Minggu, Februari 24, 2013

Homili Minggu 20 Januari 2013 PESTA DI KANA



ANGGUR HABIS
KARENA PARA MURID YESUS PEMINUM

Homili  Minggu 20 Januari 2013
Yes 62 : 1 – 5; 1 Kor  12 : 4 – 11; Yoh 2 : 1 -11

(P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD)

Tuan pesta mempersiapkan anggur cukup untuk para undangan yang hadir dalam pesta pernikahan di Kana.
Lalu mengapa Maria sampaikan kepada Yesus bahwa anggur kurang sementara pesta pernikahan berlangsung?
Maria adalah seorang ibu yang sangat peka akan kekurangan anggur yang disediakan bagi para undangan yang hadir. Maria menyampaikan hal ini kepada Yesus. Mengapa? Para muridNya juga hadir dalam pesta itu. Para murid sebagai novis. Yesus adalah magisternya. Undangan diterima Yesus. Dalam undangan tidak ada tulisan hanya berlaku untuk dua orang. Maka Yesus ke Pesta Nikah membawa semua novisNya. Para murid sebagai Novis tentu senang sekali diikutkan dalam pesta pernikahan. Para Novis ketika acara makan minum tiba, menikmati semua yang dihidangkan dengan penuh suka cita tanpa berpikir apakah makanan dan minuman tersedia cukup atau tidak.  Para murid sungguh mendapat sebuah awal pengalaman panggilan Tuhan yang sangat mengesankan karena diawali dengan Pesta Akbar di dalam Perjamuan Pernikahan di Kana.
 Maria yang bekerja di dapur melihat bahwa anggur tak lama lagi akan habis. Tidak mungkin Maria memberitahukan kekurangan anggur ini kepada tuan pesta. Maria justru menyampaikan kepada Yesus. Anggur habis karena undangan Para murid tidak terdaftar dalam catatan panitia pernikhan akbar itu. Yesus semestinya bertanggungjawab atas kekurangan anggur itu. Rupanya Maria dan Para  Pelayan tahu sama sama keadaan kehabisan anggur itu. Hal ini terungkap dalam kata-kata Maria kepada Para Pelayan: lakukan  saja apa yang dikatakan Tuhan Yesus kepadamu.
 Ketika Maria bertanya kepada Yesus untuk , bertanggungjawab atas kekurangan anggur itu, lalu Jawab Yesus: saatKU belum tiba. Mau apakah engkau hai perempuan? Mengapa Yesus menyapa ibunya dengan Perempuan? Karena Yesus tahu Maria adalah IbuNya. Kata perempuan adalah kata umum yang digunakan untuk menutupi KKN dalam peristiwa ini. Bagi kita aneh karena setelah Maria menerima jawaban dari Yesus: “SaatKu belum tiba”, Maria langsung mengatakan kepada para pelayan: “Lakukan apa saja yang disampaikan Yesus.” Perkataan itu pasti lahir dari sebuah pembicaraan antara Maria dan Para Pelayan sebelumnya. Atau hal ini pasti didiskusikan sebelumnya antara Yesus dengan Maria ibunya, sehingga ada alur ceritanya mengalir. Penafsir membuat alur cerita itu harus mengalir.

Pesan yang mau disampaikan adalah bahwa sebetulnya Tuhan sudah menyiapkan segala sesuatu cukup bagi kebutuhan manusia. Hanya karena kerakusan manusia maka semuanya selalu kurang karena orang hidup bukan atas dasar kebutuhan tetapi kerakusan. Kekurangan selalu ada pada orang yang hidup berdasarkan keinginan bukan berdasarkan kebutuhan.

Misalnya : Hutan dibabat untuk orang kaya semakin kaya. Lapindo untuk orang kaya semakin kaya. Batubara untuk orang kaya semakin kaya. Emas Freeport untuk orang kaya semakin kaya. Jakarta dibangun tanpa aturan oleh orang kaya semakin kaya. Gereja mewah dibangun di Jakarta tanpa peduli orang miskin di sekitarnya di tanah air lain di Indonesia, atau solidaritas, karena itu Jakarta Banjir akibat kerakusan manusia. Setiap tahun Jakarta Banjir.

