Rabu, April 17, 2013

Pihak Ketiga dalam Manajemen Konflik



Homili Rabu 17 April 2013
Kis 8 : 1b – 8
Mzm 66 : 1 -3a.4-5.6-7a
Yoh 6 : 35 – 40

“PIHAK  C  DALAM  KONFLIK A – B”
*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

Kehidupan kita diwarnai suka dan duka. Kehidupan kita juga diwarnai damai dan konflik. Pengalaman demikian dialami mulai di dalam komunitas mikro hingga komunitas makro. Misalnya konflik dalam komunitas mikro, dalam keluarga konflik antara kakak dengan adik, bapa dengan mama, orang tua dengan anak-anak, keluarga A dengan keluarga B. Contoh, dalam komunitas makro misalnya konflik antara suku A dengan Suku B, antara pulau A dengan Pulau B, antara Agama A dengan Agama B, antara Negara A dengan Negara B, antara Benua A dengan Benua C dan seterusnya.
Pihak A dengan B yang sedang konflik menutupi pintu menuju jalan kerukunan dan kedamaian. Pembuka pintu damai itu datangnya dari pihak C atau pihak ketiga. Misalnya kalau kakak dengan adik sedang konflik di dalam sebuah keluarga, pihak ketiga dalam hal ini orang tua mengambil inisiatif memberikan pengertian kepada pihak-pihak yang konflik untuk mencari dan menemukan “win-win solution” yang menguntungkan Pihak A dengan Pihak B atau tidak merugikan pihak A dan Pihak B. Masing-masing pihak menerima pihak C untuk menggunakan “win-win solution” maka di situlah kembali membangkitkan kerukunan dan kedamaian antara kedua belah pihak.
 Para Rasul mewartakan Kebangkitan Tuhan dan mengadakan mujizat di dalam nama Yesus di seluruh wilayah kecuali di wilayah Samaria. Para Rasul adalah berdarah bangsa Yahudi. Pandangan Yahudi terhadap bangsa Samaria sangat negatif. Orang Samaria adalah orang kafir sedangkan orang Yahudi adalah orang beriman. Pola pandangan ini diwariskan sejak jaman leluhur secara turun-temurun hingga memasuki alam bawah sadar Para Rasul. Ketidaksadaran Para Rasul itu membuat  pewartaan Injil kepada segala bangsa kecuali Samaria.
Tuhan Yesus yang telah bangkit membangkitkan kesadaran baru bahwa KeselamatanNya bagi dunia dan manusia sebenarnya melintas batas. Jurang perpedaan dan konflik alam bawah sadar itu diangkat ke permukaan kesadaran. Tuhan Yesus yang telah bangkit membangkitkan Filipus pergi mewartakan kebangkitan Tuhan Yesus kepada bangsa Samaria dan melakukan mujizat penyembuhan di Samaria. Pewartaan Filipus itu membawa hasil yang sangat memuaskan. Banyak orang Samaria dengan sebulat hati menerima pewartaan Injil dan Mujizat yang dilakukan di dalam nama Yesus yang sudah bangkit. Banyak orang Samaria dengan sebulat hati mengakui dan mengimani Tuhan Yesus yang telah bangkit sebagai Tuhan yang mereka nanti-nantikan kedatanganNya.
Keberhasilan misi Pewartaan Injil oleh Filipus di Samaria ini karena Filipus berpandangan bahwa Keselamatan Yesus Kristus yang telah bangkit itu bersifat umum universal bagi semua orang melintas batas. Tuhan adalah Allah semua orang. KeselamatanNya untuk semua orang lintas batas. Filipus adalah orang Yunani. Bangsa Yunani dikenal dunia sebagai bangsa yang melahirkan Filsafat. Orang yang berfilsafat melihat segala sesuatu dari segi multidimensi. Pandangan Filipus senantiasi diwarnai oleh kemanusiaan universal dan keimanan yang berkemanusiaan. Filipus orang Yunani dijiwai oleh keluasan dalam berpikir, berkata-kata dan berkeputusan di dalam misi perutusannya. Filipus diterima Orang Samaria. Kedatangan Filipus dan pewartaan kebangkitanNya di Samaria serta mujizat yang dilakukan dalam nama Tuhan Yesus yang telah bangkit, menghapus noda stereotype bangsa Samaria sebagai bangsa kafir di mata bangsa Yahudi. Filipus menjadi pribadi yang menyatukan bangsa Yahudi dengan bangsa Samaria dalam iman kepada Tuhan Yang Sama Yaitu Tuhan Yesus yang telah bangkit. Filipus berhasil, sukses mendamaikan akar konflik antara bangsa Yahudi dengan Bangsa Samaria. Filipus tampil sebagai pihak C atau pihak ketiga yang mendamaikan pihak A dengan pihak B yang sedang konflik. Filipus menjadi jembatan pendamai yang baik dan benar antara pihak-pihak yang konflik.
Kita menjadi air membawa kesejukan damai bagi sesama atau api yang menyalakan konflik antara sesama? Kita semestinya hadir sebagai orang yang membangkitkan sesama di dalam segala bidang segi kehidupan bagi kemajuan dan perkembangan diri sesama secara baik dan benar, bukan menyalibkan sesama dalam multidimensi.  Pengalaman paskah ada kalau kita membangkitkan sesama bukan menyalibkan sesama.


