Sabtu, Februari 06, 2021

SASTERA SUKU BUNAQ



SASTERA SUKU BUNAQ
DI TIMOR TENGAH


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*



Di Soverdi ST. ARNOLDUS SURABAYA, Minggu Pesta Keluarga Kudus dari Nazareth 28 Desember 2008 Pukul 17.30 – 20.00 WIB, P. Benediktus Bere Mali, SVD merekam Penjelasan Isi Ringkas Buku BEI GUA yang ditulis oleh Louis Berthe. Hasil ringkasan isi buku itu disampaikan oleh P. PIENIAZEK Josef SVD secara lisan, setelah beliau membaca Buku BEI GUA berbahasa Prancis selama dua Minggu. Hasil ringkasan itu kemudian direkam dan ditulis kemudian diedit oleh P. PIENIAZEK Josef SVD, lalu menghasilkan Ringkasan Final sebagai berikut.

Kami melakukan hal ini karena kami sendiri belum dapat berbahasa Perancis. Usah kecil ini merupakan sebuah perbuatan mulia yaitu Menata Mutiara Arema yang tercecer merupakan tugas dan tanggungjawab setiap putera dan puteri "AREMA" arek-arek Marae", anak-anak Suku Buna’. Isi Buku ini sebagai titik berangkat bagi setiap "AREMA" menata Kekayaan Budaya yang tercecer.


Louis Berthe mengadakan penelitian dua tahap.Tahap pertama 1957 –1959, kurang lebih 14 bulan. Tahap kedua 1966. Buku BEI GUA ini diterbitkan pada 1972. Claudine Friedberg, Isteri Louis Berthe yang menerbitkannya. Menurut catatan kritis Claudine Friedberg, isteri Louis Berthe ini, teks yang dikumpulkan dalam BUKU BEI GUA itu tidak lengkap. Nyanyian-nyanyian tentang asal-usul suku Buna’ itu dilagukan atau didaraskan oleh penyanyi khusus dalam Suku Buna’ yang dilaksanakan pada pesta-pesta besar yaitu penguburan atau kematian dan pada pesta panen.

Ada banyak cerita mitos dalam Buku BEI GUA ini yang tidak dikenal atau belum dimengerti kecuali oleh sumber asli yaitu orang-orang tua yang saat ini masih mengenal baik ceritera-ceritera mitos asal-asul nenek moyang. Sementara itu Claudine Friedberg mengakui bahwa teks yang dikumpulkan dalam buku BEI GUA ini belum lengkap.

Judul Perjalanan mengandung dua arti pertama, perjalanan satu angkatan ke angkatan yang berikut atau lain. Kedua, perjalanan nenek moyang dari satu tempat ke tempat yang lain. Ada tiga cerita tentang sejarah asal-usul nenek moyang atau suku-suku atau keluarga-keluarga dalam suku Buna’ yaitu pertama, Oburu. Kedua, Sibiri. Ketiga, Luta. Selain itu ada empat tempat penting yang menjadi sorotan dalam cerita atau sejarah nenek moyang itu adalah pertama, Henes. Kedua Nualain. Ketiga, Gewal. Keempat, Lakmaras.

Nyanyian atau puisi Buna’ dalam buku BEI GUA membenarkan situasi sosial yang ada sekarang, situasi sosial politik yang ada sekarang. Bukan untuk menjelaskan asal-usul suku. Ada tiga kelompok atau kelas atau semacam kasta dalam suku Buna, yaitu kelompok bangsawan, kelompok biasa dan kelompok budak. Kelompok Oburu dipandang sebagai yang turun dari Surga atau dari atas.

Nyanyian ini dinyanyikan pada kesempatan tertentu dan oleh orang tertentu yang ahli. Khusus tentang penciptaan duniawi sebagai sesuatu yang tidak dinyanyikan karena rahasia. Itu hanya diturunkan kepada generasi berikut pada saat dia hendak meninggal. Penurunan itu hanya kepada orang tertentu saja.

