Minggu, Desember 14, 2008

PENEMU BUDAYA YANG HILANG

Saya melihat Bapa Louis Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai gembala yang mencari dan menemukan Budaya Lisan yang hilang dan membawanya kembali ke kandang budaya tulisan. Nilai-nilai budaya yang diungkapkan secara lisan dalam mitos dan telah nyaris hilang dicari dan ditemukan serta dibawa kembali ke kandang mitos yang tertulis dalam karya monumental mereka sehingga setiap generasi muda suku Bunak yang sedang berada di persimpangan jalan, mana jalan suku Bunak mana jalan kemanusiaan mana jalan religius dapat menemukan kembali jalannya menuju hakekat pribadi sebagai suku Bunak karena ada rambu-rambu peringatan tertulis secara ilmiah dari Bapa Lousi Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai orang tua yang melahirkan kembali Nilai suku Bunak untuk kedua kalinya. Nilai-nilai budaya telah lahir dari rahim leluhur suku Bunak dalam mistos dan lahir kedua dalam mitos yang ditulis dalam karya monumental mereka dalam kandungan bahasa Prancis dan kini bagi para generasi suku Bunak untuk membawa kembali ke rahim suku bunak dalam bahasa ibu Pertiwi Suku Bunak dan ibu pertiwi Indonesia agar nilai-nilai itu kembali akrab dengan suku Bunak. Kelahrian ketiga ini dinanti-nantikan oleh semua manusia suku bangsa bunak. Suku Bunak merasa yakin kelahiran dan kedatangan ketiga ini pasti terjadi berkat atau lewat tulisan - tulisan suku Bunak sendiri.


Yes You Can. Kata-kata ini akan bergema di hati nurani suku Bunak untuk mulai merasa diri yakin untuk menulis tentang budayanya sendiri dengan berguru pada Bapa Louis Berthe dengan mama Claudine friedberg. Kamu mau kamu bisa.

Penemu Suku Bunak

Siapa yang menjadi penemu Suku Bunak? Secara formal ilmiah penemu suku Bunak adalah LOUIS BERTHE bersama isterinya Dr. Claudine Friedberg. Keduanya menulis tentang Bunak dari sudut Antropologi Budaya dan Bioantropologi. Louis Berthe menekankan "EN GUA" artinya asal manusia suku Bunak dari Wujud Tertinggi dalam mytos suku Bunak. Sebuah mitos memiliki keunikannya tersendiri. "Dalam mitos, keyakinan atas yang ideal itu umumnya melampaui batas nalar. Hal terpenting dalam mitos memang bukan benar atau salah, logis atau tidak, melainkan yakin atau tidak". (Lihat ACEP IWAN SAIDI : Dosen FSRD ITB, Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB. ACEP sebagai perensesi Buku yang berjudul JANTUNG LEBAH RATU, HIMPUNAN PUISI, KARYA NIRWAN DEWANTO. Resensi bukunya itu termuat dalam KOMPAS, Minggu 14 Desember 2008, halaman 11. JUDUL RESENSI: MITOS BARA BIRU NIRWAN DEWANTO). . Mitos ini digali dari keyakinan Suku Bunak oleh anropolog suku Bunak, LOUIS BERTHE. Suku Bunak yakin bahwa manusia suku Bunak berasal dari Wujud Tertinggi. Keyakinan yang sudah berakar dalam diri manusia suku Bunak itu yang terungkap dalam Karya Monumental LOUIS BERTHE : BEI GUA artinya perjalnan leluhur suku Bunak dalam mitos. Mitos itu dirangkai dalam kata sastra yang diceriterakan lisan dalam upacara adat resmi bukan ditulis dan dibacakan. Mitos lisan itulah yang beralih menuju mitos tertulis sehingga tidak hilang oleh antropolog LOUIS BERTHE yang menemukan kembali mitos yang hampir hilang. Sumbangan dan kerja keras Louis Berthe sangat berarti dan harus diberi apresiasi yang lebih. Unsur lebih itu harus terungkap dalam budaya menulis oleh orang Bunak Sendiri.


Sementara itu Claudine friedberg isteri Louis Berthe, menemukan suku Bunak dalam ilmu bioantropologinya. Kalau Louis Berteh menulis tentang BEI GUA artinya asal-asal manusia suku Bunak dalam Mitos yang sangat diyakini oleh suku bunak yang hidup religius, sedangkan Claudine Friedberg menulis tentang Suku Bunak dengan fokusnya A GUA artinya asal manusia digali dari biologi Suku Bunak, yaitu dari tumbuhan dan hewan dalam pola pemahaman suku Bunak yang diangkat ke taraf ilmiah. Claudine Friedberg ini sekarang menjadi profesor emeritus tinggal di litbangnya di Paris. Mereka berdua patut diberi apresiasi yang tinggi, karena mengangkat identitas manusia suku Bunak dari budaya lisan kepada budaya tulisan. Dengan tulisan mereka mengabadikan identitas alamiah suku Bunak. Suku Bunak kembali ke Asalnya lewat pintu lebar yang telah dibuka oleh kedua Bapa dan Mama penemu suku Bunak ini.***

ALASAN MENULIS BUKU KEMBALI KE AKAR

Saya menyampaikan beberapa hal yang mendorong saya untuk menulis buku KEMBALI KE AKAR. Pertama, saya termotivasi menulis tentang Budaya asal saya karena sepanjang saya belajar di pendidikan formal dari SD sampai Seminari Tinggi saya belajar tentang budaya orang lain dan saya tidak pernah belajar tentang budaya asal saya. Saya memberanikan diri memulai sesuatu yang baru. Memulai sesuatu yang baru seperti seorang petani yang membuka lahan baru dengan sebuah perjuangan yang luar biasa, untuk mendapat sebuah hasil yang baik bagi diri dan tentu secara sosial bagi anak-cucu. Hanya lewat menulis, anak cucu sesudah kita tahu tentang adat dan budaya kita sendiri. Kita sendiri harus menulis tentang diri sendiri dan kita sendiri harus tahu tentang diri kita sendiri agar orang luar tidak menipu kita dengan pandangan mereka.

Hal kedua yang mendorong saya untuk menulis KEMBALI KE AKAR adalah agar saya yang pastor ini mati dikenang karena sebuah hasil karya. Pastor tidak punya isteri dan tidak punya anak. Mati akan tidak dikenang kalau tidak mempunyai hasil karya BUKU yang resmi.

Hal ketiga yang membuat saya terdorong untuk untuk menulis tentang budaya saya adalah anak-anak muda yang kuliah di Jawa mengalami krisis identitas. Budaya asalnya tidak berakar dan budaya Jawa pun tahu setengah-setengah akhirnya mereka hidup terbawa arus zaman yang tidak tahu tujuannya kemana.

Rabu, Desember 10, 2008

"AGAN BULA HO'ON"

Suku Bunak merayakan adat syukuran setelah seorang Suku Bunak sembuh dari sakitnya. Penyakit itu bukan karena soal medis seratus persen. Suku Bunak merasa yakin bahwa sakit itu datang dari kemarahan leluhur pertama yang orang Bunak menyebutnya dalam bahasa "POR GOMO" dan juga sakit itu datang dari kemarahan jiwa anggota suku yang telah meninggal dunia terhadap seorang anggota suku yang sedang sakit.

Keyakinan itu menjadi kepercayaan publiki suku Bunak. Pelegitimasi adalah para dukun kampung yang menebak sumber penyakit dia yang sedang sakit. Semua anggota suku mengakui dukun kampung di dalam geografis suku Bunak. Pengakuan itu muncul dari pemimpin suku atau ketua suku sampai dengan anggota suku pada umumnya. Pengakuan ini membuat gerak dukun dalam menebak sumber penyakit si sakit secara leluasa tanpa ada partai oposisi terhadap dukun.

Pengamatan penulis selama mengikuti sang dukun penebak sumber sakit itu meliputi tiga hal ini. Pertama, dukun menebak sumber penyakit itu dari para suanggi yang ada di suku Bunak dan selalu berelasi dengan si sakit. Orang yang suanggi dalam suku Bunak dikenal dalam sebutan "PUAN" artinya suanggi yang memberi kekuatan jahat kepada orang yang sakit. Mengapa kekuatan jahat puan itu ditanggung oleh orang yang sakit itu? Karena orang yang sakit itu dalam hidup berelasi dengan orang yang "PUAN" itu pernah membuat orang yang "PUAN" itu sakit hati karena kata-katanya kasar dan permintaannya tidak si sakit menerima atau mengabulkannya. Si Sakit itu tidak memenuhi permintaan Puan pada dirinya. Kebencian "PUAN" itu tersalur lewat kekuatan jahat yang dikirim kepada si sakit. Tebakan si dukun atas sumber penyakit si sakit ini meminta upah berupa beras, korban binatang, uang serta minuman alkohol tertentu. Si dukun akan memberi permintaan PUANG pada si sakit dalam bentuk simbol. Maksudnya, uang atau beras atau apapun yang pernah diminta "PUAN" pada si sakit, harus diingatkan kembali si sakit di waktu yang lalu, dan itu harus diberikan kepada si "PUAN" lewat adat pengembalian kekuatan jahat kepada pengirim kekuatan jahat yaitu "PUAN". Dukun akan meminta siri, pinang, kapur, dan beras pada sebuah wadah yang telah diciptakan dari anyaman lalu dukun hening dan mengucapkan mantra-mantra dilanjutkan memberikan uang atau materi yang sebelumnya diminta kepada si sakit, lewat si sakit menyerahkan kepada si "PUAN" dengan kata-kata dukun yang isinya memberikan materi berupa uang, beras yang "PUAN" butuhkan dengan kata-kata minta maaf dan menyuruh si "PUAN" tidak mengganggu si sakit di waktu-waktu yang akan datang. Adat ini implisit mengakui kedudukan "PUAN" pada tempat yang suerior dalam relasi sosial masyarakat suku Bunak. Perasaan rendah diri rakyat sederhana di hadapan "PUAN" pembawa kekuatan jahat bagi sesama dalam relasi. Mereka yang "PUAN" pembawa kekuatan gelap dalam masyarakat secara adat tetap diakui keberadaannya. Ada ketakutan yang tidak terungkap dalam diri manusia Bunak yang bukan "PUAN" atau pembawa kebaikan bagi sesama dalam berelasi. Ketertindasan oleh keberadaan "PUAN" dalam hidup masyarakat suku Bunak yang memperlemah kekutan dalam diri rakyat bukan "PUAN" untuk mudah dikuasai Kekuatan jahat "PUAN". Keberadaan Kekuatan jahat atau kekuatan Gelap "PUAN" menjadi penjajahan psikologis dan sosial dalam ruang lingkup suku Bunak. Kerapkali kelompok khusus mereka yang tergolong sebagai manusia "PUAN" berdasarkan pegalaman berulang-berulang, mereka itu dijauhkan dalam berelasi. Mereka menjadi orang asing atau terasing dalam hidup bersama suku Bunak. Namun semakin mereka diasingkan semakin mereka menjadi-menjadi menajamkan kekuatan jahat atau kekuatan gelab yang mereka kirim kepada sesama yang bukan "PUAN" dan menimbulkan kematian. Proses kematian seorang yang irasional itu kalau diproses maka kerapkali si "PUAN" yang dianggap penyebab kematin itu mengakui dirinya yang membawa kematian tersebut. Eksistensi kekuatan jahat yang melekat dalam diri mereka yang "PUAN" ini dipandang masyarakat setempat sebagai warisan leluhur yang masih mencari-cari peluang untuk menghilangkannya dalam wilayah geografis suku bangsa Bunak. Semacam sebuah misteri kejahatan yang masih dalam sebuah pergulatan panjang untuk ditiadakan keberadaannya.


Kedua, dukun menebak sumber penyakit si sakit itu berasal dari kemarahan pemilik jiwa si sakit yang tidak peduli kepada pemilik jiwa si sakit itu. Pemilik jiwa si sakit itu dalam bahasa Bunak disebut "POR GOMO" yang berdiam di sebuah tuguh yang disusun dari bebatuan dekat sebuah sumber air sebagai tempat pertama tibanya leluhur di situ dan di situlah lahir manusia suku Bunak yang berkembang maju sampai saat ini.Tebakan sang dukun ini dipandang benar oleh anggota suku yang seorang anggotanya sedang sakit dan sumber penyakitnya sedang sang dukun menebak sumber penyalitnya itu. Pemulihan relasi harmonis si sakit dengan "POR GOMO" itu membtuhkan sejumlah uang, beras, binatang korban, minuman beralkohol dan siri,pinang dan kapur serta uang lelah kepada jasa dukun sang penebak sumber penyakit si sakit.Pemulihan itu dikenal dalam bahasa Bunak "BULA HO'ON" yang dipimpin oleh "AGAN" artinya dukun kampung suku Bunak. Adat pemulihan relasi harmonis antara si sakit dengan "POR GOMO" itu berlangsung di tuguh yang disusun dari bebatuan tempat perdana para leluhur perdana tiba. Tuguh itu dalam bahasa Bunak disebut "BOSOK". Di atas tuguh inilah "AGAN BULA HO'ON" artinya dukun menyelenggarakan adat pemulihan relasi harmonis antara dia yang sakit dengan "POR GOMO" pemilik dan penguasa atas jiwa si sakit.

Ketiga, Dukun menebak sumber penyakit berasal dari kemarahan para anggota keluarga yang telah meninggal karena si sakit tidak memperhatikan atau lupa mereka. Tebakan ini benar maka diadakan pemulihan relasi harmonis dengan jiwa para pendahulu di kuburan jiwa leluhur yang marah terhadap dirinya. Di atas kuburan dia yang marah terhadap si sakit, dukun itu mengadakan "BULA HO'ON". Adat pemulihan kembali relasi harmonis dengan leluhur di atas kuburan itu membuthkan sejumlah uang jasa bagi sang dukun yang menebak sumber sakit itu, beras, korban binatang dan sirih, pinang, kapur dan kain adat dan wadah-wadah yang terbuat dari anyaman. Dengan adat pemulihan yang dipimpin oleh dukun itu, diakui oleh suku Bunak sebagai jalan menuju kesembuhan si sakit.


Keunikan adat pemulihan kembali relasi harmonis si sakit dengan para leluhur maupun dengan mereka yang telah meninggal di atas kuburan maupun di atas tuguh tempat perdana tiba di Suku Bunak itu melahirkan beberapa catatan kritis bahwa para leluhur itu seperti pisau bermata dua bisa membantu tetapi juga mengganggu dalam arti menyakiti yang diyakini sebagai kekuatan jahat yang datang dari para leluhur. Para leluhur itu selalu ingin diperhatikan oleh setiap generasi lewat adat dan lewat kontak bathin dengan para leluhur. Itu adalah jalan para leluhur senantiasa menyalurkan rahmatnya yang berlimpah kepada generasi suku Bunak. Generasi suku Bunak zaman ini tersebar di segala ujung bumi karena dunia ini semakin mudah terjangkau, maka hanya lewat media komunikasi khususnya lewat tulisan dalam Buku ini yang dapat dibawa oleh setiap generasi suku Bunak di segala ujung bumi untuk membaca buku ini dan isinya direnungkan dengan demikian kesadaran anggota suku di luar geografis suku Bunak dibangkitkan untuk tetap membangun relasi harmonis dengan para leluhur pertama dan sesudah mereka. Buku ini adalah jiwa LELUHUR yang selalu menjadi pengingat setiap anggota suku Bunak untuk tiada bosan-bosannya membangun relasi harmonis berelanjutan dengan para leluhur agar para leluhur tidak kesepian dalam keleluhurannya karena anak muda generasi berikut tetap membawa kemudaannya dalam membangun relasi dengan para leluhur sehinngga yang tua (leluhur) diimbangi dengan kemudaan generasi muda suku Bunak yang selalu mengadakan kontak bathin dengan para leluhur, dan diyakini sebaliknya, para leluhur terus mengalirkan berkat bagi generasi muda suku Bunak yang selalu rindu KEMBALI KE AKAR yaitu para leluhur yang telah menurunkannya. Bacalah buku, tulisan ini, karena ini adalah ROH LELUHUR yang tampil dimata pembaca suku Bunak yang selalu rindu kesehatannya. ***













BEI GUA BERARTI ASAL USUL LELUHUR ATAU NENEK MOYANG SUKU BUNAK. ISTILAH BEI GUA SANGAT SPESIFIK. JUDUL "BEI GUA" DIUBAH MENJADI "EN GUA" ARTINYA ASAL - USUL MANUSIA DALAM PERSPEKTIF SUKU BANGSA BUNAK.DENGAN DEMIKIAN "EN GUA" ARTINYA LEBIH LUAS.

Jumat, November 28, 2008
























PASTOR TIDAK MEMPUNYAI EMAS ATAU PERAK. PASTOR HANYA MEMPUNYA KARYA TULIS. PASTOR TIDAK MEMPUNYAI ISTERI. PASTOR TIDAK MEMPUNYAI ANAK. PASTOR MENGABADIKAN NAMA DALAM KARYA TULISNYA. MEMAKNAI HIDUP PASTOR DENGAN MENULIS BUKU AGAR NAMA DIABADIKAN. SETUJU YA......
INI BUKU PERDANA. CETAKAN PERTMA HAMPIR HABIS TUNTAS. KALAU MAU BELI DAN PESAN KONTAK AJA PENULIS DI JALAN MAJAPAHIT 36 SURABAYA. EMAIL : soverdi@gmail.com atau bbmesvede@yahoo.com

Rabu, November 26, 2008

KABA DARI MALU DAN AIBA'A SENIOR

Kaba berarti memberi berkat. Misalnya saya menerima kaba dari para suku Malu dalam adat kenduri atau dalam bahasa Adat LAL GUJU. Sesudah saya menerima KABA dari para malu, saya juga menerima KABA sebagai berkat dari anggota sukuku yang sudah SENIOR.



Saya hendak menerima berkat dalam KABA ini pada setiap adat Kenduri dalam suku Monewalu. Saya juga minta berkat atau KABA dari para suku MALU sebagai asal-usul suku SAYA pada saat saya akan mengikuti ujian atau saya hendak meninggalkan tanah suku Bunak pergi ke tempat yang jauh. Saya minta KABA pada para suku MALU dengan urutan acara yang KHAS. Saya meminta seorang SUKU MALU yang sudah senior. Suku MALU ini menyiapkan SIRI, PINANG, KAPUR yang disimpan di dalam wadah yaitu TAKA GIRAL ATAU OPA. Lantas Pemberi KABA mendoakan MOLO (Siri) PU (Pinang) dan HAU ( KAPUR) yang ada dalam OPA itu. Waktu doa, Pendoa meminta berkat HOT ESEN (Wujud Tertinggi) melalui POR GOMO (Pemimpin Suku Yang Masih Hidup Maupun yang sudah Meninggal), dan melalui para leluhur. Lewat doa itu, HOT ESSEN hadir dalam simbol siri, pinang dan kapur itu dan kemudian Siri, Pinang dan Kapur itu dimakan oleh pemberi KABA. Sesudah itu MALU memberi Kaba di dahi dengan membuat tanda salib di dahi dan meniup kepala peminta KABA, dan juga meniup kedua tangan peminta KABA.


Biasanya penerima KABA menyampaikan terimakasih kepada Pemberi KABA dan memberi derma atau stipendium kepada Pemberi Kaba setelah menerima berkat KABA. Derma atau stipendium itu sesuai kerelaan penerima KABA.


Saya biasanya setiap kali pulang Libur waktu masih Pelajar selalu meminta KABA dari para MALU dan Orang TUa dan anggota Keluarga Yang Senior dan memiliki kewibawaan dalam kehidupan bersama SUKU. Saya merasakan dampak ketenangan dan mendapat dukungan yang luarbiasa dari keluarga Pemberi KABA dalam menuntut Ilmu disamping sukungan saya dengan belajar yang tekun dan disiplin. ****

ORANG MATI, KARYA TULISNYA ABADI

Hari ini Selasa 25 November 2008 Komunitas SVD mengadakan pertemuan komunitas. Ada banyak hal yang akan kami bicarakan. Pertama saya membagi pengalaman iman akan centenial AJ JF. Sharing berarti membagi apa yang saya alami. Centenial berarti seratus tahun meninggalnya santo Arnoldus Jansen dan Santo Yosef Freinademetz. Ada tiga hal yang menjadi kerangka pembicaraan saya yaitu KENANGAN HIDUP DAN KARYANYA, PERAYAAN YANG AKAN BERPUNCAK PADA 15 JANUARI 2008 dan HAL KETIGA YANG TERPENTING ADALAH RENEW = PEMBARUAN. Dalam pembicaraan kali ini, hanya tentang kenangan hidup dan KARYA kedua Santo AJ dan JF, dan RENEW.


I. KARYA ABADI

1.1. Santo ARNOLDUS JANSSEN ( AJ )

Arnoldus Jansen aktif dalam Kerasulan DOa. Dari doa ini lahir banyak inspirasi. Doa memberi dia daya yang luarbiasa. Doa dapat mengubah dirinya. Doa menguabh pikirannya. Perubahan yang dia kandung dan dia lahirkan itu meliputi tiga karya monumental untuk mewujudkan mimpinya Meewartakan KERAJAAN ALLAH kepada segala bangsa yang belum mengenal Allah atau kafir. Tiga karya besar itu meliputi mendirikan SVD, SSpS dan SSpS AP.


1.1.1. SVD

SVD dia dirikan pada usia imamatnya yang keempat belas. Usia imamat 14 tahun, dia mulai mendirikan SVD. Waktu itu AJ berusia 40 tahun. Usia yang penuh dengan mimpi. Usia yang penuh dengan menggantungkan cita-cita setinggi langit. AJ menghargai diri dengan menggantikan cita-cita setinggi langit dan tentu dibalik citanya itu bisa ditebak, AJ tidak mau menggantungkan cita-cita serendah atau tidak mempunyai cita yang memandu diri pada tidak menghargai diri sendiri. Mimpi itu dia konkretkan dengan mendirikan SVD. Anggota SVD dipersiapakan dan dikirim ke seluruh dunia mewartakan INJIL kepada bangsa-bangsa kafir. Visi AJ Kerajaan Allah bertahta di atas bumi ini terlaksana dalam SVD dan para anggotanya yang menjadi misionaris di segala bangsa.


1.1.2. SSpS

Arnoldus tetap memounyai mimpi. Mimpi mendirikan SSpS. Pada waktu mendirikan SSpS ini AJ berusia 54 tahun. Dia berusia imamat 28 tahun. Dia mendirikan SSpS, 14 tahun kemudian setelah mendirikan SVD. Selama 14 tahun AJ menyusun strategi untuk mendirikan SSpS.

1.1.3. SSpSAP

Konggregasi ini didirikan pada usianya 61 tahun, usia imamatnya 36 tahun dan waktu itu dia mendirikan konggregasi pendoa ini 7 tahun setelah mendirikan SSpS. Dia menyusun mimpinya dan menyusun strategi untuk mencapai mimpinya itu selama 7 tahun setelah mendirikan SSpS.


Demimikian karya-karya monumental abadi dari Santo Arnoldus Janssen (AJ). Santo yang satu ini telah mengisi USia imamat dan panggilannya dengan karya-karyanya yang berguna bagi diri, bagi manusia, bagi bangsa dunia dan Gereja Sejagat.



1.2. Santo Josef Freinademetz (JF)

1.2.1. Dari Imam Projo Menjadi SVD

JF ini menjadi imam projo selama 3 tahun. Tahun keempat dia masuk SVD dan dipersiapkan di Steyl kemudian pada tahun kelima imamatnya dia menjadi misionaris di CHINA tanpa sekalipun cuti ke kampunghalamannya. Dia menjadi misionaris di China selama 19 tahun, belajar bahasa China, budaya china sampai dia mati dan dia katakan bahwa sampai di Surga pun saya mau tetap menjadi orang China.

1.2.2. Misi Kontekstual

JF bermisi bukan membawa Kristus yang sudah diformat oleh budaya Eropa. JF bersama orang China berjalan bersama mengikuti Jejak Allah yang berjalan di China. Dia bersama umat berjalan di atas Jalan Tuhan mengikuti Tuhan yang diimani.




II. RENEW


2.1. AJ dan JF hidup hanya sekali. Mereka telah membuat hidupnya bermakna dengan melakukan hal-hal yang luar biasa yang berguna bagi dirnya, gereja dan kita semuanya. Gunanya itu kita rasakan dan alami saat ini menjadi anggota SVD yang sedang berjalan bersama mengikuti Jejak Allah. Kita kerja Sama berjalan bersama menuju cita yang terpusat pada KERAJAAN ALLAH. Kita juga hanya hidp sekali. Kita belajar dari AJ dan JF yang telah mengisi usia imamat dan panggilannya dengan karya-karya monumental bagi pembaruan dunia dalam Allah. Kita melakukan satu karya kecil-kecilan saja. Saya bermimpi mengabadikan nama saya dengan Hasil Karya perdana adalah buku KEMBALI KE AKAR. Pastor tidak punya isteri. Pastor tidak punya anak. Pastor dapat dikenang hanya lewat KARYA TULISNYA SAJA. Makna hidupku ada dalam KARYA KU " KEMBALI KE AKAR".... Dalam rentang waktu hidup yang begitu singkat AJ dan JF mengisi usia imamat dengan baik sebagai satu ungkapan syukur sekaligus penghargaan terhadap hiup yang diberi ALLAH DAN MILIK ALLAH. Allah beri modal hidup maka AJ dan JF telah melipatgandakannya. KITA, SAYA, ANDA.... ?


2.2. Beberapa bulan yang lalu, tepat Hari Sabtu 8 November 2008 Malam sesudah ibadat malam, Komunitas SOVERDI SURABAYA menonton bersama pada layar lebar di Pendopo WAS FILM " THE MISSION". Ada pesan terakhir yang sangat menarik saya setelah menonton FILM itu adalah Misionaris perintis telah tiada. generasa penerus tetap ada. Misi ada dalam tangan generasi muda, generasi penerus. Dalam konteks Centenial, kita melihat AJ dan JF telah tiada, tetapi karya-karya monumental tetap ada dan tetap hidup. Mereka meninggalkan tongkat misi kepada kita dan kita lah kini melanjutkan dan membawa tongkat misi Kerajaan Allah kepada segala Suku Bangsa di dunia.


