Rabu, Agustus 11, 2010

MEMAHAMAI ARTI NAMA “ POU LIKA” DALAM SUKU BUNAK


*RM. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD*



Hari ini, Hari Rabu, pukul 02.30 WITENG, 11 Agustus 2010, cucuku yang kedua, anak perempuan telah lahir di Rumah Sakit Umum Atambua (RUSA).


Dalam adat suku Bunak usai anak lahir, langkah pertama adalah pemberian nama kepada anak yang baru lahir. Pemberian nama secara adat ada aturannya. Cucuku kedua ini dalam adat suku Bunak disebut POU yang berarti anak kedua dalam kebiasaan adat suku Bunak untuk memanggil anak kedua.



Cucuku tidak akan meminum ASI kalau namanya secara adat belum diberikan. Nama kedua sesudah POU harus diberikan. Pemberian nama itu ada aturan tersendiri dalam adat Suku Bunak.


Saat di RUSA nenek dari cucuku ada dan neneknya yang memberikan nama kepada cucunya. Selama pemberian nama, saya selalu mengikuti cara pemberian nama lewat HP. Neneknya menyebut nama-nama leluhur yang dikenakan kepada cucu POU. Dari sekian nama yang disebut dan diberikan kepada cucu POU, hanya satu nama yang diterima dan tepat untuk cucu POU. Selama pemberian nama itu belum tepat cucu Pou selalu menangis dan tidak meminum ASI.


Nama kedua setelah POU yang tepat untuk cucu POU adalah LIKA. Nama Lika ini dikenakan kepada cucu POU sehingga nama cucu POU secara lengkap dalam pemberian nama adat Suku Bunak menjadi POU LIKA. Nama LIKA adalah nama leluhur dari suku Lianain, suku ayah dari cucu POU LIKA ini. Pemberian nama yang tepat kepada cucu dengan nama lengkap POU LIKA ini memberi ketenangan dan kedamaian kepada cucu POU LIKA. Sebelum diberi nama yang tepat cucu POU terus menangis dan tidak mau meminum ASI, sesudah diberi nama secara tepat sesuai petunjuk para leluhur lewat neneknya yang menyebut nama leluhur dari pihak suku mama Suku MONEWALU maupun dari suku Bapa Suku LIANAIN, maka cucu POU LIKA tidak menangis dan langsung meminum ASI.


Nama adalah hakekat dari cucuku yang baru dilahirkan. Nama menyatakan siapa manusia itu. Nama mengabadikan manusia. Dalam nama manusia tetap ada, tetap hidup. Nama yang ditulis akan dikenang selamanya. Nama yang ditulis akan dikenal sepanjang zaman oleh setiap pembaca yang membaca dan menyebut nama itu. Nama adat adalah pengakuan keberadaan adat Suku Bunak. Nama menunjukkan hakekat pemilik nama. Sebutan POU LIKA bagi suku Bunak langsung tahu bahwa anak yang baru lahir dan diberi nama POU LIKA itu adalah anak kedua sah lahir dari kedua orang tua dalam Adat Suku BUNAK dalam sebutan POU dan meneruskan atau mengabadikan leluhur LIKA yang telah meninggal sejak zaman dahulu kala, kini hidup kembali, bangkit kembali dalam diri anak yang memiliki nama LIKA.


Selamat datang di dunia cucu POU LIKA dalam suasana dunia yang bersukacita menyambutmu bersama sukacita ayah dan ibumu tercinta. Sang Pencipta setiap detik memberi cintaNya kepadamu POU LIKA melalui kedua orang tuamu yang dengan penuh cinta mengashimu dengan seutuhnya.


Tentu nenek POU LIKA lebih bersukacita karena kini telah memiliki cucu kedua perempuan. Dalam adat Suku Bunak anak perempuan pasti sangat dicintai kedua orang tua baik dari suku LIANAIN, suku ayah POU LIKA maupun suku MONEWALU, suku mama POU LIKA. Alasan sukacita kedua orang tua karena dalam adat Suku Bunak yang menganut system kekerabatan matrilineal, dalam pardigma adat suku Bunak, anak perempuan mendapat sukacita orang tua secara lebih.


