Minggu, April 27, 2008

Sekitar Fondasi Suku Bangsa Bunak

Tiada dua manusia yang sama persis sifatnya yang ditemukan di atas planet bumi ini. Setiap manusia memiliki keunikannya yang khas. Keunikan manusia itu terbentuk juga oleh kebudayaan tempat dia dilahirkan dan tempat dia hidup.


Manusia suku Bunak memiliki keunikannya tersendiri. Keunikan manusia suku Bunak dapat didalami lewat pendekatan budaya yang melekat di dalam kehidupannya. Berdasarkan pandangan seperti itu, penulis mencoba memperkenalkan identitas manusia suku Bunak melalui budaya yang melekat erat dalam diri manusia suku Bunak itu. Identitas suku Bunak menyentuh fondasi yang mendasari hidupnya. Menyentuh fondasi berarti menyentuh hakekat hidup yang dapat disebut dengan kata filsafat hidup manusia suku Bunak.


Filsafat manusia suku Bunak dibangun di atas kedua fondasi yang kokoh tidak terlepaspisahkan satu dengan yang lainnya yaitu pola pemahaman tentang wujud tertinggi suku Bunak dan ritus-ritus adat dalam kebersamaan yang membuat hidup wujud tertinggi dalam seluruh kehidupan suku Bunak. Wujud tertinggi yang ada dalam pola pikir suku Bunak adalah “Hot Essen”. Nama “Hot Essen” yang diyakini ini sebagai sumber segala sesuatu yang baik, benar dan indah. Kebaikan dan kebenaran serta keindahan sebagai sifat khas “Hot Essen” itu terwahyukan kepada manusia dalam diri para penguasa adat suku Bunak yang disebut “Lal Gomo”. “Lal Gomo” ini menterjemahkan kebaikan, kebenaran dan keindahan “Hot Essen” itu dalam ritus-ritus adat dalam suku Bunak sebagai jalan untuk mendapatkan berkat dari penguasa abadi yaitu “Hot Essen”. Ritus-ritus adat itu dilaksanakan dalam kebersamaan bukan secara personal. Itu menunjukkan bahwa semakin mendalam relasi dengan “Hot Essen” dalam ritus-ritus adat itu maka semakin mendalam juga relasi sosial yang dibangun di atas humanitas yang kokoh. Demikian juga sebaliknya. Itulah hakekat suku Bunak. Itulah filsafat Bunak. Itulah identitas Bunak yang diperkenalkan dalam seluruh tulisan ini. Tulisan ini terbuka bagi dialog menuju pemurnian filsafat Bunak yang sejati.


Proses memperkenalkan identitas manusia suku Bunak ini melalui syering pengalaman hidup penulis di dalam budaya manusia suku Bunak. Sebagai suatu syering pengalaman hidup, tulisan ini sangat terbuka bagi publik untuk dikonsumsi dan mengambil sari-sari yang bermakna bagi konsumen sesuai kebutuhan dan harapan pembaca. Publikasi ini terbuka untuk dikritik dan disempurnakan. Tulisan ini tetap terbuka untuk evaluasi nilai-nilai adat suku yang tertuang dalam penulisan ini menuju satu nilai universal yang dirindukan semua manusia melintas batas. Dalam hal ini identitas yang ideal itu selalu terbuka untuk sebuah dialog yang mengkritisi untuk menyempurnakan. Kesempurnaan yang diharapkan publik itulah menurut penulis identitas manusia yang sesungguhnya. Selamat menikmati.*****

