Selasa, November 13, 2012

Kotbah Misa Harian, Selasa 13 Nopember 2012



HAMBA - ISME

Tit 2:1-8.11-14; Luk 17:7-10
Misa Harian, Selasa 13 Nopember 2012,
Di Soverdi Surabaya

(P. Benediktus Bere Mali, SVD)


Kita hidup di antara aneka pandangan hidup yang menyertai keberadaan kita. Beraneka warna paradigma itu, salah satunya adalah Hamba-isme di dalam relasi sosial.


Mendengar pandangan hamba-isme pasti muncul banyak reaksi, ada yang menerima ada yang menyangkalnya dalam relasi sosial baik dalam lingkungan makro maupun mikro.


Menolak karena bukan jamannya lagi orang menjadi hamba dalam relasi sosial. Orang jaman ini menekankan kesetaraan dalam keberbedaan, bukan supordinasi satu terhadap yang lain.


Menerima karena dalam relasi spiritual, hal ini sangat penting. Relasi rohani antara manusia dengan Allah dibangun di atas pola hamba dengan majikan. Manusia sebagai hamba sedangkan Majikan adalah Allah.


Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa relasi antara manusia dengan Allah didirikan di atas dasar paradigma seorang hamba dengan raja? Alasan yang mewarnai pandangan relasi hamba dengan raja sebagai dasar relasi dengan manusia adalah konteks zamannya. Pada zaman Yesus dalam sejarah hidupnya, pandangan hambaisme bertumbuh subur dalam relasi sosial. Raja memperlakukan rakyatnya sebagai hamba.


Pandangan ini digunakan Yesus dalam pewartaanNya. Meskipun demikian, yang membedakan pandangan Hamba-isme dalam pandangan sosial pada saat itu dengan pandangan spiritual yang dihadirkan di dalam pewartaan Tuhan Yesus adalah sebagai berikut.


Pandangan dunia, hamba melakukan apa saja, entah itu baik atau tidak baik, entah benar atau tidak benar, harus dilakukan oleh rakyat untuk kesenangan raja atau penguasa, untuk egoisme raja atau pemimpin.


Sedangkan dalam pandangan rohani, hamba-isme yang dimaksud adalah umat manusia melakukan yang sehat, entah itu sehat pikiran, sehat kata-kata dan sehat perilaku dalam takaran kehendak Allah yang menyelamatkan secara universal melintas batas-batas ciptaan manusia.


Dengan kata lain, Yesus menyetir pandangan dunia itu ke arah yang spiritual, agar rakyat dalam konteks sipil dan umat dalam konteks keagamaan, menjadi hamba dalam berelasi dengan atasan yaitu pemimpin dunia dan pemimpin sipiritual, melakukan semua yang sehat: baik dan benar, untuk kebaikan, kebenaran, kesejahteraan, keselamatan bersama.


Kita hidup sebagai hamba Allah. Artinya dalam komunitas manapun habitat kita, kita bukan melaksanakan kehendak pribadi yang lebih bernuansa egoistik, tetapi kita utamakan kehendak Allah yang membawa keselamatan yang abadi.


Misalnya kita hadirkan habitualisasi keselamatan yang bersumber dari Allah di dalam kehidupan berkeluarga. Kalau dulu anggota keluarga jarang berkomunikasi secara langsung, dengan berbagai alasan, kini berusaha dan mau berkorban untuk berkomunikasi secara langsung antara orang tua dengan anak-anak, agar anak-anak mengalami cinta kasih orang tua secara langsung, bukan melalui, ATM saja, telephone saja, sms saja. Kalau dulu pikiran, kata, dan perilaku tidak atau kurang sehat, kini adalah saatnya untuk memiliki dan membagikan iman yang sehat kepada sesama. Iman yang sehat itu melahirkan pikiran, kata-kata dan perilaku yang sehati dengan kehendak Allah yang menyelamatkan secara umum tanpa membeda-bedakan.