Dalam Buku BEI GUA ini, melukiskan kekuasaan atau otoritas atau hak-hak dan sebagainya tidak bergantung pada material tanah atau luasnya wilayah geografis. Tetapi otoritas dan kewibawaan itu berdasarkan sumber berupa tanda otoritas yaitu LAMBANG atau SIMBOL khusus yaitu bisa Patung atau gambar atau emas dan senjata atau KALUK atau kekuatan magis yang berharga dalam dirinya sendiri. Lambang itu tersembunyi dan dapat dibawa ke tempat lain. Lambang itu memberi kekuatan dan kewibawaan bagi seseorang yang berkuasa atau memimpin suku Bunak. Lambang atau simbol itu menjadi kekuatan magis yang memberi kekuasaan dan kewibaan seorang penguasa dalam suku Buna’.


Perjalanan nenek moyang itu terungkap dalam judul buku karena diceriterakan dari satu tempat yang khusus ke tempat yang lain yang berbeda-beda. Dengan kata lain Buku Bei Gua ini berisi cerita menyangkut orang-orang yang hidupnya nomaden. Ceritera itu ada yang terputus-putus dan tidak logis atau ada lobangnya, ada berbagai variasi cerita tentang perjalanan nenek moyang dalam menjelaskan tentang satu pokok peristiwa. Tergantung orang mau menekankan atau membatasi analisa yang terbatas pada satu variasi dari sudut pandang disiplin ilmu tertentu untuk mengenal manusia suku Bunak yang multidimensi.

Dalam buku BEI GUA, melukiskan tentang tiga macam manusia yaitu pertama, berasal dari surga atau dari atas. Manusia berasal dari atas adalah Luta. Kedua, berasal dari bawah dari dalam tanah yang dikenal berasal dari tanaman yang tumbuh di atas tanah yaitu secara khusus Jeruk. Ketiga, manusia yang ada sekarang yang konkret.


Mengenai penciptaan manusia; ada tiga tingkatan yaitu OBURU, LUTA, SIBIRI.

Cerita mengenai mengambil wanita dari suku yang lain. Pengambilan wanita dari suku lain menjadi anggota suku yang baru terfokus pada persaudaraan Malu dengan Aiba’a atau disingkat hubungan relasi adat Malu-Ai. Relasi adat malu-ai ini terus berkembang dalam kehidupan adat suku Bunak dewasa ini.
Wujud Tertinggi : SATU MATA, SATU TANGAN, SATU TELINGA, SATU KAKI, TIDAK MENGANDUNG, TIDAK MELAHIRKAN. Wujud Tertinggi dari langit ke tujuh, dari satu rumah adat, dari satu mesbah yang pertama dan utama. SATU artinya bukan bilangan tetapi keutuhan atau kesempurnaan atau kelengkapan.

Dari yang tertinggi ini turunlah ANA LIURAI dengan pasangan hidupnya yang melahirkan atau menciptakan Bulan dan Matahari. Kelahiran generasi selanjutnya lihat nama-nama dalam teks dalam Buku BEI GUA, bagian Cosmogoni.

OBURU:

Isteri mereka atau wanita dari babi hutan dan Jeruk. Isteri itu tidak dibeli tetapi hasil memburu babi hutan yang berubah menjadi manusia – isteri. Kemudian mereka melihat atau menemukan Jeruk dan dari jeruk ini berubah menjadi manusia. Isteri dari Jeruk yang berubah menjadi manusia.

SIBIRI :

Wanita yang pertama dari IKAN yang berubah menjadi manusia. Pengalaman ini waktu menangkap ikan.

LUTA :


Wanita itu dari hasil inces antara saudara dengan saudari, dan antara anak dengan ibunya.

Jaringan – hubungan antara masyarakat terjadi perkawinan dalam suku dan melalui suku luar melalui persekutuan, perjanjian dan sumpah dan sebagainya.