Surabaya 04 April 2008,
Pada HUTku ke-35

Beny Mali, SVD

Senin, April 07, 2008

Nilai Kemanusiaan Belis Gadis Suku Bunaq Aitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Ada banyak teman yang berpacaran dengan gadis-gadis suku bangsa Bunaq. Teman-teman itu ada yang berasal dari suku Bunaq, ada juga yang berasal dari luar suku Bunaq. Beberapa teman itu terpaksa mengakhiri pacaran dengan gadis suku Bunaq karena belis gadis suku bangsa Bunaq mahal. Mereka takut tidak mampu membayar belis/mahar gadis suku Bunaq.
Laki-laki suku Bunaq yang pergi menuntut ilmu di luar suku Bunaq, di luar pulau Timor yang dikenal dengan nama besar sebagai pulau cendana itu, misalnya laki-laki suku Bunaq yang menuntut ilmu di Pulau Jawa, khususnya di Jakarta, di Surabaya, di Semarang dan di Jogja, atau misalnya laki-laki suku Bunaq yang meninggalkan pulau cendana ke Pulau Dewata-Bali atau pulau Jawa, enggan kembali ke ibu pertiwi Suku Bangsa Bunaq, untuk menikahi seorang gadis suku bangsa Bunaq karena belis gadis suku Bunaq lebih mahal, di bandingkan dengan gadis-gadis yang mereka jumpai di Pulau Jawa dan pulau dewata.
Pada suatu kali, seorang pemuda suku Bunaq di Jakarta, yang mengadu nasib di Ibu Kota Negara-Jakarta mengatakan demikian :
" Saya telah memutuskan masuk ke dalam PSIJ. PSIJ singkatan dari Persatuan Semua Isteri Jawa. Istilah ini terkenal di telinga putera Pulau Cendana yang mempunyai isteri yang berasal dari Pulau Jawa. Maksudku, setelah sekian tahun lamanya bekerja di Jakarta, saya tidak ingin kembali ke kampung halaman, tetapi saya memutuskan menikahi seorang gadis yang berasal dari pulau Jawa. Kembali ke ibu pertiwi suku Bunaq, dan nikah dengan seorang gadis suku Bunaq, belisnya mahal, setelah menikah dengan gadis yang berasal dari suku Bunak, diikat oleh berbagai adat yang tidak efektif dan efisien dalam pelaksanaannya, bukan menjadi mimpi saya. Nikah dengan gadis Jawa khan, belis tidak mahal. Bahkan tidak ada belis seperti suku Bunag". Komentar itu terekam di telinga penulis, ketika penulis berada di Jakarta, pada tanggal 15 Januari 2006 di Soverdi St.Yosef Matraman, tepat perayaan St. Arnoldus Janssen, pendiri Serikat Sabda Allah. Komentar-komentar yang bernada sama, juga keluar dari para mahasiswa asal pulau Cendana di Jogjakarta, di Surabaya dan Malang kota bunga. Kesan penulis bahwa komentar-komentar itu terungkap secara spontan, tetapi bisa juga kata-kata itu sudah dipertimbangkan secara matang sebelumnya. Yang jelas bahwa ungkapan-ungakapan atau komentar- komentar demikian, sangat dipengaruhi oleh adat belis gadis suku Bunaq yang menurut para komentator itu belis suku Bunak itu sangat mahal, bila dilihat dari segi ekonomisnya saja.Belis gadis perawan suku Bunaq mahal. Memang pada umumnya demikian. Harga atau belis atau mahar gadis suku Bunaq dewasa ini semuanya telah diuangkan atau dirupiahkan. Pada umumnya, belis gadis perawan suku Bunaq berkisar 8 sampai 15 Juta rupiah. Mahalnya belis gadis perawan berbangsa Suku Bunaq seperti itu, bukan suatu keputusan sepihak. Tetapi semahal apapun, belis gadis perawan suku Bunaq itu, diawali suatu dialog adat antara presiden suku atau ketua suku pihak bakal calon suami dengan pihak presiden suku atau ketua suku serta keluarga bakal calon isteri. Semacam ada tawar-menawar harga belis gadis perawan suku bunaq itu, sampai kedua belah pihak setuju pada penentuan final harga belis gadis perawan suku bangsa Bunaq yang akan hidup sebagai suami-isteri. Dialog itu akhirnya tidak mencapai kata seia-sekata, maka pihak laki-laki akan membatalkan rencananya untuk menikahi gadis yang bakal menjadi isterinya itu.Kalau kata seia-sekata antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan tentang besarnya jumlah belis gadis perawan suku Bunaq, maka bagaimana proses pembayaran belis gadis perawan suku Bunaq itu? Siapa-siapa yang membayar belis gadis perawan itu? Belis gadis perawan suku Bunaq, khususnya di Desa Aitoun-Kecamatan Rai Hat, akan dibayar oleh seluruh anggota sesuku pemuda yang akan menikahi gadis tersebut. Bahkan, belis itu dibayar juga oleh teman-teman pemuda yang akan menikah, karena soal relasi, sahabat dekat, teman sekerja, walaupun bukan sesuku dengan pemuda yang