Senin, November 12, 2012

KOTBAH MISA HARIAN, SENIN 12 NOPEMBER 2012



PENATUA AGAMA TANPA CACAT


Tit 1 : 1 - 9; Luk 17:1-6.
Misa Harian, Senin 12 Nopember 2012,
Pada hari ini Pernikahan Adik Fernando - Widya
di Katedral Keuskupan Malang,
Pukul 09.30 WIB.

(P. Benediktus Bere Mali, SVD)



Hari Minggu 11 Oktober 2012, bersama mobil "Katolik" (Umum) atau bis umum berangkat dari Surabaya ke Malang. Pada pertengahan jalan, ada kerusakan mobil yang ditumpangi.


Perjalanan tertunda karena kerusakan atau cacat mobil harus dicari solusi. Para kondektur dan sopir menyembuhkan mobil yang sakit dengan obat perbaikan. Usai perbaikan mobil, perjalanan dilanjutkan.


Ziarah hidup manusia bagaikan mobil. Semakin jauh berziarah semakin banyak pengalaman yang didapat. Semakin usia bertambah semakin bertambah juga kecacatan yang mewarnai hidupnya. Kecacatan datang menyertai manusia walaupun tidak menghendakinya.


Solusilah yang dicari dalam mengatasi kecacatan manusia. Solusi yang tepat adalah datang ke bengkel hati. Hati yang luka oleh karena dosa dan kesalahan perlu diperbaiki. Perbaikan itu membawa hati tanpa cacat. Hati suci dimiliki melalui sebuah usaha, bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Usaha yang berkelanjutan untuk tetap memiliki hati yang suci, dari saat ke saat, di dunia yang selalu mendatangkan godaan untuk hidup cacat, sangat penting bagi setiap orang beriman.


Bengkel hati yang paling tepat adalah Ruang Pengakuan untuk menerima Sakramen Rekonsiliasi.  Hati yang retak, diratakan kembali dalam Sakramen Rekonsiliasi.  Orang beriman seperti itulah yang masuk di dalam lolos seleksi penatua agama tanpa cacat.


Terpilih menjadi orang terkemuka dalam kehidupan rohani, berperan sebagai teladan dalam hal kepemimpinan (Raja), menguduskan (Imam) dan Pewarta kebaikan dan kebenaran Allah (Nabi).


Paulus sangat menekankan bahwa penatua terpilih harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ada di dalam Suratnya kepada Titus 1: 1 - 9 sebagai berikut: " Panatua-panatua itu haruslah orang yang tak bercacat, yang mempunyai satu isteri saja, yang anak-anaknya hidup beriman, dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau hidup tidak tertib. 


Sebab sebagai pengatur rumah Allah
seorang penilik jemaat harus tidak bercacat, tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah,
melainkan suka memberi tumpangan, dan suka akan yang baik,
bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri, dan berpegang pada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu, dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya"
.



Kita bukanlah malaikat. Kita bukanlah santo dan santa. Hidup kita masih diwarnai cacat karena dosa dan salah yang kita lakukan. Cacat yang menghinggapi diri sehingga diri kotor, harus dibersihkan.


Pembersihan itu adalah penyesalan dan pertobatan serta komitmen hidup tak cacat di dalam hidup selanjutnya. Bengkel hati menantimu yang cacat untuk memperbaiki hati retak kembali menjadi hati yang utuh oleh kesucian.


Bengkel itu adalah datanglah ke ruang pengakuan, terimalah Sakramen Rekonsiliasi secara rutin. Perawatan hidup rohani kita bagaikan sepeda motor. Harus dirawat secara rutin di bengkelnya agar tetap awet.

Perkawinan Nando-Widya pada hari ini adalah istimewa. Mengapa? Karena diawali dengan keindahan dan keutuhan, kecantikan dan kegantengan, bulan yang penuh indah, dan serba oke.


Tetapi itu tidak menutup pintu bagi datangnya badai dan gelombang di masa-masa selanjutnya. Persoalan pasti ada dan dialami pada masa yang akan datang.