Ada dua (2) jalan yaitu Pertama, Dingin yaitu melalui persetujuan dan menjadi hubungan keluarga. Kedua, Melalui jalan panas yaitu melalui jalan perang antara satu suku dengan suku yang lainnya.

Ada dua (2) Jalan nenek moyang yaitu pertama, penduduk asli dan kedua, pendatang – tapi tidak diketahui dari mana asalnya.

Ketua penyanyi itu mempunyai kesulitan tersendiri. Setiap ketua penyanyi dari tempat yang satu berbeda versinya dari ketua penyanyi dari tempat yang berbeda.

BUNA’ :

Pertama, Secara struktur dipandang sebagai satu negara. Kedua, secara pembentukan ritus-ritus yang paling kaya memiliki obyek organisasi sosial yang melarang inces. Ketiga, hubungan perkawinan dalam keluarga-keluarga dalam relasi malu-ai.


Pada suku Buna’ itu hubungan malu-ai itu dibentuk secara kontinyu dalam mengarungi waktu.

Beri tanda – sumber lambang – lambang kekuasaan itu dari dunia di atas.

Cerita tentang MAU IPI GULOQ:

Buruh babi hutan. Babi berubah menjadi dua wanita. Satu cantik sekali. Dua saudara rebut yang paling cantik. Mereka ribut dan akhirnya mereka saling membunuh. Lalu wanita yang cantik itu datang dan membangkitkan MAU IPI GULOQ itu, dengan menggunakan air khusus. Akhirnya Mau IPI GULOQ mendapat dua isteri itu dan menjadi Raja. Dua isteri itu dari babi hutan yang diburu yang telah berubah menjadi manusia, dan wanita itu berasal dari buah jeruk yang ditemukan di hutan dalam perburuan babi hutan. Jeruk itu berubah menjadi manusia, wanita yang sangat cantik sekali. Asa Paran merasa iri terhadap Mau IPI GULOQ. Maka Asa Paran menyuruh Mau Ipi GULOQ naik pohon lantas Asa Paran menumbangkan pohon itu dan MAU IPI GULOQ mati. Isterinya tidak tahu. Lantas dua anjing diutus pergi tempat kematian MAU IPI GULOQ karena kejahatan Asa Paran. Menemukan mayat MAU IPI GULOQ sudah berulat, tetapi dia dibangkitkan kembali oleh isterinya. Kemudian dia bangun dan normal sebagai manusia. Anjing itu menjadi dua wanita yang cantik. Kedua wanita dari kedua anjing yang berubah menjadi manusia itu menggunakan minyak itu membuat badan itu menjadi utuh kembali – sehat kembali. Asa Paran heran sekali ketika melihat MAU IPI GULOQ hidup dan sehat.


Kerangka ringkas Buku BEI GUA:

I. Penciptaan Manusia
II. Keluarga Oburu – Marobo __________ di sini ada cerita tentang MAU IPI GULOQ memiliki 2 isteri yang awalnya dari babi hutan dan jeruk yang menjadi manusia – wanita yang menjadi isteri MAU IPI GULOQ. Kemudian dua isteri berikut dari dua ekor anjing yang menjadi manusia –wanita yang membangkitkan Mau IPI GULOQ dan menjadi isteri MAU IPI GULOQ yang menjadi Raja.

III. LUTA – DATO ZOPATA

IV. SIBIRI – KAILAUQ

V. A TURUL TUK – SIOL WA ______ Pertemuan 3 suku yaitu Oburu, Sibiri dan Luta

VI. Tinggal Tetap dan Misi Dewa Kera yang berfungsi sebagai perantara.

VII. Sumpah Ikatan antara HULO – LEP ____ Dua bambu yang magis dan keluarga – keluarga atau suku –suku.

VIII. Rumah- rumah atau keluarga-keluarga yang sekarang tinggal di HENES PAQEL – HOL SOSEK _________ Ada dua bagian penting dalam hal ini yaitu terdiri dari :Pertama, Pendasaran keluarga-keluarga di HENES PAQEL – HOL SESUK. Kedua, Asal-usul dari tiga (3) rumah atau keluarga bangsawan yaitu : Pertama , IU GEWEN – HOL LAPIT; kedua, LIANAIN BEIN MONE; HAU POR.