akan menikah gadis itu. Bahkan juga yang ikut membayar belis gadis yang akan dinikahi pemuda itu, termasuk suku-suku yang menjadi asal-usul suku pemuda yang menikahi gadis itu. Proses pembayaran belis gadis perawan suku Bunaq demikian. Misalnya kalau, total belis gadis perawan suku Bunaq yang telah disetujui setelah tawar menawar antara presiden suku atau ketua suku laki-laki dengan presiden suku atau ketua suku gadis perawan adalah 15 Juta Rupiah. Presiden suku atau ketua suku dari pihak Laki-laki akan membagikan beban pembayaran atau tanggungan bayar belis itu kepada seluruh anggota suku berdasarkan hubungan kedekatan. Pemuda yang akan menikah gadis itu, tanggung satu Juta rupiah. Setiap saudara-saudari kandung pemuda itu, tanggung lima ratus ribu rupiah. Mereka yang berstatus Om dalam suku pemuda itu, tanggung duaratus lima puluh ribu tiap pribadi yang bersatus Om. Dan seterusnya, presiden suku atau ketua suku laki-laki akan mengatur sedemikian rupa, agar setiap anggota sesuku pemuda itu, mengumpulkan uang sebesar seharga belis gadis perawan yang telah disepakati dan diterima. Presiden menghitung seluruh anggota sukunya agar pengumpulan uang oleh anggota suku itu mencapai harga belis gadis yang telah disepakati.Melihat harga belis gadis perawan suku Bunaq yang demikian, proses pengumpulan uang yang demikian, maka sebetulnya, belis gadis perawan suku Bunaq tidak mahal. Karena proses pengumpulan itu, mencerminkan kekompakan anggota suku. Kerja sama anggota suku. Dalam sebuah perkawinan intern, perempuan suku Bunaq dengan laki-laki suku Bunaq sesungguhnya belis itu tidak mahal.Kecuali, pemuda dari luar suku Bunaq yang hendak menikahi gadis perawan suku Bunaq, mengikuti adat belis suku Bunaq, maka keluarga pemuda yang berasal dari luar suku Bunak akan merasa sangat berat dalam membayar belis gadis yang bersuku bunak yang akan menjadi isteri pemuda dari luar suku Bunak tersebut. Prinsipnya pemuda dari luar suku Bunaq yang telah jatuh cinta pada gadis perawan suku bunaq, yang telah dikuasai oleh cinta dan sulit melepaskan gadis perawan suku Bunaq, pasti melewati proses dialog-tawar menawar belis antara keluarga pemuda dengan keluarga gadis. Dialog itu akan berakhir dengan kesepakatan bersama kedua belah pihak dalam menentukan besarnya belis gadis perawan yang akan dinikahi pemuda dari luar suku Bunaq. Proses pembayarannya pun bisa dibicarakan dan disepakati, misalnya pembayaran belis secara bertahap, atau bayar sekali di awal pernikahan mereka. Semuanya bukan suatu paksaan, tetapi suatu kesepakatan bersama.
Penulis melihat belis gadis perawan suku Bunaq bukan sebagai suatu beban. Penulis melihat itu sebagai satu tanggungjawab pemuda yang akan menikah. Pemuda yang akan menikah, telah dinilai mampu untuk menjadi bapa atau ayah sekaligus sebagai suami yang dapat bertanggungjawab terhadap keluarga, adat dalam suku buna, dan relasi sosial dalam masyarakat suku Bunaq. Selain itu proses pembayaran belis gadis perawan suku Bunaq yang melibatkan seluruh anggota sesuku pemuda yang akan menikah, menunjukkan satu ikatan tanggungjawab moral si pemuda yang akan menikah, bahwa pemuda itu harus mencintai dan setia pada isterinya dalam suka maupun duka. Pemuda yang akan menjadi suami itu harus mempertahankan kehidupan keluarganya itu dengan penuh tanggungjawab terhadap seluruh anggota sesuku. Pemuda itu dinasihati presiden suku atau ketua suku, bahwa dia harus menjalankan tugas dan tanggungjawabnya kepada isteri dan anak-anaknya, sampai mati. Dia tidak boleh cerai dan meninggalkan anak-anaknya. Anggota suku pemuda itu hanya sekali membayar belis gadis yang telah dinikahinya. Kalau pemuda itu cerai dan hendak menikahi gadis yang lain, itu urusan pribadi, dan bahkan perkawinan itu tidak direstui oleh presiden suku atau ketua suku dengan seluruh anggota sukunya.
Suami isteri harus setia satu sama lain sampai mati salah satunya. Mereka harus menjadi orang tua yang bertanggungjawab satu terhadap yang lain, dan terhadap anak-anak, serta setia pada tata aturan adat suku isteri maupun suku suami. Menjadi orang tua dalam suku Bunaq, secara adat, memiliki keterikatan oleh tanggungjawab dan kewajiban dalam kehidupan suku Bangsa Bunaq.****



Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..



Minggu, April 06, 2008

Tahap-Tahap Rekonsiliasi Suku Bunaq Aitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Suku-suku kecil yang menyebar di suku Bunak kerapkali mengalami konflik baik secara intern maupun secara ekstern dengan suku-suku lain. Suku-suku lain itu adalah suku Sabu-Rote misalnya. Mahasiswa suku Bunak yang ada di Kupang atau di Jawa atau di Pulau dewata, mempunyai peluang besar konflik dengan suku-suku lain karena berbagai soal sederhana sampai soal yang paling komplit.Kalau toh generasi muda sekarang ini konflik maka ada jalan penyelesaiannya. Konflik model apapun antara Suku-Suku Kecil di dalam suku Bunak maupun konflik antar suku Bunak pada umumnya dengan suku Sabu - Rote ada penyelesaiannya melalui sebuah yaitu pendekatan Budaya. Ada tiga pendekatan dari segi budaya untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Pendekatan penyelesaian ini diperoleh lewat wawancara langsung dengan pastor sulung dari Suku Bunak, Pater Yustus Asa, SVD yang kini sebagai Vikjen keuskupan Atambua. Wawancara informal dengan Pater Yustus Asa, SVD berlangsung dari pukul 20.30-21.30 WIB, hari Sabtu 2 Februari 2008, di Ruang Rekreasi Wisma Santo Arnoldus Janssen SVD Surabaya. Ada tiga pendekatan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dan dialami dalam kehidupan suku Bunak.

Pertama, dalam bahasa adat suku Bunak dan sejarah suku Bunak dan Sabu ada istilah "HULO LEB", artinya ada sebuah sumpah adat yang telah dibuat antara kakak beradik di daerah Suku Bunak. Kakak beradik itu mengadakan sumpah dengan minum darah bersama. Sumpah yang diikat dengan meminum darah yang diambil darah kedua kakak dan adik itu diadakan sebelum mengadakan perpisahan antara kakak dan adik tersebut. Sumpah perpisahan itu bermakna bahwa meskipun kedua kakak-beradik itu berpisah dan akan berkembang biak di tempat yang berbeda, mereka akan tetap hidup rukun-guyub-bersatu dan damai. Diceriterakan bahwa kakak itu setelah diikat oleh sumpah itu tetap tinggal di Suku Bunak sedang adiknya itu pergi ke tempat yang namanya Sabu-Rote dan berkembang di sana. Keduanya berkembangbiak sampai hari ini di Suku Bunak maupun di Sabu-Rote. Ciri-ciri yang menyatukan kedua suku tersebut adalah ada nama-nama manusia suku Bunak dan suku Sabu - Rote yang mirip dan bahkan ada yang sama. Misalnya ada nama Mali di Sabu dan Rote juga ada di Suku Bunak. Ada nama Bere di Sabu-Rote dan Bunak.

Menurut sejarah suku bunak, sumpah itu tidak boleh dilanggar. Pihak yang melanggar akan termakan oleh darahnya sendiri yang telah dia minum dalam sumpah adat tersebut. Pihak yang melanggar sumpah itu akan dikutuk yaitu muntah darah, berak darah, dan penyakit yang lainnya. Pola pendekatan ini sangat ampuh dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi dalam kehidupan bersama antara suku Bunak dengan suku Sabu Rote, baik di Kupang, ibukota propinsi NTT maupun di Luar pulau cendana.