Sukacita kedua orang tua itu karena ada belis dari anak perempuan kelak menjalani hidup berkeluarga. Pihak keluarga ayah POU LIKA akan lebih bersukacita karena mereka akan mendapat belis lebih besar dibanding dengan pihak keluarga ibu POU LIKA. Sukacita dari pihak ibu POU LIKA karena anaknya ini sebagai perempuan, yang akan mendiami di rumah orang tua kelak orang tuanya telah usia lanjut, untuk memelihara dan menjaga serta merawat kedua orang tuanya yang telah berusia lanjut. Anak perempuan tinggal di rumah suku mama sedangkan anak laki-laki kelak berkeluarga tinggal di suku isterinya. Keunikan system kekerabatan matrilineal dalam suku Bunak memberi posisi sentral kepada anak perempuan. ***

KELAHIRAN PUTERI " POU LIKA" DALAM ADAT SUKU BUNAK

*RM. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD*

Hari ini, Hari Rabu, pukul 02.30 WITENG, 11 Agustus 2010, cucuku yang kedua, anak perempuan telah lahir di Rumah Sakit Umum Atambua (RUSA).

Dalam adat suku Bunak usai anak lahir, langkah pertama adalah pemberian nama kepada anak yang baru lahir. Pemberian nama secara adat ada aturannya. Cucuku kedua ini dalam adat suku Bunak disebut POU yang berarti anak kedua dalam kebiasaan adat suku Bunak untuk memanggil anak kedua.

Cucuku tidak akan meminum ASI kalau namanya secara adat belum diberikan. Nama kedua sesudah POU harus diberikan. Pemberian nama itu ada aturan tersendiri dalam adat Suku Bunak.

Saat di RUSA nenek dari cucuku ada dan neneknya yang memberikan nama kepada cucunya. Selama pemberian nama, saya selalu mengikuti cara pemberian nama lewat HP. Neneknya menyebut nama-nama leluhur yang dikenakan kepada cucu POU. Dari sekian nama yang disebut dan diberikan kepada cucu POU, hanya satu nama yang diterima dan tepat untuk cucu POU. Selama pemberian nama itu belum tepat cucu Pou selalu menangis dan tidak meminum ASI.

Nama kedua setelah POU yang tepat untuk cucu POU adalah LIKA. Nama Lika ini dikenakan kepada cucu POU sehingga nama cucu POU secara lengkap dalam pemberian nama adat Suku Bunak menjadi POU LIKA. Nama LIKA adalah nama leluhur dari suku Lianaian, suku ayah dari cucu POU LIKA ini. Pemberian nama yang tepat kepada cucu dengan nama lengkap POU LIKA ini memberi ketenangan dan kedamaian kepada cucu POU LIKA. Sebelum diberi nama yang tepat cucu POU terus menangis dan tidak mau meminum ASI, sesudah diberi nama secara tepat sesuai petunjuk para leluhur lewat neneknya yang menyebut nama leluhur dari pihak suku mama Suku MONEWALU maupun dari suku Bapa Suku LIANAIN, maka cucu POU LIKA tidak menangis dan langsung meminum ASI.

Nama adalah hakekat dari cucuku yang baru dilahirkan. Nama menyatakan siapa manusia itu. Nama mengabadikan manusia. Dalam nama manusia tetap ada, tetap hidup. Nama yang ditulis akan dikenang selamanya. Nama yang ditulis akan dikenal sepanjang zaman oleh setiap pembaca yang membaca dan menyebut nama itu. Nama adat adalah pengakuan keberadaan adat Suku Bunak. Nama menunjukkan hakekat pemilik nama. Sebutan POU LIKA bagi suku Bunak langsung tahu bahwa anak yang baru lahir dan diberi nama POU LIKA itu adalah anak kedua sah lahir dari kedua orang tua dalam Adat Suku BUNAK dalam sebutan POU dan meneruskan atau mengabadikan leluhur LIKA yang telah meninggal sejak zaman dahulu kala, kini hidup kembali, bangkit kembali dalam diri anak yang memiliki nama LIKA.

Selamat datang di dunia cucu POU LIKA dalam suasana dunia yang bersukacita menyambutmu bersama sukacita ayah dan ibumu tercinta. Sang Pencipta setiap detik memberi cintanya kepadamu POU LIKA melalui kedua orang tuamu yang dengan penuh cinta mengashimu dengan seutuhnya.

Tentu nenek POU LIKA lebih bersukacita karena kini telah memiliki cucu kedua perempuan. Dalam adat Suku Bunak anak perempuan pasti sangat dicintai kedua orang tua baik dari suku LIANAIN, suku ayah POU LIKA maupun suku MONEWALU, suku mama POU LIKA. Alasan sukacita kedua orang tua karena dalam adat Suku Bunak yang menganut system kekerabatan matrilineal, dalam pardigma adat suku Bunak, anak perempuan mendapat sukacita orang tua secara lebih.

