Kamis, Januari 31, 2008

Menggemakan kembali Tahbisan Diakonku 19 Februari 2004 di Katedral Malang

Hari ini, kamis 31 Januari 2008, penulis menghadiri perayaan pentahbisan para diakon SVD, O.CARM, SMM di Katedral Malang. Penthabis adalah Uskup Herman Yosef, O.Carm. Dalam kotbahnya, ditekankan bahwa kharism dan spiritualitas Tarekat adalah bekal bagi rahmat tugas perutusan Yesus yang dikukuhkan dalam tahbisan diakon. Bekal yang lain untuk melaksanakan tugas perutusan Yesus adalah iman yang rasional, yang telah dibentuk di panti pendidikan STFT. Semuanya itu disempurnakan dalam Doa sebagai kekuatan para diakon yang bertugas utama adalah sebagai pelayan Sabda, pelayan altar dan pelayan karya amal/sosial.


Tanpa doa yang kuat aktivis sosial akan merasa kering dan endingnya adalah meninggal tahbisan yang mulia itu. Ada banyak romo yang semangat sebagai aktivis, tetapi lemah di doa. Doa yang amburadul mematikan semua yang lain. Doa itu jantung hidup seorang tertahbis. Doa menghadirkan yang Jauh yaitu Tuhan yang tidak kelihatan secara lahiriah. Doa mendekatkan diri dengan sang pemiliki kehidupan. Doa adalah membuat kita merasakan kehadiran Tuhan sebagai teman dan kawan yang setia selalu mendampingi kita. Hanya dengan kekuatan doa sebagai yang mengikat diri secara erat dengan Tuhan, maka dari ikatan erat itu, tertahbis dapat mengalirkan rahmat Tuhan Yesus kepada sesama melintas batas.

Hai Para Petani Suku Bunaq Bersatulah

Petani adalah peran sentral mengadakan makanan bagi masyarakat kota yang tidak mempunyai kebun dan sawah. Penguasa dan pemerintah serta industri berpusat di kota-kota, misalnya Surabaya. Para penguasa lebih memperhatiakan masyarakat kota dibandingkan dengan masyarakat desa. Petani yang tinggal di kota sering dinilai atau diberi label sebagai orang yang tidak sejahtera seperti orang-orang yang tinggal di kota. Bahkan orang-orang kota termasuk para pemerintah melihat petani sebagai orang terkutuk dalam kehidupannya. Mendengar pernyataan atau komentar bahkan kenyataan yang memberi label kepada masyarkat desa demikian, dalam sebuah pertemuan sosialisasi hasil KWI di Paroki Santo Yakobus Surabaya pada tanggal 30 Januari 2008, telingah suku bunaq, penulis, sangat sakit dan memimpikan sebuah protes petani terhadap para pemberi label terhadap diri mereka seperti yang terungkap dalam kalimat sebelumnya di atas. Apa protes rakyat untuk membuka mata hati orang kota untuk melihat manusia desa penghasil utama beras, jagung adalah memiliki kemanusiaan yang sama dengan semua manusia termasuk manusia kota?


Ada satu hal yang menarik yang sempat rekam penulis suku bangsa Bunak ini adalah bahwa sang gembala tertinggi gereja-gereja lokal di Surabaya sempat secara blak-blakan mengungkapkan bahwa para petani lewat sms atau telephon kompak bersatu untuk mengingkatkan kesejahteraan yang para petani. Untuk menjadi sejahtera para petani bersatu menjual atau mebarter barang-barang makanan pokok dan sayur-sayuran hanya di antara mereka. Mereka bekerja sekedarnya hanya untuk kepentingan mereka setiap hari. Mereka bersatu ddan kompak untuk tidak menjual beras dan jagung serta ubi-ubian kepada orang kota yang meremehkan mereka sebagai orang yang terkutuk. Selama satu tahun para petani desa bersatu untuk tidak menjual beras dan jagung kepada orang kota, maka dalam 3 bulan persediaan makanan mereka akan habis dan pasti habis. Pada bulan yang keempat mereka akan mengalami kelaparan yang hebat dan mengerikan. Bahkan akan mengalami kematian sehingga penduduk kota akan habis dan akan diisi kembali orang desa, dan mengalami perubahan sebutan sebagai orang kota, dengan sistem kerja dan pola kerja serta pola pikir yang sangat berbeda, yang menghargai martabat manusia.

Ini adalah satu cara untuk mengubah sistem dan roh yang menggerakan sistem itu, yaitu dari habitus lama yang tidak menghargai martabat manusia, kembali menjadi insan-insan kota maupun desa yang menghargai semua orang. Tidak meremehkan sesama.

Hai manusia bersatulah. Kesatuan dalam hal yang positif dan bukan yang negatif. Persatuan yang demikian akan tetap kokoh kalau memiliki komitmen bersama. Komitmen bersama akan berjalan dengan baik, kalau ada kontrol secara teratur. Pengontrol itu bukan polisi, tentara. Pengontrol adalah kita sendiri. Cara pengontrolan terhadap komitmen bersama adalah dengan diadakannya secara teratur rapat evaluasi dalam komunitas. Ini adalah satu kontrol sosial yang sanat ideal dalam komunikasi jaman ini.


Apakah hal ini sedang dibuat di dalam suku Bunaq yang mayoritas tinggal di Desa-desa? Teori kelihatannya dimenegrti oleh suku Bunaq. Prakteknya urusan "dewe-dewe". Ah ada-ada saja. Kalau tidak demikian, mau apa lagi....