Sabtu, Februari 16, 2013

Homili Sabtu Prapaska 16 Februari 2013


“BLUSUKAN” ALA YESUS
Sabtu Prapaska 16 Februari 2013
Yes  58 : 9b – 14
Luk 5 : 27 – 32

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Prinsip blusukan semakin dikenal di dalam kosa kata publik seiring dengan penampilan yang unik dari Gubernur DKI Jakarta.  Ada banyak orang yang melakukan blusukan “ke atas” dan “ke bawah”.  Sebelum Jokowi atau orang lain melakukan blusukan dengan motivasi yang tidak murni. Blusukan ke atas untuk melakukan suap agar kepentingannya dapat dikabulkan. Blusukan ke bawah untuk memeras dan memperalat rakyat kecil untuk memperkaya diri sendiri.

Tetapi Jokowi melakukan blusukan ke atas dan ke bawah untuk sebuah tujuan yang mulia yaitu untuk kepentingan banyak orang. Blusukan ke bawah untuk melihat secara nyata keadaan nyata di lapangan dalam perspektif global sebagai cross ceck apa yang dilaporkan di atas kertas secara baik dan tampak sempurna. Tujuannya agar yang tidak cocok antara laporan di atas kertas dengan kenyataan di lapangan sesegera dibarui agar terjadi habiatualisasi atau pembiasaan yang baik dan benar, yang berbobot dan berkualitas di dalam pelayanan kepada masyarakat yang dititipkan Tuhan baginya sebagai pemimpin yang dipercaya masyarakat banyak yang telah memilihnya untuk mengatur DKI Jakarta dengan baik dan benar. Pelayanan yang sudah baik dan benar  yang dilakukan para petugas lapangan, diberi apresiasi yang mendalam sebagai motivasi bagi mereka untuk senantiasa memberi pelayanan yang bermutu dan lancar bagi masyarakat pada umumnya. Blusukan ke atas untuk menyatukan visi dan misi serta komitmen sebagai sebuah gerakan bersama dalam memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat.

Dengan kata lain blusukan Jokowi membawa pembaruan menuju pelayanan yang bermutu bagi masyarakat yaitu dengan pembiasaan pegawai di semua lini untuk bekerja dengan baik dan benar  dalam melayani masyarakat. Dalam bahasa Spiritual saya katakan bahwa blusukan Jokowi membawa pertobatan banyak orang dengan pembiasaan berjalan di atas jalan yang meninggalkan kebiasaan pembiaraan cara kerja dan sistem kerja yang lama yang tidak baik dan benar  menuju habiatualisasi sistem kerja dan cara kerja yang baik dan benar untuk kebaikan dan kebenaran bersama masyarakat pada umumnya.

Blusukan Yesus terungkap di dalam bacaan Injil hari ini. Yesus melakukan blusukan di antara komunitas kaum Levi yang dicap sebagai orang berdosa yang harus dijauhkan oleh para pemimpin spiritual sebelum Yesus. Mereka dijauhkan tanpa menemukan sebuah jalan untuk mengembalikan mereka berjalan di atas jalan meninggalkan kegelapan dosa menuju jalan Terang yang menyelamatkan mereka. Para pemimpin Spiritual sebelum Yesus mengadakan pembiaran kaum Levi hidup dalam dosa dalam kerjanya sebagai pegawai pajak.