Selasa, April 16, 2013

Homili Selasa 16 April 2013


Homili Selasa 16 April 2013
Kis 7 : 51 – 8 : 1a
Mzm 31 : 3cd-4.6ab.7b.8a.17.21ab
Yoh 6 : 30 – 35

“PRIBADI VOKAL DALAM  INSTITUSI  SANHEDRIN”
*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

Seorang yang ada dan hidup di antara kelompok mayoritas memiliki strategi hidup adaptif yang cerdas agar menerima pengakuan di dalam hidup dan keberadaannya sebagai yang minoritas atau sebatang kara dari latarbelakangnya yang hampir seratus persen berbeda dengan kelompok mayoritas homogen yang mengitarinya. Pribadi yang adaptif cerdas ini bisa membangun hidup dalam kekokohan culturnya yang dibawanya sejak dalam rahim ibunya dan bisa jadi hidup bertopeng “dasamuka” sesuai konteks dimana dia ada agar kehidupannya selalu tidak menjadi ancaman bagi kelompok mayoritas yang ditinggallinya. Keberadaannya seperti ini boleh jadi membuat dia semakin matang hidup dalam lintas kultur tetapi bisa jadi hidup adaptif seperti ini membawa dia menjadi pribadi yang “ikut arus” mencari aman yang memandulkan peran kekritisannya dalam membentuk kepribadian yang matang secara intelektual dan spiritual. Kehidupannya bisa jadi menjadi seperti bunglon di tempat hijau berubah warna tubuhnya hijau, di daerah coklat, tubuhnya berwarna coklat. Di daerah hitam menampilkan diri berwarna hitam. Di daerah abu-abu menampilkan tubuhnya yang berwarna abu-abu. Lantas semestinya seorang pribadi memiliki prinsip seperti apa ketika hidup di antara kelompok mayoritas yang mendominasinya dalam segala lini bidang kehidupan?
Bacaan Pertama hari ini menampilkan Prinsip Hidup Pribadi yang dewasa dalam dunia kenabian ketika hidup di dalam mayoritas kelompok tertentu yang berperan dalam segala lini bidang kehidupan bersama, termasuk dalam bidang ekonomi, kekuasaan, spirtualitas, yang disistematisasi di dalam Institusi yang kokoh yang melegitimasi semua bidang kehidupan bersama.  Stefanus hidup dalam lingkup Institusi Keagamaan Bangsa Yahudi. Sanhedrin yang berpengaruh di dalam kehidupan bangsa Yahudi telah melakukan banyak kebaikan yaitu meneruskan tradisi leluhur yang tertulis di daam Kitab Musa yang menjadi pedoman kehidupan mereka. Tetapi Tradisi itu telah dimanfaatkan untuk menempatkan kelompok Sanhedrin menjadi tuhan di dalam hidup bersama. Tuhan yang sesungguhnya datang ke dunia, yang menjadi nyata di dalam diri Tuhan Yesus telah mereka bunuh agar mereka tetak eksis sebagai tuhan. Kalau Tuhan Yesus diberi kesempatan maka tuhan mereka mengalami kematian. Lebih baik Tuhan Yesus dibunuh daripada tuhannya mati karena kalah saing dengan Tuhan yang sejati menjadi nyata dalam diri Yesus.
