“SLINTHUTAN”
versus KETULUSAN
Homili Jumat 12 April
2013
Misa Mahasiswa Unair
di Kapel Soverdi Surabaya
Kis 5 : 34 – 42
Mzm 27 : 1.4.13-14
Yoh 6 : 1 – 15
P.
Benediktus Bere Mali, SVD
Saya
menerima sms bahwa saya diminta memimpin
misa Mahasiswa Unair pada Hari Jumat 12
April 2013. Saya mempersiapkan homilI sesuai yang dimaksud oleh para Mahasiswa “kalau yang kecil-kecil dari mahasiswa itu
dikumpulkan dan derahkan kepada Tuhan, maka hasilnya akan berlipat ganda”. Tema
yang dijehendaki mahasiswa ini berdasarkan Bacaan Injil Hari ini. Saya menerima
sms itu dan membangun satu tema sentral renungan pada hari ini denga satu kata
Ketulusan. Lalu untuk mengembangkan homily saya coba ke perpustakaan terdekat.
Ketika saya membuka sebuah buku tentang kata-kata bijak, saya menemukan kata
ini yang berasal dari Bahasa Jawa. Kata itu adalah “Slinthutan, slinthut,
slinthat”. Kata ini artinya menyembunyikan sesuatu, tidak tranparan, tidak
jujur, munafik, pura-pura berlaku tanpa persoalan. Kemudian saya mengkontraskan
dengan tema homily hari ini menjadi Slinthutan versus Ketulusan.
Penemuan
ini kemudian melahirkan pertanyaan yang lebih mengarahkan arah homili sehingga homili
semakin terarah. Pertanyaan itu adalah apa perbedaan antara ketulusan dengan “slinthutan,
slinthut, slinthat”? Perbedaan antara “slinthutan, slinthat, slinthut” dengan
ketulusan adalah sebagai berikut. Slinthutan adalah penyembunyian sesuatu.
Orang yang slinthutan adalah orang yang menyembunyikan sesuatu, orang
membohongi dirinya sendiri, orang yang menipu dirinya sendiri dan sesama dan
Tuhan dalam hidupnya. Sedangkan orang yang memiliki ketulusan adalah orang yang
memiliki keterbukaan, transparansi, kejujuran terhadap diri sendiri, sesama dan
Tuhan.
Bacaan
Pertama menampilkan tokoh Gamaliel yang memiliki ketulusan dalam berbicara di
depan teman-temannya atau korpsnya Mahkamah Agama Yahudi dan di hadapan Para
Rasul yang hendak diadili Mahkamah Agama Yahudi. Gamaliel secara tulus
mengatakan bahwa biarkanlah karya pewartaan dan mujizat Para Rasul yang dilaksanakan
di dalam nama Tuhan Yesus yang telah bangkit. Kalau ini adalah karya Allah maka
akan abadi. Kalau ini bukan karya Allah makan akan punah dengan sendirinya.
Kita
adalah adalah penerus Karya Para Rasul pewarta khabar Gembira Kebangkitan Tuhan
Yesus. Ini adalah bukti bahwa karya para Rasul it uterus berkembang sampai kini
dan pasti pada masa yang akan datang dan seterusnya. Itu berarti “Karya ini
adalah karya Allah”. Bukan karya yang bukan karya Allah.
Bacaan
Injil menampilkan ketulusan anak kecil yang polos, lugu dan jujur serta terbuka
ranpa pamrih. Dia memberikan apa yang dimiliki kepada Tuhan tanpa pamrih. Dua
ekor ikan dan lima potong Roti yang dimiliknya dibawa dan dipersembhkan kepada
Tuhan Yesus yang telah bangkit. Tuhan memberkatinya dan menjadi berkat
berlimpah-limpah untuk kebaikan banyak orang. Mujizat perbanyakan roti itu
terjadi atas iman anak kecil yang hanya memiliki ketulusan yang sangat otentik
tanpa kepalsuan, di hadapan diri sendiri, sesama dan Tuhan.
Kita
sebagai mahasiswa berbeasiswa secara sadar bahwa kita menerima dengan Cuma-Cuma
dari para donatur kita. Kita menerima dengan Cuma-Cuma maka kita pun semestinya
menjadi pemberi kepada sesama. Kita mengalami Allah yang Mahatulus yang hadir
secara nyata dalam diri donatur kita, yang memberikan apa yang mereka miliki
kepada kita. Penerimaan ini adalah sebuah kebangkitan kesadaran baru bahwa kita
ini seperti pipa air. Ait itu akan terus mengalir kalau pipa selalu terbuka
terhadap sumbernya dan pipa yang ke hilir pun sesala terbuka, sehingga aliran
air dari sumber kepada kita dan dari kita sebagai sumber kedua kepada sesama.
Egoisme kita akan menutupi aliran dari atasan kepada bawahan, dari sumber
kepada kita, dan kita kepada sesama kita
disini