Selasa, November 20, 2012

Kotbah Misa Harian, Selasa 20 November 2012



BERIMAN SUAM-SUAM KUKU

(Why 3:1-6.14-22; Luk 19:1-10)
Kotbah Misa Harian, Senin 20 November 2012
Di Soverdi Surabaya


P. Benediktus Bere Mali, SVD


Suam-suam kuku berarti antara hangat dan dingin. Tidak panas juga tidak dingin. Antara ya dan tidak. Tidak tegas. Beriman suam suam kuku berarti beriman tanpa sebuah ketegasan di dalam pikiran, perkataan dan perilaku.


Ada dua tipe manusia beriman yang ditampilkan di dalam bacaan-bacaan suci pada hari ini. Tipe orang yang beriman suam-suam kuku dan tipe orang yang secara tegas dan radikal mengikuti Tuhan Yesus. Orang yang beriman suam-suam kuku namanya terhapuskan di dalam kitab Kehidupan, sedangkan orang yang bertobat dari iman yang suam-suam kuku, dan kemudian menjadi orang yang sangat tegas sekali, dalam mengikuti Tuhan Yesus, maka namanya terulis di dalam Kitab Kehidupan.


Kita beriman seperti suam-suam kuku atau bertobat dan tegas mengikuti Yesus? Di dalam kehidupan Gereja Katolik di setiap paroki, pada umumnya yang setia mengikuti misa harian, hanya orang-orang yang memiliki komitmen pribadi yang kuat. Banyak orang mau menghadiri Perayaan Ekaristi pagi secara rajin dan tertip sedangkan banyak orang yang mengatakan bahwa tidak punya waktu yang cukup untuk mengikuti Perayaan Ekaristi. Pada hal Tuhan memberikan waktu yang sama 24 jam sehari kepada semua orang baik yang rajin ke Gereja mengikuti Perayaan Ekaristi maupun yang malas ke Gereja untuk mengikuti Perayaan Ekaristi. Yang utama adalah bagaimana kita hidup disiplin waktu mengatur waktu untuk Tuhan 30  menit sehari, bukan karena kita tidak mempunyai waktu.


Apakah aku tidak beriman suam-suam kuku seperti Zakhaeus?



Kotbah Misa Harian, Senin 19 November 2012



MELIHAT ATAS DAN SEKITAR

(Why 1:1-4;2:1-5a; Luk 18:35-43)
Kotbah Misa Harian,
Senin 19 November 2012
Di Soverdi Surabaya


P. Benediktus Bere Mali, SVD


Manusia adalah multidimensi. Satu dimensi yang ada dalam diri manusia adalah unsur psikologis. Sisi psikologis manusia ini dapat ditemukan dengan sebuah paradigma yang terkenal adalah Jendela Johari. Pencipta empat Jendela Johari adalah psikolog berbangsa yang dipimpin oleh Obama saat ini. Psikolog itu adalah Jesef Luft dan Harrington Ingham, tahun 1955. Empat jendela ini ditemukan untuk manusia lebih mudah melihat diri sebagai pemilik empat karakter kepribadian manusia. Setiap manusia dapat memakai paradigma empat Jendela Johari untuk melihat diri. Empat jendela itu adalah saya tahu tentang sisi diri saya dan orang lain juga tahu tentang sisi diri saya, saya tahu tentang sisi diri saya dan orang lain tidak tahu tentang sisi diri saya, saya tidak tahu tentang sisi diri saya dan orang lain tahu tentang sisi diri saya, saya tidak tahu tentang sisi diri saya dan orang lain tidak tahu tentang sisi diri saya. Jendela ini dapat melukiskan berbagai sisi manusia berupa pola pikir, pola berkata-kata,pola bertindak, pola beriman seseorang.


Idealnya dalam kehidupan bersama baik sosial maupun religius adalah saya tahu dan orang lain tahu, kita semua tahu tentang tujuan hidup bersama untuk mengambil tindakan bersama menuju cita-cita hidup bersama.



Pengemis yang diwartakan di dalam Injil pada hari ini adalah seorang yang tahu tentang sisi dirinya buta fisik tetapi tidak buta iman sedangkan orang banyak yang mengikuti Yesus adalah orang yang tahu dirinya tidak buta fisik tetapi tidak tahu bahwa mereka adalah buta iman. Mengapa? Karena ketika Pengemis buta fisik itu semakin berseru kepada Tuhan Yesus dengan penuh iman mohon kesembuhan, tetapi orang banyak itu justru melarang si pengemis itu.