2.3. Misionaris Perintis Telah Mati. Misi Tetap hidup. Inti pesan FILM " THE MISSION". Dalam konteks centenial, Para pendiri dan perintis SVD, SSpS, SSpSAP telah tiada, generasi pengganti bertumbuh dan terus bertambah. Misi Allah adalah misi AJ dan JF dan misi kita dan misi generasi penerus.


2.4. AJ dan JF telah bekerjasama dalam mewartakan Kerajaan Allah kepada segala bangsa Kafir. AJ adalah pemikir. JF adalah petugas pastoral. Perbedaan kemampuan dan talenta membuat mereka saling melengkapi dalam mencapai visi yang satu dan sama yaitu KERAAJAAN ALLAH BERTAHKTA DI ATAS BUMI INI.



***********S E M O G A *****

Senin, November 24, 2008

EN GUA DALAM KATA SAKTI

EN GUA, arti denotataifnya adalah asal-usul manusia. EN GUA SUKU BUNAK berarti asal Usul Manusia Suku Bunak. Kata Sakti ini didaraskan seperti mendaraskan mazmur dengan birama yang tertaur dan tetap. Pemdarasan itu harus dalam sebuah penghayatan yang dan keterlibatan perasaan dan hati dalam pendarasan itu. Kekuatan sakti semakin lama-semakain dirasakan bahkan bulu kuduk pun merinding karena kata-kata sakti dengan birama tetap dan tekanan selalau jatuh pada suku kata kedua kata terkahir dalam kalimat sakti itu. Perasaan semakin merasakan pengasal hidup manusia suku Bunak itu hanya dapat dialamai dalam sebuah perasaan karena penghayatan yang sangat mendalam dalam mengucapakan atau mendaraskan kata-kata sakti itu.


Ingat atau bandingkan ketika menyanyikan lagu-lagu bahasa LATIN dalam sebuah Gereja. Walau tidak mengerti tetapi sanagt menyentuh perasaan kita. Perasaan iman akan yang mencipkana kita manusia akan dialami dalam LAGU BAHASA LATIN, misanya misanya requiem.

BABA = NAI = PAMAN = OM

OM atau BABA ini memiliki pengaruhnya yang sungguh luar biasa.
Kehadiran mereka menentukan roda perjalanan kehidupan manusia suku Bunak.
Kualitas dan wibawah BABA sungguh diharapkan oleh anggota suku agar para BABA dapat memberikan keputusan yang membawa kesejahteraan banyak orang dalam sukunya. BABA dan ketua suku sungguh-sungguh memiliki pengaruh yang besar dalam seluruh urusan adat SUku Bunak. Adat Lal Guju maupun adat LAL BELIS atau adat yang berhungan dengan semua perayaan adat yang membawa sukacita bagi para anggota sukunya.

MERASAKAN PERENIAL DALAM TEMPORAL ADAT RITUS "LOBOR HIN, BOTO, LESU ASU" SUKU BUNAQ AITOUN


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

  


Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. 

Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.

Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER  dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya. 

Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut. 

Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir  atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU. 

Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal. 

Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun. 

Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir  atau memindahkan kekuatan jahat yaitu LAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya. 

Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER  atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan LAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia. 

Kekuatan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu. 

Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa Suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalam fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan rumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. 

Hal ini terungkap dalam pemberian daging kepala babi kepada kekuatan jahat disertai kata mantra-mantra  sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU. 

Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif. 

Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelayanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunaq. Ritus adat ciptaan tradisi ini mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.  Temporal adat yang tampil di dalam fenomena yang diobservasi ini memiliki perenial adat yaitu isi, makna, utamanya konsep harmoni yang ada dibalik fisikal adat ini. 

Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya,  manusia, untuk menjadi pengikutnya, sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun.  LAL GUJU artinya ritus adat kenduri, ritus adat duka Suku Bunaq Aitoun. 

 Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Setiap orang tidak tahu nasib orang-orang yang sedang diperebutkan oleh dua kekuatan itu. Hanya satu hal yang pasti di antara sekian banyak kemungkinan yang bisa terjadi adalah bahwa: "jika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."

Dari ritus adat ini,  pembaca merasakan tiga cara berpikir Suku Bangsa Bunaq di dalam tiga bagan berikut. 








Tiga cara berpikir ini membentuk cara berperasaan dan cara berperilaku dalam diri setiap anggota Suku Bunaq Aitoun, dulu, kini, dan selamanya. 

Ketika suku Bunaq Aitoun hadir dalam ritus adat, orang-orang yang hadir itu secara benar-benar berpikir, berperasaan, beraksi secara utuh dalam lingkaran berpikir di atas, secara setara, seimbang, harmonis, sederajat, utuh, total, menyeluruh: relasi dengan Aku/diri sendiri, Anda/sesama, Alam Semesta, Arwah Leluhur, Supranatural/Allah. Suku Bunaq memiliki cara berpikir dalam lima relasi tersebut sekaligus dalam eksistensinya bersama yang lain, baik dalam ritus resmi maupun dalam hidup sehari-hari. 


Ini rasa cara  berpikir, berperasaan dan berperilaku suku Bunaq Aitoun yang terbuka untuk dilengkapi oleh setiap orang yang mau menjadi orang pertama dan utama "tenggelamkan diri dibaptis dalam sungai yordan adat suku Bunaq Aitoun, dan pada saat itulah terdengar dari langit Suku Bunaq Aitoun, inilah anak yang kukasihi, dengarkanlah dia. Itulah awal karya pelayanan antropolog di tanah Suku Bunaq Aitoun." 

Itu berarti seorang hebat yang datang ke Suku Bunaq Aitoun tapi yang rendah hati datang ke wilayah suku Bunaq Aitoun, merendahkan diri, belajar dari bawah-ke atas, agar hasil pelajarannya bertumbuh dari tanah bawah subur yang berakar dalam, bukan dari langit yang melayang-layang tidak menyentuh bumi Suku Bunaq Aitoun. 

Demikian sebuah pemaknaan cara berpikir Aloysius Pieris rasa Asia yang kemudian dimaknai dalam konteks teks ini yaitu dalam rasa cara berpikir Suku Bunaq Aitoun.  


Perenial Adat Abadi, Sang Supranatural yang menyatakan dirinya dalam temporal adat "lobor hin, lesu asu, boto."  LOBOR HIN artinya membongkar tenda. LESU ASU berarti menurunkan mahkota beserta semua perhiasan keagungan tenda dan menurunkan semua bunga keindahan di panggung tenda. BOTO artinya semuanya dibubarkan,  yang baik bergi melakukan yang baik di jalannya, yang negatif sudah kenyang  lewat ritus ini lulu pergi dengan perut yang kenyang ke tempat tinggalnya, tidak mengganggu lagi semua yang sedang berbuat baik di jalannya. Ritus di atas UMON ini juga Melahirkan tiga cara berpikir Suku Bunaq Aitoun  dan Fisikal Adat Ritus "Bula Ho'on" memproduksi Metafisikal konsep berpikir Suku Bunaq Aitoun. ***


Daftar Pustaka

A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..


Minggu, November 23, 2008

MALU-AIBA'A : 32 RUMAH SUKU DI AITOUN

Tiga puluh dua suku di Aitoun yang ada ini dari Sumber BEI THOMAS omnya Pak Linus Mali. Pada hari ini Minggu 23 November saya mendapat berita informasi via Telepone dari 20.00 - 21.30 WIB dari Guru Linus Mali dan Ama Gabriel Mali. Tiga puluh suku yang ada ini berasal dari tiga kelompok besar yaitu Suku-suku yang berasal dari Kelompok Luta Rato Jo Pata, dari Oburu - Marobo dan dari Ro Iku Ro Bulan.



I. Suku yang Berasal dari Luta Rato Jo Pata

1.1. Lianain Joil Bul
1.2. Uma Meran Bin Saka
1.3. Lianain Pur Gewen
1.4. Lianain Sutep
1.5. Lianain Kaluk
1.6. Lianain Boit
1.7. Laimea
1.8. Mot Alan
1.9. Monewalu
1.10. Mone Sogo
1.11. Hen Lulik


II. Suku yang dari Oburu-Marobo
2.1. Lela Bere Watan
2.2. Lela Bere Bese
2.3. Lela Bere Kaluk
2.4. Lela Bere Pur Bul
2.5. Lela Bere Aisal Bul
2.6. Lela Bere Delo Bul
2.7. Astalin Mot
2.8. Astalin Ai Huin
2.9. Astalin Pur Bul
2.10. Ho Kiik Deu Masak
2.11. Ho Kiik Deu Gol


III. Suku-suku Dari Ro Ikun - Ro Bulan

3.1. Dato Alin
3.2. Hukun Deu Masak
3.3. Hukun Deu Gol
3.4. Magil
3.5. Dato Mil Ailae ( JHONY KOI)
3.6. Dato Mil Monegulo
3.7. Si Gup
3.8. Dato Mil Bulot






EN GUA AITOUN MIL NO

Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..


Senin, November 03, 2008

BUKU KEMBALI KE AKAR











INILAH BUKU PERDANA Rm. Beny Mali, SVD
Kalau mau memesan silahkan kontak ke HP. 085230035090
atau e-mail : bbmesvede@yahoo.com
atau : soverdi@gmail.com

Minggu, Oktober 12, 2008

RAJA SUKU BUNAK

Seorang anggota suku bunak yang berada pada posisi OM memiliki peran yang sangat sentral. OM sinonim dengan kata NA'I artinya RAJA. Peran Raja ini dimainkan dalam urusan adat istiadat yang berlaku dalam suku Bunak. Suara OM sebagai Raja dalam urusan adat atau keputusan seorang raja begitu penting dalam hidup sosial suku Bunak.


Raja yang mempunyai pemikiran yang visioner bagi masa depan anggota suku maka Suku itu akan lebih berkembang maju ke depan. Sebaliknya ada OM yang selalu berpikir tradisonal ke belakang sehingga sulit berkembang dalam pendidikan, ekonomi dan bidang-bidang lain yang menunjang kehidupan anggota suku menuju kehidupan yang lebih sejahtera. ***

Rabu, September 10, 2008

Ada penghormatan terhadap perempuan di Timor

***OLEH : YAN KOLIBAU*****************




SEJAUH yang saya tangkap dari tulisan Kompas (23/12/2006), kedudukan perempuan dalam rumahtangga terkesan jadi sangat lemah terhadap suami dan bahkan keluarga suami, terlebih jika keluarga suami sudah memberikan mas kawin dalam ternak atau uang dalam jumlah besar.

Pernyataan ini benar, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian. Sebab di Timor, Nusa Tenggara Timur, setidaknya di kalangan etnik Tetun —yang merupakan etnik terbesar di seluruh pulau— dan etnik Bunak ada tiga jenis perkawinan, di luar kawin lari.
Pertama, lelaki dan perempuan menikah, tetapi masing-masing tetap menjadi warga suku rumahnya (clan), untuk itu lelaki memberikan mas kawin menurut strata sosial dalam masyarakat dan sudah baku. Pada jenis perkawinan ini anak-anak umumnya mengikuti clan ibunya. Kedua, lelaki dan perempuan menikah tetapi lelaki tidak memberi mas kawin kepada pihak perempuan. Maka lelaki itu menjadi warga suku rumah perempuan berikut semua anak dan harta bendanya. Ketiga, lelaki membayar mas kawin sangat banyak dan perempuan beserta anak dan harta bendanya menjadi ’milik’ suku rumah lelaki.

Dari pengalaman tampaknya pada jenis perkawinan yang terakhir justru perempuan sangat dihormati. Mereka diterima warga suku rumah lelaki sebagai ’penguasa’ suku rumah (clan). Sebutan yang diberikan kepada perempuan yang berpindah ke suku rumah lelaki adalah ”uma nain” dalam bahasa Tetun yang artinya tuan rumah, pemilik, penguasa, dan dalam bahasa Bunak disebut ”deu gomo” yang artinya ”pemilik suku rumah, peguasa suku rumah”. Pertengkaran, bahkan perkelahian tentu saja dapat terjadi dan dalam jenis perkawinan yang mana saja, tetapi tidak pernah ada tradisi dalam kedua etnik itu untuk memperlakukan perempuan sesuka hati lelaki.

Persoalan bagi saya adalah, mungkinkah para peneliti atau yang terlibat dalam diskusi di mana saja termasuk di Kompas merasa kedudukan perempuan sangat rendah dalam rumah tangga karena penggunaan beberapa istilah, seperti ”feto folin” untuk etnik Tetun yang artinya "harga perempuan” atau ”pana gitin” dalam bahasa Bunak yang berarti ’harga perempuan’??

Sepanjang masih diingat oleh para tetua adat ketika saya mewawancarai lebih dari 200 orang dalam kurun waktu dua tahun, awal mula penentuan mas kawin sangatlah menarik. Dikisahkan dalam syair adat bahwa seorang perjaka yang menginginkan seorang gadis akan datang pada saat pesta adat (panen jagung, padi, tanaman komoditi, dsb.), berkalung taring babi hutan, mengikat tanduk rusa atau kerbau pada destar (ikat kepala lelaki) di kepala. Atau berkalung kulit penyu yang hidup di laut. Sementara itu perempuan akan mengenakan kain tenun yang indah terbuat dari benang yang dipintal sendiri dari kapas dan diwarna dengan ramuan lokal. Tata rias ini melambangkan bahwa lelaki telah mampu berburu, melaut, berkebun, dan perempuan sudah mampu memintal benang dan menenun sebagai tanda kedewasaan fisik dan kematangan sosial.

Selanjutnya ketika keluarga lelaki ingin anaknya menikahi anak gadis, mereka harus membawa serta bukti kedewasaan lelaki itu antara lain berupa tanduk kerbau liar, rusa, kulit penyu atau taring babui hutan, dan keluarga perempuan akan menyambutnya atau mengalungkan dengan kain hasil tenunan terindah anak gadisnya. Inilah mas kawin dahulu kala, entah sampai abad ke berapa.

Kemudian, ketika bangsa Portugis datang memperkenalkan barang asing termasuk mata uang, mas kawin mulai digantikan dengan uang ’escudo’, muti (sejenis kalung), emas, dan perak. Sekarang mas kawin sudah dalam bentuk rupiah. Pihak perempuan membalasnya bukan dengan kain tenun tapi stelan jas dan dasi, atau kemeja batik, sutera India, dsb. Bukan tidak mungkin suatu saat mas kawin diganti dengan dollar AS atau rumah mewah gaya Perancis, sertifikat deposito, dan perempuan entah akan membalasnya dengan apa —mungkin sertifikat tanah atau ijazah menjahit, memasak, ijazah sekolah mode, atau bentuk-bentuk canggih lainnya.**

Ada penghormatan terhadap perempuan di Timor

YAN KOLIBAU



SEJAUH yang saya tangkap dari tulisan Kompas (23/12/2006), kedudukan perempuan dalam rumahtangga terkesan jadi sangat lemah terhadap suami dan bahkan keluarga suami, terlebih jika keluarga suami sudah memberikan mas kawin dalam ternak atau uang dalam jumlah besar.

Pernyataan ini benar, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian. Sebab di Timor, Nusa Tenggara Timur, setidaknya di kalangan etnik Tetun —yang merupakan etnik terbesar di seluruh pulau— dan etnik Bunak ada tiga jenis perkawinan, di luar kawin lari.
Pertama, lelaki dan perempuan menikah, tetapi masing-masing tetap menjadi warga suku rumahnya (clan), untuk itu lelaki memberikan mas kawin menurut strata sosial dalam masyarakat dan sudah baku. Pada jenis perkawinan ini anak-anak umumnya mengikuti clan ibunya. Kedua, lelaki dan perempuan menikah tetapi lelaki tidak memberi mas kawin kepada pihak perempuan. Maka lelaki itu menjadi warga suku rumah perempuan berikut semua anak dan harta bendanya. Ketiga, lelaki membayar mas kawin sangat banyak dan perempuan beserta anak dan harta bendanya menjadi ’milik’ suku rumah lelaki.

Dari pengalaman tampaknya pada jenis perkawinan yang terakhir justru perempuan sangat dihormati. Mereka diterima warga suku rumah lelaki sebagai ’penguasa’ suku rumah (clan). Sebutan yang diberikan kepada perempuan yang berpindah ke suku rumah lelaki adalah ”uma nain” dalam bahasa Tetun yang artinya tuan rumah, pemilik, penguasa, dan dalam bahasa Bunak disebut ”deu gomo” yang artinya ”pemilik suku rumah, peguasa suku rumah”. Pertengkaran, bahkan perkelahian tentu saja dapat terjadi dan dalam jenis perkawinan yang mana saja, tetapi tidak pernah ada tradisi dalam kedua etnik itu untuk memperlakukan perempuan sesuka hati lelaki.

Persoalan bagi saya adalah, mungkinkah para peneliti atau yang terlibat dalam diskusi di mana saja termasuk di Kompas merasa kedudukan perempuan sangat rendah dalam rumah tangga karena penggunaan beberapa istilah, seperti ”feto folin” untuk etnik Tetun yang artinya "harga perempuan” atau ”pana gitin” dalam bahasa Bunak yang berarti ’harga perempuan’??

Sepanjang masih diingat oleh para tetua adat ketika saya mewawancarai lebih dari 200 orang dalam kurun waktu dua tahun, awal mula penentuan mas kawin sangatlah menarik. Dikisahkan dalam syair adat bahwa seorang perjaka yang menginginkan seorang gadis akan datang pada saat pesta adat (panen jagung, padi, tanaman komoditi, dsb.), berkalung taring babi hutan, mengikat tanduk rusa atau kerbau pada destar (ikat kepala lelaki) di kepala. Atau berkalung kulit penyu yang hidup di laut. Sementara itu perempuan akan mengenakan kain tenun yang indah terbuat dari benang yang dipintal sendiri dari kapas dan diwarna dengan ramuan lokal. Tata rias ini melambangkan bahwa lelaki telah mampu berburu, melaut, berkebun, dan perempuan sudah mampu memintal benang dan menenun sebagai tanda kedewasaan fisik dan kematangan sosial.

Selanjutnya ketika keluarga lelaki ingin anaknya menikahi anak gadis, mereka harus membawa serta bukti kedewasaan lelaki itu antara lain berupa tanduk kerbau liar, rusa, kulit penyu atau taring babui hutan, dan keluarga perempuan akan menyambutnya atau mengalungkan dengan kain hasil tenunan terindah anak gadisnya. Inilah mas kawin dahulu kala, entah sampai abad ke berapa.

Kemudian, ketika bangsa Portugis datang memperkenalkan barang asing termasuk mata uang, mas kawin mulai digantikan dengan uang ’escudo’, muti (sejenis kalung), emas, dan perak. Sekarang mas kawin sudah dalam bentuk rupiah. Pihak perempuan membalasnya bukan dengan kain tenun tapi stelan jas dan dasi, atau kemeja batik, sutera India, dsb. Bukan tidak mungkin suatu saat mas kawin diganti dengan dollar AS atau rumah mewah gaya Perancis, sertifikat deposito, dan perempuan entah akan membalasnya dengan apa —mungkin sertifikat tanah atau ijazah menjahit, memasak, ijazah sekolah mode, atau bentuk-bentuk canggih lainnya.**

Jumat, Agustus 22, 2008

BUNAQESE PHILOSOPHY

The Bunaqese is one of the tribes in Timor island, East of Indonesia. Like other tribes in Timor, the Bunaqese maintain a philosophy of life. This philosophy is based upon two inseparable notions, namely, the understanding of the Highest Holy and the cultural-religious rites. For the Bunaqese, the Highest Holy is called “Hot Essen”. The name of “Hot Essen” is believed as the source of the good things, truth and beauty. In the Bunaqese way of thinking, the goodness, truth and beauty of “Hot Essen” are revealed to human beings particularly to the tribal leaders called “Lal Gomo”. “Lal Gomo” have a special resposibility. They are responsible to translate the goodnees, truth and beauty of “Hot Essen” into tribal religious rites. Members of the tribe are obliged to follow these rites for their living benefits. Only by following these rites, members of the tribe would find ways of receiving the blessings of the Eternal Source, that is, “Hot Essen”. How are the religious rites conducted? Cultural rites of the Bunaqese can only be performed by the tribal leaders in a community since these rites are basically communal rites. Therefore there is no personal ritual performance. The communal performance of the Bunaqese rites symbolises the social relationship between members of the tribe and “Hot Essen” and within the tribal community itself. In fact this social relationship with “Hot Essen” and among members of the community is the foundation of the Bunaqese life.

Senin, Agustus 04, 2008

HIDUP, MATI, MASUK SURGA berbasis Ideologi "Malu-Aiba'a" Suku Bunaq



*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Di antara begitu banyak tulisan yang ada, hanya ada satu tulisan yang paling baik yaitu sebuah tulisan yang berawal dari sebuah pertanyaan atau persoalan universal dan tulisan itu sendiri mencoba menjawabi persoalan itu secara sederhana dalam konteks yang sangat spesifik. 

Persoalan mendasar yang dimaksud adalah ini. Mengapa sebuah ideologi sebuah suku bangsa, misalnya secara spesifik, sebuah ideologi Malu Aiba'a Suku Bunaq masih tetap hidup aktual sepanjang zaman hingga generasi milenial dewasa ini? 

Sebuah ideologi suku bangsa selalu hidup di dalam orang-orang sebangsa yang menganutnya karena ada perayaan ritual-ritus-praktek spiritual terhadap Ideologinya secara unik berkelanjutan secara teratur, dan dari perayaan ritual-ritus-praktek spiritual terhadap ideologinya itu dapat memproduksi nilai-nilai universal mencakup nilai-fisikal-metafisikal, nilai psikologis, nilai sosial, nilai spiritual bagi penganutnya, serta nilai-nilai itu bermanfaat dalam mengemudi budi-rasa- aksi anggota atau pemilik ideologi itu. Selama selalu ada asas manfaat dari ideologi itu bagi pemiliknya, maka pasti ideologi itu berumur panjang sepanjang zaman mengikat erat kesetiaan penganutnya.

Demikian juga ideologi Malu-Aiba'a Suku Bangsa Bunaq seperti tertera dalam bagan hijauh di atas. Pertanyaan fundamental mengapa ideologi Malu Aiba'a selalu aktual bagi pemiliknya sampai generasi milenial pada hari ini, dapat penulis deskripsikan jawaban atas pertanyaan di atas di dalam tiga bagian penting yang mengandung Ideologi Malu-Aiba'a Suku Bunaq yang selalu mengalir dalam darah pemiliknya sejak dari kelahiran sampai pemiliknya masuk ke dalam surga. Tiga point penting itu adalah (I). Hidup Beradat dalam Ideologi  Malu Aiba'a. (II). Mati Beradat dalam Ideologi  Malu Aiba'a. (III). Masuk "Surga" beradat dalam Ideologi  Malu Aiba'a

I. Hidup Beradat dalam Ideologi  Malu-Aiba'a.

1.1. Mengandung

Manusia berasal dari sebuah keluarga. Kelahiran searang manusia berasal dari hasil pertemuan sel telur Ibu dan sel sperma ayah sebagai titik awal kehidupan. Pembuahan natural itu berlangsung di dalam rahim ibu selama kurang lebih sembilan bulan. 

Secara budaya,  Ibu dan bayi berada dalam lingkungan sosial budayanya. Bayi dan ibu berada dan hidup di dalam kandungan budayanya. Konteks budaya yang dimaksud adalah hidup beradat dalam frame beradat berbasis relasi beradat Malu-Aiba'a. 
 
Selama mengandung bayi seorang ibu sedang berada dalam dua hal yang  adat Suku Bunaq gariskan. Pertama, sejak awal di dalam rahim, bayi harus diselamatkan oleh ibunya secara personal maupun  secara sosial oleh ayah bersama seluruh anggota keluarga dan seluruh anggota rumah suku, dan seluruh  masyarakat suku Bunaq Aitoun.

Hal ini sangat penting karena bayi dan ibu adalah penerus keturunan suku Bunaq Aitoun.  Ibu dan keluarga serta masyarakat pada umumnya memberikan energi positif kepada bayi yang sedang dikandung Ibu. Sangat dibutuhkan sebuah dukungan yang luarbiasa kepada bayi secara psikologis maupun secara sosial serta secara spiritual. 

Semakin banyak energi positif dari lingkungan sekitar atau lingkungan eksternal yang diterima bayi maka bayi secara nyaman dibentuk di dalam suasana energi positif. Sebaliknya energi negatif yang lebih banyak dari lingkungan eksternal yang diterima bayi maka dengan sendirinya bayi memiliki peluang akan dibentuk dalam formasi energi negatif. 

Ada banyak penelitian ilmiah yang menyatakan tentang dampak energi negatif dan positif dari lingkungan luar terhadap sebuah obyek yang sedang diteliti. Misalnya seorang peneliti menyediakan tiga buah kotak terpisah, kotak A, Kotak B, Kotak C.  Masing-masing kotak itu diisi nasi putih yang yang sama. Tetapi setiap kotak itu diberi perhatian yang berbeda-beda oleh manusia. 

Wadah A dibiarkan tanpa diberikan apa-apa oleh manusia sepanjang lamanya waktu penelitian yang ditentukan. Dengan kata lain wadah A disimpan begitu saja, manusia tidak beri energi negatif atau positif.   Hasilnya, nasi itu rusak atau basi secara natural. 

Wadah B diberi benci-kebencian yang bertubi-tubi oleh kelompok manusia yang betul-betul membenci nasi putih itu dan setiap saat kelompok manusia pembenci ini mengatakan benci pada wadah B yang berisi nasi itu selama masa maktu penelitian yang ditentukan peneliti. Hasilnya, nasi putih itu akan lebih cepat rusak, basi, berwarna hitam sangat dominan, dan sangat berbauh amis. 

