Sabtu, Februari 16, 2013

Kita adalah Luka-luka yang berjalan menuju kesembuhan


PERJUMPAAN YANG MENYEMBUHKAN

*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Robert Holden penulis kontemporer mengatakan bahwa setiap orang adalah luka-luka yang sedang berjalan menuju tempat penyembuhan. Tempat penyembuhan itu adalah hati sesama manusia yang membuka diri menerima sesama dengan senyum yang menyembuhkan. Tetapi luka akan bertambah melebar dan mendalam di saat bertemu dengan sesama yang menolak sesama.

Perjumpaan Yesus dengan Levi yang terluka oleh penolakan masyarakat umum karena pekerjaannya sebagai pegawai pajak yang memungut pajak secara lebih untuk kepentingannya dan kepentingan banyak orang, membawa penyembuhan kepada Levi.  Luka-lukanya yang dibawah di dalam perjalanan di atas jalan menuju tempat penyembuhan yang diharapkannya telah ditemukan di dalam diri Yesus yang menjumpainya dengan penerimaan yang istimewa terhadap dirinya.  Sejak sebelum pemimpin Spiritual Yesus tampil, Levi hidup di dalam luka – lukanya yang selalu menyertainya di atas jalan-jalan hidupnya.

Penyembuhan yang dialami Levi membawa sebuah hasil yang positif. Sambutan Levi terhadap  Tuhan Yesus bukan sekedar ucapan kata-kata melainkan Levi langsung mengikuti Yesus masuk di dalam komunitas Yesus dengan meninggalkan komunitas Levi yang penuh dengan kerja kotor yaitu menagih pajak secara lebih untuk keuntungan pribadi dan keuntungan penjajah. Artinya penyembuhan yang dialami Levi dalam perjumpaan dengan Yesus itu adalah penyembuhan luka ganda yaitu sembuh dari luka sosial karena dicap sebagai pendosa dan dijauhkan oleh masyarakat Yahudi pada umumnya serta penyembuhan spiritual dengan bertobat lewat meninggalkan habitualisasi pegawai pajak menuju habitualisasi hidup jujur baik dan benar dalam komunitas Tuhan Yesus.

Masyarakat kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang kurang jujur dan baik dan benar. Misal koruptor berasal dari para elite yang memegang pucuk kepemimpinan di tanah air, khususnya dalam partai politik dan juga dalam pemerintahan.  Mereka harus secara spiritual semestinya bertobat. Bertobat berarti berjalan di jalan yang meninggalkan komunitas korupsi menuju komunitas bersih jujur baik dan benar. Dengan dengan demikian kehadiran pemimpin merupakan sebuah kehadiran yang menyempurnakan dan menyembuhkan serta menyehatkan.
Top of Form
Bottom of Form

Homili Minggu Prapaskah I 17 Februari 2013


EMAS MURNI PANGGILAN YESUS DIBAKAR API AIR RAKSA IBLIS 

Homili Minggu Prapaskah I
 17 Februari 2013

Ul 26 : 4 – 10; 
Rm 10 : 8 – 13; 
Luk 4 : 1 – 13

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Mengapa setiap penambang emas setelah mendapat emas selalu dibakar dengan api air raksa? Untuk membuktikan bahwa emas yang didulang adalah benar-benar emas yang menampilkan keemasannya hanya dapat diketahui melalui pembakaran emas itu dengan api air raksa.  Karakter emas murni adalah semakin dibakar dengan api air raksa semakin menampilkan jati dirinya sebagai  emas murni.

Emas murni panggilan Yesus utusan Allah Bapa untuk melaksanakan misi Allah di dunia yang diawali dengan pembaptisan di sungai Yordan,  mengalami ujian penting melalui mengalami pembakaran api godaan iblis selama empat puluh hari di Padang Gurun.  Ujian – ujian itu sangat mengiurkan.  Iblis sang penguji memberikan pertanyaan dengan reward yang sangat menggiurkan hati. Si iblis begitu cerdas menghadirkan sebuah moment ujian dengan pertanyaan –pertanyaan yang harus dijawab untuk membuktikan bahwa apakah Yesus taat pada Allah yang mengutusNya atau tunduk pada Iblis yang menghancurkanNya.  