Stefanus mengalami peristiwa pembunuhan Tuhan oleh Sanhedrin. Pewartaan secara langsung kepada Sanhedrin bahwa Tuhan Yesus telah bangkit setelah Sanhedrin menangkap, menyiksa, menganiayah, menyalibkan, mematikan atau membunuh, kemudian dimakamkan dan pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati, menampakan diri kepada para Rasul dan memberikan kuasa kepada Para Rasul mewartakan kebangkitanNya dan melakukan mujizat dalam nama Tuhan Yesus yang telah bangkit. Kesaksian Stefanus sebagai keomunitas mikro itu memerahkan telingah sekaligus membangkitkan amarah tidak berakal budi dan berhati nurani yang bening, dalam mengkritisi sikap kenabian Stefanus. Kelompok mayoritas Sanhedrin membela diri dengan berprinsip membenarkan diri yang sebetulnya berada pada pihak yang salah, dan mempersalahkan Stefanus yang mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Puncak kemarahan Sanhedrin itu tiba pada pembunuhan Stefanus seorang diri yang minoritas dalam kebesaran mayoritas institusi Keagamaan Yahudi yang melegitimasi yang salah adalah benar dan yang benar adalah salah.
Peran kenabian Stefanus itu bangkit di dalam dirinya yang berani secara langsung menelanjangi kebohongan sistematis Sanhedrin di depan publik itu lahir dari kekuatan yang datang dari Roh Kebangkitan Tuhan Yesus yang menyertainya. Stefanus makan makanan Rohani yang berasal dari Tuhan Yesus yang memberikan kehidupan yang kekal kepadanya. Saat dia mengakhiri hidupnya karena dibunuh oleh Sanhedrin, Stefanus melihat ke atas dan melihat Yesus lalu melihat mereka yang menganiayahnya dan mengampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan atas dirinya. Kekuatan makanan Rohani dari Yesus adalah kuasa yang luar biasa membawa “tanpa kekerasan”  bagi semua orang termasuk kepada para musuh yang sadis dan bengis.
Makanan Rohani itu ada dalam diri Yesus sebagai Roti Hidup dan Air Hidup. Setiap orang makan Roti Hidup pasti memperoleh hidup yang kekal. Setiap orang yang minum Air Hidup akan mengalami kepuasan kekal. Air Hidup dan Roti Hidup itu ada dalam Ekaristi Kudus.  Mujizat Roti dan Anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus itu terjadi di dalam tangan Imam Yang Tertahbis yang merayakan Perayaan Ekaristi Kudus. Seperti seorang ibu di dapur yang setiap hari menyediakan makanan fisik bagi anak-anaknya dan seluruh anggota keluarganya, demikian juga seorang imam tertahbis setiap hari di dapur Ekaristi Kudus menyediakan makanan rohani bagi umat manusia yang dilayaninya.  Imam hadir menyediakan makanan rohani bagi semua orang agar memperoleh hidup kekal dalam diri Tuhan Yesus. Iman akan Yesus sebagai makanan Rohani bagi semua orang untuk memperoleh hidup yang kekal itu adalah benar dan baik bagi semua orang lintas kultur. Perayaan Ekaristi lahir dari Imam yang benar dan baik bagi semua orang lintas kultur. Bukan Imam yang dikuasai oleh kebohongan publik dan kejahatan publik yang merayakan Ekaristi, yang mendatangkan malapetaka abadi bagi dirinya sendiri dan bagi sesamanya yang dilayaninya.