 Kita berdoa Bapa Kami adalah doa yang sempurna yang diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Satu unsur penting doa Bapa Kami adalah “Berilah kami makanan yang secukupnya.” Tuhan menciptakan segala sesuatu secara cukup bagi kebutuhan manusia. Manusia yang hidup berdasarkan keinginan dan bahkan kerakusan atau ketamakan maka apa yang dimilikinya tidak membuat diri manusia itu merasa cukup.

Homili Sabtu 2 Februari 2013 Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenizah




FORMASI ANAK DENGAN PIKIRAN POSITIF

Homili Sabtu 2 Februari 2013
Pesta Yesus Dipersembahkan Di Kenizah
Maleakhi 3 : 1 – 4
Ibr 2 : 1 -  14
Luk 2 : 22 - 32

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Setiap anak yang sejak kecil senantiasa diterima oleh keluarganya, oleh orang tuanya, akan bertumbuh dan berkembang secara lebih baik dan dewasa. Sebaliknya anak yang dalam rahim karena kehamilan yang bablas tidak direncanakan kemudian oleh kedua orang tua menolaknya sejak di dalam kandungan akan berkembang merana dalam kehidupan selanjutnya. 
Keluarga yang memiliki perencanaan akan kelahiran anak senantiasa dengan perasaan penuh sukacita menyambut anak sejak awal kehidupannya dalam rahim ibu. Keadaan sukacita menerima anak sejak awal adalah sebuah situasi sosial anak yang diciptakan untuk sikap, pikiran, perkataan serta perilaku anak kelak lahir dan dalam proses perkembangannya akan lebih baik. Hal ini lahir dari paradigma “positif thinking” kedua orang tuanya dalam proses seluruh pembentukan anak yang dimulai sejak awal pertemuan antara sel telur dengan sel sperma dari Bapa dan mama. Sebaliknya orang tua yang tanpa perencanaan akan kelahiran anak tetapi bablas ibu hamil dan menolak anak sejak awal maka formasi anak sejak awal dibuka dengan paradigma kedua orang yang negatif atau  anak sejak awal dalam formasinya berdasarkan paradigma “negative thinking”. Pola ini akan mempengaruhi pikiran, perkataan dan perbuatan anak setelah lahir dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang sangat merana. Paradigma Positive Thinking dalam formasi anak sejak di dalam rahim ibu  merupakan sebuah kesegeraan bagi orang tua untuk dipelajari dan dipahami di dalam buku “Komunikasi Tanpa Kekerasan”.  Karena pola ini penting bagi pembentukan masa depan anak masa depan Gereja dan bangsa. Anak dibentuk tanpa kekerasan maka kelak anak membawa damai bagi dirinya dan bagi lingkungan sosialnya.
Hana dan Simeon melahirkan pemikiran yang postif dalam menyambut Yesus yang disambut di dalam Bait Allah ketika Yesus dipersembahkan di dalam Kenizah. Semeon secara lantang memproklamasikan identitas Yesus adalah Mesias yang terurapi membawa keselamatan para bangsa.
Selanjutnya Simeon berkata : “ Yesus akan menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang Israel”. Mengapa Simeon meramalkan masa depan Yesus demikian? Yesus datang membawa selamat bagi para bangsa. Yesus datang menjadi terang para bangsa.  Yesus menjatuhkan banyak orang Israel dalam artian menggugurkan sistem selamat  Allah yang hanya terbatas pada bangsa terpilih, yang sedang dikandung bangsa Israel pada zaman itu. Sebaliknya Yesus membangkitkan Israel dalam artian membangkitkan kembali sistem selamat Allah bagi para bangsa, baik Israel maupun para bangsa lain. Ini adalah sebuah rahmat terbesar dari Allah bagi para bangsa di sleuruh dunia. Rahmat itu menjadi nyata di dalam diri Pribadi Yesus Kristus. Rahmat Selamat Kasih Allah yang melanggar batas itu seperti hujan yang turun bagi semua orang lintas batas, dan seperti matahari yang bersinar bagi semua manusia tanpa pembedaan.
Kita pun telah mempersembahkan diri kepada Tuhan dalam sakramen-sakramen. Dengan itu identitas rohani kita semestinya terungkap dalam pikiran, perkataan dan perilaku kita yang membawa selamat Allah melanggar batas-batas buatan manusia.
Tetapi ketika kata dan perilaku kita menciptakan atau membangun pembedaan-pembedaan secara tajam atau bahkan secara ekstrim, itu berarti  kita mengafirmasi pengalaman ‘negative thinking” yang dibangun di dalam sejarah perjalanan hidup kita. 