Sukacita kedua orang tua itu karena ada belis dari anak perempuan kelak menjalani hidup berkeluarga. Pihak keluarga ayah POU LIKA akan lebih bersukacita karena mereka akan mendapat belis lebih besar dibanding dengan pihak keluarga ibu POU LIKA. Sukacita dari pihak ibu POU LIKA karena anaknya ini sebagai perempuan, yang akan mendiami di rumah orang tua kelak orang tuanya telah usia lanjut, untuk memelihara dan menjaga serta merawat kedua orang tuanya yang telah berusia lanjut. Anak perempuan tinggal di rumah suku mama sedangkan anak laki-laki kelak berkeluarga tinggal di suku isterinya. Keunikan system kekerabatan matrilineal dalam suku Bunak memberi posisi sentral kepada anak perempuan. ***

ADAT "LASIK WA" SUKU BUNAQ AITOUN



*P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD*


Adat kematian suku Bunak sangat kompleks. Satu bagian adat kematian adalah “lasik wa”. Setiap anggota suku yang telah berkeluarga menerima dan melaksanakan adat “lasik wa” ini. Beberapa waktu lalu, ada adat kematian di dalam Suku Bunak di Desa Aitoun, Kecamatan Raihat. Ketua Suku menyampaikan kepada anggota sukunya yang berkeluarga untuk melaksanakan adat “lasik wa” ini. Ketua suku menetapkan jumlah uang yang dikumpulkan oleh setiap anggota suku Bunak yang telah berkeluarga untuk adat “lasik wa”. Ketua suku menetapkan jumlah uang yang dikumpulkan itu sekitar Rp.100.000.- per keluarga. Uang itu untuk membeli Babi yang akan dibunuh dan dimakan bersama anggota suku yang hadir, dalam adat kematian itu.
Secara sosial, anggota suku selalu menyetujui keputusan ketua suku untuk mengumpulkan jumlah uang yang telah ditetapkannya untuk pelaksanaan adat “lasik wa”. Secara psikologis, anggota suku juga melaksanakan itu agar tidak diberi label tidak terlibat di dalam adat “lasik wa” bahkan dijadikan buah bibir dalam kehidupan bersama suku Bunak. Sebaliknya ada cela terungkapnya penolakan dalam diri keluarga-keluarga terhadap besarnya jumlah uang yang harus dikumpulkan untuk adat “lasik wa”. Keluarga – keluarga yang masih yunior, kehidupan ekonomi yang pas-pasan, harus mengumpulkan sejumlah uang yang ditetapkan ketua suku, ada protes atau penolakan dalam hati. Keluarga yang ekonominya baik mengumpulkan uang sama jumlahnya dengan keluarga yang ekonomi kelas menengah ke bawah, adalah sebuah cela yang perlu diisi dengan makhluk keadilan dalam adat “lasik wa” dalam adat kematian suku Bunak.
Keadilan itu penting dilaksakanan oleh ketua suku bagi seluruh anggota keluarda dari suku Bunak, khususnya dalam menetapkan jumlah uang yang harus ditanggung oleh setiap keluarga dalam adat “lasik wa” dalam setiap adat kematian di dalam suku Bunak. Cara sederhana untuk menerapkan keadilan dalam melaksanakan adat “ lasik wa” adalah demikian. Ketua suku perlu mengenal setiap anggota keluarga dalam suku Bunak yang dipimpinnya. Mengenal itu meliputi beraneka aspek kehidupan anggota keluarga dalam suku yang dipimpinnya. Dalam gandengan dengan adat “lasik wa” dalam adat kematian yang tidak dapat dihindari setiap keluarga Suku Bunak ini, ketua suku perlu mengenal pendapatan setiap keluarga anggota sukunya, dengan data pendapatan keluarga dalam sukunya itu, menjadi pegangan atau alasan mendasar bagi ketua suku untuk menetapkan jumlah uang yang harus dikumpulkan setiap keluarga dalam sukunya untuk adat “lasikwa” dalam kematian salah seorang anggota sukunya. Mereka yang kaya menerima beban adat “lasik wa” lebih besar dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Keputusan ketua suku pada umumnya selalu diterima oleh anggota suku yang dipimpinnya. Dengan cara ini, ada cahaya keadilan bersinar dalam adat “lasik wa” sebagai satu bagian dari adat kematian dalam suku Bunak di desa Aitoun, Kecamatan Raihat.
Uang adat “lasik wa” itu biasanya tidak dibelanjakan semua. Masih ada sisi uang adat “lasik wa” dalam sebuah adat kematian dalam suku Bunak. Uang itu diketahui oleh ketua suku dan biasanya dipegang oleh bendahara suku. Laporan transparan atas Keuangan itu kepada anggota suku, dalam “lasik wa” dalam adat kematian itu mempertajam saling percaya di antara anggota suku Bunak. Uang sisa itu dapat disimpan atau ditabung dalam tabungan suku misalnya. Tinggal rencana ketua suku dan bendara dan seluruh anggota suku untuk memanfaatkan uang sisa itu bagi kemajuan dan kesejahteraan seluruh anggota suku Bunak. Sebuah Manajemen hati ketua suku untuk kesejahteraan semua keluarga dalam suku Bunak sangat berarti. ***