Wadah C. Kelompok manusia yang senantiasa mencintai nasi putih di wadah C selama waktu penelitian.  Kelompok manusia yang selalu setia mencintai nasi putih di wadah itu dari waktu ke waktu selama waktu proses penelitian yang peneliti tentukan.  Hasilnya nasi itu tetap awet seperti semula dan harumnya tetap harum wangi membangkitkan selera makan.

Penelitian ilmiah ini membuktikan bahwa energi positif yang bayi terima akan membentuk dirinya secara positif. Sebaliknya jika bayi lebih banyak menerima energi negatif dari lingkungan luar maka bayi akan memiliki peluang yang lebih luas dapat dibentuk oleh energi negatif. Sementara bayi yang dibiarkan hidup tanpa diberi energi positif dan negatif, akan hidup secara netral natural.  

Dukungan terhadap bayi itu tidak seutuhnya menghentikan gangguan lain dari luar terhadap bayi.  Maka yang kedua adalah energi negatif dari kekuatan jahat dan kekuatan setan tetap mempunyai peluang untuk mengganggu bayi yang ada dalam kandungan ibu.

Ada keyakinan suku Bunaq bahwa kekuatan jahat itu ada dan perlu dihindari. Semua pihak berupaya menolak kekuatan jahat memberikan atau menyalurkan energi negatif yang dapat mengganggu kehidupan bayi di dalam rahim ibu.

Adat Suku Bunaq memberikan dua buah cara memindahkan atau mengusir atau menolak kekuatan energi negatif dari setan atau kekuatan jahat.

Pertama, ibu yang mengandung selalu menyimpan sebuah pisau atau paku bersama daun khusus namanya KAHAJON di dalam sebuah tas gendongnya yang diletakan di samping saat tidur atau selalu di samping kalau di dalam rumah atau berkunjung atau bertamu. Tas itu juga selalu dibawah jika keluar rumah untuk suatu kegiatan bersama atau untuk sebuah kunjungan. Paham ini muncul sebelum jaman besi, teristimewa setan sumber energi negatif yang diyakini hidup pada zaman sebelum zaman besi itu sangat takut pada kehadiran besi. 

Kedua,  Ibu saat sedang mengandung tidak diijinkan pergi keluar rumah jauh atau dekat pada jam 6 pagi dan sore dan pada jam 12 siang dan malam. Tentang waktu itu ada keyakinan bahwa pada jam-jam itu kekuatan kegelapan atau kekuatan setan sedang beraksi untuk mencari mangsa.  Dalam hal ini setan yang sedang beraksi pada saat itu dapat mengganggu bayi di dalam rahim ibu.

1. 2. Menjelang Kelahiran

Ibu memiliki tanda-tanda fisik atau biologis sebelum melahirkan. Dalam keadaan normal, tanda-tanda fisik atau biologis untuk melahirkan biasanya segera diikuti kelahiran sang bayi secara normal.

Tetapi ketika sudah melewati tanda-tanda fisik biologis seorang ibu tidak segera diikuti kelahiran sang bayi maka pengalaman itu dilihat sebagai sebuah keadaan abnornal.

Biasanya keluarga atau masyarakat sekitar yang sedang mendampingi ibu yang mengandung, menafsirkannya dengan kacamata adat Suku Bunaq Aitoun. Kacamata adat itu adalah adanya kemungkinan kekuatan jahat yang mengirim energi negatif yang mengganggu atau menghalangi ibu yang akan melahirkan.

Ini adalah persoalan dari perspektif suku Bunaq Aitoun. Kecerdasan LAL GOMO dapat menyelesaikan akar persoalan adat secara adat pula. Maka orang tua yang senior dalam urusan adat  atau yang disebut "LAL GOMO" mengambil daun sirih, kapur, pinang, yang sebelumnya didoakan di dalam rumah adat sumber kekuatan energi positif dari sang supranatural, roh alam yang baik dan roh leluhur yang baik, lalu material sirih, pinang dan kapur itu dimakan oleh tua adat, sambil mengucapkan mantra sakti untuk mengusir atau menolak atau memindahkan energi negatif kekuatan jahat dari dalam diri Ibu yang sedang mengandung, pindahkan roh jahat itu ke tempat kediaman roh jahat dari mana dia berasal atau di mana dia tinggal. Dan pada saat yang bersamaan juga LAL GOMO meminta kekuatan positif dari roh sang supranatural, roh alam dan roh leluhur untuk selalu menyertai ibu yang mengandung agar proses melahirkan bayi secara lancar dan normal sehat lahir dan bathin.

Setelah itu "LAL GOMO" memberkati ibu yang mengandung  pada dahinya berupa tanda salib dengan ampas merah dari kunyahan sirih-pinang-kapur tersebut. Berkat dari LAL GOMO ini merupakan sebuah dukungan spiritual bagi Ibu yang mengandung untuk melahirkan dengan baik. 

Setelah itu Rumah Suku Malu yang hadir di dekat itu menggunakan material siri, pinang, kapur, yang telah didoakan dan mohon restu dari para leluhur Malu dengan Aiba'a dari Ibu dan bayi, lalu mengunya daun siri, pinang, kapur, lalu berdoa mohon berkat dari luluhur  Malu-Aiba'a bagi ibu dan bayi sambil meniup ubun-ubun dan kedua ujung jari-jari tangan dari ibu yang sedang berjuang untuk melahirkan bayi. 

Pengalaman akan ritus adat bagi Ibu menjelang kelahiran ini sudah terjadi pada banyak ibu yang awalnya mengalami kesulitan untuk melahirkan dan berkat ritus adat ini telah membuahkan hasil yang sangat positif  bagi ibu dan bayi.

1.3. Sesudah Melahirkan

1.3.1. Symbol Tangisan Pertama Sang Bayi

Tangisan pertama bayi memiliki banyak pesan. Di antara sekian banyak pesan, hanya ada satu pesan bahwa anak itu lapar dan meminta makanan yang sudah terpisah dari ibunya dibandingkan dengan ketika masih ada di dalam rahim ibunya langsung mendapat makanan lewat plasenta.

Ibu tentu langsung memberikan makanan paling bergisi yaitu ASI (Air Susu Ibu) kepada sang bayi. Ada bayi yang langsung diam minum ASI. Tetapi ada bayi yang hanya terus menangis sambil menolak minum ASI. Dalam perspektif adat, mengobservasinya sebagai sebuah keanehan dan sekaligus sebagai sebuah persoalan.

Dari perspektif adat, bayi akan terus menangis setelah memberi ASI bahkan menolak untuk meminum ASI itu bukan sekedar meminta makanan karena kelaparan. Tetapi bayi meminta nama yang tepat pada ibunya dan semua yang sedang mendampingi atau berada di sekitar ibu di dalam ruang atau kamar atau bilik ibu dan bayinya. Bayi menangis dan tidak mau minum ASI karena orang tua belum memberikan namanya dari nama seorang leluhur sebagai identitas dirinya di dalam rumah suku ibunya dalam sistem kekerabatan matrilineal suku Bunaq Aitoun.

Bayi lahir dari sintesis darah ayah dan ibu. Bayi yang meminta nama tercipta dari darah ayah dan ibu sekaligus. Darah bayi adalah darah sintesis ayah ibu sekaligus. Darah anak ini kemudian akan siap menjadi pembentuk darah sintesis baru ketika bayi ini besar dewasa dan menikah dan memiliki anak dari hasil pernikahan sahnya secara sosial adat suku Bunaq.

Karena darah bayi ini adalah darah sintesis maka permintaan nama lewat cara menangis dan tidak minum ASI tetap membuka peluang bagi kemungkinan nama yang akan diberikannya secara final, bisa datang dari garis keturunan ayah, bisa juga datang dari garis keturunan ibu dalam sistem kekerabatan Matrilineal Suku Bunaq Aitoun.

Selama bayi terus menangis dan tidak mau minum ASI maka semua nama leluhur dari bapanya atau ibunya akan disebut dan dikenakan pada sang bayi.  Bayi dibaptis dengan penenggelamannya ke dalam "yordan nama leluhur ayah dan ibu" sampai menemukan sebuah nama yang tepat pada bayi. Hal itu ditandai dengan berhentinya menangis dan segera meminum ASI dalam ketenangan dan kedamaiannya. Damai di dalam rahim ibu, damai di atas alam bumi dan damai di dalam rahim sosial keluarga ayah-ibu, serta damai di dalam menikmati hidup dalam sistem kekerabatan mateilineal Suku Bunaq Aitoun.

Rasa damai ini bukan sekedar setelah pemberian nama di saat itu. Orang-tua dan keluarga besar ayah dan ibu setia mengobservasi bayi sepanjang hidupnya sampai lepas minum ASI bahkan sampai masa anak-anak menjelang masuk sekolah.

Kalau bayi itu selalu sehat dan rasa damainya tetap tumbuh dan berkembang positif maka itu berarti namanya itu tepat dan itu menjadi nama perenial dalam hidupnya secara pribadi sebagai anggota rumah suku.

Nama itu perenial karena nama yang sama dari leluhur yang sama akan dikenakan pada nama generasi kelahiran berikutnya dalam kelanjutan cerita adat tentang nama dalam rumah suku sepanjang masa.

Tetapi nama itu bisa jadi sebuah nama temporal. Jika dalam observasi orang tua dan keluarga dalam suku rumah dalam suatu waktu yang cukup lama, ada tanda-tanda negatif tampak terganggu kesehatannya, maka peran tua adat atau LAL GOMO membuat ritus di dalam rumah suku dengan memohon pada, roh metafisik yang positif,  roh semesta alam yang baik, roh leluhur yang baik, untuk memberikan petunjuk baru dalam memberikan nama yang tepat pada bayi tersebut. Pada umumnya ritus ini dilakukan setelah pihak kesehatan memeriksa pihak yang sakit tetapi tidak menemukan penyakit secara medis. 

Cara ini ditemukan lewat sebuah kerja sama yang baik antara TUA ADAT dengan DUKUN SENIOR yang sudah berpengalaman mencari dan menemukan petunjuk dari Roh Metafisik Positif, Roh Alam Semesta Positif dan Roh Leluhur Positif dalam ketepatan pemberian nama leluhur pada bayi tersebut. Tandanya bahwa nama bayi itu tepat adalah hidupnya lebih baik daripada sebelum mengganti namanya.

Dengan demikian nama yang diberikan menjadi nama leluhur yang terus hidup di dalam darah sumber kehidupannya. Nama adalah hidup itu sendiri. Nama leluhur melekat pada bayi tersebut berarti roh leluhur itu hidup di dalam roh namanya. Nama bayi dari nama leluhur itu benar-benar mengabadikan nama leluhur dalam rumah suku sepanjang masa. Karena setiap generasi yang kemudian terlahir pasti salah satunya meneruskan nama tersebut.

Namanya secara adat terdiri dari nama leluhur dan nama sesuai urutan kelahiran anak pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam.

Anak pertama laki disebut APA'. Kalau nama leluhurnya Mali Bere. Berarti nama lengkapnya adalah APA' Mali Bere. Anak pertama perempuan disebut AIBA'. Kalau nama leluhurnya Lawa Koi. Maka nama adat lengkapnya AIBA' Lawa Koi.

Anak kedua laki atau perempuan disebut POU. Kalau untuk anak kedua laki-laki nama leluhurnya Mau Taek, maka nama lengkapnya adalah POU MAU TAEK. Kalau untuk anak kedua perempuan nama leluhurnya DAU BERE maka nama lengkapnya POU DAU BERE.

Anak ketiga laki atau perempuan disebut UJU. Kalau anak laki nama leluhurnya MALI LIKU maka nama lengkapnya UJU MALI LIKU. Kalau anak perempuan nama leluhurnya BUI MALI maka nama lengkapnya UJU BUI MALI.

Anak keempat laki atau perempuan disebut UKA. Kalau anak laki nama leluhurnya MALI LIKU maka nama lengkapnya UKA MALI LIKU. Kalau anak perempuan nama leluhurnya BUI MALI maka nama lengkapnya UKA BUI MALI.

Anak kelima laki atau perempuan disebut BUAQ. Kalau anak laki nama leluhurnya MALI LIKU maka nama lengkapnya BUAQ MALI LIKU. Kalau anak perempuan nama leluhurnya BUI MALI maka nama lengkapnya BUAQ BUI MALI.

Anak keenam laki atau perempuan disebut GULO. Kalau anak laki nama leluhurnya MALI LIKU maka nama lengkapnya GULO MALI LIKU. Kalau anak perempuan nama leluhurnya BUI MALI maka nama lengkapnya GULO BUI MALI.

Kalau masih ada anak ketujuh maka kembali ke nama anak pertama ditambah dengan nama leluhur. Anak kedelapan kembali ke nama anak kedua ditambah nama leluhur. Demikian anak ketiga dan seterusnya.

1.3.2. Menyimpan Plasenta bayi

Plansenta adalah organ yang menempel pada dinding rahim selama kehamilan dan berfungsi memasok darah yang mengandung oksigen serta nutrisi dari ibu ke janin.

Setelah kelahiran, plasenta yang disebut juga ari-ari bayi ini dipotong. Sisa hasil potongan tali pusarnya  yang disebut ari-arinya itu ditempatkan pada tempatnya sesuai ritus adat tertentu menurut panduan TUA ADAT atau LAL GOMO yang sudah berpengalaman memimpin dan memberi petunjuk untuk menempatkan ari-ari sesuai tradisi Suku Bunaq. Dewasa ini sisa hasil potongan ari-ari itu dikuburkan.

Sebelum dikubur ari-ari itu dicuci terlebih dahulu sampai bersih semua darah yang menempel pada ari-ari tersebut. Cuci di air mengalir agar semuanya bersih secara utuh tuntas.

Lalu siap kain putih, garam kasar kalau sudah memulai membusuk. Beri perasan jeruk nipis untuk menghilangkan bauhnya.

Lalu diikat dengan kain putih. Ikat kuat. Lalu letakan di dalam kendi. Pastikan tanah tempat untuk hendak mengubur ari-ari cukup lembab dan mudah untuk dicangkul. Dalamnya sekitar setengah meter. Menaruh ari-ari di dalamnya dengan tutupan tanah yang rapat. Agar hewan liar tidak mencium bauh ari-ari dan menggalinya. Bila perlu, diletakkan batu besar di atasnya agar hewan liar tidak menggalinya.

Saat penguburan, TUA ADAT atau LAL GOMO mengucapkan mantra sakti kepada Roh Supranatural positif, Roh Alam Semesta Positif, Roh Leluhur Positif agar bayi selalu diberkati dan diberikan kesehatan lahir dan bathin sepanjang hidup sang bayi.

Keluarga Suku Bunaq memilih tempat menanam Ari-Ari ini di pekarangan halaman rumah. Agar keluarga selalu menyiram dengan air yang segar setiap pagi dan sore. Maknanya adalah agar bayi selalu bertumbuh subur dan segar sehat selalu.

Waktu tanam ari-ari biasanya dengan perlengkapan berupa buku pensil dan bolpoint dan dengan perlengkapan lainnya agar bayi ini kelak cerdas membaca dan menulis dalam meraih cita-citanya.

Selain itu Suku Bunaq Aitoun juga menyimpan potongan ari-ari bayi kurang lebih lima (5) senti meter dari ari-ari lalu disimpan di dalam wadah tertentu sampai kering sehingga tetap awet.  Ari-ari dalam wadah itu diberi nama agar tidak tertukar dengan anak yang lain, yang lahir kemudian atau lahir lebih dahulu. Ari-ari ini mempunyai khasiat yang luar biasa bagi bayi dan bagi semua anggota keluarga dan anggota rumah suku.

1.3.3. Ritus Adat Memilih Seorang Tokoh Menjadi Teladan bagi bayi

Kelahiran bayi diikuti oleh perawatan bayi dan ibu secara adat di ruangan khusus selama hingga  empat puluh hari sesudah kelahiran. Ruangan khusus perawatan bayi dan ibu itu dilengkapi dengan makanan, minuman dan perlengkapan lainnya bagi kesehatan ibu dan bayi.

Setelah empat puluh hari, bayi  dan ibu boleh diijinkan untuk keluar dari ruangan khusus itu ke ruangan publik. Ritus adat setelah empat puluh hari ini disebut "UKUR HOON"  artinya memilih tokoh teladan bagi bayi. Pemilihan ini berdasarkan kesepakatan keluarga besar ayahnya maupun ibunya sang bayi. Mereka pasti memiliki tokoh teladan yang terbaik bagi anaknya. Pesannya adalah agar bayi kelak melanjutkan semua yang terbaik dari tokoh teladannya.

Tokoh teladan tersebut biasanya memperagakan keunggulan dan ketrampilannya di depan bayi dan di depan publik dalam pesta adat syukuran setelah empat puluh hari kelahirannya. Lalu tokoh adat dan tokoh teladan dan seluruh hadirin memberkati bayi dan menyapa dan mengucap selamat dengan memberikan buah-buahan dan sayur-sayuran dan makanan serta minuman sebagai hadiah bagi sang bayi.

Hadiah sayur-sayuran serta buah-buahan itu biasanya diambil dari kebun DEU MALU yaitu rumah suku yang menjadi asal-asul dari ibu si bayi dalam adat Suku Bunaq. Dalam konteks ini bayi sebagai Aiba'a. Biasanya sebelum mengambil sayuran dan buah-buahan di kebun, disampaikan kepada pemiliknya tentang informasi tentang adat ritus UKUR HO'ON sang bayi. Pengambilan sayur - mayur ini adalah UOR SAIT A artinya makan sayur muda dalam adat ritus UKUR HO'ON bagi sang bayi. Di sini terdapat ideologi MALU-AIBA'A dalam hidup bayi. 

1.3.4. Cukur Rambut

Anak laki-laki dan anak perempuan setelah  acara UKUR HO'ON rambutnya dicukur. Rambut di bagian lingkaran ubun-ubun tidak dicukur sampai botak. Pencukur rambut adalah ketua rumah suku MALU atau seorang anggota Rumah Suku MALU. Rambut yang sudah dicukur disimpan dalam tempurung kelapa dan pohon pisang di kebun rumah Suku MALU. Pesannya adalah agar anak (AIBA'A) bertumbuh subur dan berkembang seperti Pohon Kelapa subur berbuah berlipat ganda bagi semua orang lintas batas dan Pohon Pisang subur berbuah limpah bagi semua orang lintas batas. 

Pohon kelapa memiliki batang pohon atau kayu yang bisa diolah untuk perlengkapan rumah atau batang atau tiangnya untuk menjadi bahan bangunan, dan peralatan perumahan dan kebutuhan bersama lainnya. Daun kelapa untuk atap, dinding, dan perhiasan ritus adat dan keagamaan, sebagai bahan pembuat ketupat untuk bekal perjalanan jauh atau rekreasi ke tempat jauh. Lidi dari daun kelapa dibuat sapu lidi  untuk membersihkan kotoran yang ada di dalam rumah dan di luar rumah penginapan. Sapu lidi adalah simbol pembersihan fisikal dan nonfisikal. Tempurung kelapa untuk diolah menjadi tempat minuman, sendok, garpu, dan perhiasan lainnya. Isi kelapa untuk makanan, obat-obatan, minyak kelapa murni, dan dapat diolah untuk buah-buahan dan makanan lainnya. Sabut kelapa untuk penyaring, alat pembuat perapian tradisional, bahan matras dan lain sebagainya. Pelepa kelapa untuk dinding dan kebutuhan lainnya.  

Pohon kelapa walaupun tinggi tetapi tetap menghasilkan bahan-bahan yang sangat bermanfaat bagi semua orang.  Meskipun ia sangat tinggi, daun dan buahnya akan jatuh pada waktunya untuk digunakan manusia sesuai kebutuhan manusia. 

Pohon pisang memiliki banyak manfaat. Batangnya untuk makanan ternak sapi dan babi dan kuda. Daunnya untuk makanan ternak sapi, kambing dan kuda serta babi. Batang pisang juga dapat diolah menjadi sayuran. Jantung pisang dijadikan sayuran yang enak dimakan. Buah pisang menjadi buah-buahan dan dapat diolah dengan berbagai cara dan model misalnya krupuk menjadi makanan bagi manusia. 

Anak-anak yang ayahnya adalah sebagai kepala para pahlawan perang tidak dicukur gundul tetapi dibiarkan bertumbuh panjang lalu diikat dengan ikat kepala yang disebut LESU atau DUBUL TIQ. Demikian juga anak ketua "DEU" atau kepala rumah suku dan para LAL GOMO tidak dicukur. Rambut mereka adalah kekuatan dan kewibawaan mereka. Fenomena rambut panjang tidak pernah dicukur gundul selama hidup, memiliki beraneka nomena dibaliknya untuk dicari dan ditemukan. Rambut adalah mahkota kekuatan dalam perang dan kewibawaan berbicara dan bertindak di depan publik.

1.3.5. Pendidikan Anak

Pada malam hari, dimana semua anggota "deu" (keluarga) sudah berada di rumah, sehabis bersantap malam bersama, ayah, ibu, paman, nenek, kakek memberikan nasihat atau penjelasan mengenai: tata cara pergaulan hidup bersama, segala macam suruhan dan larangan yang disebut "ukon o baru", dan tentang perbuatan baik dan jahat yang pasti akan dibalas setimpal (hukum karma). Setiap perbuatan baik dan benar dan jujur dan adil bagi orang lain maka akan diberikan oleh orang lain kepadanya sesuai dengan perbuatannya. Perbuatan baik dibalas dengan kebaikan. Perbuatan jahat dibalas dengan kejahatan. 

Pendidikan atau nasihat ini disebut "sulu kose, bogeq ili" artinya membersihkan atau mencuci senduk dan piring kayu. Makan bersama memiliki aspek pembinaan dan pementukan secara utuh dalam masyarakat suku Bunaq. Makanan fisik di sekeliling meja perjamuan keluarga, disempurnakan dalam makanan non-fisikal yang sangat mendalam dalam budaya suku Bunaq Aitoun.  Ini adalah sekolah keluarga setiap malam sesudah makan malam bersama. 

Menjelang waktu tidur, salah seorang anggota keluarga mengkisahkan ceritera dongeng yang disebut  "sapal gasasi" artinya mengkisahkan "sapal" yang banyak berisi ceritera tentang perbuatan baik yang harus dicontohi dan juga tentang hukum karma.

Pengisahan "sapal" pada umumnya dilakukan menjelang atau sementara musim tanam, agar panen dapat melimpah. Disamping itu anak-anak diajar atau disuruh menghafal dengan atau tanpa lagu berbagai macam pantun atau syair yang tidak ada arti. Sebuah pendidikan membangun imaginasi dari anak-anak dalam ceritera itu, dan hal itu memiliki pesan moral dan etis bagi setiap orang di dalam suku Bunaq Aitoun. 

Ceritera ini dilakukan oleh semua orang tanpa membedakan usia suku Bunaq karena pesannya universal lintas usia dan jenis kelamin. 

1.3.6. Masa Remaja. 

Anak laki-laki mulai berlatih dalam olahraga silat kampung. Gerakan-gerakan sesuai dengan gerakan arah angin dan gerakan binatang. Latihan ini ada tahapan-tahapannya. Tahapan latihan fisik memiliki puncaknya diberi kekuatan mistis magis oleh pelatih senior kepada setiap peserta yang telah lulus setiap tahapan latihan fisikal. 

Latihan fisik disempurnakan dengan kekuatan supranatural ini memiliki tata aturan bagi peserta latihan, termasuk, pantangan perbuatan dan kewajiban peserta dalam hidup personal dan hidup sosial bersama sesama di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. 

Intisarinya adalah latihan ini untuk kebaikan diri sendiri dan kebaikan sesama di dalam kehidupan bersama. Tekanan utama dari latihan ini adalah untuk mempertajam kedisiplinan diri, dan ketahanan fisik, ketenangan secara personal, dan tampil memberi teladan bagi sesama di dalam kehidupan bersama. Anak laki-laki tampil dewasa secara fisik-psikologis-sosial dan spiritual dalam kehidupan bersama. 

Remaja gadis mulai terlibat aktif di dalam keterampilan memasak yang baik didampingi kelompok masak trampil ibu-ibu pemasak.  Anak gadis juga mulai terlibat aktif dalam kelompok ibu-ibu trampil menenun kain adat sebagai bahan istimewa dalam seluruh adat kelahiran sampai kematian seorang anggota rumah dalam Suku Bunaq Aitoun. Selain itu anak-anak gadis memperdalam keterampilan memintal dan menganyam peralatan untuk kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan perlengkapan adat kelahiran, pernikahan, dan kematian, perlengkapan adat suku Bunaq lainnya. Anak perempuan gadis remaja yang telah terlatih hingga mandiri trampil memasak, menenun, memintal, menganyam dan keterampilan lainnya seorang perempuan, dapat dipandang dewasa dalam menjalani masa gadis remaja secara fisik, psikologis, sosial maupun secara spiritual.  Seorang anak gadis dan anak remaja yang sudah tampil dewasa berkenan untuk memasuki masa kehidupan berkeluarga beradat dalam ideologi Malu Aiba'a Suku Bunaq.

 1.3.7.  Multi Nilai Belis Gadis


Pernikahan seorang pemuda dan pemudi yang dewasa pantas memasuki pernikahan di dalam kehidupan beradat Suku Bunaq Aitoun. Laki-laki suku Bunaq menikah gadis suku Bunaq melewati proses berikut. Pertama adalah perkenalan awal, perkenalan resmi, dan mengantar belis anak gadis. Berapa jumlah belis gadis?  Pihak laki-laki dan pihak perempuan sudah melakukan ketentuan besarnya belis gadis pada pertemuan pertama sebagai perkenalan. Pertemuan kedua adalah pertemuan resmi pihak laki-laki mengantar besarnya belis yang telah disepakati pada pertemuan pertama. 