Ada pepatah yang mengatakan: “Difficulties Exist To Be Overcome”. Artinya kesulitan ada untuk diatasi. Yesus menghadapi pembiaran orang berdosa itu sebagai sebuah persoalan spiritual  yang penting diberikan jalan keluar yang menyelamatkan. Blusukan Yesus ke dalam komunitas para Levi untuk membawa pertobatan mereka yang menyelamatkan mereka. Yesus hadir dan makan bersama mereka. Yesus mendengarkan mereka dan memberikan pengajaran kepada mereka. Rupanya pengajaran Yesus itu ditanggapi secara positif.
Yesus sebagai penunjuk jalan yang benar dan baik kepada banyak orang melalui sebuah edukasi dalam relasi yang melintas batas dengan semua orang termasuk levi yang dicap secara sosial sebagai pendosa karena memungut pajak secara lebih untuk kepentingan dirinya dan untuk kepentingan penjajah dengan menindas rakyat kecil. Yesus sebagai guru spiritual yang berbeda dengan guru spiritual atau tokoh spiritual lainnya yang hidup pada zaman Yesus. Guru Spiritual lainnya menempatkan diri sebagai orang suci yang menjauhkan diri dengan dunia termasuk dengan para Levi yang berdosa, sedangkan Yesus sebagai guru Spiritual yang memberikan diri untuk melakukan sebuah relasi sosial dengan semua orang termasuk dengan para Levi yang berdosa dengan tujuan supaya mereka bertobat.  
Blusukan Yesus di antara komunitas para Levi dengan tujuan untuk membawa pertobatan dalam diri mereka membawa buahnya tersendiri. Ketika Yesus memanggil Levi untuk mengikutiNya, jawaban Levi sangat positif. Levi langsung mengikuti Yesus menjadi muridNya berjalan di jalan Yesus untuk melayani banyak orang agar mereka berjalan di jalan Tuhan Yesus yang menyelamatkan.


Jumat, Februari 15, 2013

Homili Jumat Prapaska 15 Februari 2013



PEMBIARAN  AMORAL, BOLEHKAH?

Yes 58 : 1 – 9a; Mat 9 : 14 – 15
Homili Jumat 15 Februari 2013
Dari SOverdi Surabaya Untuk Dunia


P. Benediktus Bere Mali, SVD


Beberapa waktu lalu saya bekerja di sebuah daerah yang cukup unik. Kekhususan daerah itu terletak di dalam hal ini. Orang tua tidak pernah menegur anaknya yang berlaku tidak baik dan tidak benar menurut pola pamahaman saya. Demikian juga anak tidak pernah menegur kedua orang tuanya yang berlaku tidak baik dan tidak benar dalam pemahaman saya. Baik anak dan orang tua hidup tanpa saling koreksi yang membangun ke arah yang lebih di dalam freim etika global yang diterima masyarakat global di seluruh dunia. 

Yang membuat saya agak tenang mengamati yang tidak benar dan tidak baik itu adalah, soal pemahaman mereka. Pemahaman saya berbeda dengan pemahaman mereka. Pemahaman kami perlu disamakan untuk menganut sebuah etika global yang berlaku umum langgar batas. Untuk itu pendidikan etika global dilaksanakan agar dapat mencapai sebuah pemahan bersama tentang etika global yang menjadi jantung hidup bersama bagi setiap orang di mana saja mereka berada, termasuk saya dan mereka.

Nah ketika semua tahu tentang yang baik dan benar, tetapi hidup tidak baik dan tidak benar, maka seorang yang dipanggil menjadi Katolik menampilkan identitas dirinya dalam bersikap. Sikap itu adalah menampilkan peran kenabiannya di dalam hidup bersama.


Nabi Yesaya bernubuat : “Serukanlah kuat-kuat, janganlah tahan-tahan! Nyaringkanlah suaramu bagaikan sangkakala, beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka, dan kepada kaum keturunan Yakub dosa mereka!”  Nubuat ini membawa sebuah ketegasan bahwa seorang yang terpanggil sebagai pengikut Tuhan semestinya menampilkan peran kenabiannya di dalam hidup bersama. Mengatakan yang benar adalah benar. Mengatakan yang salah adalah salah. Untuk kebaikan dan kebenaran bersama. Bukan untuk kebaikan dan kebenaran diri sendiri. Kebaikan dan kebenaran yang dikatakan itu dilaksanakan  di dalam perilaku yang baik dan benar sehingga ada keseimbangan antara kata dan perbuatan.

Ada banyak hal yang tidak benar dan tidak baik yang terjadi di sekitar kita di dalam kehidupan bersama entah itu di dalam kehidupan berkomunitas keluarga ataupun di dalam komunitas pastoran, komunitas biarawan/biarawati ataupun di dalam kehidupan bermasyarakat dan kehidupan umat pada umumnya.