Si Pengemis penuh beriman datang dan berseru kepada Yesus untuk disembuhkan dan berkat iman itu terjadilah mujizat penyembuhan yang diberikan oleh Tuhan Yesus kepadanya. Yesus bersabda :” Melihatlah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” Berkat iman si pengemis itu terjadilah mujizat atas dirinya yang buta fisik menjadi melihat dan dia bersorak sorai memuji Allah.


Tetapi menarik juga bahwa orang banyak yang melarang si pengemis di awal seruannya kepada Tuhan Yesus itu, setelah mujizat terjadi, mereka pun mulai memuliakan Allah dan memujiNya. Mujizat melahirkan iman orang banyak tetapi iman si pengemis itu melahirkan mujizat.


Suatu kali saya mengikuti doa penyembuhan di sebuah kota. Ada lautan manusia yang datang memadati tempat berlangsungnya doa penyembuhan. Pada waktu yang berbeda saya juga datang ke Gereja di dekat kota tempat penyembuhan itu. Hadirin sangat sedikit dibandingkan dengan ketika diselenggarakan doa penyembuhan. Rupanya umat di tempat itu, berprinsip mujizat yang melahirkan iman bukan iman yang melahirkan mujizat.


Pada suatu hari, ditelepon dari sebuah kampung pedalaman bahwa sedang terjadi penampakan Bunda Maria di sebuah tempat tinggal yang dikelilingi gua-gua alam. Banyak umat dari berbagai daerah sekitar membawa lilin dan berdoa Rosario sambil berlutut di atas bebatuan di depan gua itu. Informasi penampakan disebarkan oleh seorang ibu yang rumahnya di depan gua itu.


Pada suatu hari para suster pun mendengar berita penampakan itu dan datang ke tempat kejadian. Suster itu masuk ke Gua dan melihat patung Bunda Maria lalu mengangkat patung itu lalu melihat patung ternyata label harga dari tokoh susteran para suster itu masih ada, dan ternyata ibu yang mewartakan bahwa ada penampakan itu seminggu sebelum kejadian penampakan yang diwartakannya, membeli patung itu di tokoh rohani milik suster lalu menempatkan patung itu di dalam gua itu. Itulah peristiwa penampakan dan setiap kita berkuasa memberikan makna. Bagaimana maknanya?


Saya melihat bahwa banyak orang melihat mujizat dulu baru mau beriman. Banyak orang mau ditipu dengan mujizat buatan manusia untuk beriman yang lahir dari manipulasi. Yang tepat adalah seperti si pengemis, berimannya melahirkan mujizat, bukan sebaliknya.

Minggu, November 18, 2012

Kotbah Misa Hari Minggu, 18 November 2012



SABDA TIDAK AKAN BERLALU
Mg Biasa XXXIII, 18 November 2012:
Dan 12:1-3;Ibr 10:11-14.18; Mrk 13:24-32
Misa di Soverdi Surabaya

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Pagi ini saya membaca buku Filsafat Psikologi, Audifax, Pustaka Book Publisher, 2010, hal.7. Ada kalimat yang menyentuh sekali yang tertulis sebagai berikut: “Setiap buku (kata, sabda, firman, tulisan) memiliki jiwa. Maka itulah Roland Barthes mengatakan The Aothor is  Dead. Artinya, ketika sebuah buku (kata, sabda, firman, tulisan) sampai ke tangan pembacanya, maka sang author (penulis) telah kehilangan authority atas makna dari apa yang saya tulis. Authority pemaknaan tulisan saya sekarang ada di tangan Anda sebagai pembaca dan disitulah “jiwa” dari buku (kata, sabda, firman, tulisan)  saya hidup. “Jiwa” dari sebuah buku (kata, sabda, firman, tulisan) hidup dari kepala ke kepala pembacanya. “ Tulisan tegak dalam kurung adalah tambahan kami.

Setiap kali kita mengikuti Ekaristi Kudus, kita selalu mendengarkan Sabda Allah yang menyelamatkan.  Kita mendengar Sabda, dengan iman kita memberikan makna atas Firman Tuhan yang kita terima dengan kepala /otak dan hati/dada.

Makna Sabda Allah itu yang menjadi modal kekuatan bagi kita menjalani kenhidupan nyata setiap hari.  Makna Firman Tuhan adalah sumber energi bagi kita dalam bertindak dan berperilaku. Jiwa Sabda Allah selalu ada dan hidup di dalam kepala dan dada para beriman. Maka tepat sekali tulisan Sabda Allah hari ini  Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.” Sabda Yesus senantiasa actual sepanjang jaman. Pesan Sabda Tuhan selalu kontekstual.  