Kenabian Prinadi dalam Kelompok Mayoritas


Homili Selasa 16 April 2013
Kis 7 : 51 – 8 : 1a
Mzm 31 : 3cd-4.6ab.7b.8a.17.21ab
Yoh 6 : 30 – 35

“PRIBADI VOKAL DALAM  INSTITUSI  SANHEDRIN”
*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

Seorang yang ada dan hidup di antara kelompok mayoritas memiliki strategi hidup adaptif yang cerdas agar menerima pengakuan di dalam hidup dan keberadaannya sebagai yang minoritas atau sebatang kara dari latarbelakangnya yang hampir seratus persen berbeda dengan kelompok mayoritas homogen yang mengitarinya. Pribadi yang adaptif cerdas ini bisa membangun hidup dalam kekokohan culturnya yang dibawanya sejak dalam rahim ibunya dan bisa jadi hidup bertopeng “dasamuka” sesuai konteks dimana dia ada agar kehidupannya selalu tidak menjadi ancaman bagi kelompok mayoritas yang ditinggallinya. Keberadaannya seperti ini boleh jadi membuat dia semakin matang hidup dalam lintas kultur tetapi bisa jadi hidup adaptif seperti ini membawa dia menjadi pribadi yang “ikut arus” mencari aman yang memandulkan peran kekritisannya dalam membentuk kepribadian yang matang secara intelektual dan spiritual. Kehidupannya bisa jadi menjadi seperti bunglon di tempat hijau berubah warna tubuhnya hijau, di daerah coklat, tubuhnya berwarna coklat. Di daerah hitam menampilkan diri berwarna hitam. Di daerah abu-abu menampilkan tubuhnya yang berwarna abu-abu. Lantas semestinya seorang pribadi memiliki prinsip seperti apa ketika hidup di antara kelompok mayoritas yang mendominasinya dalam segala lini bidang kehidupan?
Bacaan Pertama hari ini menampilkan Prinsip Hidup Pribadi yang dewasa dalam dunia kenabian ketika hidup di dalam mayoritas kelompok tertentu yang berperan dalam segala lini bidang kehidupan bersama, termasuk dalam bidang ekonomi, kekuasaan, spirtualitas, yang disistematisasi di dalam Institusi yang kokoh yang melegitimasi semua bidang kehidupan bersama.  Stefanus hidup dalam lingkup Institusi Keagamaan Bangsa Yahudi. Sanhedrin yang berpengaruh di dalam kehidupan bangsa Yahudi telah melakukan banyak kebaikan yaitu meneruskan tradisi leluhur yang tertulis di daam Kitab Musa yang menjadi pedoman kehidupan mereka. Tetapi Tradisi itu telah dimanfaatkan untuk menempatkan kelompok Sanhedrin menjadi tuhan di dalam hidup bersama. Tuhan yang sesungguhnya datang ke dunia, yang menjadi nyata di dalam diri Tuhan Yesus telah mereka bunuh agar mereka tetak eksis sebagai tuhan. Kalau Tuhan Yesus diberi kesempatan maka tuhan mereka mengalami kematian. Lebih baik Tuhan Yesus dibunuh daripada tuhannya mati karena kalah saing dengan Tuhan yang sejati menjadi nyata dalam diri Yesus.