Senin, November 23, 2020

Adat "Molo Hek" atau "Molo A" Suku Bunaq Aitoun




*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Ada lima pokok penting dalam adat kenduri Suku Bunaq Aitoun yaitu Molo Hek, Lasik Wa,Si Por Pak, Tais Hota dan Kaba. 

Foto di atas tentang Molo Hek atau Molo A. Inti adat Molo A adalah perdamaian anggota Rumah Adat Suku Malu dan anggota Rumah Adat Suku Aiba'a. Semua masalah kecil dan besar diselesaikan pada saat kenduri agar persoalan anggota Rumah Adat Suku dikuburkan dan damai anggota Rumah Adat Suku dihidupkan kembali di dalam hidup bersama.

Aliran sukacita dan damai anggota Rumah Adat Suku Malu kepada Anggota Rumah Adat Suku Aiba'a kembali normal. Rumah Adat Suku Malu adalah pendiri Rumah Adat Suku Aiba'a. Malu artinya pemberi, memberi dan Aiba'a artinya penerima, menerima. Malu artinya kasih. Aiba'a artinya terima. Aiba'a - Malu artinya terima kasih.  Hidup damai melancarkan rahmat dari Anggota Rumah Adat Suku Malu kepada Anggota Rumah Adat Suku Aiba'a dan sebaliknya dari Rumah Adat Suku Aiba'a kepada Rumah Adat Suku Malu dalam arti yang seluas-luasnya.

 

Jumat, Oktober 09, 2020

Satu-Satunya Jalan Masuk “Surga” Adalah Ritus Adat “Si Por Pak” dalam Perspektif Antropologi Budaya Suku Bunaq di Kenaian Aitoun

*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

 

 

Perekam ritus adat "Si Giwitar Pak” ini adalah P. Benediktus Bere Mali, SVD. 

 

 

Ritus Adat "Si Por Pak" atau "Si Giwitar Pak" ini bercerita tentang kehidupan suku Bunaq di Asueman, Kenaian Aitoun, Keloroan Lasiolat-Fehalaran-Bauho. Perekam ritus adat "Si Giwitar Pak” ini adalah P. Benediktus Bere Mali, SVD. Rekaman ini spontan saat pertama kali P. Benediktus Bere Mali, SVD menghadiri Ritus Adat "Si Por Pak" pada hari Senin 3 September 2012 di Rumah Maria Bete Asa di Fatubenao - Atambua. Mama Maria Bete Asa adalah memiliki Rumah Suku Laimea Suku Bunaq di Kenaian Aitoun, Keloroan Lasiolat-Fehalaran-Bauho. Tulisan ini berdasarkan wawancara mendalam dengan Bapak Gabriel Mali, Tua Adat Senior, Guru Agama Katolik Senior Asueman, Kenaian Aitoun, Keloroan Lasiolat-Fehalaran-Bauho. Interview mendalam dengan Bapak Gabriel Mali, di Asueman- Malate  pada hari Rabu, 5 September 2012. Adat "Si Por Pak" sering disebut juga "Si Giwitar Pak". Tetapi dalam tulisan ini fokus menggunakan "Si Por Pak" Karena lebih tepat rasa adat dalam adat kenduri. 

 

"Si Por Pak" terdiri dari tiga kata bahasa Bunaq yaitu kata "Si" artinya Daging; Kata "Por" artinya Pemali atau Suci atau Kudus; Kata "Pak" artinya potong atau bagi. Pertanyaannya adalah:  Binatang seperti apa yang dipotong dalam adat ini?  Bagaimana Prosedur Pembagian daging suci dalam adat kenduri Suku Bunaq Aitoun? Dan apa makna dalam perspektif antropologi budaya Suku Bunaq di dalam Kenaian Aitoun?

