Senin, November 24, 2008

MERASAKAN PERENIAL DALAM TEMPORAL ADAT RITUS "LOBOR HIN, BOTO, LESU ASU" SUKU BUNAQ AITOUN


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

  


Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. 

Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.

Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER  dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya. 

Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut. 

Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir  atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU. 

Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal. 

Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun. 

Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir  atau memindahkan kekuatan jahat yaitu LAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya. 

Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER  atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan LAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia. 

Kekuatan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu. 

Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa Suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalam fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan rumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. 

Hal ini terungkap dalam pemberian daging kepala babi kepada kekuatan jahat disertai kata mantra-mantra  sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU. 

Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif. 

Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelayanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunaq. Ritus adat ciptaan tradisi ini mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.  Temporal adat yang tampil di dalam fenomena yang diobservasi ini memiliki perenial adat yaitu isi, makna, utamanya konsep harmoni yang ada dibalik fisikal adat ini. 

Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya,  manusia, untuk menjadi pengikutnya, sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun.  LAL GUJU artinya ritus adat kenduri, ritus adat duka Suku Bunaq Aitoun. 

 Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Setiap orang tidak tahu nasib orang-orang yang sedang diperebutkan oleh dua kekuatan itu. Hanya satu hal yang pasti di antara sekian banyak kemungkinan yang bisa terjadi adalah bahwa: "jika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."

Dari ritus adat ini,  pembaca merasakan tiga cara berpikir Suku Bangsa Bunaq di dalam tiga bagan berikut. 








Tiga cara berpikir ini membentuk cara berperasaan dan cara berperilaku dalam diri setiap anggota Suku Bunaq Aitoun, dulu, kini, dan selamanya. 

Ketika suku Bunaq Aitoun hadir dalam ritus adat, orang-orang yang hadir itu secara benar-benar berpikir, berperasaan, beraksi secara utuh dalam lingkaran berpikir di atas, secara setara, seimbang, harmonis, sederajat, utuh, total, menyeluruh: relasi dengan Aku/diri sendiri, Anda/sesama, Alam Semesta, Arwah Leluhur, Supranatural/Allah. Suku Bunaq memiliki cara berpikir dalam lima relasi tersebut sekaligus dalam eksistensinya bersama yang lain, baik dalam ritus resmi maupun dalam hidup sehari-hari. 


Ini rasa cara  berpikir, berperasaan dan berperilaku suku Bunaq Aitoun yang terbuka untuk dilengkapi oleh setiap orang yang mau menjadi orang pertama dan utama "tenggelamkan diri dibaptis dalam sungai yordan adat suku Bunaq Aitoun, dan pada saat itulah terdengar dari langit Suku Bunaq Aitoun, inilah anak yang kukasihi, dengarkanlah dia. Itulah awal karya pelayanan antropolog di tanah Suku Bunaq Aitoun." 

Itu berarti seorang hebat yang datang ke Suku Bunaq Aitoun tapi yang rendah hati datang ke wilayah suku Bunaq Aitoun, merendahkan diri, belajar dari bawah-ke atas, agar hasil pelajarannya bertumbuh dari tanah bawah subur yang berakar dalam, bukan dari langit yang melayang-layang tidak menyentuh bumi Suku Bunaq Aitoun. 

Demikian sebuah pemaknaan cara berpikir Aloysius Pieris rasa Asia yang kemudian dimaknai dalam konteks teks ini yaitu dalam rasa cara berpikir Suku Bunaq Aitoun.  


Perenial Adat Abadi, Sang Supranatural yang menyatakan dirinya dalam temporal adat "lobor hin, lesu asu, boto."  LOBOR HIN artinya membongkar tenda. LESU ASU berarti menurunkan mahkota beserta semua perhiasan keagungan tenda dan menurunkan semua bunga keindahan di panggung tenda. BOTO artinya semuanya dibubarkan,  yang baik bergi melakukan yang baik di jalannya, yang negatif sudah kenyang  lewat ritus ini lulu pergi dengan perut yang kenyang ke tempat tinggalnya, tidak mengganggu lagi semua yang sedang berbuat baik di jalannya. Ritus di atas UMON ini juga Melahirkan tiga cara berpikir Suku Bunaq Aitoun  dan Fisikal Adat Ritus "Bula Ho'on" memproduksi Metafisikal konsep berpikir Suku Bunaq Aitoun. ***


Daftar Pustaka

A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..


1 komentar:

  1. 1. https://bunaqaitoun.blogspot.com/2020/07/fenomena-nomena-nama-monewalu-di-suku.html?m=1

    2. https://bunaqaitoun.blogspot.com/2020/07/multi-aspek-adat-bula-hoon-suku-bunaq.html?m=1

    3. https://bunaqaitoun.blogspot.com/2020/07/menilik-kecerdasan-majemuk-suku-bunaq.html?m=1

    4. https://bunaqaitoun.blogspot.com/2020/07/sebuah-warisan-kecerdasan-leluhur.html?m=1

    5. https://bunaqaitoun.blogspot.com/2020/07/air-terjun-uluk-til-adalah-tempat-mandi.html?m=1

    BalasHapus