Rabu, Maret 13, 2013

Homili Rabu 13 Maret 2013



“ALLAH RAJIN BEKERJA MANUSIA MALAS BEKERJA”
Homili Rabu, 13 Maret 2013
Yes 49 : 8 – 15
Mzm 145 : 8 – 9. 13cd-14.17-18
Yoh 5 : 17 – 30

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Manusia adalah makhluk bekerja. Kerja yang dimaksud adalah aktivitas kepala (budi-otak), dada (hati) dan otot (kerja fisik) untuk menyelamatkan diri, sesama dan alam sekitar. Manusia yang bekerja rajin menampilkan harkat dan martabatnya yang luhur. Sebaliknya manusia yang malas bekerja, tidak mempertajam kemampuan akal budi dengan membaca, merenung, menulis dan membagikan pengetahuannya baik secara lisan dan tulisan, adalah ungkapan nyata kemalasan yang justru menurunkan martabatnya sebagai mahkluk bekerja. 

Injil hari ini berbicara tentang Allah Bapa yang selalu bekerja menyelamatkan dunia. PuteraNya juga selalu bekerja seperti BapaNya yang bekerja menyelamatkan dunia. Contoh Allah selalu bekerja menyelamatkan kita. Setiap detik Allah memberikan nafas HidupNya bagi kita masing-masing. Setiap saat Allah senantiasa mengalirkan air dari sumbernya bagi hidup aneka mahkluk hidup. Setiap saat Allah menghasilkan buah-buahan dan makanan dari rahim ibu pertiwi bagi kehidupan kita.  

Allah Tritunggal yang kita imani senantiasa bekerja dalam menyelamatkan semua lintas batas. Orang beriman yang rajin bekerja mengangkat harkat dan martabatnya sebagai citra Allah yang selalu bekerja untuk menyelamatkan. Sebaliknya orang beriman yang malas bekerja sesungguhnya menurunkan atau merendahkan atau menodai citranya sebagai Citra Allah yang selalu bekerja. Mengimani dan merenungkan Allah Tritunggal Maha Kudus yang senantiasa berkarya menyelamatkan dunia, pada masa pra-paskah ini berarti kita sedang berziarah spiritual  dengan menempuh perjalanan di atas jalan yang meninggalkan jalan dosa kemalasan masa lalu yang merendahkan martabat kemanusiaan kita dan martabat kita sebagai citra Allah, menuju hidup yang teratur, disiplin bekerja untuk kebaikan dan keselamatan bersama serta keselamatan di masa yang akan datang.


Selasa, Maret 12, 2013

Homili Selasa 12 Maret 2013



LUKA MENCARI SEMBUH
Homili Selasa 12 Maret 2013
St. Maria Ursulin
Jl. Darmo Surabaya

Yehezkiel  47 : 1 – 9.12
Mzm 46 : 2-3.5-6.8-9
Yohanes 5:1-16

P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD

Manusia adalah luka-luka yang sedang berjalan menuju tempat-tempat yang menyembuhkan, demikian kata-kata yang disampaikan Robert Holden penulis populer ternama.  Ketika manusia yang berluka berjalan bertemu dengan hati manusia yang penuh damai, sukacita, senyum persaudaraan yang tulus, maka luka-lukanya semakin terobati.  Tetapi ketika hati manusia terluka berjalan berjumpa dengan hati manusia  yang kasar, sadis, keras, tiada senyum, maka luka-lukanya akan semakin membesar, melebar dan mendalam.

Injil hari ini berbicara tentang orang-orang sakit yang menjumpai Yesus dan orang-orang Yahudi. Yesus membawa penyembuhan bagi orang sakit, dalam kata, firman dan SabdaNya dan dalam sikap hatiNya yang penuh cinta, damai yang menyejukkan hati orang-orang yang sakit.  Sebaliknya orang-orang Yahudi menolak orang sakit sebagai orang yang terkutuk, orang-orang najis yang terhukum karena dosa-dosanya, justru semakin menambah luka-lukanya. Yesus adalah air penyejuk yang menyembuhkan dan menghidupkan hati orang sakit, sedangkan orang-orang Yahudi adalah bensin yang membakar luka sehingga lukanya semakin melebar dan mendalam.  
Kita manusia terluka oleh dosa asal dan luka-luka bathin yang melekat dalam hati kita. Namanya luka, sekalipun sudah disembuhkan, tetap meninggalkan bekas lukanya.  Kita adalah luka-luka yang sedang berjalan menuju sebuah hati yang dapat menyembuhkan luka-luka yang sedang kita derita. Hati Sejati yang dapat menyembuhkan luka-luka dosa adalah Hati Kudus Tuhan Yesus. Kita menjumpai Hati Yesus dalam Kata, Firman, SabdaNya. Kita menjumpai Hati Penyembuh Sejati di dalam Ekaristi Kudus. Kita menjumpai Hati Yesus Sang Pengampun di dalam Sakramen Rekonsiliasi. Perayaan Ekaristi senantiasa mengutus kita  untuk  pergi  menyembuhkan sesama yang kita jumpai, bukan menjadi bensin yang membakar luka sesama.