 

 

Ritus adat ini selalu dilakukan oleh Suku Bunaq di Asueman-Aitoun, ketika salah seorang penduduk meninggal dunia. Adat ini adalah intiÅŸarı dari seluruh adat kenduri. Pelaksanaan Adat ini adalah satu-satunya jalan masuk "surga" bagi seorang anggota Rumah Suku yang telah meninggal dunia.  Adat ini untuk Maria Bete Asa yang telah meninggal dunia. Dalam perspektif antropologi budaya Suku Bunaq dalam Kenaian Aitoun, hanya melalui adat inilah Mama Maria Bete Asa berjalan masuk ke dalam Surga. 

 

Binatang yang dipotong untuk adat intisari kenduri ini adalah Sapi yang besar. Sapi besar karena potongan daging yang dibagi berdasarkan relasi adat "Malu" dengan "Aiba'a" yang berkaitan langsung dengan Mama Maria Bete Asa.  Banyak Rumah Suku ”Malu” yang harus mendapat bagian daging suci ini. Maka Sapi Besar dipotong dan dagingnya dapat dibagi cukup untuk sejumlah Rumah Suku “Malu” yang menjadi asal-usul Mama Maria Bete Asa sebagai seorang anggota Rumah Suku “Aiba’a.”

Pemotongan dan Pembagian daging sesuai setiap Rumah Suku " Malu" dengan Rumah Suku "Aiba'a" ini adalah Suci, kudus, pemali. Kenapa? Pemotongan dan pembagian ini berdasarkan semua Rumah Suku "Malu" yang menjadi asal-usul bagi Mama Maria Bete Asa sebagai "Aiba'a" dalam adat kenduri Suku Bunaq dalam Kenaian Aitoun. 

Pembagian Daging Suci ini dipimpin oleh Tua Adat yang tahu persis sejarah asal-usul Mama Maria Bete Asa berdasarkan Perspektif adat Kenduri berbasis hubungan Rumah Suku "Malu" dengan Rumah Suku "Aiba'a" atau dalam bahasa Tetun disebut "Fetosawa-Umamane." Tua Adat dan para senior Tua adat pendamping hadir di dalam Adat ini untuk saling mengarahkan dalam pembagian daging suci. Setelah diskusi antara Tua Adat itu dan pembagian daging suci secara pasti berdasarkan sejarah asal-usul Mama Maria Bete Asa, daging suci yang dibagi itu diletakkan secara rapi berurutan sesuai Rumah Suku "Malu" yang menjadi asal-usul sejarah Mama Maria Bete Asa sebagai salah seorang anggota yang meninggal dari Rumah Suku "Aiba'a".  Adat  pembagian daging suci ini adalah intisari memasukan Mama Maria Bete ke dalam "Surga" dalam perspektif antropologi Suku Bunaq di dalam Kenaian Aitoun. Adat  Pembagian daging suci ini adalah satu-satunya jalan masuk "surga" bagi setiap anggota Suku Bunaq yang meninggal dunia. Adat ini menceriterakan Kembali kelahiran sampai masuk surga dari Maria Bete Asa dalam aneka simbol yang tampak di dalam video adat “Si Por Pak” ini. 

Setelah pembagian daging suci itu secara teratur berurutan sesuai sejarah asal-usul Mama Maria Bete asa, melalui sebuah kesepakatan Para Tua Adat yang hadir, maka Pemimpin Tua adat yang dipercayakan oleh para tua adat senior, mengajak semua hadirin hening, lalu pemimpin Tua adat yang sedang didampingi oleh Tua adat senior itu, mengucapkan doa suci seperti yang tampak di dalam video ini. Dalam Video kita lihat, ketika Para Tua adat Senior mengelilingi Tua adat yang memimpin doa dan setia mendampingi dan mendoakan dalam hati bersama Tua Adat yang memimpin doa secara adat. 