MELAYANI DENGAN HATI: KETUA RUMAH-RUMAH SUKU DI AITOUN

-->
*P.BENEDIKTUS BERE MALI, SVD*

-->

Adat kematian suku Bunak sangat kompleks. Satu bagian adat kematian adalah “lasik wa”. Setiap anggota suku yang telah berkeluarga menerima dan melaksanakan adat “lasik wa” ini. Beberapa waktu lalu, ada adat kematian di dalam Suku Bunak di Desa Aitoun, Kecamatan Raihat. Ketua Suku menyampaikan kepada anggota sukunya yang berkeluarga untuk melaksanakan adat “lasik wa” ini. Ketua suku menetapkan jumlah uang yang dikumpulkan oleh setiap anggota suku Bunak yang telah berkeluarga untuk adat “lasik wa”. Ketua suku menetapkan jumlah uang yang dikumpulkan itu sekitar Rp.100.000.- per keluarga. Uang itu untuk membeli Babi yang akan dibunuh dan dimakan bersama anggota suku yang hadir, dalam adat kematian itu.
Secara sosial, anggota suku selalu menyetujui keputusan ketua suku untuk mengumpulkan jumlah uang yang telah ditetapkannya untuk pelaksanaan adat “lasik wa”. Secara psikologis, anggota suku juga melaksanakan itu agar tidak diberi label tidak terlibat di dalam adat “lasik wa” bahkan dijadikan buah bibir dalam kehidupan bersama suku Bunak. Sebaliknya ada cela terungkapnya penolakan dalam diri keluarga-keluarga terhadap besarnya jumlah uang yang harus dikumpulkan untuk adat “lasik wa”. Keluarga – keluarga yang masih yunior, kehidupan ekonomi yang pas-pasan, harus mengumpulkan sejumlah uang yang ditetapkan ketua suku, ada protes atau penolakan dalam hati. Keluarga yang ekonominya baik mengumpulkan uang sama jumlahnya dengan keluarga yang ekonomi kelas menengah ke bawah, adalah sebuah cela yang perlu diisi dengan makhluk keadilan dalam adat “lasik wa” dalam adat kematian suku Bunak.
Keadilan itu penting dilaksakanan oleh ketua suku bagi seluruh anggota keluarda dari suku Bunak, khususnya dalam menetapkan jumlah uang yang harus ditanggung oleh setiap keluarga dalam adat “lasik wa” dalam setiap adat kematian di dalam suku Bunak. Cara sederhana untuk menerapkan keadilan dalam melaksanakan adat “ lasik wa” adalah demikian. Ketua suku perlu mengenal setiap anggota keluarga dalam suku Bunak yang dipimpinnya. Mengenal itu meliputi beraneka aspek kehidupan anggota keluarga dalam suku yang dipimpinnya. Dalam gandengan dengan adat “lasik wa” dalam adat kematian yang tidak dapat dihindari setiap keluarga Suku Bunak ini, ketua suku perlu mengenal pendapatan setiap keluarga anggota sukunya, dengan data pendapatan keluarga dalam sukunya itu, menjadi pegangan atau alasan mendasar bagi ketua suku untuk menetapkan jumlah uang yang harus dikumpulkan setiap keluarga dalam sukunya untuk adat “lasikwa” dalam kematian salah seorang anggota sukunya. Mereka yang kaya menerima beban adat “lasik wa” lebih besar dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Keputusan ketua suku pada umumnya selalu diterima oleh anggota suku yang dipimpinnya. Dengan cara ini, ada cahaya keadilan bersinar dalam adat “lasik wa” sebagai satu bagian dari adat kematian dalam suku Bunak di desa Aitoun, Kecamatan Raihat.
Uang adat “lasik wa” itu biasanya tidak dibelanjakan semua. Masih ada sisi uang adat “lasik wa” dalam sebuah adat kematian dalam suku Bunak. Uang itu diketahui oleh ketua suku dan biasanya dipegang oleh bendahara suku. Laporan transparan atas Keuangan itu kepada anggota suku, dalam “lasik wa” dalam adat kematian itu mempertajam saling percaya di antara anggota suku Bunak. Uang sisa itu dapat disimpan atau ditabung dalam tabungan suku misalnya. Tinggal rencana ketua suku dan bendara dan seluruh anggota suku untuk memanfaatkan uang sisa itu bagi kemajuan dan kesejahteraan seluruh anggota suku Bunak. Sebuah Manajemen hati ketua suku untuk kesejahteraan semua keluarga dalam suku Bunak sangat berarti. ***


Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..