Ujian demi ujian  dari Iblis dilalui Yesus dengan baik. Pertanyaan Iblis selalu dijawab Yesus dengan jawaban yang berasal dari Pihak Tuhan, bertolakbelakang dengan jawaban yang sudah dirancang secara sistematis oleh Iblis. Iblis selama tiga kali mencobai Yesus dengan pertanyaan yang membutuhkan jawaban dalan kata dan perbuatanNya. Tetapi Tuhan Yesus menjawab dari pihak Tuhan sekaligus di dalam jawaban itu menolak untuk melaksanakan permintaan Iblis yang dibalut indah dengan reward yang sangat menggiurkan hati. Jawaban Yesus selalu berpihak pada jawaban dari sisi Tuhan sebagai subyek yang menentukan keselamatan bagi diriNya. Bukan berdasarkan jawaban yang dirancang dan ditentukan Iblis untuk menghancurkan Yesus bukan menyelamatkan.  

Pada akhirnya Iblis mundur di hadapan Yesus walaupun Iblis mundur untuk mencari saat yang tepat untuk menundukkan Yesus.  Kemunduran Iblis dari Yesus mengungkapkan Iblis senantiasa berjalan meninggalkan Yesus menuju kegelapannya yang menghancurkan bukan menyelamatkan. Kemunduran Iblis dari Yesus itu menunjukkan bahwa Allah adalah subyek atas Iblis. Tuhan subyek atas yang diciptakan. Yesus lulus ujian dari pihak Allah. Yesus tidak lulus ujian dari pihak Iblis. Kepentingan Iblis tidak dipenuhi Yesus. Kepentingan Allah Bapa yang mengutus untuk mengalahkan atau tidak tunduk pada Iblis tercapai. Misi Yesus dalam retret Agung di Padang Gurun selama empat puluh hari terpenuhi.

Kesetiaan kita pada panggilan kita sebagai biarawan misionaris pun senantiasa terbuka terhadap aneka godaan yang kita ciptakan dan bisa saja datang dari luar diri kita. Godaan itu seperti api air raksa yang menguji emas panggilan kita. Semakin dibakar dengan api air raksa godaan semakin kokoh kemurnian keemasan panggilan kita. Semakin dibakar dengan Api air raksa kesulitan dan persoalan semakin kokoh keemasan panggilan kita di jalan yang Tuhan kehendaki atas diri kita.

 Hal itu terjadi atas diri kita kalau kita sendiri selalu berjalan di jalan Tuhan yang telah memanggil kita. Sebaliknya kita akan tunduk pada godaan dan kesulitan serta persoalan kalau kita berjalan di jalan yang dirancang oleh Iblis yang kerjaannya menghancurkan kita bukan menyelamatkan kita.

Homili Sabtu Prapaska 16 Februari 2013


“BLUSUKAN” ALA YESUS
Sabtu Prapaska 16 Februari 2013
Yes  58 : 9b – 14
Luk 5 : 27 – 32

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Prinsip blusukan semakin dikenal di dalam kosa kata publik seiring dengan penampilan yang unik dari Gubernur DKI Jakarta.  Ada banyak orang yang melakukan blusukan “ke atas” dan “ke bawah”.  Sebelum Jokowi atau orang lain melakukan blusukan dengan motivasi yang tidak murni. Blusukan ke atas untuk melakukan suap agar kepentingannya dapat dikabulkan. Blusukan ke bawah untuk memeras dan memperalat rakyat kecil untuk memperkaya diri sendiri.