Belis gadis perawan suku Bunaq mahal bila dibandingkan dengan gadis suku lain yang lebih murah atau tidak memiliki belis. Harga belis atau mahar gadis suku Bunaq dewasa ini semuanya telah diuangkan atau dirupiahkan. Pada umumnya, belis gadis perawan suku Bunaq berkisar misalnya 50 sampai 80 Juta rupiah. Mahalnya belis gadis perawan berbangsa Suku Bunaq seperti itu, bukan suatu keputusan sepihak. Tetapi semahal apapun, belis gadis perawan suku Bunaq itu, diawali suatu dialog adat antara ketua rumah suku pihak bakal calon suami dengan pihak ketua rumah suku serta keluarga bakal calon isteri. Pembicaraan pasti berlangsung di rumah perempuan pada pertemuan pertama dan pertemuan kedua. Pertemuan pertama sebagai pertemuan perkenalan menyampaikan niat untuk menikah dengan gadis. Pertemuan kedua sudah resmi untuk menikah dengan anak gadis dan pada saat itulah keputusan final tentukan berapa jumlah belis anak gadis. 

Semacam ada dialog harga belis gadis perawan suku bunaq itu, sampai kedua belah pihak setuju pada penentuan final harga belis gadis perawan suku bangsa Bunaq yang akan hidup sebagai suami-isteri. Jika Dialog itu akhirnya tidak mencapai kata seia-sekata, maka pihak laki-laki akan membatalkan rencananya untuk menikahi gadis yang bakal menjadi isterinya itu. Tapi itu jarang terjadi karena sebelum itu mereka sudah memperhitungkan secara matang untuk menikah dengan anak gadis. 

Kalau kata seia-sekata antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan tentang besarnya jumlah belis gadis perawan suku Bunaq, maka bagaimana proses pembayaran belis gadis perawan suku Bunaq itu? Siapa-siapa yang membayar belis gadis perawan itu? 

Belis gadis perawan suku Bunaq, akan dibayar oleh seluruh anggota sesuku pemuda yang akan menikahi gadis tersebut. Bahkan, belis itu dibayar juga oleh teman-teman pemuda yang akan menikah, karena relasi, sahabat dekat, teman sekerja, walaupun bukan sesuku dengan pemuda yang akan menikah gadis itu. Bahkan juga yang ikut membayar belis gadis yang akan dinikahi pemuda itu, termasuk suku-suku yang menjadi asal-usul suku pemuda yang menikahi gadis itu.

Proses pembayaran belis gadis perawan suku Bunaq demikian. Misalnya kalau, total belis gadis perawan suku Bunaq yang telah disetujui setelah dialog antara ketua rumah suku laki-laki dengan  ketua rumah suku gadis perawan adalah 50 Juta Rupiah. Ketua rumah suku dari pihak laki-laki  pertama-tama melihat data daftar nama anggota rumah sukunya yang sudah berkeluarga. Jikalau anggota rumah suku yang sudah berkeluarga sebanyak 200 keluarga maka Rp. 50 juta belis gadis dibagi kepada 200 keluarga sama dengan Rp.250.000 setiap keluarga. Itu ketentuan resmi dari ketua rumah suku. 

Teman-teman dan sahabat dari laki-laki pun sudah pasti akan memberikan sumbangan kepada temannya yang akan membayar  belis gadis. Pihak laki-laki yang hendak menikah gadis menyiapkan makanan dan minuman bagi keluarga yang berkumpul untuk memberikan uang belis gadis. 

Ketua rumah suku secara tegas menetapkan bahwa setiap  pemuda yang akan menikah harus memiliki modal dasar Rp.10.000.000., di luar biaya makan minum bagi mereka yang berkumpul untuk memberikan uang untuk  belis anak gadis.

Melihat harga belis gadis perawan suku Bunaq yang demikian, proses pengumpulan uang yang demikian, maka sebetulnya, belis gadis perawan suku Bunaq tidak mahal. Karena proses pengumpulan itu, mencerminkan kekompakan anggota suku. Kerja sama anggota suku. Dalam sebuah perkawinan intern, perempuan suku Bunaq dengan laki-laki suku Bunaq sebetulnya belis itu tidak mahal.

Penulis melihat belis gadis perawan suku Bunaq bukan sebagai suatu beban. Tetapi Penulis melihat itu sebagai satu tanggungjawab pemuda yang akan menikah. Pemuda yang akan menikah, telah dinilai mampu untuk menjadi bapa atau ayah sekaligus sebagai suami yang dapat bertanggungjawab. Pemuda yang hendak menikah memiliki kehidupan ekonomi yang baik. Ia bertanggungjawab penuh pada isteri dan anak dan masa depan keluarga. Ia memiliki tanggungjawab adat dalam keluarga rumah suku isteri. Ia bertanggungjawab penuh dalam keluarga rumah sukunya. Ia bertanggungjawab terhadap semua orang yang mendukungnya dalam hidup berkeluarga. Ia memiliki tanggungjawab sosial yang sungguh sangat luar biasa.

Selain itu proses pembayaran belis gadis perawan suku Bunaq yang melibatkan seluruh anggota sesuku pemuda yang akan menikah, menunjukkan satu ikatan tanggungjawab moral si pemuda yang akan menikah, bahwa pemuda itu harus mencintai dan setia pada isterinya dalam suka maupun duka. Dalam situasi normal, tidak ada alasan si pemuda cerai dengan isterinya.

Pemuda yang akan menjadi suami itu harus mempertahankan kehidupan keluarganya itu dengan penuh tanggungjawab terhadap seluruh anggota sesuku.

Pemuda itu dinasihati ketua rumah suku, bahwa dia harus menjalankan tugas dan tanggungjawabnya kepada isteri dan anak-anaknya, sampai mati. Dia tidak boleh cerai dan meninggalkan anak-anaknya. Anggota suku pemuda itu hanya sekali membayar belis gadis yang telah dinikahinya. Kalau pemuda itu cerai dan hendak menikahi gadis yang lain, itu urusan pribadi, dan bahkan perkawinan itu tidak direstui oleh ketua rumah suku dengan seluruh anggota rumah sukunya.

Suami isteri harus setia satu sama lain sampai mati salah satunya. Mereka harus menjadi orang tua yang bertanggungjawab satu terhadap yang lain, dan terhadap anak-anak, serta setia pada tata aturan adat dari rumah suku isteri maupun dari rumah suku suami. 

Menjadi orang tua dalam suku Bunaq, secara adat, memiliki keterikatan oleh tanggungjawab dan kewajiban dalam kehidupan adat rumah suku Bangsa Bunaq. Kalau tidak terlibat aktif dalam adat maka akan dicap sebagai orang yang tidak tahu adat dalam lingkungan sosial Suku Bunaq Aitoun.  Orang yang tidak dewasa. Kata dewasa dalam bahasa bunaq "matas" artinya dewasa secara fisik, psikologis, sosial, spiritual. 

1.3.8. Kerja

1.3.8.1. Pengantar

Bekerja adalah hakekat manusia. Sebaliknya kemalasan menggugurkan derajatnya yang tinggi sebagai mahluk bekerja.  Orang bekerja untuk mendapatkan hasil yang baik dalam memenuhi kebutuhan hidup. kebutuhan itu meliputi kebutuhan primer dan sekunder. Kebutuhan pokok adalah makanan, pakaian, dan perumahan. Kebutuhan sekunder meliputi pendidikan, kesehatan, dan kemewahan lainnya. Untuk itu orang bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang baik, bukan kegagalan dalam bekerja. 

Di antara sekian banyak orang yang bekerja di dunia ini, petani adalah sebuah pekerjaan yang mulia. Petani bekerja menghasilkan padi, jagung, ubi-ubian dan buah-buahan serta sayur-sayuran bagi banyak orang. Petani bekerja di sawah, kebun, atau di ladang. 

1.3.8.2. Ritus  di Kebun

Pembersihan kebun adalah awal membuka pekerjaan sebagai petani. Lahan yang telah disiapkan akan ditanam dengan bibit unggul yang telah dipilih. Penanaman bibit unggul diawali dengan ritus adat di kebun, ladang, atau sawah.  

Ritus sebelum tanam ini dilaksanakan di atas mezbah terletak di tengah-tengah kebun. Mezbah ini dalam bahasa Bunaq disebut "UMON" atau "BOSOK".  Mezbah ini berupa susunan batu yang rapi kurang lebih satu meter tingginya, berbentuk bulat. Mezbah itu ada di setiap kebun sejak leluhur yang pertama kali mulai bekerja di kebun. 

Pada awal penanaman benih yang telah disiapkan untuk ditanam, benih itu disimpan di atas mezbah. Disimpan juga dalam wadah sirih, pinang, kapur, dan kurban binatang sesuai dengan intensi penggarap kebun. Binatang disembelih di atas mezbah, darahnya dipercikan di atas mezbah dan semua material yang ada di atas mezbah, sambil ucap mantra-mantra sakti oleh pemilik kebun atau tua adat yang sering juga disebut LAL GOMO.  

Intisari ritus sebelum tanam benih unggul ini ada dua bagian penting. Pertama, memohon kekuatan positif dari Roh Wujut Tertinggi, Roh Leluhur, Roh Alam untuk memberkati benih dan semua usaha dan pekerjaan dalam mengolah kebun. Ritus adat ini mengundang dan memberi makanan kepada roh positif agar senantiasa setia menyuburkan tanaman dan memberikan hasil yang berlimpah.  Kedua, memberikan makanan kepada roh negatif yang mengganggu atau menghalangi tanaman pertumbuhan tanaman. Kekuatan negatif itu diberi makanan lewat ritus dan mantra sakti agar roh negatif itu dengan perut yang sudah kenyang pergi ke tempat tinggalnya, dan jangan datang lagi mengganggu tanaman di kebun. 

Proses pemberian makanan kepada roh baik dan roh jahat lewat kurban binatang di atas mezbah di kebun. Mesbah ini ada di kebun sejak awal mula leluhur membuka lahan atau kebun tersebut. Dengan demikian kedua kekuatan positif dan negatif dapat beroperasi di wilayahnya masing-masing secara harmonis. Harmonis artinya kekuatan negatif berada pada jalurnya. Sedangkan kekuatan positif juga beroperasi di jalurnya. Keduanya tidak saling mengganggu satu terhadap yang lain. 

Binatang kurban yang digunakan dalam ritus itu dimasak untuk memberi makan kepada kekuatan positif dan negatif. Masakan yang terbaik dipersembahkan di atas mezbah dalam wadah bagian roh jahat maupun roh baik. Setelah doa atas makanan di atas mezbah itu, dalam waktu tertentu, lalu semua yang ada di kebun makan bersama. Persembahan yang terbaik di atas mezbah kepada roh positif dan negatif secara seimbang. Kedua roh itu merasa cukup makanan maka yakin bahwa keduanya beroperasi pada jalurnya masing-masing secara damai dan harmonis. Sebaliknya, kalau perut lapar dari kekuatan negatif maka kekuatan negatif itu dapat mengganggu kekuatan positif yang diharapkan menyuburkan tanaman di dalam kebun. 

Usai ritus di atas mezbah, penanaman dimulai. Pemasak mulai memasak untuk santapan siang dari hasil kurban binatang di atas mezbah. Pada ritus awal penanaman benih unggul ini pemilik kebun mengundang banyak penanam agar pada hari itu tanam benih di ladang dikerjakan secara tantas. Daging binatang kurban di mezbah, kalau tersisa maka akan dibagi kepada hadirin untuk dibawah ke rumahnya masing-masing pada sore hari  setelah penanaman usai.

Lahan kebun yang luas juga membutuhkan kerja gotong royong dalam membersihkan kebun. Kerja gotong royong biasanya dalam sehari dapat membersihkan beberapa kebun tergantung luas dan besarnya. Utamakan kerja gotong-royong membersihkan lahan kebun, sedangkan makanan dan minuman dibawah masing-masing anggota kelompok. Pemimpin kampung atau pemimpin kelompok mengatur jadwal secara baik untuk saling membantu, kerja gotong royong. Membudayakan gotong-royong itu dapat membantu meningkatkan hasil kebun yang baik. Kerja sama saling membantu dapat meningkatkan makanan keluarga adalah sebuah cara yang dapat mengurangi kekurangan makanan pokok di dalam keluarga. 

Menjelang hari panen hasil, diadakan ritus panen hasil. Tua adat yang disebut LAL GOMO mengucapkan kata mantra sakti untuk mengikat roh hasil bumi agar tetap berdiam di dalam hasil kebun sehingga panenan berlimpah. Hasil terbaik diambil dan disimpan di mezbah. Siri, Pinang, Kapur, dalam wadah disimpan di atas mezbah. Kurban binatang darahnya ditetes di atas hasil kebun yang ada di atas mezbah. LAL GOMO mengucapkan mantra sakti atas hasil. Beryukur kepada Roh Supranatural, Roh Leluhur malu-naiba'a, dan Roh Alam yang memberikan hasil yang baik. Pada saat yang sama, LAL GOMO memindahkan kekuatan negatif agar mereka tidak mengambil atau memakan roh-hasil-kebun yang sebentar lagi akan dipanen. Roh makanan tetap di kebun agar panenan senantiasa berlimpah. 

Ritus sebelum panen ini memiliki dua aspek yaitu memberi makanan kepada kekuatan jahat agar dia dengan perut kenyang pergi ke tempat kediamannya. Ritus ini juga memberikan makanan kepada Roh Positif agar senantiasa melipatgandakan hasil panenan. Dalam bahasa Bunaq "Soe Gasa'e" yang berarti menaikan hasil berganda. Kurban binatang untuk ritus menjelang panen biasanya lebih besar misalnya babi atau sapi. 

Hasil masakan terbaik daging kurban binatang itu dipersembahkan di atas mezbah kepada kekuatan jahat dan kekuatan baik, agar mereka makan kenyang sehingga bidup aman damai dan harmoni. Ketika salah satunya lapar, maka pasti yang lapar akan irihati pada yang kenyang. Dampaknya bisa fatal bagi hasil bumi yang sudah diperoleh dengan susah payah.  

Usai ritus persembahan itu kini masakan daging kurban itu dapat dinikmati oleh semua hadirin yang membantu memanen  hasil bumi di kebun. Kalau hasil daging masih tersedia, maka sore hari sebelum pemanen kembali ke rumahnya hasil daging itu dibagi kepada pemanen untuk membawa daging sebagai lauk untuk makan malam di rumah masing-masing.

Fenomena bekerja di kebun dan ritus ini bercerita tentang nomena di baliknya yang dapat dibaca. Fisikal ritus adat  sebelum tanam dan sebelum panen melahirkan konsep metafisikal sang sakral di kebun. Kebun adalah Sakral, disebut dalam bahasa Bunaq "Mar Por." Temporal kerja dan ritusnya memproduksi perenial adat yang menyatakan diri dalam hal-hal konkret yang dilakukan sang petani. Kebun yang bagi dunia di luar suku Bunaq adalah sangat profan, bagi sang petani kebun menjadi tempat yang sangat sakral. kekudusan Roh Sang Supranatural menyatakan diri dalam roh alam, roh leluhur,    malu-naiba'a, roh sesama, dan roh diri sendiri. 

Roh negatif adalah bagi sebagian orang di luar suku Bunaq adalah jahat maka harus ditolak keberadaannya di sekitar. Tetapi bagi suku Bunaq roh negatif itu hanya dipindahkan ke tempatnya secara istimewa dengan memberikan makan secukupnya agar perutnya kenyang sehingga kebutuhan dipenuhi, akan berpindah dengan sendirinya ke tempat kediamannya, tidak melakukan kaos, tidak mengganggu tanaman dan hasil bumi dari kebun. Suku Bunaq memberikan makanan bagian yang dibutuhkan roh positif dan roh negatif agar mereka semua mendapat porsi yang seimbang, seperti terungkap dalam ritus adat di atas mezbah di kebun. sawah, ladang. Dengan demikian dapat tercipta hidup damai dan aman. 

Konsep Keharmonisan suku Bunaq ini sangat kaya bila implikasinya dalam kehidupan sosial  masyarakat.  Misalnya mengapa orang kaya raya selalu diganggu oleh orang miskin yang selalu bardemo meminta keadilan? Bukanlah orang kaya raya yang melanggar keharmonisan, dengan tidak memberi makanan yang cukup kepada orang miskin yang selalu berdemonstrasi, sementara mereka berkelimpahan?

Merasakan secara istimewa harmoni dalam konsep suku Bunaq Aitoun, berarti, berilah porsinya kepada roh jahat-negatif dan roh baik-positif secara proporsional agar  dengan demikian masing-masing berada pada tempat dan jalurnya masing-masing dengan perut yang kenyang, tidak lapar, sehingga tidak saling mengganggu satu sama lain, tidak berkelahi, tidak terjadi kaos, tidak terjadi konflik.

Konsep Keharmonisan suku Bunaq lahir dalam ritus adat di atas UMON di kebun atau ladang atau sawah, bukan lahir di bangku kuliah. Perpetual adat, isinya universal lahir dari temporal ritus di atas mezbah di kebun, yang sangat lokal rasanya. Adat Perenial menyatakan dalam temporal ritus di atas mezbah di kebun petani. Kebun adalah kudus. Dalam bahasa Bunaq disebut "Mar Por" artinya kebun suci, kudus, pemali, sakral. Hasil berlimpah dari kebun suci memberi makanan yang cukup bagi pemiliknya yang bekerja keras. 

1.3.8.3. Posisi Sentral Laki-laki: Suami, ayah, om 

Hasil kebun yang berlimpah adalah hasil kerja keras ditopang restu sang supranatural, leluhur, roh positif dalam ritus di dalam kebun. Hasil kebun itu dibawah ke rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kebun itu adalah harta kekayaan  dari rumah isteri dalam sistem kekerabatan matrilineal.

Kebun itu adalah harta kekayaan dari rumah suku isteri bukan dari rumah suku suami atau ayah dalam sebuah keluarga yang bersistem kekerabatan sistem matrilineal. Itulah kenyataan hidup harian rutin keluarga yang hidup dalam sistem kekerabatan matrilineal. 

Kembali ke awal berdirinya sebuah rumah suku, pertama-tama rumah suku berdiri lewat perkawinan patrilineal bukan matrilineal. Misalnya berdasarkan sejarah awal berdirinya Rumah Suku Monewalu  Hojabul (selanjunya disingkat MH) di Aitoun. Rumah Suku MH ini didirikan oleh seorang laki-laki yang bernama Mau Taek (selanjutnya disingkat MT). MT nikah secara patrilineal, dan isterinya dari Rumah Suku Mot Alan Fulur, meninggalkan rumah sukunya dan masuk rumah suku MH yang didirikan MT suaminya. Kelanjutan Rumah Suku MH ini kemudian dalam praktek hidup  sehari-hari dalam sistem kekerabatan matrilineal. Kemudian setelah sekian tahun, keluarga MT ini tidak mendapat keturunan, maka keponakan MT, namanya Loi Malik (selanjutnya disingkat LM) melakukan pernikahan Patrilineal, dan isterinya  dari rumah suku Hoki'ik dan meninggalkan rumah suku Hoki'ik dan kemudian masuk ke dalam Rumah Suku MH.  MT membimbing keponakan yang lain yaitu Bei yang lain (selanjutnya disingkat BL) yang sama-sama dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain melakukan pernikahan patrilineal,  isterinya dari Rumah Suku Laimea dan isterinya meninggalkan Rumah Suku Laimea dan kemudian masuk ke dalam rumah suku MH. 

Kedua keponakan dari MT yang melakukan perkawinan patrilineal ini menurunkan keturunan yang terus berkembang dalam sistem Kekerabatan matrilineal sampai hari ini.  Perkawinan Patrilieneal dapat terjadi, bila salah seorang anak laki-laki dari rumah suku MH memiliki harta kekayaan bergerak dan tidak bergerak yang banyak untuk pernikahan itu untuk mendirikan rumah suku baru atau untuk memasukkan isteri ke dalam rumah suku MH agar keturunannya dapat berkembang secara lebih banyak dan berkembang di mana-mana.  

Seorang suami yang melakukan perkawinan patrilineal untuk mendirikan sebuah rumah suku baru atau memasukan isteri ke dalam rumah suku suami, sangat membutuhkan harta bergerak dan tidak bergerak yang harus diberikan kepada rumah suku isteri dan untuk isteri yang masuk ke rumah suku suami. 

Perkawinan Patrilineal bisa terjadi karena alasan politis, misalnya perkawinan patrilineal secara timbal balik antara keturunan raja dari kedua kerajaan yang berbeda untuk mencapai kesetaraan antara kedua wilayah kerajaan itu dalam Ideologi darah rasa malu-aiba'a. Perkawinan Patrilineal secara timbal balik ini dapat menghindari konflik antara kedua kerajaan dalam bentuk apapun. Perkawinan seperti ini dapat juga menyelesaikan konflik antara kedua kerajaan dari sudut perkawinan timbal baik ini.  

Setelah perkawinan Patrilineal untuk mendirikan sebuah rumah suku atau menarik isteri masuk dalam rumah suku isteri untuk mengembangkan keturunan rumah suku suami, dan dalam perkembangan selanjutnya, hidup dari lahir sampai mati berlangsung di dalam sistem kekerabatan matrilineal.  

Dengan demikian tidak semua pernikahan adalah secara patrilineal dalam suku Bunaq Aitoun.  Selama anak perempuan masih ada di dalam rumah suku maka perkawinan berlangsung secara matrilineal bukan patrilineal.  Perkawinan Patrilineal terjadi untuk mendirikan rumah suku baru dan atau secara adat untuk manarik masuk isteri ke dalam rumah suku suami, karena rumah suku suami sudah tidak memiliki anak perempuan lagi untuk menjaga dan memelihara serta meneruskan keturunan rumah suku dalam sistem kekerabatan matrilineal. 

Perkawinan matrilineal suku bunak Aitoun sangat unik. Kekhasannya terletak pada pembayaran belis atau harga kegadisan perempuan yang bakal menjadi isteri. 

Pembayaran belis gadis itu oleh laki-laki atau pemuda bakal suami dan keluarga pemuda yang akan menikah. Tetapi suami maupun isteri tetap terikat pada suku rumah asalnya masing-masing. 

Misalnya, bakal suami berasal dari sebuah rumah suku Monewalu Hojabul menikahi seorang gadis yang bakal menjadi isteri dari sebuah rumah suku  Asutalin Aihun.

Pembayaran belis oleh keluarga bakal suami itu tidak memasukkan gadis yang bakal isteri itu ke dalam rumah suku laki-laki yang bakal menjadi suami. Bakal isteri, meskipun belisnya sudah dibayar oleh keluarga bakal suami, gadis yang bakal menjadi isteri, tetap terikat pada rumah suku Asutalin Aihun, sebagai rumah suku asalnya. Demikian juga bakal suami tetap terikat pada rumah suku Monewalu Hojabul sebagai rumah suku asalnya.

Tetapi anak-anak yang lahir dari perkawinan itu terikat oleh rumah suku mamanya atau tidak menjadi anggota rumah suku ayah. Mengalami Sistem kekerabatan matrilineal berarti menikmati harta warisan yang bergerak dan tidak bergerak berdasarkan perhitungan garis keturunan ibu, mama, perempuan dalam sebuah keluarga Suku Bunaq Aitoun, bukan berbasiskan garis keturunan ayah. Anak-anak yang lahir dari keluarga menjadi anggota rumah suku Ibu, bukan anggota rumah suku ayah.  Sedangkan ayah tetap terikat pada rumah sukunya.

Keunikan lain yang ada dalam sistem perkawinan matrilineal suku Bunaq adalah suami memiliki peran sentral sebagai penerus keturunan bagi penambahan keanggotaan rumah suku isteri. 

Semua anak-anak yang dilahirkan menjadi anggota rumah suku isteri, bukan anggota rumah suku suami. 

Suami menjadi orang tua yang bertanggungjawab  penuh terhadap pelayanan kebutuhan isteri dan anak-anak. Tetapi kemudian anak-anak dan harta yang dihasilkan oleh ayah itu akan diwariskan kepada rumah suku isteri, khususnya kepada anak perempuan, bukan anak laki-laki.

Setelah isteri meninggal, suami yang tidak terikat dengan rumah suku isteri, diperbolehkan meninggalkan anak-anak, dan kembali ke rumah sukunya. Anak-anak ditinggalkan di rumah suku isteri, dan kalau anak-anak itu belum mandiri, maka anak-anak itu akan diurus, dibiayai oleh anggota rumah suku isteri, yaitu saudara dan saudari isteri.

Tetapi dewasa ini sering terjadi ketegangan antara suami yang kembali ke rumah sukunya khususnya dengan saudarinya yang juga masih mempunyai suami di rumahnya. Ketegangan itu menjadi sebuah transisi lingkungan baru, apalagi selama isterinya masih hidup sang duda itu tidak atau jarang memperhatikan saudarinya dan anak-anak saudarinya. 

Ketegangan ini sering terjadi di dalam kehidupan keluarga saudari sebagai penjaga rumah sukunya. Ketegangan itu akan menjadi krisis bila sang duda itu sudah usia senior atau sudah tua. 

Ada signal positif dalam keluarga-keluarga muda dewasa ini bahwa para suami lebih fokus pada mengurus kebutuhan isteri dan anak-anaknya sampai mandiri agar anak-anaknya kelak mengurusnya di rumah sendiri, misalnya setelah isteri meninggal, atau setelah usia lanjut sampai meninggal kelak. 

Pada dasarnya anak-anak zaman milenial selalu mengutamakan orang tua, ayah dan ibu dalam keadaan sehat maupun sakit, duka atau suka. Sistem Matrilineal yang membentuk manusia secara khusus status laki-laki sehingga manusia, laki-laki hidup berpikir dan berperasaan serta berperilaku dalam sistem kekerabatan Matrilineal. 