Bengkel hati pun harus dibangun Nando-Widya. Bengkel hati itu adalah tempat di hati Nando - Widya untuk mengutuhkan kembali cinta dan kesetiaan yang retak karena ada perbedaan persepsi dan cita-cita serta perilaku.


Bangunlah cinta yang utuh dalam perbedaan Nando - Widya. Jangan pernah bermimpi membangun cinta sejati dan kesetiaan utuh dalam kebersamaan antara Nando-Widya dalam aneka bidang kehidupan yang mengeliling kehidupan Anda berdua.


Selamat Berbahagia Keluarga Muda Widya - Nando. Proficiat dari Kak Pater.  Doa Kak Pater Menyertai Adik Nando - Widya.

Minggu, November 11, 2012

KOTBAH MISA HARI MINGGU, 11 NOPEMBER 2012



TULUS MEMBERI

Mg Biasa XXXII : 1Raj 17:10-16; Ibr 9:24-28; Mrk 12: 38-44
Misa Harian, Minggu 11 Nopember 2012
Di Soverdi St. Arnoldus Surabaya


(Rm. Benediktus Bere Mali, SVD)


Kita hidup di antara aneka manusia dengan karakternya yang beraneka warna. Ada orang yang sangat bermurah hati, ada orang yang sangat pelit, ada orang yang sangat egois, ada orang yang menumpuk harta kekayaannya, ada orang yang tulus dalam memberikan kepada Tuhan dan sesama.

Di antara sekian banyak karakter manusia itu kita diingatkan kembali oleh Gereja pada hari ini dengan mengutamakan yang paling utama di dalam hidup. Hidup kita ini diberikan secara gratis atau cuma-cuma dari yang empunya hidup dan kehidupan, karena itu kita pun secara tulus penuh kasih memberikan hidup kepada sesama yang hidupnya terancam oleh maut dan kematian. Tuhan memberikan  semua yang kita miliki saat ini dalam keihlasan dan ketulusanNya.  Pemberian itu berupa fisik dan harta yang kita miliki. Tuhan menitipkan miliknya kepada kita untuk berbagi dengan sesama, secara tulus dan ikhlas pula. 

Pikir-pikir benar juga. Kita boleh kerja keras dua puluh empat jam, belajar keras dua puluh empat jam, tetapi tanpa campur tangan Tuhan, hasilnya nihil,  kerjanya sia-sia. Hanya karena Berkat Tuhan ada di dalam diri dan karya-karya kita, kita memperoleh hasil pekerjaan yang baik dan benar untuk memenuhi kebutuhan kita setiap hari, dan untuk berbagi dengan sesama yang berkekurangan, agar mereka juga senantiasa berkecukupan.


Sikap berbagi secara tulus, sikap memberikan secara tulus,  itu seperti apa? Walaupun tinggal satu saja yang kita miliki untuk mempertahankan hidup kita, pada saat yang sama, ada orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa untuk mempertahankan hidupnya, kita harus membagi dan atau memberikan yang satu itu untuk hidupnya.


Memberikan secara tulus ada unsur korbannya. Keyakian iman akan korban Tuhan Yesus memberikan segalanya secara Tulus kepada kita adalah dasar pemberian Tulus dari kita kepada sesama. Kita yakin bahwa memberi hidup kepada sesama adalah memberikan yang terbaik kepada Tuhan yang memberikan hidup kepada kita.