Melihat dan menyaksikan semua yang tidak baik dan tidak benar itu ada berbagai pikiran yang muncul di dalam diri kita. Kita mau menegur tetapi kita pun bukan orang yang paling sempurna. Kita mau berteriak tentang yang tidak baik dan tidak benar itu tetapi kita takut menanggung resikonya. Kita mau menulis tentang yang tidak benar dan tidak baik yang sedang terjadi tetapi kita takut dimusuhi dan masih banyak keraguan yang ada di dalam diri kita untuk menampilkan peran kenabian kita di dalam panggilan hidup sebagai pengikut Kristus.
Seringkali kita mengatakan bahwa kita sabar saja karena kepemimpinan hanya temporal. Maka ketika pemimpin melakukan yang tidak baik dan tidak benar, kita cenderung diam saja walaupun kita tahu secara persis akar persoalannya.
Kalau demikian kita masih dituntun oleh paradigm berpikir yang tidak dikehendaki banyak orang yang berhati nurani : “Pembiaran Amoral”. Seorang pengikut sejati Tuhan Yesus semestinya berprinsip pada Nubuat Yesaya dalam bersikap terhadap amoral yang ada di depan mata: “Serukanlah kuat-kuat, janganlah tahan-tahan! Nyaringkanlah suaramu bagaikan sangkakala, beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka…”

Kamis, Februari 14, 2013

Homili Kamis Prapaska 14 Februari 2013


“NIKMATNYA NERAKA BURAMNYA SURGA”

Ul 30 : 15 – 20; Luk 9 : 22 – 25
Homili Kamis 14 Februari 2013
Dari Soverdi Yogyakarta Untuk Dunia


P. Benediktus Bere Mali, SVD


Beberapa waktu lalu saya mengunjungi sebuah tempat panti asuhan. Pemimpin panti asuhan sempat berbagi pengalaman melayani di tempat itu. Anak-anak di tempat itu berasal dari keluarga yang menderita sebuah sakit penyakit yang belum bisa disembuhkan. Anak-anak sepanti itu adalah korban derita yang dilahirkan dari kedua orang tuanya yang dimasukkan ke dalam ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). ODHA itu datang dari pilihan bebas dalam relasi yang antisehat dari orang tua. Relasi antisehat orang tua itu menurunkan yang antisehat kepada anak yang dikandung dan dilahirkan. Anak derita seumur hidup bukan dari kutukan Tuhan tetapi dari pilihan keliru relasi antisehat dari kedua orang tuanya. Orang tua yang ODHA dipandu oleh Paradigma hidup yang berprinsip :" Bersenang-senang dahulu bersusah-sudah kemudian tiada akhir." Atau "Nikmat membawa sengsara" abadi.

Pada waktu yang berbeda saya mengunjungi sebuah sekolah yang terkenal. Anak-anak di sekolah itu berasal dari anak-anak yang cerdas. Anak-anak itu lahir dari orang tua. Anak-anak itu berasal dari keluarga. Kecerdasan anak dan kesehatan anak itu berasal dari kecerdasan orang tua dan kesehatan orang tuanya. Buah perjuangan baik dari keluarga itu bagi anak sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma itu mengantar anak masuk ke dalam sekolah yang unggul di sekolah unggul itu. Memasuki sekolah unggul membutuhkan perjuangan yang luarbiasa dari orang tua sejak awal hidup anak di dalam rahim ibunya. Paradigma yang memandu orang tua yang melahirkan anaknya unggul dalam perspektif global adalah "bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian". Atau "Sengsara Membawa Nikmat."