Kedua, Konflik yang terjadi antara suku-suku kecil yang menyebar di dalam suku Bangsa Bunak, secara khusus di Dusun Asueman, Kedesaan Aitoun, kecamatan Rai Hat, Keuskupan Atambua. Konflik itu terjadi disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari hal yang sederhana sampai dengan hal yang kompleks-rumit. Konflik - konflik yang terjadi dan ada itu diselesaikan dengan pendekatan adat-budaya yaitu "Hubungan Malu-Ai", yaitu hubungan antara suku-suku pemberi perempuan dengan suku-suku penerima perempuan. Relasi hubungan "Malu-Ai" ini menjadi senjata yang ampuh untuk menyelesaikan berbagai konflik yang ada di suku Bunak. Semua suku - suku Kecil yang ada dalam suku Bunak adalah suku-suku yang terikat erat oleh hubungan "Malu-Ai" ini. Hubungan "malu-ai" ini abadi dan hubungan ini menjadi "roh" yang menggerakkan semua relasi adat yang ada dalam suku Bunak. Hubungan “Malu-Ai” ini seperti jaring-jaring yang saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan yang menyatukan semua suku-suku kecil yang tersebar di dalam suku Bunak dewasa ini dan seterusnya. Semua urusan adat pasti ada aturan mainnya yang digariskan oleh tua adat berdasarkan "Hubungan Malu -Ai " ini. Hubungan "malu-ai" ini rusak maka semua urusan adat tidak akan berjalan atau dilaksanakan. Hubungan "Malu-Ai" ini baik maka semua urusan adat dan urusan rohani misalnya misa syukur tahbisan dan sejenisnya, dan juga urusan pemerintahan akan dapat berjalan dengan baik. Konflik antara suku-suku kecil yang ada dalam suku Bunak pasti akan diselesaikan berdasarkan relasi hubungan "Malu-Ai" yang digunakan oleh para "lal gomo" atau "makoan" bersama para pendamai lainnya dalam hal ini presiden suku atau ketua suku.
Ketiga, Semakin banyak penduduk, semakin padat penduduk, semakin besar peluang untuk menciptakan konflik yang beraneka ragam dan lebih luas cakupan konflik. Semakin terbuka suku Bunak karena transportasi lancar dan komunikasi lancar lewat sms dan telephone via HP, konflik bisa dengan mudah dialami karena ada pihak-pihak luar yang menjadi provokator. Konflik yang diprovokasi dari pihak luar dapat merusak keharmonisan suku Bunak. Pihak luar itu bisa dari aparat keamanan yang memprovokasi rakyat sederhana untuk mencari lahan pekerjaan, atau golongan lain yang membayar masyarakat sederhana untuk membangkitkan konflik demi kepentingannya tercapai. Konflik seperti ini di hadapi atau diselesaikan dengan "Hubunga Dasak Raq" yaitu hubungan antara rakyat dengan pemerintah. Maka konflik lebih kompleks itu dapat diselesaikan berdasarkan hukum sipil yang berlaku bagi setiap warga negara dan umat beriman. Hukum sipil dan hukum religius dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik yang lebih rumit dan kompleks luas cakupannya. Dalam hal ini, pemimpin pemerintahan dan pemimpin religius setempat sangat besar pengaruhnya dalam menyelesaikan konflik yang ada dan terjadi karena provokator pihak luar. Uskup dan para imam serta biarawan-biarawati sebagai pembawa kedamaian bagi masyarakat suku Bangsa bunak yang hidup dalam konflik karena hasutan para provokator dari golongan luar suku Bunak. Penyelesaian dengan menggunakan "Hubungan Dasak Raq" ini menjadi alat jitu bagi penyelesaian konflik-konflik besar yang terjadi di dalam suku Bunak.****

Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..


Sabtu, April 05, 2008

Berziarah dari Rumah Adat Suku Monewalu Menuju Rumah Adat SVD

Saya bersuku Monewalu. Suku Monewalu memiliki rumah adat suku yang menyatukan semua anggota suku Monewalu. Selama saya sebagai anggota suku Monewalu, Rumah suku adalah pusat persatuan suku Monewalu pada umumnya. Pertemuan-pertemuan adat dilangsungkan dalam rumah adat suku Monewalu. Baik itu pertemuan syukuran maupun pertemuan perutusan atau perpisahan maupun adat-adat kematian.