Sabda Yesus itu disampaikan dalam konteks datangnya akhir zaman. Kapan persisnya kedatangan saat itu tak seorang pun yang tahu. Hanya Bapa yang tahu. Hanya Allah yang tahu. Maka bagi kita bukan bertanya tentang kapan tiba saa itu tetapi yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah apakah kita selalu siap diri pada setiap saat dan setiap tempat untuk menyambut kedatangan akhir zaman? Jawabannya jelas. Kita selalu waspada. Kita selalu siap diri untuk datangnya akhir zaman itu.
                                                 
Saya mengerti akhir zaman itu adalah saat kematian tiba. Kematian manusia ada dalam tangan Tuhan. Kematian itu adalah pintu yang harus dilewati setiap orang menuju surga. Keselamatan di Surga adalah janji Tuhan kepada kita manusia yang beriman kepadaNya. Yesus adalah satu-satunya jalan kebenaran dan kehidupan. Hanya dalam nama Yesus ada keselamatan. Janji ini memberikan harapan akan masa depan yang bahagia. Maka pada saat ini kita selalu setia dan taat pada Sabda Yesus sumber keselamatan kita dan pusat kebahagiaan kita di surga. Taat dan Setia pada Sabda Yesus di dunia nyata ini berarti kita mulai menghadirkan surga di dalam diri, hati, komunitas kita.



Sabtu, November 17, 2012

Wisuda EGIDIUS MAU, S.Pd, Kotbah Misa Harian, Sabtu 17 November 2012



MENEMUKAN IMAN DI BUMI

3Yoh 1:5-8; Luk 18:1-8
Kotbah Misa Harian,
Sabtu 17 Nopember 2012.
Di Soverdi Surabaya.

(P. Benediktus Bere Mali, SVD)



Negara Indonesia adalah bangsa religius. Mengapa Indonesia disebut bangsa religius ? Karena di setiap tempat ditemukan banyak tempat berdoa. Di setiap POM BENSIN tersedia tempat berdoa. Di Provinsi NTT kita akan menemukan Gereja di setiap Kabupaten, Kota Kecamatan, Desa, bahkan sampai dusun. Di Pulau Jawa, di setiap wilayah ditemukan tempat sembahyang. Di Pulau Dewata, senantiasa  ditemukan tempat sembahyang di setiap sudut kota dan tepi jalan dan setiap kediaman.



Banyak tempat sembahyang atau banyak tempat berdoa, dan banyak orang yang berdoa di tempat berdoa, menunjukkan bahwa orang Indonesia adalah orang yang beriman dan hidup sesuai dengan ajaran imannya yang pada dasarnya untuk menyelamatkan diri, sesama dan alam sekitarnya.  



Lantas dalam konteks ini muncul Sabda Yesus dalam Injil hari ini: "Adakah Iman di Bumi?" Atau saya katakan, adakah iman di bumi Indonesia?


Pertanyaan ini dàpat dijawab dengan dua jawaban yang mengungkapkan realitas bumi Indonesia. Jawaban itu adalah ada iman di bumi Indonesia tetapi juga jawaban itu adalah tidak ada iman di bumi Indonesia. Mengapa jawabannya demikian?



Iman ditemukan di Indonesia karena ada bermacam-macam agama dan tempat sembahyang di bumi Indonesia. Ada banyak orang yang hidup baik dan benar serta berhikmat di tanah air Indonesia.



Tetapi Iman tidak ada di bumi Indonesia karena ada banyak koruptor di Indonesia. Wajah berita koran dan televisi lebih banyak menampilkan wajah bangsa Indonesia yang korup sebagai ekspresi wajah bangsa yang tanpa iman. Wajah berita koran dan televisi sangat minim menampilkan wajah Indonesia yang beriman dengan memberitakan berita di koran dan televisi tentang kejujuran, kebaikan dan kebenaran serta hikmat yang dirindukan masyarakat umum.



Dalam konteks Indonesia yang berwajah dua itu, apakah wajah Gereja Katolik menampilkan wajah yang jujur, transparan, adil, baik, benar, dan penuh hikmat?



Misi Allah adalah misi kejujuran, kebenaran, kebaikan, dan hikmat melintas batas. Maka Gereja perlu menyetir misinya selalu pada jalur misi Allah. Untuk itu perlu pertemuan berkala, mengevaluasi misi Gereja, dan tetap kembali berjalan pada misi Allah yang selalu dinamis dalam caranya kontekstual, tetapi isi imannya selalu sama dalam alfa dan omega. Dengan demikian iman selalu ada di bumi. Iman selalu ada di dalam hati manusia. Iman selalu ada di dalam Gereja.