Homili Minggu TRANSFIGURASI, 24 Februari 2013



“SENGSARA MEMBAWA NIKMAT”

Homili Minggu 24 Februari 2013
Kej 15 : 5 -12. 17 – 18
Flp 3 : 20 – 4 : 1
Luk 9 : 28 – 36

P. Benediktus Bere Mali, SVD


Bacaan Injil hari ini menampilkan identitas Yesus sebagai " ... Anak yang terkasih, Dengarkanlah Dia". Injil Sinoptik menyampaikan identitas Yesus sebagai Anak Allah, dengarkanlah Dia, secara bertahap sebanyak tiga kali, dimulai dari Pembaptisan di Sungai Yordan,  Transfigurasi di Gunung Tabor, dan di kemudian berpuncak di Penderitaan dan kematian Yesus di Bukit Golgota di atas Kayu Salib.

Pernyataan di atas menerbitkan sinar pertanyaan di dalam pikiran saya. Mengapa Pengakuan Yesus sebagai Anak Allah pada akhirnya berpuncak pada penderitaan Salib dan kematian Yesus di Golgota serta pengakuan itu berasal dari seorang serdadu yang dulunya kafir, bukan dari seorang yang beriman seperti para muridNya?

Karena Ke-Allahan Tuhan Yesus itu bersifat universal, baik bagi orang beriman maupun orang kafir. Pengakuan itu berpuncak pada pengakuan serdadu yang mengatakan "Sungguh Yesus Anak Allah", menyatakan bahwa dalam keadaan yang paling sadis yang dialami Tuhan Yesus di jalan salib dan berpuncak di Kalfari, orang yang dulunya kafir dilahirkan kembali dalam iman kepada Yesus yang menerbitkan sinar MujizatNya dari atas Kayu Salib kepada Serdadu. Mujizat itu adalah gempa bumi yang menyertai kematian Yesus.

 Pegakuan orang kafir itu menjadi masukan yang berarti bagi orang yang sudah mengakui Yesus sebagai Mesias Anak Allah, supaya para beriman semestinya ada dan hadir juga dalam Penderitaan sesama di sekitar sebagai kehadiran wajah Allah yang menderita di Salib. Pengakuan Serdadu itu merupakan sebuah kritikan terhadap para murid yang lari dari Salib Yesus bahkan sangkal Yesus sebagai Anak Allah yang menderita.  Petrus sangkal Yesus di saat terjepit ketika Yesus menderita di Yerusalem sedangkan serdadu dari kekafirannya mengakui Yesus sebagai Anak Allah dalam puncak penderitaan dan penghinaan di atas Kayu Salib di bukit Golgota.

Aplikasi untuk kita adalah : Kita boleh jadi begitu mudah mengakui Tuhan Yesus ketika di Baptis dan di puncak Tabor yang membahagiakan. Tetapi kita bisa jadi  menyangkal Yesus di dalam deritaNya di Yerusalem menuju Puncak Salib di Golgota.  Kita perlu membuka diri belajar lebih banyak cara beriman serdadu di kaki salib. Iman kita lahir dalam sukacita Tuhan. Iman serdadu lahir dalam dukacita kematian Tuhan awal kehidupan abadi di dalam Kemah abadi di Surga. Kita semestinya beriman kepada Yesus dalam suka dan duka hidup kita.
Atau mengapa identitas Yesus itu diakui serdadu di puncak Golgota di saat Yesus di Salib? Karena Salib adalah jembatan yang dilewati para peziarah dari dosa dunia menuju surga. Yesus adalah Musa baru yang membebaskan manusia dari perbudakan dosa menuju keselamatan abadi di Surga dalam jalan salibNya. Yesus adalah Elia baru yang mengangkat naik umat manusia dari jurang dosa yang mendalam menuju medan bahagia surga dalam tangga salibNya tempat pendosa yang bertobat naik dari  tinggalkan lumpur dosa di dalam jurang yang dalam menuju mandala surga yang aman sentosa abadi.

