HP, konflik bisa dengan mudah dialami karena ada pihak-pihak luar yang menjadi provokator. Konflik yang diprovokasi dari pihak luar dapat merusak keharmonisan suku Bunak. Pihak luar itu bisa dari aparat keamanan yang memprovokasi rakyat sederhana untuk mencari lahan pekerjaan, atau golongan lain yang membayar masyarakat sederhana untuk membangkitkan konflik demi kepentingannya tercapai. Konflik seperti ini di hadapi atau diselesaikan dengan "Hubunga Dasak Raq" yaitu hubungan antara rakyat dengan pemerintah. Maka konflik lebih kompleks itu dapat diselesaikan berdasarkan hukum sipil yang berlaku bagi setiap warga negara dan umat beriman. Hukum sipil dan hukum religius dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik yang lebih rumit dan kompleks luas cakupannya. Dalam hal ini, pemimpin pemerintahan dan pemimpin religius setempat sangat besar pengaruhnya dalam menyelesaikan konflik yang ada dan terjadi karena provokator pihak luar. Uskup dan para imam serta biarawan-biarawati sebagai pembawa kedamaian bagi masyarakat suku Bangsa bunak yang hidup dalam konflik karena hasutan para provokator dari golongan luar suku Bunak. Penyelesaian dengan menggunakan "Hubungan Dasak Raq" ini menjadi alat jitu bagi penyelesaian konflik-konflik besar yang terjadi di dalam suku Bunak.****

Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..