Senin, Maret 11, 2013

Homili Senin 11 Maret 2013




BERJALAN DALAM OPTIMISME


Homili Senin 11 Maret 2013
Biara St. Maria Ursulin
Jl. Darmo Surabaya

Yes 65 : 17 – 21
Mzm 30 : 2, 4,  5-6, 11 – 12a, 13b
Yoh 4 : 43 – 54

P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD


Kita sedang berjalan meninggalkan masa lalu, menuju masa depan. Kita tidak mungkin kembali ke rumah masa lalu karena secara fisik pintu rumah masa lalu sudah tertutup. Tetapi kita pasti berjalan ke masa depan karena pintu rumah masa depan senantiasa terbuka bagi kita. Betapa indahnya kita berjalan menuju masa depan dengan optimisme sebagai kemudi atas seluruh arah perjalanan hidup kita.

Bacaan pertama berbicara tentang optimisme perjalanan umat perjanjian lama menuju perjanjian Baru. Allah senantiasa memberikan optimisme kepada bangsa Israel melalui perantaraNya nabi Yesaya dalam firmanNya  : “Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru. Hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi dan tidak akan timbul lagi di dalam hati. Bergiranglah dan bersoraklah untuk selamanya atas apa yang Kuciptakan. Allah memberikan pengampunan atas masa lalu suram umat Israel dan memberikan arahan baru akan masa depan yang penuh dengan sejuta kesempatan untuk hidup dalam habitus baru yang membawa sukacita yang mendalam.  Suramnya masa lalu sudah lewat dan tidak akan kembali untuk merenovasinya lagi. Tetapi masa depan penuh dengan peluang untuk membarui diri dalam nama Tuhan yang memberikan sukacita sejati.

Mazmur tanggapan berbicara tentang doa orang beriman lahir dari optimismenya. “Aku memujiMu  ya Tuhan, sebab Engkau telah menarik aku ke atas, Engkau menghidupkan aku”. Pengalaman perlindungan dan penyertaan Allah dalam hidup orang beriman disyukuri di dalam doanya yang sungguh mendalam lahir dari hatinya yang penuh dengan iman dan syukur atas sesuatu yang telah ada yaitu perlindungan dan penyelamatanNya yang dialami pendoa atau pemazmur.

Bacaan Injil berbicara tentang harapan orang yang percaya kepada Kristus Yesus. Orang Samaria percaya kepada Yesus  karena “apa yang dikatakanNya” kepada mereka. Orang Galilea percaya kepada Yesus karena “apa yang dilakukanNya” kepada mereka. Pegawai istana percaya kepada Yesus karena berdasarkan Sabda Allah yang melahirkan Tanda atau mujizat penyembuhan atas anaknya yang sakit demam. Dengan kata lain Orang Samaria percaya atas dasar Kata, Sabda, Firman Allah. Sedangkan orang Galilea percaya atas dasar Tanda dan Mujizat Tuhan Yesus. Pegawai istana percaya atas dasar Kata sekligus Tanda atau Sabda sekaligus Mujizat atau apa yang dilakukan Yesus sekaligus apa yang dibuat Yesus.
                  
Bacaan-bacaan Suci hari ini mempertajam iman kita kepada Yesus dalam konteks zaman kita dewasa ini. Kita belajar dari kepercayaan pegawai istana yang menjadi sintese antara kepercayaan orang Samaria yang beriman berdasarkan “apa yang dikatakan Yesus” dengan iman orang Galilea yang berdasarkan “apa yang dilakukan Yesus” bagi mereka. Kita semestinya beriman berdasarkan Sabda sekaligus Tanda Yesus yang selalu kita rayakan dalam Perayaan Ekaristi setiap hari.  Yesus bersabda kepada kita dalam Liturgi Sabda dan melakukan Tanda dalam Liturgi Ekaristi. Efek sosial Iman atas dasar Tanda sekaligus Sabda Tuhan Yesus ini dapat menampak dalam kepintaran dan kebijaksanaan dalam kata dan teladan hidup kita di dalam komunitas sosial tempat kerja dan keberadaan kita masing-masing.