Pola adat perkawinan ini sangat mempengaruhi pola pikir dan pola pembicaraan serta pola tingkahlaku serta pola rasa suami, isteri, anak-anak dalam keluarga, saudara dan saudari rumah suku suami, saudara dan saudari rumah suku isteri.

Suami sering berpikir bahwa semua usaha, harta dan kekayaan yang diperoleh, semuanya untuk isteri, anak-anak, dan suku isteri. Pola seperti ini, sering secara spontan lahir terungkap dari dalam mulut suami, jika ada persoalan atau konflik antara suami-isteri di dalam keluarga. Suami merasa kerja keras untuk isteri dan anak-anak tetapi semua hasil kerja kerasnya untuk isteri dan rumah suku isteri, bukan untuk rumah suku suami.

Kadang juga pola pikir demikian, diperuncing oleh saudara-saudari rumah suku suami, dengan kata-kata yang ditujukan kepada suami, yang berbunyi begini :

"Engkau bekerja mati-matian untuk menjadi kaya, dan untuk anak-anakmu sukses dalam karya maupun pendidikan, itu hanya untuk kebaikan rumah suku isteri, bukan untuk kebaikan rumah sukumu". 

Ungkapan kata yang demikian itu, betul terungkap, dan sempat beberapa kali terekam telinga penulis selama hidup bersama dalam suku Bunaq dan dibesarkan dalam adat suku Bunaq dengan sistem kekerabatan matrilinealnya. Ungkapan demikian juga sering terdengar dari isteri kepada saudaranya atau anak laki-lakinya yang bekerja rajin dan tekun sampai kaya raya di rumahnya. Bahkan dalam komunikasi santai pun ungkapan itu disampaikan kepada sesama yang sedang berkumpul bersama. Sistem matrilineal yang diciptakan sejak awal mula kini kembali membentuk atau mencipta pola pikir, rasa dan aksi para pemilik sistem kekerabatan matrilineal.

Ungkapan di atas yang telah menjadi kebiasaan umum, dapat memproduksi keempat kemungkinan yang dapat terjadi dalam diri seorang berstatus suami dalam sistem kekerabatan matrilineal.

Pertama, ungkapan itu bisa menjadi tantangan untuk suami tetap fokus pada keluarganya sendiri dengan mengabaikan saudarinya beserta anak-anak saudarinya. Suami memberikan seluruh perhatiannya hanya pada isteri dan anak-anaknya atau rumah suku isterinya saja. Secara sosial dan psikologis, suami, ayah lebih merasa dekat dengan isteri, anak-anak, dan keluarga rumah suku isteri.  Secara spiritual, suami lebih banyak terlibat dalam urusan adat ritus, ritual, praktek spiritual di rumah suku isterinya. 

Kedua, ungkapan itu bisa membuat suami jadi lebih memperhatikan saudarinya dengan anak-anak saudarinya dengan mengabaikan isterinya dan anak-anak kandungnya. Secara fisik suami lebih banyak di dalam keluarga bersama isteri dan anak-anaknya. Tetapi secara psikologis suami lebih dekat dengan saudarinya dan anak-anak saudarinya yang menjaga rumah sukunya. Secara spiritual, suami lebih terlibat dalam urusan adat rumah sukunya khususnya dalam ritus, ritual, dan praktek spiritual yang ada di rumah sukunya. Secara sosial, suami yang lebih memperhatikan sadarinya yang menjaga rumah sukunya, mendapat perhatian dan dukungan penuh dari  saudarinya, anak-anak saudarinya, dan seluruh anggota rumah sukunya sendiri. 

Ketiga, ungkapan itu bisa membuat seorang suami secara seimbang memperhatikan keluarga isteri dan anaknya secara baik dan pada saat yang sama juga memperhatikan saudarinya dengan anak-anak saudarinya sebagai penjaga dan penerus rumah sukunya sendiri. Peran suami bagi isteri, peran ayah bagi anak-anak, dan peran om bagi saudari dan anak-anak saudari secara seimbang, diketahui bersama oleh kedua bela pihak, sehingga terciptalah keharmonisan di dalam keluarga rumah suku isteri dan rumah suku suami.  Suami secara terbuka membuat agenda keluarga yang menjaga keseimbangan perhatian pada keluarganya, urusan rumah suku isteri, dan urusan rumah suku suami.  Agenda ini juga termasuk dalam biaya, materi lainnya, waktu dan tenaga yang diatur dalam diskusi terbuka untuk memperhatikan keluarga, rumah suku isteri dan rumah suku suami secara seimbang. Hal ini adalah sebuah ungkapan kematangan seorang suami yang diharapkan bersama di dalam masyarakat suku Bunaq Aitoun. Seorang yang dewasa secara fisik, psikologis, spiritual, dan sosial budaya, dalam bahasa Bunaq dikenal "matas" artinya dewasa dalam segala bidang di mata publik. Sering MATAS menjad sebuah akronim MATAS: (M)antap (A)nda (T)erampil-Tenang-Tercepat- (A)tasi-Aneka- (S)oal.  Kedewasaan inilah terus disosialisakan kepada semua keluarga Suku Bunaq agar suami, isteri, dan anak-anak tampil matas dalam hidupnya. 

Keempat, ungkapan itu bisa juga dapat mencipta status suami yang abu-abu, dalam artian tidak memiliki tiga kemungkinan di atas, urus keluarga setengah-setengah, urus saudari dan anak-anak saudari dengan seadanya bahkan tidak urus sama sekali. Suami yang secara fisik dewasa tetapi secara sosial, psikologis dan spiritual tidak dewasa baik dalam keluarganya, di rumah suku isteri maupun di rumah sukunya sendiri serta di dalam kehidupan bermasyarakat. 

Bagian kemungkinan pertama dan kedua di atas membuat suami lebih ekstrim. Sedangkan kemungkinan yang ketiga adalah suami yang sangat bijaksana dalam sistem kekerabatan matrilineal suku Bunaq Aitoun. Tetapi kemungkinan keempat adalah suami yang abu-abu, tidak peduli pada keluarganya sendiri maupun keluarga rumah sukunya.

Nuansa dari ungkapan di atas sampai hari ini tetap ada dalam relasi suami-isteri dengan anak-anak dalam keluarga-keluarga suku Bunaq yang dibentuk oleh sistem kekerabatan matrilineal dalam perkawinan Suku Bunaq Aitoun.

Sistem adat perkawinan dalam adat suku Bunaq boleh dikatakan sangat memiliki peluang yang besar untuk melemahkan ikatan tanggungjawab seorang suami sebagai bapa yang seharusnya secara ideal penuh tanggungjawab dalam mengurus keluarganya, anak-anaknya, rumah sukunya karena posisinya sebagai om bagi ponakan-ponakan di rumah sukunya, dan juga di rumah suku isterinya. 

Suami di satu sisi harus membangun keluarga suku asalnya secara baik agar keluarga sukunya hidup sejahtera. Hal ini penting dalam pola matrilineal suku Bunaq, karena pada usia senja, terutama setelah isterinya meninggal, si suami itu memiliki peluang kembali ke rumah suku asalnya. Kalau saudarinya dan anak-anak saudarinya menerima baik karena selama masa kerja aktif, si duda memperhatikan keluarga rumah sukunya sendiri. Kalau Si duda memiliki anak-anaknya yang diurusnya secara baik, maka tinggal bersama dan dirawat anak-anaknya di usia senja.

Pada sisi lain, suami dituntut isteri dan anak-anak untuk bekerja keras memberi yang terbaik bagi isteri dan anak-anaknya.

Suami yang labil, tidak mempunyai prinsip, tidak tegas dalam bersikap dan menentukan pilihan, mengutamakan mana yang menjadi prioritas, maka akan terus terombang-ambing dalam hidup dan berkarya, sehingga usahanya tidak maksimal dalam membangun kehidupan keluarganya, kehidupan rumah sukunya dan kehidupan rumah suku isteri. 

1.3. 8.4. Ritus Mohon Kesehatan

Hari ini Senin 20 Juli 2020, Upacara Syukuran Sembuh dari Sakit, Bapak Linus Mali Asa. S.Pd. Acara adat syukuran sembuh dari sakit dalam bahasa bunaq Aitoun disebut "bula ho'on". Selain bersyukur atas kesembuhan juga memohon berkat kesehatan yang baik untuk hari-hari hidup selanjutnya. Memohon berkat kesehatan kepada siapa?

Adat ini mengemukakan bahwa permohonan berkat kesehatan yang baik kepada roh kekuatan alam semesta,  roh leluhur rumah suku, roh kebaikan-roh pelindung yaitu "por gomo" penghuni "Bosok"  (Mezbah) rumah suku. Di atas mezbah itulah  terlaksana ritus adat "bula-ho'on"
                                    
Adat "bula ho'on" ini di mezbah/"Bosok" rumah suku. Lokasi "Bosok"  (Mezbah) ini di Puncak Bukit Aitoun Tas. Di puncak bukit Aitoun Tas inilah letaknya "Bosok"  (mezbah) Saburaka Kaisahe dari rumah suku Lianain Joilbul. 

Rumah Suku Liana'in Joilbul adalah satu Rumah Suku dari  34 Rumah Suku yang ada di wilayah Suku Bunaq Aitoun.

Adat "Bula Ho'on" ini merupakan sebuah contoh salah satu anggota rumah suku di wilayah Aitoun yang melaksanakan adat "Bula Ho'on".  Pelaksanaan ritus adat "bula Hoon" memiliki dua intensi istimewa yaitu tulus ikhlas syukur atas kesehatan setelah mendapat kesembuhan dan pada saat yang hampir sama juga disusul dengan memohon kesehatan yang baik untuk selanjutnya. Artinya bahwa setiap rumah suku lain pun pasti anggotanya yang sembuh dari sakit, melakukan pola adat seperti ini di mesbah/"bosok" rumah sukunya masing-masing. Betul, bahwa ada 34 rumah-rumah suku di wilayah Aitoun.  Setiap Rumah Suku Memiliki Bosok atau mezbah Rumah Suku tempat melaksanakan "bula ho'hon" memohon kesembuhan dari sakit dan meminta kesehatan yang baik dari sang supranatural rumah suku. 

Dari ritus mohon kesembuhan dan kesehatan yang baik ini memiliki empat bagian penting.  Ritus mohon kesembuhan dan kesehatan yang menjadi inti hakiki dari ritus adat "bula ho'on" adalah Pertama, tua adat yang pimpin adat ini meneliti hati babi yang baru dipotong. Tua adat memeriksa hati babi kali ini tentu bukan menjadi sebuah pengalaman pertama tetapi sudah memasuki sebuah pengalaman  membaca tanda di hati babi untuk ke sekian kalinya. Seorang Tua adat senior sudah berulang kali membaca hati babi setiap kali memimpin adat "bula ho'on". Di hati babi itu tua adat membaca pesan atau petunjuk leluhur rumah suku, "por gomo" yaitu roh kebaikan rumah suku dari "Bosok" (Mezbah) rumah suku. Di atas mezbah itulah terjadi ritus adat "bula ho'on". 

Pesan lewat hati babi ini sangat berkaitan erat dengan intensi minta kesehatan yang baik dan perlindungan bagi orang yang minta ritus adat ini dilaksanakan.

Minta perlindungan dan kesehatan kepada Roh Alam Semesta, roh Leluhur, roh "Por Gomo", roh alam di bumi bukan dengan tangan kosong dan mulut kosong (A.A.Bere Tallo, 1978). Hal ini dalam bahasa bunaq sangat indah kedengarannya teristimewa dalam doa tua adat bersyukur atas kesembuhan dan minta kesehatan yang baik pada sang kekuatan Roh Alam Semesta, Roh Leluhur, Roh Alam dan Roh "Por Gomo".


"Mete hot mil mete lorowen,
ol oloq no, atal ua no bari,
Koleq dairai, mupel dairai,
Go dilin wen, go dial wen oa,

Ege konta, ege parti na roe,
Homo be dagar  o diol hobel niq,
Gebu eko gerel, gewe le gerel,
Himo gerel na konta, gerel parti."


Artinya


Pada hari ini,
Anak cucu penggantimu ini,
Telah terlepas bebas dari
Segala kecapaian, kesakitan, 
Olehnya dilaporkan kepadamu, 
Namun tanpa mulut kosong,
Melainkan dengan babi besar,
Dilaporkan hal ini kepadamu.


Kedua, Doa pemimpin atau tua adat ditutup dengan menghambur beras tiga kali ke atas kepada kuasa Alam Semesta dan dua kali ke atas Mazbah /"bosok" kepada "Por Gomo" sang roh kebaikan dan roh pelindung dan dua kali ke tanah kepada kekuatan roh alam bumi dan segala makhluk di atas bumi. 

Menghambur beras  ini punya dua makna eksistensial. Pertama, memberikan makanan kepada roh jahat untuk pergi ke tempatnya sehingga tidak mengganggu manusia. Dalam bahasa bunaq Aitoun disebut "heruk wa" atau "heruk lelek". Kedua,  memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada roh kebaikan yang selalu setia menyelamatkan manusia. Siapa yang menjadi roh kebaikan yang menyelamatkan manusia?

Roh yang selalu menyelamatkan manusia adalah roh alam semesta, roh "por gomo" rumah suku, roh leluhur rumah suku, dan Roh Sang Supranatural, yang dalam bahasa Bunaq disebut "Ama Hot Esen" (A.A.Bere Tallo, 1978).

Dari kedua point itu ada yang sangat menarik untuk memahami tiga konsep tentang keharmonisan Suku Bunaq. 



Pertama, Roh-roh Negatif dan roh-roh Positif secara seimbang diberi bagiannya. Tua adat hambur beras kepada roh-roh negatif yang menyakiti agar pergi ke tempatnya dalam keadaan tidak lapar lagi. Dengan demikian Roh Positif kembali secara leluasa menyertai manusia. Roh Positif dan Roh Negatif itu sama-sama ada dan diberi porsinya agar masing-masing beroperasi di jalurnya masing-masing, tidak mengganggu satu sama lain, tidak konflik, tidak membuat kaos. Konsep ini merupkan kebijaksanaan Suku Bunaq Aitoun. 






Kedua. Konsep harmoni yang pincang dalam Suku Bunaq terjadi ketika Roh-roh positif yang mendominasi akan berdampak pada positif berpikir-rasa-aksi dari pribadi manusia.  Kekuatan negatif yang tidak diperhatikan atau tidak diberi jata makanan, perut lapar, akan terus mengganggu kekuatan positif sehingga terjadi kekacauan atau kaos. 



Ketiga. Pada saat Roh-roh negatif yang mendominasi maka akan berdampak pada negatif berpikir-rasa-aksi dari pribadi manusia. Sedangkan Roh Positif menempati posisi minoritas. Di sini tidak tercipta keseimbangan antara yang positif dengan yang negatif. Konsep harmoni pincang  dari perspektif Suku Bunaq.



Ketiga, Darah merah dari korban binatang direcikan di atas mezbah/"bosok" rumah suku. Recikan darah yang menetesi mezbah tempat tinggal "por gomo" ini adalah sebagai meterai sah atas doa, kata, logos, dialog manusia/tua adat sebagai perantara dengan kekuatan roh alam semesta di langit, kekuatan roh leluhur, kekuatan roh "por gomo" dan kekuatan roh alam di bumi. Meterai darah merah ini sedang disaksikan oleh semua orang yang hadir di sekeliling mezbah. Kesaksian dan kehadiran mereka semua adalah sebuah kehadiran keyakinan dan kepercayaan yang kokoh atas upacara syukuran dan permohonan dalam ritus adat ini. Tua adat dengan darah merah memeteraikan- mengesahkan seluruh ritus adat "bula ho'on" yang sedang diselenggarakan.   

Keempat. Upacara ritus itu dilengkapi dengan syukuran dalam makan bersama di sekeliling mezha rumah suku tempat tinggal roh kebaikan yang disebut "por gomo". 

Syukuran itu dengan makan siri pinang yang diisi di dalam tempat atau wadah "taka gol" yang terletak  di atas mezbah. Makan siri pinang sebagai sapaan adat persahabatan setia dengan roh alam semesta di langit, roh Leluhur, roh "Por Gomo" sang penghuni Mezbah rumah suku, roh alam di bumi dan persahabatan setia dengan semua anggota rumah suku dan sahabat lain yang hadir untuk mendukung dan mendoakan sahabatnya yang telah sembuh agar selalu sehat dan tetap semangat serta selalu optimis. 

Syukuran itu juga dilengkapi dengan masak bersama. Ibu-ibu memasak daging babi yang baru dipotong dalam ritus adat "bula ho'on." Juga masak nasi dan sayur-mayur lainnya di sekitaran mezbah ini. Bapa-bapa menyediakan kayu bakar dan air dan perlengkapan lainnya untuk kelancaran masak-memasak. 

Sesudah memasak, makanan, minuman, daging terbaik dipersembahkan kepada roh Alam Semesta, roh leluhur rumah suku, roh mezbah /"por gomo", roh alam di atas bumi. Tua adat dengan ritus tersendiri, melakukan persembahkan ini.  Bahan persembahan ini ada tata adat tersendiri untuk dimakan dan itu tua adat yang atur sesuai tata adat relasi ideologi "malu-aiba'a" dalam konteks rumah suku dari pihak yang baru sembuh yang meminta adat ini dilaksanakan. 

Adat ini adalah syukur atas kesehatan. Minta perlindungan sesama, minta kekuatan roh alam di atas bumi, minta kekuatan roh "por gomo" sang roh kebaikan yang berdiam di mezbah rumah suku ini, minta kekuatan roh leluhur dan minta kekuatan roh Alam semesta bagi orang yang meminta merayakan adat ritus  "bula ho'on" ini.

Artinya bahwa adat ini utamanya membangun kembali relasi harmonis orang yang minta adat ini dibuat setelah sembuh dari sakit. Sakit fisik melemahkan relasi maka kini lewat adat ini bangunkan kembali relasi yang kokoh.

Relasi harmonis itu meliputi relasi harmonis dengan diri sendiri, relasi harmonis dengan sesama, relasi harmonis dengan alam, relasi harmonis dengan "por gomo" sang roh kebaikan yang dipercaya menempati mezbah rumah suku, dan relasi harmonis dengan roh kekuatan Alam Semesta.

Lingkaran relasi harmonis lima A dari setiap orang dalam Budaya Suku Bunaq Aitoun membentuk pribadi yang dewasa. Orang yang dewasa dalam relasi lima A, dalam bahasa bunaq dikenal orang yang "matas". Relasi harmonis lima A itu adalah relasi dengan (A)ku/diri sendiri, (A)nda/sesama, (A)lam, (A)rwah Leluhur dari rumah suku Malu - Aiba.a, (A)ma Hot Esen yaitu Allah Suku Bunaq atau wujud tertinggi suku Bunaq.

Dari perspektif psikologi konseling berbasis relasi lima A secara harmonis ini dapat mengkategorikan seorang pribadi yang normal/sehat. Lingkaran relasi normal yang menyembuhkan pribadi,  bagannya seperti di bawah ini. Relasi normal/sehat ini utamanya dalam konteks budaya suku Bunaq Aitoun, secara spesifik fokus pada setiap event ritus adat "bula ho'on" di wilayah Suku Bunaq Aitoun yang mana utamanya untuk mengokohkan kembali relasi lima A yaitu relasi dengan Aku/diri sendiri, relasi dengan Anda/sesama, relasi dengan Alam--Alam Semesta--Alam mezbah, dan relasi dengan Arwah Leluhur serta relasi dengan  Ama Hot Esen atau Allah Suku Bunaq.

Bagan relasi sehat/normal dari perspektif psikologi konseling dalam kaitannya dengan adat "bula ho'on" ini  penulis mencoba menggambarkannya seperti di bawah ini. Sebuah Relasi sehat/normal suku Bunaq Aitoun dalam terang psikologi konseling berbasiskan konteks budaya Suku Bunaq Aitoun.
      
Bagan 1
Relasi Normal





Bagan 2
Relasi Abnormal


Bagan 3
Relasi Abnormal








  




1.3.8.5. Harta Warisan  Bergerak dan tidak bergerak


Suku Bunak menganut sistem perkawinan matrilineal. Model perkawinan demikian berpengaruh terhadap urusan adat warisan di dalam sebuah keluarga. Penulis mencoba membagikan contoh pengalaman pembagian warisan dalam Rumah Suku Monewalu Hojabul. Sebuah keluarga dengan ayah  bernama Vitalis Koi yang bersuku Uma Leon dan isterinya bernama Rovina Lika bersuku Monewalu  Hojabul.  Keluarga ini menurunkan anak-anaknya yaitu Yeremias Berek, Simon Kali, Simon Tes, Salamon Mau Bau, Thresia Dau, Savina Moru, Maria Boe, Maria Biak, Maria Hoar dan Oliva Lawa Koi. Harta warisan dalam keluarga tersebut, diterima oleh anak-anak perempuan. Anak-anak laki-lakinya tidak mendapat warisan di dalam keluarga tersebut. Anak laki-laki yang telah berkeluarga tinggal di keluarga isteri yang menerima harta warisan dari kedua orang tuanya.

Contoh kedua adalah keluarga Oliva Lawa Koi dan Gabriel Mali. Keduanya menurunkan keturunan yaitu Maria Yasinta Bui, Maria Yustina Soik, Maria Ermelinda Boe, Maria Marsiana Lika, Maria Gervasia Lawa, Thomas Maximus Bau Mali, Benediktus Bere Mali, Marianus Luan Berek. Dalam keluarga ini, yang berhak menerima harta warisan adalah anak-anak perempuan. Ini dipahami karena sistem perkawinannya matrilineal. 

Sistem Matrilineal suku bunaq sangat khas. Keunikannya terletak dalam penentuan garis keturunan. Anak laki-laki bukan menjadi penentu garis keturunan. Anak perempuanlah yang menentukan garis keturunan. Kebun, harta kekayaan dalam suku Bunaq, pasti diberikan kepada anak perempuan bukan kepada anak laki-laki. Anak laki-laki setelah menikah akan hidup dari harta warisan yang diterima oleh isterinya. Anak laki-laki hidup dan tinggal di kediaman isteri. Tempat kediaman keluarga baru setelah menikah di tempat kediaman isteri ini disebut matrilokal. 

Tetapi yang menarik, anak laki-laki setelah menikah tidak dimasukkan kedalam suku Isteri. Anak laki-laki tetap terikat dengan rumah suku asalnya. Status anak laki yang sudah menduduki posisi om dalam keluarga sangat berpengaruh dalam menentukan pengambilan keputusan terhadap keponakan-keponakannya yang sesuku dengan om. Di sini anak-anak dalam sebuah keluarga sangat dibatasi oleh dua buah kontrol sosial yang sangat ketat. Anak-anak dikontrol oleh peran sentral om dan peran sentral kedua orang tuanya. Semua masa depan anak-anak, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh peran kontrol om dan kedua orang tua. 

Merasakan sistem kekerabatan matrilineal berarti menikmati harta warisan bergerak dan tidak bergerak dan terutama garis keturunan penerus keanggotaan rumah suku berdasarkan garis ibu atau  mama atau perempuan. Setiap bayi yang lahir dari ibunya yang memiliki Ruma Suku Monewalu Hojabul, misalnya, berarti anak-anak menjadi anggota rumah suku Monewalu Hojabul; demikian juga harta warisan bergerak dan tidak bergerak dalam keluarga adalah milik ibu dan akan diteruskan anak-anak perempuan. Sedangkan anak-anak laki-laki setelah menikah tinggal di rumah isterinya yang mendapat harta bergerak maupun tidak bergerak dari orang-tuanya. Tetapi anak-anak laki-laki yang menikah dan tinggal di rumah isteri tetap terikat dengan rumah suku ibu kandungnya sendiri. Anak laki-laki yang menikah tidak masuk menjadi anggota rumah suku isterinya. 


1.4. Tetap Eksis Ideologi Malu-Aiba'a  Rumah Suku Monewalu Hojabul 

1.4.1. Realita Rumah Suku Monewalu Hojabul didirikan berbasis Ideologi Malu-Aiba'a 


Rumah Suku Monewalu Hojabul didirikan oleh Senior Mau Taek (Selanjutnya disingkat MT) sebagai the founding father of Monewalu Hojabul (selanjutnya disingkat MH). Detik pertama Senior Mau Taek mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul, detik itu pula tercipta dan berlaku dan hidup Ideologi Malu - Aiba'a Rumah Suku Monewalu Hojabul mulai eksis dalam darah anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul berstatus aiba'a dan dalam darah Monewalu Goronto Nualain berstatus Malu. Mengapa  MT mendirikan MH sebagai aiba'a dan Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain berstatus Malu. Bei Mau Taek the founding father itu berasal dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain. 

Pendirian sebuah rumah suku baru adalah pendirian ideologi rumah suku Malu dengan Rumah Suku Aiba'a dalam ritus adat resmi rumah suku Malu dengan rumah suku Aiba'a yang dimeteraikan dalam darah-daging-hidup-kurban binatang (Si Por), yang mengikat anggota rumah suku Malu dengan Aiba'a sepanjang sejarah kehidupan anggota Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain berstatus Malu dan Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a. Meterai ritus adat resmi dalam darah-hidup-daging kurban binatang (Si Por).  "Si Por" artinya daging pemali, daging kudus, daging suci yang mengesahkan ritus adat Malu-Aiba'a. 

Rumah Suku Monewalu Hojabul di Aiotun adalah satu Rumah Suku dari 34 Rumah Suku yang ada di Wilayah Kenaian Aitoun. Dengan kata lain ada banyak rumah suku di Aitoun. Setiap Rumah suku di   Aitoun memiliki ideologi Malu - Aiba'a nya tersendiri. Setiap Rumah Suku didirikan oleh Rumah Suku yang lain yang disebut Rumah Suku Malu. Maka Pendiri Rumah Suku berstatus Malu. Anggota rumah suku yang baru adalah berstatus Aiba'a. 