Stefanus mengalami peristiwa pembunuhan Tuhan oleh Sanhedrin. Pewartaan secara langsung kepada Sanhedrin bahwa Tuhan Yesus telah bangkit setelah Sanhedrin menangkap, menyiksa, menganiayah, menyalibkan, mematikan atau membunuh, kemudian dimakamkan dan pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati, menampakan diri kepada para Rasul dan memberikan kuasa kepada Para Rasul mewartakan kebangkitanNya dan melakukan mujizat dalam nama Tuhan Yesus yang telah bangkit. Kesaksian Stefanus sebagai keomunitas mikro itu memerahkan telingah sekaligus membangkitkan amarah tidak berakal budi dan berhati nurani yang bening, dalam mengkritisi sikap kenabian Stefanus. Kelompok mayoritas Sanhedrin membela diri dengan berprinsip membenarkan diri yang sebetulnya berada pada pihak yang salah, dan mempersalahkan Stefanus yang mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Puncak kemarahan Sanhedrin itu tiba pada pembunuhan Stefanus seorang diri yang minoritas dalam kebesaran mayoritas institusi Keagamaan Yahudi yang melegitimasi yang salah adalah benar dan yang benar adalah salah.
Peran kenabian Stefanus itu bangkit di dalam dirinya yang berani secara langsung menelanjangi kebohongan sistematis Sanhedrin di depan publik itu lahir dari kekuatan yang datang dari Roh Kebangkitan Tuhan Yesus yang menyertainya. Stefanus makan makanan Rohani yang berasal dari Tuhan Yesus yang memberikan kehidupan yang kekal kepadanya. Saat dia mengakhiri hidupnya karena dibunuh oleh Sanhedrin, Stefanus melihat ke atas dan melihat Yesus lalu melihat mereka yang menganiayahnya dan mengampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan atas dirinya. Kekuatan makanan Rohani dari Yesus adalah kuasa yang luar biasa membawa “tanpa kekerasan”  bagi semua orang termasuk kepada para musuh yang sadis dan bengis.
Makanan Rohani itu ada dalam diri Yesus sebagai Roti Hidup dan Air Hidup. Setiap orang makan Roti Hidup pasti memperoleh hidup yang kekal. Setiap orang yang minum Air Hidup akan mengalami kepuasan kekal. Air Hidup dan Roti Hidup itu ada dalam Ekaristi Kudus.  Mujizat Roti dan Anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus itu terjadi di dalam tangan Imam Yang Tertahbis yang merayakan Perayaan Ekaristi Kudus. Seperti seorang ibu di dapur yang setiap hari menyediakan makanan fisik bagi anak-anaknya dan seluruh anggota keluarganya, demikian juga seorang imam tertahbis setiap hari di dapur Ekaristi Kudus menyediakan makanan rohani bagi umat manusia yang dilayaninya.  Imam hadir menyediakan makanan rohani bagi semua orang agar memperoleh hidup kekal dalam diri Tuhan Yesus. Iman akan Yesus sebagai makanan Rohani bagi semua orang untuk memperoleh hidup yang kekal itu adalah benar dan baik bagi semua orang lintas kultur. Perayaan Ekaristi lahir dari Imam yang benar dan baik bagi semua orang lintas kultur. Bukan Imam yang dikuasai oleh kebohongan publik dan kejahatan publik yang merayakan Ekaristi, yang mendatangkan malapetaka abadi bagi dirinya sendiri dan bagi sesamanya yang dilayaninya.