Homili Minggu Prapaskah I - C 24 Februari 2013



DARI KEMAH DERITA KE KEMAH BAHAGIA
             
Homili Minggu 24 Februari 2013
Kej 15 : 5 -12. 17 – 18
Flp 3 : 20 – 4 : 1
Luk 9 : 28 – 36

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Dalam buku Quo Vadis, dikatakan ada penampakan Yesus kepada Petrus di Kota Roma yang sedang dilanda penganiayaan Kaisar kepada umat Kristen. Yesus bertanya kepada Petrus: Kemanakan engkau pergi? Petrus menjawab : saya hendak lari menghindari penganiayaan Kaisar atas umat Kristen. Yesus membalas  Petrus: “Jika engkau lari menghindari penderitaan Roma maka saya akan masuk kembali Roma dan disalibkan lagi di Roma”.

Pertanyaan kita adalah mengapa ketika ada Penderitaan Yesus di Yerusalem, Petrus tidak serta merta membangun kemah derita, malah lari dari derita Yesus dengan sangkal Yesus, sedangkan ketika di Tabor mengalami sukacita Tuhan  dan kemuliaanNya, Petrus segera mengatakan mendirikan kemah kemuliaan atau kemah kebahagiaan? Atau kita ketika ada di Cisarua atau Ledug yang udaranya sejuk dan nyaman kita mendirikan kemah kita sedangkan ketika ada derita masyarakat di sekitar kita, kita tidak membangun kemah derita? Bukankah ini adalah konsep kita adalah konsep Petrus bukan konsep Yesus?
Hari ini terjadi Peristiwa Transfigurasi Tuhan Yesus di atas Gunung Tabor. Perubahan rupa Yesus yang berkilau-kilau itu terjadi di dalam doaNya kepada Bapa di Surga. Perubahan itu terjadi ketika Yesus dalam doa menemukan kehendak Allah dalam menyelamatkan dunia. Perubahan kemuliaan Tuhan itu terjadi ketika Yesus menyatukan diri dengan misi Bapa dan Roh Kudus yang menyelamatkan semua melintas batas. Perubahan itu membawa sukacita dan kebahagiaan yang sejati bagi semua orang. Petrus, Yohanes dan Yakobus sangat berbahagia mengalami kemuliaan Tuhan Yesus di Tabor yang disaksikan Musa dan Elia.  Ungkapan bahagia yang luarbiasa itu dinyatakan oleh Petrus dengan mengatakan bahwa betapa bahagianya kami di tempat ini. Kami akan mendirikan kemah bahagia di tempat ini. Satu untuk Musa, satu untuk Elia dan satu untuk Engkau.
Rencana Petrus itu didengarkan. Tetapi lebih mendengarkan suara Bapa dalam awan “ Inilah anak yang kukasihi, DENGARKANLAH DIA.” Para murid boleh berencana tetapi rencana Tuhan Yesus lebih didengarkan dan dilaksanakan. Karena rencana Yesus selalu menyelamatkan sedangkan rencana Para murid kadang mengutamakan kepentingan pribadi.
Yesus tidak mengabulkan permintaan Petrus untuk mendirikan kemah kemuliaan di Tabor. Tetapi Yesus turun dari Tabor kembali ke penderitaan Yerusalem sebagai jalan menuju kemuliaan yang sejati.  Kemuliaan yang sejati melewati jalan penderitaan di Salib.  Rencana Pembangunan Kemah Tabor ditunda dan kembali ke Yerusalem untuk membangun kemah derita sebagai kediaman yang harus dialami dalam perjalanan menuju Kemuliaan yang sejati.
Sengsara Tuhan Yesus di jalan Salib membawa kemuliaanNya di Surga. Sengsara Tuhan Yesus di jalan salib mengantar semua orang berjalan menuju kebahagiaan yang sejati di surga. Orang yang berziarah menuju kebahagiaan Surga melewati jalan yang paling tepat yaitu jalan Salib Tuhan Yesus.
Yesus adalah Musa Baru yang membawa Umat Manusia dari perbudakan dosa menuju Surga tujuan ziarah spiritual manusia. Yesus adalah Elia Baru yang mengangkat manusia darijurang dosa yang dalam naik ke Surga melalui tangga SalibNya.
Keberhasilan yang berbobot melewati jalan kerja keras mencucurkan air mata. Sebagaimana Pemazmur berdoa : “ barangsiapa bekerja dengan mencucurkan keringat dan air mata akan menuai dengan sorak sorai”. Tetapi dalam kenyataan ketika melihat para koruptor yang kebanyak dari kelas elit, pernyataan ini yang lebih tepat: “ barangsiapa memperolah hasil tanpa kerja mencucurkan keringat dan air mata, pintu penjarah terbuka lebar baginya”.  Bagi Pemazmur berlaku “Sengsara membawa nikmat.” Tetapi bagi koruptor yang berlaku adalah nikmat membawa sengsara.”