Minggu, Maret 10, 2013

Anak Sulung Bangsa Israel Versus Anak Bungsu Bangsa Lain




“SEBELUM & SESUDAH
MASUK TANAH TERJANJI”

Homili Minggu 10 Maret 2013
Yosua 5 : 9a.10-12
Mzm 34 : 2 – 3. 4-5. 6-7; Ul : 9a
2Kor 5 : 17 – 21
Luk 15 : 1 – 3. 11 – 32

P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD

Misionaris senior pernah bercerita tentang pengalaman misi perintisnya di sebuah mandala misi. Keunikan cerita misionaris perintis itu terletak di dalam sebelum masyarakat setempat beriman kepada Kristus dan sesudah beriman kepada Kristus. Sebelum beriman kepada Kristus, masyarakat setempat pergi ke tugu batu sebagai tempat berkomunikasi dengan wujud tertinggi yang ada di dalam kepala (otak) dan dada (hati) mereka, sebagai warisan dari generasi terdahulu secara turun temurun. Sesudah beriman katolik, umat setempat berjalan meninggalkan tugu batu tempat sembahyang dan berjalan menuju Gereja untuk berkomunikasi dengan Tuhan yang mereka imani. Di dalam perjalanan dari tugu batu menuju Gereja itu Tuhan memberikan makanan rohani melalui misionaris yang menghadirkan kembali peran Yosua yang mendampingi bangsa Israel dari luar pintu tanah terjanji masuk ke dalam pintu tanah terjanji dan tinggal di dalam tanah terjanji Kanaan.  

Bacaan pertama berbicara tentang keunikan bangsa Israel di padang gurun dan tiba di tanah terjanji Kanaan. Sebelum tiba di tanah Kanaan, bangsa Israel menerima makanan dan minuman dari Allah dengan perantaraan Musa. Setelah masuk dan tiba serta tinggal di tanah terjanji Kanaan, Yosua menekankan bahwa mereka makan dari yang dihasilkan tanah Kanaan. Dulu berada di luar pintu Kanaan mereka menerima makanan dari Tuhan secara gratis. Kini masuk dan tinggal di dalam Tanah Terjanji mereka makan dari hasil kerja di tanah terjanji. Dulu mereka belum mandiri perlu ditolong. Kini sesudah mandiri mereka semestinya hidup mandiri dan solidaritas kepada sesama di luar dalam kemandirian internal di dalam tanah terjanji yang berkelimpahan.

Aplikasinya sangat mudah dari bacaan pertama ini. Sebelum kita tiba dalam tanah terjanji iman kepada Kristus di dalam Gereja Katolik, Tuhan memberikan makanan rohani kepada kita melalui misionaris Eropa di dalam perjalanan kita di atas jalan menuju tanah terjanji iman kepada Tuhan Yesus Kristus melalui dan dalam Gereja Katolik. Setelah kita tiba di dalam tanah terjanji Gereja Katolik, kita mulai makan dan minum dari yang dihasilkan tanah terjanji Gereja Katolik. Gereja itu adalah setiap orang yang percaya dan beriman kepada Kristus Yesus. Setelah formasi iman kita mulai matang kita menjadi Gereja yang mandiri dalam hal iman dan tenaga misionaris, kita mengutus misionaris  mewartakan iman kepada dunia dan menuntun orang berjalan di jalan menuju ke Rumah Bapa dalam Gereja Katolik. Dulu kita menerima misionaris dari luar. Kini kita mengirim misionaris ke luar. Dulu kita menerima makanan rohani dari Tuhan melalui “Musa Misionaris Asing”. Kini kita memberikan makanan rohani dari hasil  tanah terjanji iman kepada Kristus Yesus dalam Gereja Katolik dan memberikan makanan rohani kepada dunia sekitar.

Mazmur tanggapan menyampaikan kepada kita dalam doa yang sangat mendalam lahir dari orang yang sudah beriman kepada Tuhan dan tinggal di dalam nama Tuhan. Doa itu diungkapkan dalam kata-kata: “Kecaplah betapa sedapnya Tuhan. Kecaplah betapa sedapnya Tuhan.”  Orang yang mengalami dan merasakan manisnya Tuhan, yang dapat mewartakanNya kepada sesama dan dunia sekitar, agar banyak orang yang beriman kepada Tuhan Yesus dan bersama-sama bermazmur “kecaplah betapa sedapnya Tuhan Yesus. Kecaplah betapa sedapnya Tuhan Yesus”.  Pengalaman puncak dalam mengecap betapa sedapnya Tuhan ditemukan dan dialami secara spiritual di dalam Sabda Allah dan terutama di dalam Perayaan Ekaristi Kudus.