Dalam perjalanan saya, pada suatu ketika saya mulai beralih dari rumah adat suku Monewalu memasuki rumah adat SVD. Pada waktu misa pertama saya pada hari selasa 5 Oktober 2004 di Telolo-Malate, saya waktu berarak dari rumah kelahiran menuju tenda tempat merayakan misa perdana, saya mengenakan pakaian adat, pakaian yang disiapkan oleh rumah suku Monewalu. Yang mendampingi saya dalam perarakan itu adalah presiden suku atau ketua suku dan seluruh keluarga dan anggota suku Monewalu. Persis di depan altar-setelah lagu perarakan dan sapaan adat perarakan, saya dihadapakan kepada ketua suku Monewalu. Ketua suku Monewalu atau presiden suku Monewalu melepaskan semua perlengakpan pakaian adat yang saya kenakan dalam perarakan itu dan saya diserahkan seutuhnya kepada Gereja dan Serikat Sabda Allah. Penyerahan itu diiringi dengan kata-kata adat suku Bunak. Ketua suku Monewalu yang menyerahkan saya kepada SVD dan Gereja itu disimbolkan dengan ketua suku Monewalu menanggalkan semua pakaian adat suku Monewalu yang saya kenakan. Lalu saya dihadapkan kepada para imam senior SVD yaitu Pater Gabriel Dasi, SVD dan Pater Lazarus Mau, SVD yang memakaikan Pakaian Liturgi resmi Gereja Katholik yaitu Kasula dan stola disusul Perayaan Peneyerahan diri saya oleh ketua Suku Monewalu kepada SVD dan Gereja, yang berpuncak dalam Perayaan Ekaristi Kudus pusat iman Kristiani. Perayaan Misa Perdana ini sungguh sangat menyentuh saya dalam setiap refleksi perjalanan panggilan saya. Perayaan ini selalu menguatkan saya dalam perziarahan panggilan imamat saya. Dikala saya terlalu memiliki keterikatan bathin yang kuat, saya mengambil waktu hening, melihat kembali perjalanan panggilan saya, misa perdana ini selalu memberi inspirasi dan sekaligus kekuatan bahwa saya telah diserahkan oleh Suku Monewalu kepada Gereja dan SVD waktu misa perdana itu maka saya tidak perlu hidup dikuasai oleh perasaan sesaat terlalu memikirkan keluarga dengan segala persoalannya. Biarkanlah mereka menghadapi semua persoalannya. Jangan terlalu masuk dalam hidup keluarga.


Penyerahan saya kepada SVD dan Gereja oleh Ketua Suku monewalu ini diispirasikan oleh adat istiadat suku bunak tentang adat paen Tol. Meninggalkan rumah adat suku Bunak menuju rumah adat SVD, Serikat Sabda Allah, Societas Verbi Divini ada kaitan erat dengan yang namanya adat Paen tol yang berlaku dalam Suku Bunak. Paen Tol berarti meninggalkan suku asal menuju suku penerima. Alasan paen tol adalah suku asal memiliki banyak anggota sedangkan suku penerima kekurangan anggota atau nyaris anggotanya punah karena perempuan suku tersebut tidak meneruskan keturunan. Atau suku penerima itu mayaritas anggotanya adalah laki-laki dan perempuannya sedikit. Hal harus dimengerti dalam sistem adat matrilineal suku bunak yang sedang berlaku sampai saat ini. Paen adalah satu cara tetap mempertahankan nama suku dan anggotanya. Paen ini terjadi atas kesepakatan adat pemberi anggota sukunya dan penerima anggota suku. Pemberi anggota suku menerima harga adat atas anggotanya yang telah diberikan kepada penerima. Suku penerima mengeluarkan berupa uang, emas, perak sesuai aturan adat yang berlaku berdasarkan kesepakatan secara adat antara kedua belah pihak yaitu pemberi perempuan dengan penerima perempuan. Menurut saya ini semacam transaksi adat anggota sukunya dari pemberi anggota sukunya kepada penerima anggota suku yang baru. Penerima anggota suku akan menerima pendatang baru dan memberi mereka posisi penting dalam seluruh urusan adat suku penerima. Ini adalah satu penghargaan yang besar dari pihak penerima perempuan kepada pendatang baru. Pendatang baru ini ditempatkan sebagai raja dan bahkan sebagai tuan tanah dalam suku yang menerima mereka. Pendatang baru ini sebagai anggota resmi suku yang menerimanya lewat adat Paen Tol ini. Pendatang ini mendapat posisi sebagai pemimpin suku atau lebih dikenal sebagai ketua suku. Ini menunjukkan bahwa anggota suku baru itu memiliki tanggungjawab yang penuh bagi suku yang menerima mereka.