Saya sangat tersentuh oleh kisah berikut tentang memberikan hidup seorang ibu kepada anaknya, yang saya undu pada hari ini Minggu 11 Nopember 2012 di web ini :

Kisah Mengharukan :Kisah Ibu Buta dan Anaknya


Ibuku buta sebelah matanya, aku sangat malu dan sangat membencinya. Dia memasak dikantin sekolah untuk murid-murid dan guru-guru guna mencukupi kebutuhan dirinya dan diriku. Suatu hari saat aku masuk sekolah dia mendatangiku dan mengucap salam kepadaku. Aku begitu malu didepan teman-temanku, bagaimana dia bisa melakukan itu kepadaku dihadapan teman-temanku. Lalu aku abaikan dia dan melemparkan pandangan benci kepadanya sambil berlari.http://ladjunewsonline.blogspot.com
Besoknya salah seorang temanku mengejekku dengan berkata "heh ibumu hanya punya sebelah mata" Saat itu ingin mati aku rasanya, dan ingin ibuku itu hilang dan pergi dari kehidupanku. Lalu aku bertengkar dengan ibuku seraya mengatakan: "kalau ibu hanya menjadi bahan tertawaan teman-temanku mengapa ibu tak mati saja" Ibuku hanya diam dan tak menjawab makian yang aku tujukan kepadanya.Aku sama sekali tak memikirkan apa yang aku katakan kepadanya, karena saat itu aku sangat marah kepadanya karena memendam rasa malu. Dan aku juga tidak memperdulikan perasaannya terhadap makianku itu
Rasanya aku ingin keluar dari rumah ibuku. Jadi aku belajar dengan rajin agar aku dapat beasiswa keluar negeri dan meninggalkan ibuku yang buta itu.
Setelah lama berselang aku menikah, kubeli rumah dan aku hidup bahagia dengan mempunyai dua anak. Suatu waktu ibuku mengunjungiku, karena sudah bertahun-tahun dia tidak menemuiku dan tidak pernah bertemu dengan cucunya. Ketika dia memberi salam dan istriku membukakan pintu lalu anak-anakku menertawakannya kemudian takut karena melihat wajahnya yang hanya dengan satu mata. Lalu aku menemuinya diluar dan berteriak kepadanya: "betapa beraninya kamu kerumahku dan menakut-nakuti anak-anakku, pergi dari sini sekarang juga" Ibuku hanya menjawab: " Maaf saya salah alamat dan kemudian dia pun pergi"
Suatu waktu ada undangan reuni sekolah dikirimkan kerumahku. Jadi aku berbohong kepada istriku dan aku bilang ada dinas keluar kota kepadanya. Usai reuni aku mampir kekampungku hanya untuk sekedar rasa ingin tahu. Kemudian salah seorang tetanggaku mengatakan kepadaku bahwa ibuku telah meninggal dunia
Aku tak terharu ataupun meneteskan airmata. Lalu tetanggaku itu menyerahkan sepucuk surat dari ibuku untukku. Lalu aku pun membuka dan membacanya:
Anakku tersayang, aku memikirkanmu setiap saat. Maafkan aku telah datang kerumahmu dan menakut-nakuti anak-anakmu. Aku kerumahmu karena kangen dan ingin melihat cucuku. Walaupun kamu mengusirku tapi aku senang dapat melihatmu dan anak-anakmu. Dan aku sangat bergembira setelah aku dengar engkau mau datang reuni. Tapi sayangnya aku tidak bisa bangkit dari tempat tidurku untuk melihatmu. Anakku, maafkan aku yang telah membuatmu malu sewaktu kita masih bersama. Ketahuilah anakku, sewaktu kau masih kecil kau mengalami kecelakaan yang membuatmu kehilangan sebelah matamu. Sebagai seorang ibu aku tidak bisa mendiamkan kamu tumbuh hidup hanya dengan satu mata saja. Jadi aku donorkan mataku yang sebelah untukmu. Aku sangat bangga pada anakku yang telah memperlihatkanku dunia baru untukku ditempatku dengan mata itu.

Bersama dengan cintaku.
IBUMU

Sungguh sebuah penyesalan yang amat sangat apabila kita mendapati ibu kita meninggal tetapi kita belum berbuat baik ataupun memberikan keinginan yang di inginkan ibu kita.