Anggota Rumah suku Monewalu Hojabul atau anggota rumah suku yang lain bukan langsung turun dari langit. Mereka dari beberapa rumah suku yang mendirikan atau menjadi anggota rumah suku Monewalu Hojabul. Ceritera asal-usul Rumah suku Monewalu Hojabul secara lisan selalu dirasakan dan dialami di dalam ritus adat yang terjadi dari kelahiran anggota, kematian dan sampai anggotanya masuk surga pun berideologi Malu Aiba'a. Ceritera lisan tentang asal-usul setiap keanggotaan rumah suku paling jelas di dalam ritus adat kenduri. Tua adat pasti menguraikan sejarah asal-usul anggota yang telah meninggal, dalam ritus adat kendurinya yang sedang dibuat. 

Ritus itu lahir dalam doa, dan diikat-dimeterai dalam korban darah daging (si Por), dibuat sejak awal leluhur mendirikan rumah suku, sudah dilakukan yang sama sehingga Tua adat tinggal meneruskan ceritera lisan asal-usul keanggotaan rumah suku. 

Tua adat ini bukan tanpa pengalaman. Sejak masa muda sudah mendampingi seniornya sehingga menjadi tua adat itu sudah terbentuk sejak masa muda. Sehingga kelak dapat melanjutkan semua yang telah dilakukan senior tua adat. Biasanya senior melihat kemampuan calon pengganti yang memiliki integritas yang baik dalam konteks adat suku Bunaq Aitoun secara keseluruhan dan adat setiap rumah suku. Senior tua adat biasanya memberikan catatan-catatan sejarah asal-usul setiap rumah adat yang ada di Aitoun selama menjadi pengikut yang sabar, tenang, dan rendah hati serta memiliki kebijaksanaan. 

Rumah-rumah suku lain yang membangun dan menciptakan rumah suku baru, misalnya dalam hal ini rumah suku Monewalu Hojabul disebut "aiba'a".  Rumah Suku Monewalu Hojabul pendirinya adalah Senior Mau Taek. Beliau dipanggil dalam bahasa Bunaq Bei Mau Taek. Beliau berasal dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1). Beliau diutus Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain ke Aitoun untuk mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul. Dalam konteks ini Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain adalah berstatus Malu, malu utama atau malu satu (selanjutnya disingkat M1) dalam sejarah Rumah Suku Monewalu Hojabul yang didirikan Bei Mau Taek.  

Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain bersatus Malu (M1) Sedangkan Rumah Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a dalam relasi dengan Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain berstatus Malu-Stau (M1). Pada waktu Bei Mau Taek dan keponakan tiga orang bersama rombongan sapi berkandang-kandang masuk Aitoun, Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) yang berperan sentral menyambut secara adat rombongan Bei Mau Taek. Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) memberikan tempat dan mendampingi serta membimbing Bei Mau Taek mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul (A). Peran Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) menyambut Bei Mau Taek yang diutus ke Aitoun bersama harta kekayaan sapi berkandang-kandang, tentu dalam arti yang sangat luas. Dalam peran sentral Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) bagi Bei Mau Taek Pendiri Rumah Suku Monewalu Hojabul (A) inilah, Rumah Suku Liana'in Joilbul sebagai Malu, Malu-dua (selanjutnya disingkat M2) bagi Rumah Suku Monewalu berstatus Aiba'a (Selanjutnya disingkat A).   Perbedaan antara M1 dan M2 terletak di sini, M1 memberi Bei Mau Taek mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul. Sedangkan M2 memberi dukungan sosial, psikologis, spiritual bagi Bei Mau Taek mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul. 

Mendirikan sebuah rumah suku baru, membutuhkan harta kekayaan yang banyak. Harta itu berupa harta bergerak dan tidak bergerak. Rumah Suku Baru didirikan pada awal mula dari sebuah perkawinan untuk membentuk keluarga sebagai awal berdirinya Rumah Suku Monewalu Hojabul yang didirikan Bei Mau Taek.  Dengan demikian berkeluarga adalah awal berdirinya rumah suku Monewalu Hojabul. Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) adalah peran sentral mendampingi Bei Mau Taek mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul.  Rumah Suku Laina'in Joilbul (M2) memberikan tenaga, pikiran, dan waktu, serta nasihat bagi Bei Mau Taek untuk mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul. 

Berdasarkan dampingan dan arahan Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) itu maka Bei Mau Taek menikah secara patrilineal dengan isteri dari Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3). Isteri meninggalkan Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3) dan masuk menjadi anggota Rumah Suku yang didirikan Suami Bei Mau Taek. Suami memberikan harta bergerak dan tidak bergerak kepada Rumah Suku Mot Alan Fulur  (M3) yang memberikan anak gadisnya menjadi isterinya dan menjadi anggota rumah suku Monewalu Hojabul yang didirikan suaminya. Rumah Suku Mot Alam Fulur (M3) memberikan anak gadisnya maka menjadi "Malu", Malu-tiga (selanjutnya disingkat M3). 

Apa bedanya dengan M1? M1, M2 dan M3 sama-sama memberikan orangnya kepada Rumah Suku Monewalu Hojabul. Bei Mau Mau Taek dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a.  M1 memberikan orangnya yaitu Bei Mau Taek yang mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a. M2 memberikan semua Peran sosial, psikologis, spiritual kepada Monewalu Hojabul di Aitoun. M2 memberikan kepada Rumah Suku Monewalu Hojabul lewat tenaga, pikiran, hati tulus menerima Bei Mau Taek di tanah Aitoun dalam bahasa Bunaq Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) yang "Bei Mau Taek gege Dapu sei" di Aitoun, artinya, Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) yang menyambut Bei MauTaek bersama rombongan secara adat istimewa di tanah Aitoun.  M3 yaitu Rumah Suku Mot Alan Fulur memberikan anak gadis yang menjadi isteri Bei Mau Taek dan menjadi anggota pertama Rumah Suku Monewalu Hojabul.

Bei Mau Taek  secara Perkawinan patrilineal nikahi isteri dari  Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3) yang meninggalkan Rumah Suku Mot Alan Fulur dan menjadi anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul Aitoun.  Keluarga pertama Rumah Suku Monewalu Hojabul dengan pendirinya Bei Mau Taek dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) dengan Bei Pana dari Rumah Mot Alan Fulur (M3) ini tidak mendapat Keturunan.  Pada saat itu Bei Mau Taek melihat masa depan Rumah Suku Monewalu Hojabul ada dalam perkawinan patrilineal dari ponakannya yang bersama-sama diutus Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) ke Aitoun untuk mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul. 

 Bei Mau Taek mengutus ponakannya Bei Loi Malik melakukan pernikahan Patrilineal.  Bei Loi Malik dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) menikahi isterinya dari Rumah Suku Hokiik (M4) dan isterinya meninggalkan Rumah Suku Hokiik (M4) dan masuk menjadi anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul. Dalam hal ini Rumah Suku Hokiik menjadi malu, malu empat (selanjutnya disingkat M4) sedangkan Monewalu Hojabul berstatus Aiba,a.  Bei Loi Malik dari Monewalu Goronto Nualain (M1) dengan isterinya dari Rumah Suku Hokiik (M4) ini mendapat keturunan yang terus berkembang sampai dengan zaman generasi milenial hari ini. Perkawinan patrilineal Bei Mau Taek dengan isteri dari Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3) untuk mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul dan perkawinan Bei Loi Malik dari Monewalu Goronto Nualain (M1) dengan isterinya dari Rumah Suku Hokiik (M4) ini membutuhkan begitu banyak biaya atau harta bergerak dan tidak bergerak yang dimiliki Bei Mau Taek. Harta kekayan itu diberikan kepada rumah suku isteri yang menyerahkan anak gadisnya menjadi anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul, dan menyediakan harta kekayaan bergerak dan tidak bergerak kepada isteri yang menjadi anggota Rumah Suku Monewalu. Bei Mau Taek mendampingi Bei yang lain  dari Monewalu Goronto Nualain (M1) melakukan perkawinan patrilineal, nikah isteri dari Rumah Suku Laimea (M5) yang meninggalkan Rumah Suku Laimea dan menjadi anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul. Keturuan dari Rumah Suku Laimea (M5) dalam Rumah Suku Monewalu Hojabul ini terus berkembang dengan baik sejak awal sampai dengan generasi milenial pada hari ini. 

1.4.2.  Mezbah Spiritualias Rumah Suku Monewalu Hojabul Berbasis Ideologi Malu-Aiba'a

Harta kekayaan Bei Mau Taek terus berkembang dan berlipat ganda di Aitoun. Bei Mau Taek memiliki sebuah tempat terjadinya pengalaman mistik, dimana di tempat itu terjadi mujizat perbanyakan sapi. Di tempat pengalaman akan perbanyakan sapi atau mujizat sang supranatural kepada Bei Mau Taek itulah Bei Mau Taek mendirikan Mezbah yang diberi nama Mezbah Bei Mau Taek tempat terjadinya Mujizat Sang Supranatural lewat Perbanyakan Sapi bagi Bei Mau Taek. Dalam bahasa Buna disebut, "Bei Mau Taek gege apa ret taru" artinya mujizat perbanyakan sapi kepada Bei Mau Taek.  Mezbah Bei Mau Taek ini adalah pusat spiritual sang pendiri dan anggota rumah suku Monewalu Hojabul sampai generasi milenial sampai hari ini dan seterusnya.  Mezbah ini didirikan oleh Bei Mau Taek yang berasal dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) dan menjadi pusat spiritual Anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul berstatus Aibaa (A) yang didirikan Bei Mau Taek. Anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul terus berkembang sampai generasi milenial hari ini dan seterusnya melaksanakan prank spiritual, ritus, ritual mohon restu kepada sang spranaturalnya Bei Mau Taek dan Bei Mau Taek bersama para leluhur Malu-Aiba'a di atas Mezbah Sang Pendiri Mezbah Bei Mau Taek .  Mesbah Bei Mau Taek menjadi pusat ritual, ritus, praktek spiritual anggota rumah suku meminta restu atas kerja dan usaha secara khusus usaha bisnis sapi karena Sang Supranaturalnya Bei Mau Taek mengadakan Mujizat Perbanyakan Sapi di Mesbah Bei Mau Taek ini. Pengalaman anggota rumah suku Monewalu Hojabul yang meminta restu melalui ritus di atas mezbah Bei Mau Taek ini mengalami keberhasil dan kesuksesan berbisnis sapi. 

1.4.3. Makam Pendiri dan Leluhur Rumah Suku Monewalu Hojabul Berbasis Ideologi Malu-Aiba'a


Pusat spiritual kedua adalah Makam Bei Mau Taek sebagai Pendiri Rumah Suku Monewalu Hojabul dan makan leluhur Rumah Suku Monewalu Hojabul. Makam Leluhur adalah makam barbasis ideologi malu aiba'a karena makam leluhur adalah makam rumah suku Malu dengan Rumah Suku Aiba'a.  Adat ritus minta restu di makam sang pendiri dan para leluhur adalah pusat spiritual anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul. Di makam pendiri ini adalah pusat spiritual Malu-Aibaa. Bei Mau Taek adalah Pendiri Rumah Suku Monewalu Hojabul sebagai Aibaa dan Bei Mau Taek adalah berasal dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain berstatus malu (M1). Di makam Rumah Suku Monewalu Hojabul ada para gadis yang meninggalkan rumah sukunya dan masuk menjadi anggota rumah suku Monewalu Hojabul. Makam berideologi Malu-Aibaa dalam darah daging para leluhur Malu - Aiba'a. Di makam leluhur Suku Monewalu ada isteri Bei Mau Taek dari Mot Alan Fulur (M3) yang meninggalkan rumah sukunya dan masuk menjadi anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul dan dimakamkan di makam rumah suku Monewalu Hojabul. Ada isteri Bei Loi Malik dari Rumah Suku Hokiik (M4) yang meninggalkan rumah suku Hokiik dan menjadi anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul dan dimakamkan di makam rumah suku Monewalu Hojabul. Ada isteri Bei yang lain yang dari Rumah Suku Laimea (M5) yang meninggalkan Rumah Suku Laimea dan masuk menjadi anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul dan dimakamkan di makam Rumah Suku Monewalu Hojabul. Semua Leluhur Rumah Suku Monewalu Hojabul berasal dari darah biologis Malu sebagai asal usul historis darah daging biologis-fisik, psikologis, sosial, dan spiritual Malu dari Rumah Suku Malu yaitu Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1); Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) secara sosial, psikologis, spiritual;  Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3) secara historis pendiri Rumah Suku Monewalu Hojabul; Rumah Suku Hokiik (M4) yang keturunannya terus berkembang sampai dewasa ini; dan Rumah Suku Laimea (M5) yang keturunannya berkembang pesat sampai pada zaman generasi milenial sampai dewasa ini.  

1.4.4. Tiang Agung Rumah Suku Monewalu Hojabul Berbasis Ideologi Malu-Aiba'a

Rumah Suku Monewalu Hojabul memiliki tiang agung rumah suku. Di kaki tiang agung ini leluhur dan anggota rumah suku meminta restu leluhur dan sang supranatural pendiri Rumah Suku dalam ritus mohon restu dalam doa yang dimeterai dalam darah-hidup-daging kurban binatang (si por) yang mengikat anggota rumah suku, dan para leluhur yang telah lebih dahulu menyelenggarakan ritus di tiang agung rumah suku. 

Para pendahulu melakukan ritus di bawah kaki tiang agung ini untuk menyimpan harta kekayaan rumah suku dari generasi pendiri rumah suku sampai hari ini. Para pendiri rumah suku berasal dari Rumah Suku Malu yang menciptakan Rumah Suku Monewalu Hojabul. Dengan harta kekayaan Rumah Suku Malu, Rumah Suku Monewalu Hojabul diciptakan. Harta Kekayaan Rumah Suku Monewalu Hojabul disimpan di Rumah Suku Monewalu Hojabul lewat dan dalam ritus penyimpanan harta dalam ritus yang dimeterai dalam darah-hidup-daging kurban binatang (Si Por) yang mengikat anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul.  Harta kekayaan Rumah Suku diambil dan digunakan untuk kepentingan bersama anggota Rumah Suku lewat ritus adat di bawah kaki tiang agung ini, dimeterai dalam darah-hidup-korban binatang yang mengikat anggota rumah suku dari generasi pertama sampai generasi milenial sampai pada saman ini. 

Ritus restu untuk berhasil dalam kerja dan usaha di tiga pusat kekuatan spiritual berbasis ideologi Malu-Aiba'a ini mendatangkan berkat berlimpah bagi anggota yang meminta restu. Hal ini terjadi sejak pendiri Rumah Suku Monewalu Hojabul. Di Mesbah, terjadi mujizat perbanyakan sapi dari Sang Supranatural kepada Bei Mau Taek. 

Banyak harta kekayaan Bei Mau Taek ini membantu Bei Mau Taek mengutus Bei yang Lain menikah secara patrilineal dengan isterinya dari rumah suku Laimea sebagai malu, malu lima (selanjutnya disebut M5) yang meninggalkan rumah suku Laimea dan menjadi anggota rumah suku Monewalu Hojabul.  Rumah Suku Laimea (M5) memberikan anak gadisnya kepada rumah suku Monewalu Hojabul. Dari Pernikahan Patrilineal dari Bei Mone dengan Bei Pana dari Rumah Suku Laimea ini mendapat keturunan yang berlipatganda dan terus berkembang pesat  sampai dengan generasi milenial sampai hari ini. 

Jadi Rumah Suku Monewalu Hojabul sebagai aiba'a berasal dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1), Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2), Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3), Rumah Suku Hokiik (M4) dan dari Rumah Suku Laimea (M5). 

Apa artinya 'malu"? Malu berarti rumah-rumah suku lain yang mengutus anak perempuan dari rumah sukunya pergi membangun dan membentuk rumah suku yang baru. Misalnya rumah suku Monewalu Hojabul. Rumah suku Laimea mengutus anak perempuannya meneruskan keturunan rumah suku Monewalu Hojabul. Dalam hal ini, anggota Rumah Suku Laimea berstatus sebagai "malu". Sedangkan Rumah suku Monewalu Hojabul dengan anggotanya memiliki status 'ai ba'a"

Apa arti "ai ba'a?" Artinya rumah suku yang berasal dari rumah suku "malu". Itulah sejarah asal-usul setiap anggota rumah suku yang secara jelas terungkap dalam ritus adat kenduri dari setiap anggota rumah suku yang meninggal. Ikatan asal-usul anggota rumah suku dan relasi antara "malu" dengan "ai ba'a" ini selalu diikat secara kokoh dalam ritus-ritus adat yang terjadi di wilayah Bunaq Aitoun, secara istimewa dalam adat kenduri yang dalam bahasa setempat dikenal dengan sebutan "lal guju."

1.4.5. Asal-Usul Rumah Suku Monewalu Hojabul Berdasarkan Ideologi Malu-Aiba'a

Ada sejumlah kelompok rumah suku yang mengutus anggotanya membentuk dan menjadi anggota rumah suku Monewalu Hojabul. Dalam hal ini Rumah suku Monewalu adalah rumah suku "ai ba'a" sedangkan  rumah-rumah suku yang mengutus anggotanya membentuk rumah suku Monewalu Hojabul disebut rumah-rumah suku "malu". Dengan demikian setiap anggota rumah suku Monewalu Hojabul berasal dari ruma-rumah suku yang mengutus anggotanya menjadi anggota rumah suku Monewalu Hojabul. Rumah Suku Rumah Suku yang mengutus anggotanya membentuk rumah suku Monewalu Hojabul dalam waktu yang tidak bersamaan itu dapat diikuti dalam bagian-bagian seperti di bawah ini.  

1.4.5.1. Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1)

Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain adalah Malu-Satu (selanjutnya disingkat M1) bagi Monewalu Hojabul. Senior Mau Taek  yang dikenal dalam bahasa Bunaq Bei Mone Mau Taek adalah Pendiri Rumah Suku Monewalu Hojabul sebagai Aiba'a (selanjutnya disingkat A). Bei Mau Taek diutus Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1).  Bei Mau Taek memiliki tiga keponakan bersama harta kekayaan berupa sapi berkandang-kandang dari Monewalu Goronto Nualain (M1) menuju Aitoun untuk mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul. 

1.4.5.2. Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2)

Rombongan Bei Mau Taek dari Monewalu Goronto Nualain (M1) ke Aitoun untuk mendirikan Rumah Suku Monewalu sebagai aiba'a (A).  Memasuki wilayah Aitoun, Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) yang pertama dan utama 'Bei Mau Taek gege Dapu sei" artinya Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) yang menyambut secara adat kepada rombongan Bei Mau Taek. Peran Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) memberi tempat atau wilayah kepada Bei Mau Taek bersama harta kekayaannya sapi berkandang-kandang.  Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) pasti sangat berperan dan berpengaruh di Kenaian Aitoun sehingga Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) yang memberikan adat welcome kepada Bei Mau Taek di Aitoun. Rumah Suku Lianain Joilbul (M2) setia mendampingi Bei Mau Taek untuk mendirikan Rumah Suku dengan nama Monewalu Hojabul. Tentu nama ini sangat berkaitan dengan Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) yang mengutus Bei Mau Taek ke Aitoun untuk mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul. Nama Hojabul ini juga pasti sangat berkaitan erat dengan nama Joilbul. Rumah Suku Lianain Joilbul (M2)  tentu diskusi dengan Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) untuk akhirnya memberi nama rumah suku Monewalu Hojabul di Aiotun. Pasti ada banyak orang yang menjadi informan pada zaman awal proses berdirinya Rumah Suku Monewalu Hojabul, dari Aitoun ke Nualain untuk  dapat informasi dari Aitoun dan dari Nualain ke Aitoun untuk mendapat informasi dari Aitoun sampai menemukan kata sepakat tentang nama Rumah Suku Monewalu Hojabul yang pendirinya Bei Mau Taek. Informan ini disebut dalam bahasa Tetun "Ain dalan" artinya orang yang menyampaikan hasil rapat tentang pendirian Rumah Suku Monewalu Hojabul di Aitoun ke Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain  dan hasil rapat  di Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain ke Rumah Suku Liana'in di Aitoun. Peran mereka sangat penting dalam mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul Aiotun. Hasil pembicaraan Bei Mau Taek yang didampingi oleh Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2)  disampaikan kepada Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) dan hasil pembicaraan Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) disampaikan kepada Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2)  dan proses itu mencapai titik final pendirian rumah suku Monewalu Hojabul sebagai nama Rumah Suku yang Bei Mau Taek dirikan. 

1.4.5.3. Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3)

Pembicaraan proses pendirian Rumah Suku Monewalu Hojabul antara Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) dengan Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) ini pasti pada waktu jauh-jauh hari sudah jadi bahan pembicaraan antara dua Rumah Suku M1 dengan M2. Tahap selanjutnya perutusan Bei Mau Taek ke Aitoun, disambut secara adat oleh M2. Rencana dibalik itu atau sebelumnya pasti memiliki sejarah tersendiri.  

Setelah mendirikan nama Rumah Suku Monewalu Hojabul, rencana berikut adalah pernikahan Bei Mau Taek. M1 dan M2 melalui pembicaraan yang serius, memutuskan Bei Mau Taek menikah dengan seorang Gadis dari Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3). Tentu lebih menarik pembicaaran antara Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) dengan Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2) yang melibatkan Bei Mau Taek untuk menentukan pilihan pada pernikahan dengan gadis dari Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3). Tentu hal ini ada latarbelakang istimewa yang menjadi dasar utama Pernikahan Patrilineal Bei Mau Taek dengan isteri dari Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3).  Komunikasi jarak jauh lewat perantara yang disebut "ain dalan" dalam bahasa Tetun, punya peran yang luarbiasa dalam proses, sampai hari pernikahan patrilineal Bei Mau Taek dengan isteri dari Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3).  Proses adat perkawinan Patrilineal di Rumah Suku Mot Alan Fulur tentu sangat istimewa. 

Bei Mau Taek dan Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) dan Rumah Suku Liana’in Joilbul (M2) menampilkan kewibawaan adat Patrilineal di Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3) dan perarakan adat mempelai perempuan dari Rumah Suku Mot Alan Fulur ke Rumah Suku Monewalu Hojabul Aitoun. Bei Mau Taek memberikan harta kekayaan bergerak dan tidak bergerak kepada Rumah Suku Mot Alan (M3) yang telah memberikan anak gadisnya kepada Rumah Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a (A). Bei Mau Taek menyerahkan semua harta kekayaan di Rumah Suku Monewalu Hojabul kepada isterinya sebagai ibu Rumah Tangga dalam keluarga pertama Rumah Suku Monewalu Hojabul.  


1.4.5.4. Rumah Suku Hokiik (M4)

Rumah Suku Hokiik berstatus Malu-empat (kemudian disingkat M4) memiliki sejarah istimewa bagi Rumah Suku Monewalu Hojabul yang didirikan Bei Mau Taek. Perkawinan Patrilineal Bei Mau Taek dengan isteri dari M3 adalah keluarga perdana sekaligus sebagai keluarga pendiri Rumah Suku Monewalu Hojabul. Setelah sekian lama hidup berkeluarga, Keluarga Bei Mau Taek sebagai Pendiri rumah suku ini tidak mendapat keturunan. Pengalaman ini memotivasi Bei Mau Taek untuk mendampingi Ponakannya Bei Loi Malik yang bersama sama dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain untuk menikah Patrilineal dengan isterinya dari Rumah Suku Hokiik (M4) dan lalu isterinya masuk ke dalam Rumah Suku Monewalu Hojabul untuk melanjutkan keturunan dalam Rumah Suku Monewalu Hojabul yang telah didirikan Bei Mau Taek.  

Keturunan dari Bei Loi Malik dari Monewalu Goronto Nualain (M1) dengan isteri dari Rumah Suku Hokiik (M4) ini mendapat keturunan yang terus berkembang dari awal sampai generasi milenial pada hari ini di dalam Rumah Suku Monewalu Hojabul yang didirikan Bei Mau Taek sebagai "The Founding Father" Rumah Suku Monewalu Hojabul. Perkawinan Patrilineal terjadi pada awal berdirinya Rumah Suku Monewalu Hojabul dan pada saat isterinya meninggalkan rumah sukunya dan masuk menjadi anggota rumah suku Monewalu Hojabul. Contoh M3 dan M4 adalah benar jelas tentang kapan terlaksananya perkawinan patrilineal. Dalam titik ini laki-laki adalah pendiri dan penyelamat kelanjutan rumah suku Monewalu Hojabul. Perempuan sebagai penerus keturunan dan pemelihara harta warisan bergerak dan tidak bergerak secara internal Rumah Suku Monewalu Hojabul dalam sistem kekerabatan Matrilineal Suku Bunaq Aitoun. 

Pada saat secara internal Rumah Suku tidak memiliki anak gadis untuk meneruskan keturunan secara Sistem Matrilineal maka pada saat itulah anak laki dari Rumah Suku Monewalu Hojabul melaksanakan nikah Patrilineal untuk isterinya meninggalkan rumah sukunya dan masuk dalam Rumah Suku Monewalu Hojabul untuk meneruskan keturunan dalam Rumah Suku Monewalu. Rumah Suku yang memberikan anak gadisnya masuk rumah suku suami, disebut sebagai Malu (selanjutnya disingkat M). Sedangkan Rumah Suku Suami dalam hal ini Rumah Suku Monewalu Hojabul adalah berstatus Aiba'a (Selanjutnya disingkat A).  Dalam perkawinan Patrilineal sebagai awal berdirinya rumah suku ini menunjukkan status laki-laki adalah the founding father Rumah Suku Monewalu Hojabul. Selain itu juga bahwa status laki-laki dalam sistem Matrilineal adalah penyelamat Rumah Suku tetap eksis di saat di dalam sistem kekerabatan Matrilineal, tidak ada lagi anak gadis yang dapat meneruskan keturunan dalam Rumah Suku Monewalu Hojabul.  Anak laki-laki melakukan perkawinan Patrilineal dengan isterinya masuk Rumah Suku Monewalu Hojabul dan keturunannya yaitu anak perempuan dapat melanjutkan keturunan dalam sistem kekerabatan Matrilineal Rumah Suku Monewalu Hojabul.  