Tetapi Jokowi melakukan blusukan ke atas dan ke bawah untuk sebuah tujuan yang mulia yaitu untuk kepentingan banyak orang. Blusukan ke bawah untuk melihat secara nyata keadaan nyata di lapangan dalam perspektif global sebagai cross ceck apa yang dilaporkan di atas kertas secara baik dan tampak sempurna. Tujuannya agar yang tidak cocok antara laporan di atas kertas dengan kenyataan di lapangan sesegera dibarui agar terjadi habiatualisasi atau pembiasaan yang baik dan benar, yang berbobot dan berkualitas di dalam pelayanan kepada masyarakat yang dititipkan Tuhan baginya sebagai pemimpin yang dipercaya masyarakat banyak yang telah memilihnya untuk mengatur DKI Jakarta dengan baik dan benar. Pelayanan yang sudah baik dan benar  yang dilakukan para petugas lapangan, diberi apresiasi yang mendalam sebagai motivasi bagi mereka untuk senantiasa memberi pelayanan yang bermutu dan lancar bagi masyarakat pada umumnya. Blusukan ke atas untuk menyatukan visi dan misi serta komitmen sebagai sebuah gerakan bersama dalam memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat.

Dengan kata lain blusukan Jokowi membawa pembaruan menuju pelayanan yang bermutu bagi masyarakat yaitu dengan pembiasaan pegawai di semua lini untuk bekerja dengan baik dan benar  dalam melayani masyarakat. Dalam bahasa Spiritual saya katakan bahwa blusukan Jokowi membawa pertobatan banyak orang dengan pembiasaan berjalan di atas jalan yang meninggalkan kebiasaan pembiaraan cara kerja dan sistem kerja yang lama yang tidak baik dan benar  menuju habiatualisasi sistem kerja dan cara kerja yang baik dan benar untuk kebaikan dan kebenaran bersama masyarakat pada umumnya.

Blusukan Yesus terungkap di dalam bacaan Injil hari ini. Yesus melakukan blusukan di antara komunitas kaum Levi yang dicap sebagai orang berdosa yang harus dijauhkan oleh para pemimpin spiritual sebelum Yesus. Mereka dijauhkan tanpa menemukan sebuah jalan untuk mengembalikan mereka berjalan di atas jalan meninggalkan kegelapan dosa menuju jalan Terang yang menyelamatkan mereka. Para pemimpin Spiritual sebelum Yesus mengadakan pembiaran kaum Levi hidup dalam dosa dalam kerjanya sebagai pegawai pajak.

Ada pepatah yang mengatakan: “Difficulties Exist To Be Overcome”. Artinya kesulitan ada untuk diatasi. Yesus menghadapi pembiaran orang berdosa itu sebagai sebuah persoalan spiritual  yang penting diberikan jalan keluar yang menyelamatkan. Blusukan Yesus ke dalam komunitas para Levi untuk membawa pertobatan mereka yang menyelamatkan mereka. Yesus hadir dan makan bersama mereka. Yesus mendengarkan mereka dan memberikan pengajaran kepada mereka. Rupanya pengajaran Yesus itu ditanggapi secara positif.
Yesus sebagai penunjuk jalan yang benar dan baik kepada banyak orang melalui sebuah edukasi dalam relasi yang melintas batas dengan semua orang termasuk levi yang dicap secara sosial sebagai pendosa karena memungut pajak secara lebih untuk kepentingan dirinya dan untuk kepentingan penjajah dengan menindas rakyat kecil. Yesus sebagai guru spiritual yang berbeda dengan guru spiritual atau tokoh spiritual lainnya yang hidup pada zaman Yesus. Guru Spiritual lainnya menempatkan diri sebagai orang suci yang menjauhkan diri dengan dunia termasuk dengan para Levi yang berdosa, sedangkan Yesus sebagai guru Spiritual yang memberikan diri untuk melakukan sebuah relasi sosial dengan semua orang termasuk dengan para Levi yang berdosa dengan tujuan supaya mereka bertobat.  
Blusukan Yesus di antara komunitas para Levi dengan tujuan untuk membawa pertobatan dalam diri mereka membawa buahnya tersendiri. Ketika Yesus memanggil Levi untuk mengikutiNya, jawaban Levi sangat positif. Levi langsung mengikuti Yesus menjadi muridNya berjalan di jalan Yesus untuk melayani banyak orang agar mereka berjalan di jalan Tuhan Yesus yang menyelamatkan.


Jumat, Februari 15, 2013

Homili Jumat Prapaska 15 Februari 2013



PEMBIARAN  AMORAL, BOLEHKAH?