Dipandang dari sudut pandang adat, adat Paen Tol ini diciptakan untuk membangun relasi kekeluargaan adat yang lebih luas. Relasi adat itu akan abadi dalam keberadaan dan perziarahan suku penerima dengan suku pemberi perempuan. Pendatang suku baru itu juga mendapat harta warisan suku untuk diolah dan dilestarikan bagi anggota suku dan keluarganya. Anggota suku yang baru dapat menjadi pemilik atas suku yang dimasukinya dan pemilik segala yang menjadi harta warisan suku itu. Kehadiran pendatang baru sebagai pemilik suku Baru itu mengikatnya sampai mati. Dia telah meninggalkan suku awalnya dan dia telah dibaptis masuk suku yang baru. Dia tinggal di suku yang menerima dia dan jika pada suatu waktu meninggal, dia pun akan dikuburkan di kuburan suku yang menerima dia. Meskipun demikian dalam relasi adat , pihak suku yang memberikan perempuannya kepada suku penerima, sangat dihargai oleh suku penerima perempuan. Suku Pemberi perempuan diistimewakan karena mereka itu yang menjadi pelestari keturunan suku penerima perempuan, lewat perempuan yang diberikan kepada suku penerima perempuan. Penghargaan ini akan terungakap dalam setiap adat yang terjadi pada dua belah pihak. Saya sebagai anak yang dilahirkan oleh adat dan budaya suku Bunak yang demikian, lalu berefleski adat paen tol itu dalam konteks perjalanan panggilan saya sebagai seorang imam misionaris religius SVD. Saya telah meninggalkan orang tua, kakak, adik, keluarga dekat-keluarga jauh, anggota suku, rumah suku asal kelahiran saya menuju Rumah adat SVD, bukan lewat adat paen tol tetapi dalam Kaul Kekal, sebagai jembatan yang memasukkan saya secara resmi ke dalam rumah adat SVD. Saya beralih dari rumah adat suku Bunak memasuki rumah adat SVD. Seperti dalam rumah adat suku Bunak, dalam rumah adat SVD juga memiliki yang namanya ketua rumah adat SVD dan aturan bersama hidup dalam rumah adat SVD, baik dalam level general, provinsi, rentorat. Secara fisik ada keterpisahan tetapi dalam relasi yang lebih dalam yaitu relasi Cinta Rohani, saya tetap membangun relasi yang bagus dengan keluarga dan anggota rumah adat suku yang melahirkan saya secara adat sehingga saya menjadi pribadi yang beradat. Relasi yang demikian saya ungkapkan lewat doa-doaku bagi anggota rumah adat sukuku, lewat komunikasi lemat e-mail, surat-menyurat, sms, telephone. Juga saya tetap menjalin komunikasi lewat kunjungan kepada orang tua dan keluarga besar suku Monewalu, sesuai dengan tata auran SVD, yaitu setiap tiga tahun menjalankan hukum ke-empat, mengunjungi orang tua dan anggota suku di rumah adat suku asal saya. ****

Kamis, April 03, 2008

ACADEMIA NTT

http://www.ntt-academia.org/

Rabu, April 02, 2008

PUSLIT MANSE NSAE

Lia Dadolin adalah journal yang diterbitkan oleh (http://www.manse-nsae-research-center.blogspot.com/ ) Puslit Manse Nsae. Manse Nasae artinya matahari terbit. Dari namanya tampak identitas puslit ini yaitu penemuan nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam budaya Timor dalam dialog dengan nilai-nilai universal yang menyatukan semua manusia melintas batas.