Sabtu, Februari 23, 2013

Homili Sabtu 23 Februari 2013



BERJALAN DALAM SINAR KASIH

Ul 26 : 16 – 19; Mat 5 : 43 – 48
Homili Sabtu 23 Februari 2013

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Mengapa orang selalu membutuhkan Penerangan di dalam perjalanannya? Karena Sinar atau terang di jalan menuntun pejalan pada jalan yang tepat, benar, baik serta menyelamatkan. Sedangkan berjalan dalam tanpa penerang atau kegelapan akan membawa pejalan ke jalan salah arah bahkan membawa kehancuran atau maut bagi dirinya.  
Bacaan Pertama dan Injil melukiskan Sinar Kasih yang menerangi pejalan yang berjalan di jalan menuju kesempurnaan yang sejati. Jalan menuju kesmpurnaan  itu menurut Musa dalam Bacaan pertama adalah berjalan di atas jalan yaang dilalui Sabda Allah yang mengantar semua orang menuju sumber kesempurnaan yaitu Allah di Surga. Setiap orang yang mendengarkan Sabda Allah dan berjalan sesuai arahan Sang Sabda pasti berjalan bersama sang sabda dalam seluruh perjalanan menuju kesempurnaan Sejati dalam Tuhan.
Kesempurnaan kasih yang ditemukan di Jalan Tuhan ditemukan di dalam Yesus Sang Sempurna Sinar Kasih Allah bagi semua orang lintas batas. Kesempurnaan Kasih Allah itu dilukiskan secara sangat indah di dalam Bacaan Injil. Kasih Sempurna Allah itu seperti hujan yang turun bagi semua orang lintas batas tanpa membeda-bedakan berdasarkan warna kulit, suku, agama, ras dan golongan. Kasih Sempurna Allah itu seperti sinar matahari yang menyinari semua orang langgar batas. Artinya kesempurnaan kasih Allah itu tercetus di dalam mengasihi semua melintas batas-batas yang dibuat manusia berdasarkan kriteria-kriteria ilmiah yang dibuat manusia.
Dengan demikian pengalaman akan kesempurnaan Kasih Allah itu ada dua arah. Pertama kita berjalan dalam cita-cita sempurna sejati yang ditemukan di dalam Allah. Kedua penemuan kasih sempurna Allah itu dibagikan dalam hidup nyata sehari-hari di dalam lingkup komunitas yang paling kecil yaitu keluarga sebagai gereja yang paling kecil sampai lingkungan yang paling luas. Jadi secara ke dalam diri kita berupaya meraih dan memiliki kesempurnaan kasih sejati dalam Allah.  Memiliki kasih sempurna Allah bukan untuk diri sendiri saja tetapi kita yang memiliki kasih sempurna Allah itu menjalani tugas perutusan sebagai kaki tangan Allah yang kelihatan dalam membagi dan mengalirkan secara terus menerus kepada sesama di dalam dunia sekitar. Kasih kita seperti matahari yang menyinari semua orang tanpa membeda-bedakan atas dasar suka atau tidak suka atau berdasarkan SARA. Kasih kita itu seperti hujan yang turun bagi semua orang lintas batas.
Kalau kita masih dibatasi oleh SARA dalam membagi kasih itu berarti kita masih jauh dari kesempurnaan kasih Allah. Kita perlu terus berjalan menuju Kesempurnaan Kasih Allah dalam menata kasih yang sempurna dalam diri kita sendiri.  Hanya orang yang berjalan ke dalam diri dalam kesempurnaan Kasih Allah yang boleh berlangkah keluar dari diri lalu berjalan dalam Kesempurnaan Kasih Allah menuju medan hati setiap manusia yang rindu dielus dan disapa dengan sempurna kasih Allah yang mengalirkan kesejukan air hujan ke dalam hatinya dan terang hangat sinar matahari yang menerangi dan menghangatkan hatinya yang dingin dengan kasih sejati Allah sendiri.  Dengan demikian hati yang dingin dihangatkan dengan kasih sejati Allah. Hati yang panas disejukan dengan tetes air hujan yang menyejukkan.