Yes 58 : 1 – 9a; Mat 9 : 14 – 15
Homili Jumat 15 Februari 2013
Dari SOverdi Surabaya Untuk Dunia


P. Benediktus Bere Mali, SVD


Beberapa waktu lalu saya bekerja di sebuah daerah yang cukup unik. Kekhususan daerah itu terletak di dalam hal ini. Orang tua tidak pernah menegur anaknya yang berlaku tidak baik dan tidak benar menurut pola pamahaman saya. Demikian juga anak tidak pernah menegur kedua orang tuanya yang berlaku tidak baik dan tidak benar dalam pemahaman saya. Baik anak dan orang tua hidup tanpa saling koreksi yang membangun ke arah yang lebih di dalam freim etika global yang diterima masyarakat global di seluruh dunia. 

Yang membuat saya agak tenang mengamati yang tidak benar dan tidak baik itu adalah, soal pemahaman mereka. Pemahaman saya berbeda dengan pemahaman mereka. Pemahaman kami perlu disamakan untuk menganut sebuah etika global yang berlaku umum langgar batas. Untuk itu pendidikan etika global dilaksanakan agar dapat mencapai sebuah pemahan bersama tentang etika global yang menjadi jantung hidup bersama bagi setiap orang di mana saja mereka berada, termasuk saya dan mereka.

Nah ketika semua tahu tentang yang baik dan benar, tetapi hidup tidak baik dan tidak benar, maka seorang yang dipanggil menjadi Katolik menampilkan identitas dirinya dalam bersikap. Sikap itu adalah menampilkan peran kenabiannya di dalam hidup bersama.


Nabi Yesaya bernubuat : “Serukanlah kuat-kuat, janganlah tahan-tahan! Nyaringkanlah suaramu bagaikan sangkakala, beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka, dan kepada kaum keturunan Yakub dosa mereka!”  Nubuat ini membawa sebuah ketegasan bahwa seorang yang terpanggil sebagai pengikut Tuhan semestinya menampilkan peran kenabiannya di dalam hidup bersama. Mengatakan yang benar adalah benar. Mengatakan yang salah adalah salah. Untuk kebaikan dan kebenaran bersama. Bukan untuk kebaikan dan kebenaran diri sendiri. Kebaikan dan kebenaran yang dikatakan itu dilaksanakan  di dalam perilaku yang baik dan benar sehingga ada keseimbangan antara kata dan perbuatan.

Ada banyak hal yang tidak benar dan tidak baik yang terjadi di sekitar kita di dalam kehidupan bersama entah itu di dalam kehidupan berkomunitas keluarga ataupun di dalam komunitas pastoran, komunitas biarawan/biarawati ataupun di dalam kehidupan bermasyarakat dan kehidupan umat pada umumnya.

Melihat dan menyaksikan semua yang tidak baik dan tidak benar itu ada berbagai pikiran yang muncul di dalam diri kita. Kita mau menegur tetapi kita pun bukan orang yang paling sempurna. Kita mau berteriak tentang yang tidak baik dan tidak benar itu tetapi kita takut menanggung resikonya. Kita mau menulis tentang yang tidak benar dan tidak baik yang sedang terjadi tetapi kita takut dimusuhi dan masih banyak keraguan yang ada di dalam diri kita untuk menampilkan peran kenabian kita di dalam panggilan hidup sebagai pengikut Kristus.
Seringkali kita mengatakan bahwa kita sabar saja karena kepemimpinan hanya temporal. Maka ketika pemimpin melakukan yang tidak baik dan tidak benar, kita cenderung diam saja walaupun kita tahu secara persis akar persoalannya.
Kalau demikian kita masih dituntun oleh paradigm berpikir yang tidak dikehendaki banyak orang yang berhati nurani : “Pembiaran Amoral”. Seorang pengikut sejati Tuhan Yesus semestinya berprinsip pada Nubuat Yesaya dalam bersikap terhadap amoral yang ada di depan mata: “Serukanlah kuat-kuat, janganlah tahan-tahan! Nyaringkanlah suaramu bagaikan sangkakala, beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka…”