Perkawinan Patrilineal untuk mendirikan sebuah Rumah Suku Baru, Mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul dan Perkawinan Patrilineal untuk memasukkan isteri ke dalam Rumah Suku Monewalu Hojabul seperti dalam contoh ini merupakan sebuah keputusan semua elemen Rumah Suku isteri dan suami dengan semua persyaratan adat pernikahan Patrilineal yang sangat membutuhkan biaya atau harta kekayaan berupa harta kekayan bergerak dan tidak bergerak yang harus suami berikan kepada rumah suku isteri (M) dan diberikan kepada isteri yang memasuki rumah suku suami. Artinya bahwa perkawinan Patrilineal dapat berlangsung bagi orang yang memiliki harta kekayaan yang berlimpah dan sungguh lahir dari kebutuhan keberlangsungan Rumah Suku berdasarkan restu dari semua anggota rumah suku yang ada di dalam rumah suku, dan restu dari para leluhur rumah suku, dengan ritus adat tersendiri, dan setiap ritus itu dimeterai dalam darah-hidup-kurban binatang, yang dalam bahasa Bunaq disebut  "Si Por", artinya daging pemali, suci, kudus, yang darahnya memeterai ritus restu anggota rumah suku di dunia maupun ritus restu para leluhur rumah suku. Meterai darah itu mengikat anggota rumah suku baik rumah suku isteri sebagai Malu (M), artinya rumah suku yang memberi anak gadisnya kepada suami masuk rumah suami, maupun rumah suku suami sebagai aiba'a (A), artinya menerima anak gadis dari rumah suku isteri. Relasi Malu - Aiba'a ini dalam darah hidup anggota rumah suku isteri dan suami dari hidup sampai masuk surga. Paradigma Malu-Aibaa menjadi darah-hidup yang mengalir dalam keturuan Rumah Suku Aibaa dengan Malu dari lahir sampai masuk surga. 

1.4.5.5. Rumah Suku Laimea (M5)

Suku Laimea menjadi malu, malu-lima (selanjutnya disingkat M5) dalam sejarah kehidupan Rumah Suku Monewalu Hojabul sebagai Aibaa (A). Bei Mau Taek Pendiri rumah memiliki banyak harta kekayaan di awal berdirinya Rumah Suku Monewalu Hojabul. Bei yang lain yang bersama rombongan Bei Mau Taek diutus Rumah Suku Monewalu Goronto Nualainn (M1) ke Aitoun untuk mendirikan Rumah Suku Monewalu Hojabul dan mengembangkan Rumah Suku Monewalu Hojabul.  Bei Mau Taek mendampingi Bei yang Lain ini menikah Patrilineal, dan isterinya dari Rumah Suku Laimea dan kemudian isterinya meninggalkan rumah suku Laimea (M5) dan masuk menjadi anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul.   Harta kekayaan Bei Mau Taek digunakan untuk adat perkawinan Patrilineal agar Rumah Suku Monewalu Hojabul (A) semakin memiliki banyak Malu (M1, M2, M3, M4, M5). Peran M1, M2, M3, M4, M5 ini dari kelahiran sampai masuk surga. Malu yang memberikan orangnya atau manusia kepada Rumah Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a (A).  Ideologi Malu Aiba'a mengalir dalam darah hidup anggota Rumah Suku Malu dan Aiba'a dari hidup, mati, sampai masuk surga. 





Berkat kehidupan, keberhasilan, kesuksesan anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul sebagai Aiba'a bersumber dari berkat berlimpah dari Rumah Suku Malu. Setiap anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul sebagai Aiba'a meminta berkat dari Rumah Suku Malu. Misalnya sebuah kendaraan baru yang dibeli oleh seorang anggota Rumah Suku Monewau Hojabul, maka meminta Anggota Rumah Suku Malu yang memimpin ritus adat pemberkatan kendaraannya. Seorang anggota rumah suku yang hendak bepergian jauh, senior anggota rumah suku Malu yang melakukan ritus perutusan dan pemberkatan. Anggota yang Sakit dari Rumah Suku Monewalu Hojabul maka yang memimpin ritus mohon penyembuhan dan kesehatan kepada leluhur adalah anggota senior dari rumah suku Malu. Anggota Rumah Suku Aibaa meninggal maka senior anggota Rumah Suku Malu yang memimpin ritus di makam, berkat anggota rumah suku Aibaa yang berduka, dan memasukkan anggota rumah suku aibaa yang meninggal ke dalam 'surga' para leluhur melalui adat "Na'an Lulik" dalam bahasa Tetun, atau dalam bahasa Bunaq "Si Por Pak" sebagai satu-satunya jalan masuk ke surga bagi anggota yang meninggal dalam perspektif ideologi Malu-Aiba'a Suku Bunaq. 

Adat masuk surga bagi anggota suku yang meninggal ini meliputi, pertama, doa pemimpin ritus yang berisi tentang asal usul hidup anggota yang meninggal dari awal mula leluhur Malu (M1, M2, M3, M4, M5) sampai masuk surga dan setiap Malu (M1, M2, M3, M4, M5) bagian daging suci (si por), sehingga darah daging kurban binatang yang dibagi ini adalah meterai sejarah anggota yang meninggal sampai masuk surga dalam ideologi Malu-Aibaa Rumah Suku Monewalu Hojabul. 

Kedua, Doa dan pembagian daging sejarah itu akan diambil dan dimakan oleh setiap Malu (M1, M2, M3, M4, M5) asal usul sejarah yang dimeterai dalam darah daging sumber kehidupan. Kurban binatang yang dibagi itu dibeli oleh Aiba'a. Kurban binatang itu dibeli dengan uang yang dikumpulkan oleh Aiba'a. 

Ketiga, Doa dan pembagian daging suci (si por) itu menegaskan persaudaraan hidup antara Malu-Aibaa, antara Malu dengan Malu, Antara Aiba'a dengan Aiba'a. Hanya melalui adat ritus "Na'an Lulik" ini seorang anggota yang meninggal, melalui kematian masuk ke dalam kebahagian Surga dalam ideologi Malu-Aiba'a.  Ritus ini dimeterai dengan darah-daging kurban binatang (Si Por) yang dibeli Aibaa dan dimakan Malu sebagai ikatan sejarah abadi Malu dengan Aibaa sebagai Ideologi Malu-Aibaa yang mengalir di dalam darah Rumah Suku Malu-Aibaa yang tercipta di awal berdirinya Rumah Suku melalui sejarah Malu dengan Aibaa hidup di dunia sampai masuk surga. 

Ideologi Malu-Aibaa ini dimeteraikan dengan darah-hidup-daging kurban binatang (Si Por) dalam adat Malu-Aibaa dari lahir sampai masuk surga, yang memiliki nilai-nilai universal dan nilai itu mengemudi rasa-akal-aksi anggota rumah suku Malu-Aibaa sepanjang masa kehidupan Rumah Suku Malu dengan Aiba'a. 

1.6. Perdamaian Rumah Suku Monewalu Berbasiskan Ideologi Malu-Aiba'a

Rumah Suku Malu (M1, M2, M3, M4, M5) dapat menyelesaiakan adat mendamaikan anggota rumah suku Aiba'a yang konflik apabila anggota Rumah Suku Aiba'a sendiri tidak dapat menyelesaikan persoalan mereka. 

Rumah Suku Malu yang menyelesaikan berarti Aiba'a yang konflik harus menyediakan makanan dan minuman dan semua persyaratan perdamaian yang dipimpin oleh anggota rumah suku Malu (M1, M2, M3, M4, M5) harus dipenuhi. Anggota Rumah Suku Malu (M1, M2, M3, M4, M5) datang melaksanakan ritus perdamaian, anggota Aibaa yang didamaikan, harus memberi uang perdamaian kepada pendamai.  Perdamaian yang dipimpin Malu ini disaksikan oleh seluruh tua adat di seluruh kampung atau dusun atau seluruh desa. Itu artinya Aiba'a yang didamaikan harus menyediakan makanan dan minuman bagi semua undangan terutama para sesepuh tua adat yang diundang menyaksikan ritus perdamaian. 

Rumah Suku Malu (M1, M2, M3, M4, M5) memberi orangnya menjadi rumah suku Aiba'a untuk bidup damai secara internal di dalam rumah suku sendiri dan eksternal dengan rumah suku yang lain. Pertengkaran atau konflik yang terjadi antara rumah suku lain yang juga memiliki rumah suku malunya, maka yang mendamaikan adalah malu dari dua rumah suku yang berbeda itu duduk bersama dan mendamaikan dua belah pihak yang berkonflik. Perdamaian ini disaksikan oleh para Tua adat satu desa atau satu kampung di rumah perdamaian.  Para tua adat senior ini datang dan diberi makan dan minum oleh pihak yang konflik yang minta perdamaian dan didamaikan oleh malu (M1, M2, M3, M4, M5).

II. Ritus Kematian Anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul Berbasis Ideologi Malu-Aiba'a
  
Kematian seorang anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul, sejarah asal-usulnya dinarasikan kembali dalam doa ritus yang dimeteraikan dalam darah-hidup-daging kurban binatang (Si Por) yang mengikat semua anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul. Anggota Rumah Suku berasal dari Rumah Suku Malu (M1, M2, M3, M4, M5)

Anggota Rumah Suku Monewalu berdasarkan sistem Patrilineal maka semuanya berasal dari Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1) sebagai Malu bagi Rumah Suku Monewalu Hojabul sebagai Aiba'a. Tetapi berdasarkan sistem Matrilineal maka dewasa ini anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul berasal dari Malu yaitu Rumah Suku Hokiik (M4) dan Rumah Suku Laimea (M5). Anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul (Aiba'a) dari awal sampai pada zaman generasi milenial ini berasal dari Rumah Suku Hoki’ik (M4) dan Rumah Suku Laimea (M5). 

Anggota Rumah Suku Hoki'ik (M4) adalah pemberi anggotanya rumah sukunya kepada rumah suku Monewalu Hojabul dan menjadi anggota rumah suku Monewalu Hojabul dalam maktu yang berbeda atau berurutan dibanding dengan anggota rumah suku Monewalu Hojabul yang berasal dari rumah suku Laimea. Rumah adat Suku Hoki'ik (M4) sebagai anggota rumah suku 'Malu' (pemberi perempuan), di mata anggota rumah adat suku Monewalu Hojabul. Rumah Suku Monewalu Hojabul sendiri disebut sebagai anggota rumah suku 'aiba’a' (penerima perempuan) di mata anggota rumah suku Monewalu Hojabul dan anggota rumah suku Hoki'ik. Relasi adat kedua rumah suku itu akan tampak lebih jelas di dalam proses perayaan ritual, ritus, praktek spiritual adat kematian seorang anggota suku Monewalu sebagai Aiba'a maupun anggota rumah suku Hoki'ik  sebagai Malu (M4). 

Keunikan rumah suku Monewalu Hojabul dalam berelasi dengan kelompok rumah suku pemberi perempuan tersebut di atas dapat ditelusuri lewat sejumlah adat yang berlaku dalam rumah adat suku Monewalu Hojabul di Asueman pada khususnya dan di Aitoun pada umumnya.

Adat yang menguak identitas suku Bunaq Aitoun (penyebutan suku di sini berdasarkan Bahasa Bunaq) secara lebih terbuka adalah proses ritus  adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu Hojabul. Perayaan ritus adat kematian menguraikan semua keunikan anggota rumah suku Monewalu Hojabul dalam konteks perspektif budaya setempat. Seseorang suku Bunaq Aitoun (sebutan ini berdasarkan bahasa Bunaq sebagai bahasa setempat) meninggal pasti ada tata adatnya sendiri.  

Ritus adat kematian dilaksanakan dalam keadaan damai dan rukun semua anggota rumah suku baik Malu maupun Aibaa dari anggota yang meninggal. Kalau ada konflik maka pertama-tama harus didamaikan oleh Malu dari pihak-pihak yang konflik dalam ritus perdamaian. Ritus perdamaian itu dipimpin oleh rumah suku Malu.  Setelah semua hidup dalam damai baru melaksanakan ritus adat kenduri.  

Ritus adat kematian dengan tahap-tahapnya menjadi penegasan untuk memperjelas relasi adat Rumah Suku 'Malu" dengan Rumah Suku 'Aiba'a' yang menjadi basis relasi anggota-anggota dalam hidup beradat di dalam Suku Bunaq Aitoun. Ritus adat kematian dapat dilaksanakan dalam keadaan anggota rumah suku yang merayakan adat kenduri harus hidup rukun dan damai. Dengan demikian rekonsiliasi anggota rumah suku yang konflik harus dilaksanakan pada awal ritus adat kenduri. Intinya adalah anggota rumah suku menenun kembali kerukunan dan perdamaian yang telah retak dan hidup rukun dan damai itu dibangkitkan lagi sedangkan konflik dikuburkan atau dimatikan. Dengan demikian anggota yang meninggal pergi ke Surga dengan damai karena anggota yang masih hidup secara tulus ikhlas dan damai melepaspergikannya ke surga. 

2.1. Tahapan Ritus Adat Kematian Berbasis Ideologi Malu-Aiba'a

Tahapan Ritus adat kematian seorang anggota rumah suku melewati adat tel taba, adat gon tolo,  adat gawak,  adat il hesik, adat en gawa gini, adat lasik wa, adat damai, adat si por pak,  adat mot tama, adat tais hota,  adat kaba, dan adat lobor hin, boto, lesu asu

2.1.1. Adat "Tel Taba" berbasis Ideologi Malu-Aiba'a

"Tel Taba" artinya menggali kuburan. Orang pertama yang menggali kuburan adalah 'malubul', dari anggota yang meninggal dari Rumah Suku Aiba'a. Misalnya dalam hal ini seorang anggota yang meninggal berasal dari Rumah Suku Monewalu Hojabul. Anggota Rumah Suku Monewalu sampai hari ini berasal daru dua rumah suku 'malubul' yaitu Rumah Suku Hokiik (M4) dan Rumah Suku Laimea (M5). Sedangkan M1, M2 dan M3 secara biologis-fisik tidak memiliki generasi 'aibaabul' dari M1, M2 dan M3. Yang bidup dan mati sekarang ini berasal dari M4 dan M5 dalam Rumah Suku Monewalu Hojabul. Dalam konteks adat tel taba, anggota malubul yang pertama kali menggali kuburan untuk anggota aibaabul dari rumah suku Monewalu hojabul. Misalnya kalau anggota yang meninggal berasal dari M4, maka seorang M4 yang pertama kali memegang tajak dan menggali kuburan bagi aibaabul yang meninggal. Demikian juga kalau anggota yang meninggal itu berasal dari M5 maka seorang anggota M5 yang pertama menggali kuburan bagi anggota aibaa yang meninggal dari Rumah Suku Monewalu Hojabul. Kecuali dalam keadaan tidak normal misalnya seorang anggota yang meninggal itu di tempat perantauan dimana disana tidak terdapat M4 dan M5 maka seorang senior yang dipercaya dapat menggali kuburan didahului ritus mohon restu dari para leluhur Malu-Aiba'a. 

2.1.2.  Adat "Gon Tolo" berbasis Ideologi Malu-Aiba'a


"Gon Tolo" artinya, meletakkan tangan atau memindahkan tangan seorang anggota rumah suku Monewalu sebagai aiba’a yang telah meninggal, dari posisi belum di atas dada, kemudian ke atas dadanya, seperti sikap berdoa. Peletakan tangan yang meninggal ke atas dadanya itu dilakukan oleh para angota suku pemberi perempuan atau "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5). Pemindahan tangan ke atas dada si meninggal oleh para malu (M1, M2, M3, M4, M5), dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan nama atau sebutan: "Gon Tolo" artinya "Malu gini en heser gon ba giwitar no Tula". 

Para "Malu"(M1, M2, M3, M4, M5) yang memindahkan tangan seorang yang meninggal ke atas dadanya itu dibayar dengan sejumlah uang sesuai permintaan para "Malu"(M1, M2, M3, M4, M5) yang mengangkat tangan orang yang meninggal ke atas dadanya. Pada umunya harga adat "Gon Tolo" itu mulai dari Rp.50.000 sampai dengan Rp.100.000.- atau bisa lebih sesuai konteks kesejahteraan dan kemampuan secara ekonomi dari aiba'a yang menyediakan uang kepada Malu (M1, M2, M3, M4, M5) yang melakukan adat ini. 

Tata adat ini diwariskan para leluhur secara turun temurun. Sampai dewasa ini pun tetap dijalankan oleh suku Bunaq di desa Aitoun. Proses adat “Gon Tolo” ini disaksikan sendiri oleh penulis pada tanggal 18 Mei 2007, ketika Bapak Simon Tes meninggal dunia. Bapak Simon Tes ini adalah seorang anggota rumah suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a.  Para "Malu"(M1, M2, M3, M4, M5) yang melakukan "Gon Tolo."

2.1.3. Adat "Gawak" berbasis Ideologi Malu-Aiba'a

"Gawak" berarti mengarak peti jenasah ke kuburan yang telah disiapkan. Peti Jenasah ini ditutup dengan Kain Adat. Kain adat itu diambil oleh para "Malu" (M1, M2, M3, M4 dan M5) itu. Pada dasarnya para "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) berebutan, siapa yang cepat dia yang dapat kain adat penutup Peti Jenasah itu. Rebutan itu terjadi di kuburan sebelum peti jenasah diturunkan ke dalam kubur. Pemikul peti jenasah itu adalah para "malu" (M1, M2, M3, M4, M5) dibantu oleh para pemuda yang memiliki tenaga yang cukup agar perjalanan menuju tempat penguburan berjalan tanpa hambatan. Selama perjalanan para pengiring itu mengadakan lagu-lagu ratapan khas suku Bunaq. Inti lagu adat ratapan itu adalah merasa kehilangan secara fisik, tetapi tetap hidup semua contoh dan teladan hidupnya yang baik. Semua yang baik akan selalu dikenang dalam pikiran dan menjadi model untuk ditiru dalam hidup nyata. Sebuah kenangan yang dirayakan dalam hidup konkret oleh keluarga yang ditinggalkannya.

2.1.4. Adat "Il Hesik" berbasis Ideologi Malu - Aiba'a

"Il Hesik" berarti pemercikan air putih yang telah didoakan dan diberkati secara adat oleh para lal gomo atau tua adat bersama Malu (M1, M2, M3, M4, M5) dengan memintu restu  dari para leluhur Malu - Aiba'a dan terutama mohon berkat dari wujud tertinggi yang diimani yaitu “Ama Hot Essen. Para "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) percikan air berkat itu ke atas para "aiba’a" yang sedang berduka, di depan rumah duka, setelah pulang dari kuburan.

Percikan air berkat ini bertujuan supaya keluarga yang berduka itu dengan hati yang bersih masuk dalam rumah duka. Makna pemercikan ini adalah pembersihan, penyucian "aiba’a" yang berduka, agar hati mereka kembali dikuatkan oleh rahmat pembersihan dan penyucian yang diberikan oleh para "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) pemilik rahmat penyucian itu. Rahmat itu mereka terima dari para leluhur Malu-Aiba'a sebagai perantara wujud tertinggi yaitu “Ama Hot Essen” yang mereka imani dalam adat suku Bunak. Rahmat itu disalurkan oleh para “malu” (M1, M2, M3, M4, M5)  kepada keluarga “aiba’a” yang sedang berduka, percikan air berkat di depan rumah duka. Berkat ini menguatkan keluarga yang berduka. Berkat ini meneguhkan psikologis, sosial dan spiritual dari keluarga yang berduka. 

2.1.5. Adat "En Gawa Gini" Berbasis Malu - Aiba'a

"En Gawa Gini" artinya memberi makan minum kepada semua "malu gol" (M1, M2, M3, M4, M5) "Aiba'a gol" yang datang di rumah duka. Acara makan minum ini berlangsung setelah pulang dari acara penguburan, khususnya setelah keluarga berduka menerima berkat lewat percikan air berkat itu. Persiapan makan minum bagi para “malu” (M1, M2, M3, M4, M5) istimewa karena mereka ditempatkan sebagai raja dalam menikmati pelayanan para “aiba’a”. Malu posisinya sebagai orang tua. sedangkan Aiba'a posisinya sebagai anak. 

Para Malu  ditempatkan seperti itu karena para “malu” (M1, M2, M3, M4, M5) sebagai asal hidupnya anggota rumah suku Monewalu Hojabul yang sedang berduka. Aiba'a Rumah Suku Monewalu Hojabul harus menempatkan diri pada posisi sebagai anak yang baik yang melayani para malu sebagai orangtuanya sendiri. Ini menunjukkan bahwa ada kerendahan hati dari rumah suku Monewalu Hojabul berstatus aiba'a.

Kerendahan hati suku Monewalu Hojabul itu terungkap lewat kata-kata, sikap hidup dan perbuatan sopan di dalam membangun relasi dengan para “malu” (M1, M2, M3, M4, M5). Pelayanan yang kurang ideal, akan dinilai oleh Malu (M1, M2, M3, M4, M5) dan penilaian itu sering bernada negatif terhadap suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a. Karena itu, suku Monewalu Hojabul berupaya melayani secara maksimal kepada para “Malu” (M1, M2, M3, M4, M5) diposisikan sebagai raja tamu agung dalam seluruh relasi proses adat kematian yang sedang berlangsung.

2.1.6. Adat "Lasik Wa" Berbasis Malu-Aiba'a

"Lasik Wa" ini berlangsung selama makan minum bersama setelah para Malu (M1, M2, M3, M4, M5) dilayani secara istimewa. "Lasik Wa" ini hanya oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo" anggota rumah adat suku "aiba’a" yang anggotanya meninggal dunia. "Lasik Wa" ini berarti ketua rumah suku bersama para om dalam rumah Suku Monewalu Hojabul, menentukan suatu keputusan bersama tentang berapa jumlah uang yang akan dikumpulkan oleh "Mane Pou" yaitu suami para isteri bersuku Monewalu Hojabul dan "Deu Gomo" yaitu semua laki-laki berkeluarga dari Rumah Suku Monewalu Hojabul sebagai Aiba'a. Besarnya uang "Lasik Wa" itu  ditentukan secara besarsama-sama, 

Berdasarkan pengalaman, para Om bersama Ketua Rumah Suku Monewalu Hojabul memutuskan secara bersama-sama tentang sejumlah uang yang akan dikumpulkan sesuai kebutuhan pelaksanaan ritus adat, misalnya, sejumlah  Rp.50.000 sampai dengan Rp.100.000 / Keluarga baik sebagai "Mane Pou" maupun sebagai "Deu Gomo". Uang yang dikumpulkan itu disebut dengan istilah dalam Suku Bunaq yang berbahasa Bunaq sebagai "Lasik Wa."

Uang yang dikumpulkan itu untuk apa? Uang itu akan digunakan untuk pelaksanaan adat "Si Por Pak " atau "Si Giwitar Pak" yaitu proses pembunuhan seekor babi paling besar atau sapi paling besar dalam perayaan ritus adat sebagai inti utama dari adat kematian seorang anggota rumah suku karena adat ini sebagai proses membuka pintu surga bagi jiwa anggota suku yang meninggal ke dalam persekutuan bahagia dengan jiwa-jiwa leluhur di dalam Surga. "Si Por Pak" ini adalah daging suci yang dibagi berbasis relasi Malu-Aiba'a.  Setiap Rumah Suku Malu yang menjadi asal-usul Rumah Suku Monewalu Hojabul, mendapat pembagian daging suci dari "si por pak" sebagai satu-satunya jalan masuk surga setelah datang dari surga, hidup di dunia.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa intisari dari adat ritus "si por pak" adalah adat narasi sejarah anggota yang meninggal, datang dari surga, hidup di bumi, lalu berjalan kembali ke Surga. 

Tempat tinggal para leluhur malu-aiba'a atau rumah suku leluhur Malu-Aiba'a itu disebut dengan istilah bahasa Bunaq “Mot”. Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam Rumah Adat Para leluhur itu dalam bahasa Bunaq disebut dengan istilah “Mot Tama”. Adat ritus "Si Por Pak" adalah satu-satunya jalan seorang anggota rumah suku masuk "surga".  Melaksanakan ritus adat ini berarti anggota yang meninggal itu masuk surga dalam perspektif adat Suku Bunaq. Satu-satunya jalan masuk surga bagi orang yang meninggal dalam perpektif ideologi malu-aiba'a adalah melalui ritus "Si  Por Pak"  dalam adat kenduri Suku Bunaq. 

Selain itu uang yang dikumpulkan itu atau uang hasil “Lasik wa” itu digunakan untuk membeli beras; membeli Babi untuk lauk makan minum selama proses urusan adat kenduri.

Uang yang dikumpulkan itu juga untuk adat "Kaba" yaitu pemberian berkat oleh "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) kepada "Aiba'a" yaitu anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul sebagai satu bagian utama dan penting yang tidak terpisahkan dalam seluruh rangkaian adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu Hojabul.

Uang dari "Lasik Wa" itu juga untuk "Tais Hota"; uang itu juga untuk stipendium bagi "Lal Gomo" yaitu dia yang tahu sejarah asal-usul suku "Aiba'a" dan mendoakan jiwa suku "Aiba'a" yang telah meninggal untuk memasukkan jiwanya ke dalam persekutuan bahagia abadi para leluhurnya di dunia seberang, sebagai acara puncak  dari adat "Si Por Pak". Pendamping Senior pada Lal Gomo yang berdoa dan melakukan ritus "Si Por Pak" sebagai satu-satunya jalan anggota yang meninggal masuk surga, disaksikan oleh para tua adat dan secara khusus para "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) yang hadir untuk mengarahkan Lal Gomo berdoa dan melaksanakan ritus berdasarkan sejarah asal-usul anggota yang meninggal sesuai kebenaran adat warisan leluhur Malu-Aiba'a, yang senantiasa dimeterai dalam darah-daging hidup-kurban binatang yang disebut "Si Por Pak" atau dalam bahasa Tetun "Na'an Lulik" artinya daging pemali, suci, kudus. Kalau uang yang dikumpulkan lewat "Lasik Wa" itu masih ada atau lebih atau masih tersisa, maka uang itu dapat ditabung untuk urusan adat kematian berikutnya.