Senin, April 15, 2013

"Hidup YESUS Seperti Gula Bagi Semut dan Plankton Bagi Ikan"


HidupNya Bagaikan Gula bagi Semut
Homili Senin 15 April 2013
Kis 6 : 8 – 15
Mzm 119 : 23 – 24.26-27.29-30
Yoh 6 : 22 – 29

*P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD*

Ada banyak pepatah yang kita tahu dan sering kita dengar dan bahkan kita gunakan di dalam kehidupan sehari-hari. Ada pepatah yang mengatakan “Dimana ada gula disitu ada banyak semut”. Ada pepatah juga yang mengatakan “ Dimana ada plankton disitu ada banyak ikan”. Dua pepatah ini menyampaikan pesan kepada kita bahwa dimana ada banyak rejeki disitu ada banyak orang yang berupaya mencari dan mendapatkan rejeki.
Injil hari ini menampilkan banyak orang yang mencari dan mengikuti Tuhan Yesus. Orang banyak itu seperti semut dan ikan. Yesus itu seperti gula dan plankton. Yesus sebagai gula selalu menarik banyak orang seperti semut yang menuju gula dan berkumpul menikmati manisnya gula. Yesus seperti plankton yang senantiasa menarik banyak orang seperti ikan yang mencari plankton untuk kelangsungan hidupnya. Orang banyak yang mencari dan mengikuti Yesus itu sadar atau tidak sadar adalah mahkluk rohani. Orang banyak yang mengikuti Yesus itu sadar atau tidak sadar adalah mahkluk spiritual. Mereka juga sadar atau tidak sadar bahwa Yesus adalah pusat kerohanian mereka. Mereka juga sadar atau tidak sadar bahwa Yesus adalah pusat spiritual mereka. Kesadaran mereka bahwa Yesus adalah plangton Rohani yang memberikan makanan rohani kepada mereka sebagai mahkluk rohani semakin diteguhkan dengan mujizat perbanyakan roti dan ikan. Kesadaran mereka bahwa Yesus adalah gula rohani yang  memberikan kemanisan spiritual kepada mereka sebagai mahkluk spiritual semakin diteguhkan oleh mujizat pernggandaan roti dan ikan.
Sebaliknya ketidaksadaran mereka sebagai mahkluk spiritual yang sedang lapar mencari Yesus sebagai gula rohani dan plankton rohani yang akan memberikan makanan rohani untuk kehidupan yang abadi, ditegur oleh Yesus agar mereka sadar kembali bahwa motivasi mereka mencari Yesus pembuat mujizat hanya dibatasi oleh dimensi fisik saja. Tetapi mereka semestinya menyadari intisari pencarian Yesus berdasarkan kesadaran bahwa diri mereka adalah insan rohani yang sedang lapar mencari makanan rohani yang memberikan kehidupan rohani yang  kekal.
Yesus adalah Gula Rohani dan Plankton Rohani bagi manusia sebagai mahkluk rohani yang sedang mencari Tuhan Yesus. Yesus menjadi makanan rohani yang tersedia selalu bagi manusia rohani dalam Korban Ekaristi yang dirayakan setiap hari. Kerinduan dan pencarian Yesus sebagai makanan rohani selalu dijumpai di dalam Sakramen Ekaristi Kudus setiap hari.  Perayaan Ekaristi sebagai perjamuan Makanan Rohani senantiasa disediakan oleh seorang imam tertahbis bagi umat manusia mahkluk rohani yang senantiasa lapar dan mencari makanan Rohani yang ditemukan di dalam Korban Ekaristi Kudus setiap hari. Seperti tubuh fisik manusia senantiasa disegarkan dan dikuatkan oleh makanan jasmani setiap hari demikian juga tubuh rohani manusia selalu membutuhkan makanan rohani setiap hari  untuk kelangsungan kehidupan kerohaniannya.  Sebaliknya seperti tubuh fisik manusia yang alpa makan setiap hari, melemahkan tubuh fisiknya untuk bekerja membangun diri, sesama dan lingkungan sekitar. Demikian juga tubuh rohani manusia yang bolos makan makanan rohani akan kehilangan kekuatan rohani dalam menghadapi persoalan multidimensi yang senantiasa mewarnai setiap langkah hidupnya.
Makanan fisik semestinya tersedia cukup bagi kekuatan tubuh fisik dalam bekerja membangun diri, sesama dan alam lingkungan sekitar. Demikian juga makanan rohani selalu disediakan bagi tubuh rohani manusia untuk memperoleh kekuatan rohani sebagai sumber kekuatan di dalam menghadapi aneka tekanan multidimensi. Penyedia makanan rohani bagi diri pribadi rohani dan bagi kerohanian sesama hanya dilakukan oleh seorang imam tertahbis. Seorang imam senantiasa menyatakan kesetiaannya di dalam merayakan Ekaristi Kudus pusat makanan rohani bagi tubuh rohani umat manusia lintas batas. Kealpaan imam tertahbis menyediakan makanan rohani bagi dirinya dan bagi sesama umat manusia, adalah sebuah penodaan kesetiaan pribadi imam dan mendatangkan kelaparan, kelemahan bahkan sampai pada  kematian rohani diri dan sesama umat manusia lintas batas.  Tidak ada kata tidak Ekaristi bagi imam tertahbis. Selalu berkata Tidak pada Ekaristi berarti setuju pada kematian kerohanian diri dan sesama. Selalu Ya pada Ekaristi berarti mengafirmasi pada kehidupan kerohanian yang abadi selamanya.