Bacaan Kedua berbicara tentang orang yang mengimani Yesus sebagai pembawa damai sejati bagi dunia. Sebelum orang mengenal Yesus, biasanya membawa konflik bagi sesama. Tetapi sesudah beriman kepada Kristus Yesus, orang menjadi pembawa damai kepada sesama dan dunia. Contoh : Saulus menjadi penganiaya sesama khususnya orang – orang yang percaya kepada Kristus Yesus Tuhan. Sebaliknya Paulus membawa Damai sejati yang lahir dari Tuhan Yesus kepada sesama yang dilayani. Paulus membawa warta Gembira Tuhan kepada umat Korintus dengan harapan agar sesudah menerima Kristus pembawa damai, yang diwartakan Paulus kepada mereka, orang Korintus pun membawa damai kepada sesama yang mulai dari dalam diri sendiri dan dalam keluarga serta dalam komunitas kehidupan yang lebih luas.
Injil hari ini berbicara tentang iklim kebebasan yang diciptakan Bapa kepada dua anaknya. Proses pembinaan anak di dalam masa formasinya menuju kedewasaan, lahir dari paradigma kebebasan yang diciptakan Bapa. Ada kesadaran Bapa dalam pendidikan dan pembentukan anak sulung dan bungsu dengan metode iklim kebebasan sebagai medan kedua anaknya membentuk diri.
Anak bungsu membentuk diri dengan memanfaatkan kebebasan itu. Awalnya anak itu sungguh-sungguh menikmati kebebasan sampai jatuh dalam dunia dosa pelacuran.  Uang yang diberikan orang tua pun semakin lama semakin tipis dan akhirnya suatu ketika jatuh kelaparan karena tidak ada uang lagi sehingga dia makan makanan babi di kandang babi. Betapa deritanya hidup meninggalkan rumah orang tua dan tinggal di rumah asing.  
Pengalaman derita itu melahirkan pertobatan dalam diri anak bungsu. Dia bangkit membangun paradigma baru “baik tidak baik kedua orang tua lebih baik. Jahat tidak jahat orang asing lebih jahat.” Pemikiran ini mendorong dia meninggalkan dosa pelacuran dan penderitaan makan makanan babi di kandang babi, berjalan menuju rumah Bapa dengan segala prasangka negatif yang dikandung otak dan hatinya. Dalam keadaan yang demikian menegangkan, si bungsu pun tiba di rumah Bapa. Penerimaan bapa menghapus semua prasangka negatif dalam kepala dan dada anak bungsu.  Diberikan pakaian yang sangat indah kepada anak bungsu dan diadakan pesta penyambutan yang sangat luarbiasa.
Mengapa pesta besar dan pakaian indah dikenakan kepada anak bungsu sedangkan anak sulungnya tidak pernah dirayakan pestanya walaupun setiap hari dia ada bersama Bapa? Karena pertobatan ada untuk dirayakan. Anak sulung belum bertobat malah jatuh kembali dalam dosa sungut-sungut dan protes kepada Bapa sedangkan anak bungsu sudah bertobat setelah memanfaatkan kebebasan sampai jatuh dalam dosa pelacuran.
Anak sulung yang bersungut-sungut pada Bapa yang menerima anak bungsu adalah wakil dari orang-orang Farisi dan Ahli-Ahli Taurat yang adalah anak sulung Allah Bapa tetapi bersungut-sungut kepada Tuhan Yesus yang menerima orang-orang berdosa dan makan bersama dengan orang berdosa dan berkomunikasi dengan mereka. Anak bungsu adalah wakil dari generasi bukan bangsa Israel yang mendengarkan Yesus dan menerima Yesus sebagai Tuhan yang telah menjadi manusia.
Konteks perjalanan spiritual anak sulung dan anak bungsu dalam perumpamaan ini menjawabi seluruh perjalanan iman anak sulung Israel dan anak bungsu bangsa-bangsa lain. Pengalaman anak sulung Israel yang bersungut-sungut dan menolak Yesus dan anak bungsu bangsa lain yang menerima Yesus menuntun kita menghidupi pertobatan secara tepat.
Bertobat berarti berjalan di atas jalan Tuhan dan tinggal di dalam jalan Tuhan Yesus. Sedangkan orang yang berjalan di atas jalan pribadi yang bertentangan dengan jalan Tuhan Yesus adalah orang yang berdosa. “Anak sulung bangsa Israel” berjalan meninggalkan Bapa sumber kebaikan dengan bersungut-sungut dan menolak Tuhan Yesus. “Anak bungsu bangsa-banga lain” berjalan meninggalkan kegelapan dosa menuju Bapa sumber kebaikan dan tinggal di dalam kebaikan Rumah Bapa, melalui satu-satunya jalan utama yaitu Tuhan Yesus Kristus sebagai jalan kebenaran dan kehidupan.  Bertobat berarti berjalan di padang gurun dosa   menuju tanah terjanji iman kepada Kristus dan tinggal di dalam tanah terjanji iman kepada Kristus di dalam Gereja dalam kemudi magisterium. Berdosa berarti berjalan di jalan pribadi yang bersungut-sungut dan protes bahkan menolak Tuhan Yesus yang membawa keselamatan bagi semua orang baik kepada “anak sulung bangsa Israel” maupun “anak bungsu bangsa-bangsa lain”.