Kisah ini ada persamaan dengan inti bacaan-bacaan suci pada hari ini. Isinya sama yaitu memberi dengan Tulus kepada sesama. Ibu yang buta karena  memberikan matanya kepada anaknya yang buta karena celaka. Kini anaknya memiliki mata yang lengkap. Pemberian Ibu itu lahir dari sikap berkorbannya tanpa mata sebelah atau hanya memiliki satu mata. Ibu itu memberi dengan tulus kepada anaknya tanpa mengharapkan balasan dari anaknya. Adalah Ibu yang luar biasa memberikan mata kasih, perhatian, pengorbanan kepada anaknya tanpa pamrih. Ibu itu memberi kesempurnaan mata kepada anaknya tanpa mengharapkan balasan dari anaknya.


Perempuan Sarfat pun sama. Ia memberikan makanan yang hanya tersedia untuk dirinya, kemudian rela berbagi dengan Elia yang meminta kepadanya. Pada hal Roti dan minyak yang dimiliki Perempuan Sarfat itu adalah  hanya untuk satu kali makan. Setelah makan yang terakhir, perempuan Sarfat itu tidak punya apa-apa lagi untuk mempertahankan hidupnya. Sangat menegangkan, bahwa justru pada saat itu, Perempuan Sarfat berbagi makanan dengan Elia yang membutuhkannya. Perempuan Sarfat berbagi dengan hati yang tulus dan ikhlas serta dihiasi pengorbanan yang luar biasa.


Perempuan Janda di dalam bacaan Injil juga memberikan persembahan kepada Tuhan dengan Tulus dan ikhlas. Pemberian itu lahir dari kekurangannya bahkan seluruh nafkahnya. Mempersembahkan seluruh nafkahnya kepada Tuhan berarti memberikan hidupnya secara utuh kepada Tuhan, yang juga dihiasi kasih dan pengorbanan.


Bagi saya Ibu yang buta, Ibu Sarfat, Ibu Janda itu memiliki sebuah paradigma iman yang sama. Persamaan pandangan ketiga ibu itu adalah mereka yakin dan percaya bahwa semua yang mereka miliki berasal dari sang empunya segala sesuatu yaitu Allah sendiri.  Allah memberikan kepada mereka harta kekayaan, materi, fisik dan apapun yang ada pada mereka. Allah menitipkan semuanya itu kepada mereka agar mereka membagikannya dan memberikannya kepada sesama yang berkekurangan agar mereka juga berkecukupan. Pemberian itu tulus dari Allah kepada mereka dan mereka diutus untuk memberikan secara tulus kepada sesama yang membutuhkannya.


Pusat iman Kepada Tuhan Sang Pemberi adalah Yesus yang memberikan diriNya kepada kita untuk menyelamatkan semua orang. Tuhan memberikan seluruh diriNya secara utuh, dalam derita dan pengorbanan di Kayu Salib untuk kita memiliki keselamatan  yang lahir dari pemberian Tulus kepada kita. Kini Tuhan mengutus kita untuk memberi secara tulus kepada sesama yang membutuhkan pertolongan, bantuan, cinta dan perhatian kita, di dalam karya nyata setiap hari.


Kita barangkali di rumah kita, ada orang tua atau saudara atau nenek atau kakek yang sakit.  Biasanya orang sakit itu meminta yang aneh-aneh dan ganjil, di mata  kita manusia sehat atau belum sakit. Di saat itu bel atau lonceng atau waktu  ujian ketulusan melayani mereka dimulai. Pertanyaan pertama: apakah kita tulus melayani orang sakit di rumah kita?  Kalau kemarin kita belum tulus melayani mereka yang sakit yang membutuhkan yang aneh-aneh, maka hari ini kita harus memiliki ketulusan dalam melayani orang sakit.


Kita juga barangkali berhadapan dengan anak kita yang nakalnya luar biasa dan mendatangkan aneka persoalan dan kesulitan di dalam hidup kita. Apakah kita memberikan hati yang tulus dengan penuh cinta dan pengorbanan, menyelamatkan anak-anak di dalam keluarga. Kalau dulu kita kurang tulus, maka saat ini kita harus tulus melayani dan menyelamatkan keluarga kita.