Musa mewartakan pilihan bagi bangsa Israel antara memilih hidup dan kehidupan atau memilih mati dan kematian. Memilih hidup dan kehidupan dapat ditemukan di dalam Sabda Allah sumber memberi hidup dan kehidupan. Memilih mati dan kematian di ditemukan di luar Allah. Memilih hidup dan kehidupan di dalam Yesus sebagai jalan kebenaran dan kehidupan abadi di Surga. Memilih mati dan kematian dtemukan di dalam anti Kristus yang membawa ke dalam neraka derita abadi. Menikmati kegembiraan surga yang sejati di dalam perjalanan di atas jalan kebenaran dan kehidupan Tuhan Yesus sang juruselamat universal. Menikmati neraka pembawa derita abadi ditemukan di dalam perjalanan di atas jalan dengan berjalan meninggalkan Surga Tuhan Yesus menuju kegelapan Neraka yang melahirkan derita tanpa akhir.

Selasa, Februari 12, 2013

Homili Rabu Abu 13 Februari 2013


“BUKAN KUPU-KUPU TAPI KELEKATU”

Yoel 2 : 12 – 18;
2Kor 5 : 20 – 6 : 2;
Mat 6 : 1 – 6. 16 – 18
Homili Rabu Abu 13 Februari 2013
Dari St. Maria Ursulin Surabaya Untuk Dunia

*P. Benediktus Bere Mali, SVD *

Di antara sekian banyak serangga atau insek yang dikenal, saya sangat tertarik dengan kelekatu atau laron. Menarik karena ketika pada musim hujan tiba,  kelekatu atau laron  muncul berarti tanda musim tanam dimulai. Yang Paling menarik perhatian saya adalah ketika Kelekatu atau Laron berada di dalam kegelapan malam. Kelekatu pasti beterbang meninggalkan kegelapan malam menuju terang sinar lampu atau senter atau pelita.

Keunikan Kelekatu atau Laron ini sangat berbeda dengan kehidupan kupu-kupu malam di malam hari.  Keunikan kupu-kupu malam sangat  menantang arus umum. Ketika kegelapan malam yang bermula dari remang-remang hingga kegelapan yang paling gelap,  yang namanya kupu-kupu malam mulai memancarkan senyumannya kemudian mengangkat kaki-kakinya berlangka berjalan meninggalkan terang sinar menuju kegelapan dosa dan menikmatinya walaupun itu sangat menyesatkan.

Dengan kata lain, yang bernama kupu-kupu malam itu berjalan dari terang sinar menuju remang-remang hingga tiba di dalam kegelapan malam yang paling gelap sebagai habitatnya untuk menikmati dosa – dosa yang menyesatkan dan menghancurkan, sebaliknya Kelekatu senantiasa berjalan meninggalkan kegelapan malam menuju terang sinar yang memberikan kenyamanan baginya.  Atau dapat dikatakan bahwa Kelekatu sangat terganggu ketika berada dalam kekelaman malam dan keluar dari ketidaknyamanan itu menuju kenyamanan yang ditemukan di dalam terang sinar. Sebaliknya Kupu – kupu malam memang merasa nyaman di dalam suasana kegelapan sebagai medan kenikmatan dosa baginya.

Rabu Abu adalah pintu pertama Prapaskah dengan fokus sentral adalah pertobatan dalam perspektif global. Pertobatan berarti perjalanan panjang dari beraneka kegelapan dosa yang mematikan menuju terang sinar Kristus yang membangkitkan. Sebaliknya pendosa senantiasa berjalan meninggalkan terang sinar Tuhan yang menghidupkan menuju kegelapan dosa yang mematikan.

Secara sangat indah bahwa bacaan-bacaan suci hari ini mewartakan pertobatan bagi kita pada zaman ini, khususnya pada hari Rabu Abu ini. Dikatakan bahwa orang yang bertobat itu adalah mereka yang berjalan meninggalkan setan sesat menuju Allah untuk sampai pada tinggal dalam Allah yang menyelamatkan. Orang yang bertobat itu adalah mereka yang berjalan meninggalkan konflik horisontal dan vertikal menuju “memberi diri didamaikan dengan Allah” dan hidup dalam kedamaian universal Allah. Orang yang bertobat itu adalah mereka yang berlangkah di jalan meninggalkan kegelapan kemunafikan menuju terang sinar kejujuran dan ketulusan dalam berpikir, berbicara dan bertindak.