2.1.7. Adat "Dame" artinya Damai berbasis Ideologi Malu-Aiba'a

Semua konflik yang telah terjadi di antara anggota sesama rumah suku maupun dengan anggota malu (M1, M2, M3, M4, M5) harus didamaikan dulu oleh Ketua Rumah Suku kedua pihak yang bermasalah, atau para malu yang memimpin ritus adat perdamaian sesuai adat perdamaian berbasis ideologi Malu-Aiba'a yang telah ada sejak berdirinya Rumah Suku Monewalu Hojabul. 

Perdamaian ini adalah hal utama karena adat "Si Por Pak" sebagai satu-satunya adat ritus memasukkan anggota yang meninggal masuk ke dalam "surga" dilaksanakan dalam keadaan yang damai di antara anggota di dalam rumah suku Monewalu Hojabul dan damai di Surga bagi anggota yang masuk surga para leluhur malu-aiba'a dalam adat ritus "Si Por Pak". 


2.1.8. Adat "Si Por Pak" berbasis Ideologi Malu-Aiba'a

Adat "Si Por Pak" ini dipimpin oleh "Lal Gomo" yaitu tua adat yang tahu tentang asal usul sejarah suku "Aiba’a" khususnya anggota yang meninggal dari rumah suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a, dan juga anggota suku "Aiba’a" yang masih hidup, yang sedang berduka. "Lal Gomo" itu didampingi oleh para Om dan ketua dari rumah suku Monewalu Hojabul sebagai "Aiba'a" dan ketua rumah suku "Malu"(M1, M2, M3, M4, M5). Setiap rumah suku yang menjadi asal-usul rumah suku "Aiba,a", yaitu suku-suku "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) disebut sebagai asal-usul sejarah suku "Aiba'a" itu punya bagian daging suci (Si Por)  dan uang suci (Roit Por).

Bagian adat setiap suku "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) itu terdiri dari satu ikat daging dengan jumlah uang sekitar Rp.50.000 sampai Rp.200.000.- Bagian-bagian itu ditentukan oleh "Lal Gomo" dan disatukan dalam doa "Lal Gomo" yang intinya memasukkan jiwa anggota suku "Aiba'a" yang telah meninggal ke dalam rumah suku para leluhur Malu-Aiba'a yang hidup bahagia di Surga. Penjelasan dan doa "Lal Gomo" ini dberi stipendium sekitar Rp.250.000 - Rp. 500.000.- Peran "Lal Gomo"itu sangat penting dalam memberi penjelasan yang tepat dan benar tentang asal-usul anggota suku orang yang meninggal dan memasukkan jiwanya ke dalam rumah suku para leluhur.

Kesalahan penjelasan akan diberi hukuman atau kutukan oleh para leluhur Rumah Suku Malu (M1, M2, M3, M4, M5) maupun Rumah Suku Aiba'a. Pola ini sudah berakar dan berkembang dalam mentalitas suku bunaq, dalam hal ini dalam pribadi Suku Monewalu Hojabul. Untuk menghindari kesalahan Lal Gomo dalam memimpin ritus doa dan bagi "Na'an Lulik" berdasarkan kebenaran sejarah anggota yang meninggal, maka para "malu" (M1, M2, M3, M4, M5) hadir arakan Lal Gomo secara tepat dan ritus "Si Por Pak" atau "Na'an Lulik" ini dihadiri juga semua tua adat yang dapat menyaksikan ritus adat "Na'an Lulik" sebagi inti dari seluruh adat kenduri. Tau adat adalah pendamping dan pengarah lal gomo yang memimpin adat "Si Por Pak." 


2.1.9. Adat "Mot Tama" berbasis Ideologi Malu-Aiba'a

"Mot Tama", berarti jiwa orang yang meninggal itu telah masuk ke dalam persekutuan dalam rumah suku para leluhur Malu -Aiba'a di dunia seberang, yang hidup tiada akhir, bahagia untuk selamanya. "Mot Tama" itu tercapai oleh jiwa orang yang meninggal setelah adat "Si Por Pak" dilaksanakan secara sempurna. 

Tanpa adat “Si Por Pak”, maka diyakini secara adat, jiwa orang yang meninggal itu belum masuk dalam rumah adat para leluhur Malu - Aiba'a atau “Mot Tama” atau masuk surga. Ritus "Si Por Pak" adalah satu-satunya jalan masuk ke "Surga" bagi orang yang meninggal dalam ideologi darah rasa malu-aiba'a Suku Monewalu Hojabul secara khusus dan suku Bunaq pada umumnya. Malu adalah asal lahirnya, hidupnya, bahagianya, sumber berkat, surganya Aiba'a. Malu adalah (M1, M2, M3, M4, M5) dan Aibaa adalah Anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul. 

2.1.10. Adat "Tais Hota" Berbasis Ideologi Malu - Aiba'a

"Tais Hota", berarti "Suku-suku Malu"(M1, M2, M3, M4, M5) membawa kain adat dan anggota suku "Aiba'a" membawa uang untuk membeli kain itu. Harga kain adat itu ditentukan "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) penjual barangnya kepada "Aiba'a". Para "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) menentukan harga kain itu kepada pembeli yaitu "Aiba'a" dan para "Aiba'a" harus membeli kain itu.

Ada nilai yang mendalam dalam menciptakan relasi antara Malu dengan Aiba'a. Semua hasil karya berupa tenunan kain adat dari Malu dihargai oleh Aiba'a yang membelinya. Malu (M1, M2, M3, M4, M5) menyediakan kain adat dan Aiba'a menyediakan uang untuk membelinya. 

2.1.11. Adat "Kaba" Berbasis Ideologi Malu-Aiba'a

"Kaba" berarti pemberian berkat oleh suku-suku "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) kepada suku "Aiba,a". Setiap malubul memberi kaba kepada aibaabul dengan cara yang istimewa misalnya aibaabul ditiup di kepalanya, sedangkan yang bukan aiba'abul diberi tanda salib di dahinya saja. 

Bahan yang disiapkan unntuk "Kaba". Suku "Aiba'a" menyediakan 5 (lima) buah "Taka Giral" tempat sirih pinang dan uang stipendium atau derma kepada para suku "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) Angka 5 (lima) "Taka Giral" itu sesuai jumlah suku "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) dari kacamata suku Monewalu Hojabul sebagai suku "Aiba'a." Dapat disebutkan bahwa 5 (lima) "Taka Giral" sama dengan 5 (lima) suku "Malu" (M1, M2, M3, M4, M5) yaitu Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1), Rumah Suku Liana'in Joilbul (M2), Rumah Suku Mot Alan Fulur (M3), Rumah Suku Hokiik (M4) dan Rumah Suku Laimea (M5) sedangkan Suku Monewalu Hojabul sebagai suku "Aiba'a."

Proses "kaba" yaitu pemberian berkat oleh "malu" (M1, M2, M3, M4, M5) kepada "aiba'a". Pertama-tama para wakil suku-suku Malu (M1, M2, M3, M4, M5) itu mendoakan dan memberkati  sirih-pinang-kapur dan uang yang ada dalam "Taka Giral" di depan masing-masing suku "malu" (M1, M2, M3, M4, M5) itu.  Doa para malu (M1, M2, M3, M4, M5) atas sirih - pinang - kapur- uang dalam "Taka Giral" itu dikenal dalam bahasa bunaq dengan istilah "Molo Guhu". 

Setelah acara doa atas "Taka Giral", atau "Molo Guhu", acara kaba artinya berkat malu (M1, M2, M3, M4, M5) kepada aiba'a. Ada keistimewaan dalam adat "Kaba" yaitu malubul memberi berkat istimewa kepada aiba'a bul karena Malubul adalah asal usul garis lurus aibaabul dalam sejarah rumah suku Monewalu Hojabul. Misalnya (M1, M2, M3, M4, M5) adalah sumber bidup bagi Rumah Suku Monewalu Hojabul. Secara biologis anggota yang ada dalam Rumah Suku sekarang ini hanya berasal dari M4 dan M5 dalam sistem kekerabatan Matrilineal, sedangkan keturunan M1, M2, M3 secara biologis sudah tidak ada kecuali secara historis, sosial, psikologis, spiritual, dalam perspektif  Sistem Kekerabatan Matrilineal. 

Kalau dalam Perpektif Patrilineal, Semua anggota rumah suku Monewalu Hojabul sampai generasi milenial hari ini berasal dari Malubul, Rumah Suku Monewalu Goronto Nualain (M1).  Dari  perspektif Patrilineal, M1 harus memberi kaba secara istimewa meniup di ubun-ubun kepada seluruh anggota Rumah Suku Monewalu Hojabul. Karena M1 adalah malubul dan Rumah Suku Monewalu Hojabul adalah aibaabul.  

Dari segi Matrilineal, maka M4 sebagai malubul memberi berkat istimewa dengan meniup kepala aibaabul yaitu aibaa yang berasal garis lurus dari Rumah Suku Hokiik (M4), dan M5 sebagai malubul memberi berkat istimewa dengan meniup kepala tepatnya di ubun-ubun aibaabul yaitu anggota aibaa yang berasal garis lurus dari Rumah Suku Laimea (M5). Sedangkan kepada aibaa yang bukan aibaabul, mendapat kaba dengan membuat tanda salib di dahi dan meniup di ujung kesepuluh jari. 

Inti ritus kaba adalah simbol Malu (M1, M2, M3, M4, M5) adalah asal berkat hidup dari Rumah Suku Monewalu Hojabul sebagai Aibaa. Malu (M1, M2, M3, M4, M5) adalah sumber hidup dan berkat secara fisikal-biologikal, psikologikal, sosiologikal, spiritual bagi anggota rumah suku Monewalu Hojabul sebagai Aiba'a.  

2.1.12. Ritus Adat Lobor hin, Boto, Lesu Asu Berbasis Ideologi Malu - Aiba'a


Adat ini adalah ritus penutup dalam seluruh adat kenduri Suku Bunaq Aitoun. Sumber primer bagian ini adalah Bapak Linus Mali Asa, Spd. Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri di dalam wilayah Suku Bunaq Aitoun.

Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER  dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.

Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO didamping para Malu (M1, M2, M3,M4, M5) atau TUA ADAT didampingi para malu (M1, M2, M3, M4, M5) dan tua adat senior pendamping LAL GOMO lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.

Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU ke tempat asalnya. Doa mantra memindahkan kekuatan jahat disertai memberikan makanan dan daging yang dihamburkan dalam ritus ini untuk memberi makan kepada kekuatan jahat, agar dengan perut yang kenyang, kekuatan jahat itu pergi ke tempat kediamannya dan tidak kembali mengganggu anggota Rumah Suku yang sedang berduka. 

Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka pembongkaran tenda itu menunjukan bahwa keadaan sekitar rumah duka itu telah kembali menjadi normal.

Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran tenda ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.

Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir  atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.

Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER  atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.

Kekutan jahat ini harus dipindahkan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.

Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalam fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan rumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.

Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir orang beragama formal-resmi diakui negara dimana agama-agama itu mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekuatan jahat-negatif. Adat ini bukan untuk sekedar "membuka restoran baru" di akhir pesta kenduri di Suku Bunaq Aitoun, tetapi bagian ritus adat ini mencetuskan dari kedalaman budi bahwa adat budaya Suku Bunaq tentang konsep harmoni dalam adat suku Bunaq yang melekat dalam ideologi darah rasa Malu-Aiba'a Suku Bunaq.

III. Ritus Masuk Surga Berbasis Ideologi Malu-Aiba'a

Orang banyak berpikir bahwa kematian adalah akhir perjalanan hidup manusia. Tetapi Suku Bunaq melihat kematian adalah jalan yang harus dilewati setiap orang untuk masuk surga. Satu-satunya cara untuk masuk surga adalah melalui sebuah ritus masuk surga bagi seorang anggota yang meninggal dalam suku Bunaq. 

Setiap kali ada kematian, harus diadakan adat kematian. Adat itu disebut SI POR PAK atau biasa disebut juga SI GIWITAR PAK. Adat SI POR PAK ini adalah inti seluruh adat Kematian. Inti Adat SI POR PAK atau SI GIWITAR PAK ini adalah perayaan adat untuk memasukkan seorang anggota yang meninggal dunia ke dalam persekutuan para leluhur Malu - Aiba'a yang telah meninggal dunia, yang hidup di dalam Surga Berbahagia Abadi.  Ada tata urutan adat proses memasukkan anggota suku yang meninggal dunia ke dalam persekutuan kehidupan para leluhur. Setiap Rumah Suku dalam suku Bangsa Bunaq, memiliki tata adat SI POR PAK berbasis Ideologi Malu-Aiba'a.   

Misalnya, dalam konteks ini, Rumah Suku Monewalu Hojabul melaksanakan ritus "si por pak" bagi anggotanya yang meninggal. Adat ini selalu dilaksanakan bagi seorang anggota yang meninggal sebagai satu-satunya syarat untuk masuk surga dan tianggal bersama di dalam surga bersama para leluhur Malu-Aiba'a yang telah menempati surga bahagia abadi.

Ada dua pokok penting yang perlu disampaikan dalam ritual "si por pak" yaitu perlunya pemahaman tentang Asal-usul Suku Monewalu Hojabul dan proses tata adat "si por pak" dalam praktek yang terus dipertahankan dari setiap generasi ke generasi berikutnya sampai pada generasi milenial hari ini.


3.1. Pengertian

Setiap anggota perlu memiliki pemahaman yang tepat tentang sejarah asal-usul Rumah Sukunya,  dan dalam konteks ini Rumah Suku Moonewalu Hojabul. Sejarah itu lahir dari tempat-tempat singgahan leluhur sampai tempat tinggal seorang anggota yang meninggal. Sejarah itu juga tampak dalam rumah suku Malu (M1, M2, M3, M4, M5) real asal-usul Rumah Suku Monewalu Hojabul berstatus "aiba'a."  Ritus adat "Si Por Pak" adalah legitimasi dalam darah daging suci (Si Por) atas ceritera perjalanan anggota yang meninggal dari Rumah Suku Monewalu misalnya dalam konteks ini, dari surga, turun ke bumi, lahir, hidup, berjalan dari tempat ke tempat, dari rumah suku ke rumah suku Malu (M1, M2, M3, M4, M5) sampai di rumah tempat tinggal terakhir, lalu melalui jalan kematian fisik, kembali ke Surga melalui satu-satunya ritus adat "Si Por Pak" sebagai jalan masuk surga leluhur malu-aiba'a.


3.1.1. METI MO.


METI MO adalah sebutan untuk suatu asal-usul sebuah suku yang tidak diketahui sejarahnya. Dalam hal ini METI MO ini adalah sebutan bagi asal asul Suku Monewalu Hojabul yang tidak diketahui sejarahnya. Meskipun demikian, secara perayaan adat SI POR PAK atau SI GIWITAR PAK, METI MO ini juga ada bagian adatnya, yang tidak dilupakan. Harus ada bagian upacara adat untuk mempersembahkan secara adat kepada METI MO ini, sebagai awal asal-usul suku Monewalu Hojabul yang sejarahnya tidak diketahui secara persis.


3.1.2. SA WA SA WAI.


SA WA SA WAI adalah sebutan bagi asal-usul sejarah sebuah suku, dalam hal ini asal-usul Suku Monewalu Hojabul yang telah diketahui dalam pembicaraan adat tentang asal-usul Suku Monewalu Hojabul. Asal-usul Suku Monewalu Hojabul yang sudah diketahui itu dapat diuraikan di dalam penjelasan berikut:


3.1.2.1. Dari SA WA SA WAI, tiba di Suku DUA LASI.

Suku DUA LASI ini berdiam di sebuah tempat yang disebut HOL GOTOK. Dari Suku DUA LASI di HOL GOTOK, menurunkan suku kecil yang disebut Suku MASIN BUL HAK POR. Suku MASIN BUL HAK POR ini bertempat tinggal di HOL GOTOK. Kemudian dari Suku MASIN BUL HAK POR, berkembang lagi menjadi suku kecil MONESOGO. Suku MONESOGO menurunkan lagi SUKU HO KIIK, MALU MOT ALAN, HUKUN yang bertempat tinggal di FULUR. Dari suku itu terus berkembang dan menurunkan Suku LIANAIN SATU (1) dan LIANAIN DUA (2) yang berperan sebagai NOKAR dan suku LAIMEA sebagai BOLU. Selanjutnya ada tata adat yang disebut sebagai BEI GILAN GOINCIET; TA LA O GEWEN; O KO GOL MUN GIRAL LELEK, yang hanya dapat dimengerti dengan baik jika langsung terlibat dalam pelaksanaan ADAT SI POR PAK.

3.1.2.2. Tata Adat SI POR PAK

Masing-Masing BEI GUA SUKU MONEWALU HOJABUL atau sejarah asal Suku MONEWALU HOJABUL, baik yang belum diketahui maupun sudah diketahui asalnya, dalam tata adat SI POR PAK, ada bagian-bagiannya yang tidak boleh terlupakan atau terlewatkan yaitu : Si Gilan Uen, besi uen, roit gol uen, sesuai dengan adat yang disepakati dan berlaku turun-temurun sejak nenek moyang dulukala. 

Masing-masing bagian itu diambil atau diberikan atau diantar kepada anggota rumah suku malu yang menjadi asal-usul sejarah Suku Monewalu Hojabul, yang masih eksis/hidup sampai saat ini. Suku Malu (M1, M2, M3, M4, M5) sebagai Asal Usul dari Monewalu Hojabul sebagai aiba'a. 

Pemberian bagian adat, berupa uang dan daging adat SI POR PAK ini kepada setiap Rumah Suku yang menjadi asal-usul Suku Monewalu Hojabul pelaksana ADAT SI POR PAK ini mau menunjukkan bahwa, anggota suku yang merayakan adat SI GIWITAR PAK atau SI POR PAK mengetahui asal-usul sukunya dari Malu (M1, M2, M3, M4, M5) di dunia ini sejak awal sampai mengantar sesama yang meninggal atau memasukkan anggota suku yang telah meninggal ke dalam persekutuan kehidupan abadi para leluhur sesuku, yang ada di dunia seberang, di dunia lain setelah hidup sementara di dunia ini. 

Dengan demikian, Suku Monewalu Hojabul sebagai pelaksana perayaan ADAT SI POR PAK itu, lewat adat SI POR PAK itu kembali menggemakan asal-usul sejarah panjang keturunannya mulai dari dunia ini sampai bersekutu dengan para leluhur sesuku yang mengalami hidup sukacita di dunia seberang, dunia setelah hidup sementara di dunia ini. 

Melalui ADAT SI POR PAK ini, tali persaudaraan dan ikatan kekeluargaan antara Suku-suku yang menjadi asal-usul Suku Monewalu, malu (M1, M2, M3, M4, M5) terus menerus disadari kembali dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Relasi kekeluargaan adat ini mengingatkan bahwa sebuah suku tidak berasal dari dirinya sendiri tetapi keturunannya berasal dari suku lain, malu (M1, M2, M3, M4, M5) atau orang lain. Manusia adalah makhluk sosial dalam ideologi Malu-Aiba'a suku Bunaq. Dalam pola yang demikian ditemukan basis yang kuat bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial berbasis ideologi darah rasa Malu-Aiba'a dalam Rumah Suku Monewalu Hojabul.

Ritus adat "Si Por Pak" sebagai satu-satunya jalan masuk surga bagi anggota yang meninggal, yang dimeteraikan dalam darah-hidup-daging-pemali suci kudus, yang mengikat keyakinan anggota rumah suku Monewalu Hojabul bahwa masa depan hidup manusia adalah surga melalui adat ritus "Si Por Pak" dalam bahasa Bunaq, "Na'an Lulik" dalam bahasa Tetun. Manusia hidup di dunia sementara pasti mengalami kehidupan selamanya di Surga dalam perspektif ideologi darah rasa malu-aiba'a suku Bunaq. Hidup beradat, mati beradat, masuk surga beradat berideologi Darah Rasa Malu -Aiba'a Suku Bunag Aitoun. 

3.2..  Pesta perjamuan Bersama di Bumi dan di Surga Berbasis Ideologi Malu Aiba'a

Kosa kata TUBI LAI ini sangat akrab di telinga Suku Bangsa Bunaq, dikala seorang anggota suku Bunaq meninggal dunia.

Setelah meninggal dunia secara berturut-turut pada setiap malam dan saterusnya sampai malam ke-40 setelah meninggal dan juga dikuburkan Malu-Aiba'a, adat TUBI LAI di dalam rumah dan sepiring nasi dan lauk-pauk, disiapkan di atas meja makan untuk sama saudara yang meninggal dunia. Orang yang meninggal ada di sekitar kita, hadir bersama kita dalam bentuk non-fisikal tetapi metafisikal. Orang meninggal membutuhkan makanan seperti orang hidup membutuhkan makanan secara teratur.

TUBI LAI dan sepiring nasi yang merupakan bagian orang yang meninggal itu juga secara teratur dibuat di atas kuburan orang yang telah meninggal, pada malam ketiga, ketuju, keseratus, satu tahun, seribu hari, sebagai simbol bahwa orang yang meninggal itu tetap hidup seperti kita hanya badannya-raganya tidak tampak, tetapi hadir dalam roh.

Dia yang meninggal dan hidup di dunia lain itu dapat melihat dan memperhatikan kita walaupun kita yang di dunia ini tidak melihatnya secara fisik. Dia yang telah meninggal dan hidup di dunia lain juga diyakini makan minum seperti kita di dunia ini.

Atas dasar keyakinan itulah maka Suku Bunaq, selalu memberikan makanan kepada orang yang telah meninggal.  Makanan itu diberikan di atas kuburan yang bersangkutan maupun diberikan di rumah orang yang telah meninggal. Roh orang yang meninggal itu ada di rumahnya dan makamnya.

Adat TUBI LAI ini telah ada sejak dulu kala sebelum agama-agama besar masuk ke daerah Suku Bangsa Bunaq. Acara adat TUBI LAI ini mengungkapkan bahwa Suku Bangsa Bunaq sudah sejak dulukala mengakui dan meyakini bahwa kematian itu bukan akhir dari segala-galanya. Kematian adalah akhir dari segala beban hidup di dunia, dan awal dari hidup kekal tanpa beban di dalam persekutuan dengan para leluhur malu- aiba'a.

Pesan mendalam lain yang mau ditampilkan dalam acara TUBI LAI ini adalah bahwa relasi manusia itu tidak dibatasi oleh unsur fisik yang kelihatan, tetapi lewat ADAT TUBI LAI ini, relasi manusia itu melintas batas.

Relasi yang demikian hanya dapat dibangun di atas dasar cinta rohani yang sejati. Cinta yang sejati dalam relasi adalah sebuah relasi yang dapat diungkapkan dalam doa melalui sarana-sarana yang mendukung doa, berkomunikasi dengan sang supranatural, dan orang kudus di surga yaitu para leluhur Malu-Aiba'a bersama the founding father dari setiap rumah suku yang ada di Suku Bunaq Aitoun. 

Berdoa merupakan satu komunikasi bathin yang membuat yang telah tiada atau meninggal selalu dekat dan hadir di dalam lingkungan sekitar rumah, tempat pendoa yang sedang membangun komunikasi bathin dalam doanya bagi yang meninggal. Suku Bunaq membangun komunikasi dengan Arwah leluhur Malu-Aiba'a dalam kata-doa-ritus dan aksi TUBI LAI memberi makanan real di atas makam dan di rumah orang yang telah meninggal. Pertama dan utama memberi makan yang paling baik kepada orang yang meninggal sambil berdoa dan berkomunikasi bathin dengan arwah leluhur Malu-Aiba'a selama kurang lebih satu sampai dua jam. Lalu seluruh anggota keluarga yang hadir mengambil makanan itu dan makan bersama di sekitar makam lelulur Malu-Aiba'a kalau TUBI LAI di kuburan Malu-Aiba'a dan di rumah kalau TUBI LAI dilaksanakan di rumahnya. 

*****




Daftar Pustaka




A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978



Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..



Sumber Primer: 

1. Bapak Gabriel Mali. 

Informasi ini berdasarkan interview Bapak Gabriel Mali, sebagai sumber utama pada tanggal 29 Maret 2008. Beliau adalah seorang tua adat di dalam wilayah suku Bunaq Aitoun. Beliau juga adalah tokoh agama, sebagai Guru Agama senior di Lingkungan Asueman. Beliau memiliki pengalaman dalam hal urusan adat di masyarakat Suku Bunaq Aitoun dari adat kelahiran sampai kematian di wilayah suku Bunaq Aitoun. Bapa Gabriel memiliki pengalaman yang istimewa di Aiotun khususnya dalam urusan agama Katolik sebagai Guru Agama Senior dan dalam urusan Adat Suku Bunaq Aitoun, beliau adalah tua adat senior yang mengkaderkan orang muda untuk menjadi tua adat. Selain itu Bapa Gabriel memiliki kematangan psikologis dan kecerdasan sosial yang sangat matang.  

2. Bapak Linus Mali Asa

Informasi ini diperoleh dari Bapak Linus Mali Asa. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Informasi khusus tentang Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai penutup atau akhir dari Adat Kenduri Suku Bunaq Aitoun. 
 
3. Bapak Marianus Luan

Wawancara via What Shap Manila - Aitoun, Senin 20 Juli 2020 pukul 10am-11am waktu Metro Manila. Hari ini Senin 20 Juli 2020, Upacara Syukuran Sembuh dari Sakit, Bapak Linus Mali Asa. Acara adat syukuran sembuh dari sakit dalam bahasa bunaq Aitoun disebut "bula ho'on". Selain bersyukur atas kesembuhan juga memohon berkat kesehatan yang baik untuk hari-hari hidup selanjutnya.