Inti doa dalam video ini terdiri dari tiga bagian yaitu pertama, tentang sejarah asal-usul dari Mama Maria Bete Asa dari lahir sampai masuk surga. Kedua, Pembagian Darah-Daging Suci sebagai legalisasi  atau meterai atau cap yang mengesahkan sejarah asal-usul melalui Rumah-Rumah Suku "Malu" yang menjadi asal-usul Mama Maria Bete Asa sebagai seorang anggota Rumah Suku "Aiba'a". Dalam video ini kita lihat pembagian daging suci disertai pembagian uang suci secara bersamaan. Ketiga,  Adat ini memberi kebahagiaan  "Surga" bagi Mama Maria Bete Asa di Surga dan pada saat yang sama memberi kehidupan rukun dan damai bagi anggota Rumah Suku "Malu" dengan Rumah Suku "Aiba'a" yang ada di dunia.  Intinya adalah adat dan doa ini adalah Bahagia di Surga bagi yang meninggal dan damai di bumi bagi yang hidup di dunia. Hal ini terungkap di dalam kata-kata dari Pemimpin Doa dalam adat ini: "Ka'u Be Ka'u ga'al, Nana Be Nana Ga'a. Ka'u Be Ka'u Ga'al, Ka'a Be Ka'a Ga'al. Hani Totol Dukui. Hani Tool Nau-Nau wi. Hani Totol Miu-Miu Wi".  Kalimat ini intinya adalah Semua Anggota Rumah Suku Malu maupun Rumah Suku Aiba'a sama dan sederajat, saling menghormati dan saling menghargai, hidup sebagai saudara, hidup rukun dan damai.  Darah-hidup-daging suci "Si Por Pak"  ini melegitimasi-memeterai-mencap-abadi bahagia di surga bagi yang meninggal dan damai di dunia bagi yang hidup di atas planet bumi ini.

 

 

Adat ini adalah untuk orang yang meninggal masuk "surga" dalam bahasa Bunaq dikenal " Por Tama" artinya masuk Surga atau masuk tempat yang suci-kudus-bahagia. Tempat bahagia ini adalah kediaman para leluhur yang dicapai melalui adat "Si Por Pak". Artinya orang yang meninggal dan adat "Si Por Pak" ini telah dilaksanakan berarti orang itu telah berada dalam persekutuan dengan para leluhur yang selalu bersukacita di Surga. 

 

Adat "Si Por Pak" ini memiliki banyak simbol yang ada di sekitar pembagian daging suci, seperti yang tampak di dalam video ini. Inti simbol-simbol itu sebagai berikut. Ceritera tentang hidup di dunia diawali kelahiran sampai kematian fisik, disimbolkan di dalam materi-materi yang digunakan di dalam ritus adat "Si Por Pak" ini. Manusia lahir, ari-arinya dibersihkan dan kemudian disimpan di tempat yang aman damai, segar, dan luas pemandangan. Tempat penyimpanan itu adalah periuk tanah tempat mengisi ari-ari bayi dan ditempatkan di atas pohon beringin yang daunnya selalu hijauh dan rindang memberikan kesegaran yang baik bagi manusia yang baru lahir. 

 

Beringin juga mempunyai akar yang panjang-panjang menunjukkan usia yang panjang dari bayi yang ari-arinya disimpan di atas pohon Beringin. Pohon beringin tempat penyimpanan itu letaknya di atas bukit yang paling tinggi yaitu bukit Asueman, tempat yang memiliki pemandangan yang indah dan luas, tidak terkungkung oleh orang hidup seperti katak di dalam tempurung. Penyimpanan ari-ari itu disertai beberapa besi, simbol senjata dalam melindungi diri dari serangan musuh atau lawan. Ari-ari yang disimpan di dalam periuk tanah itu disimpan atau digantung pada cabang Bambu yang disimpan di atas pohon beringan dan diikat dengan akar pohon beringin. Akar pohon beringin itu panjang sebagai simbol usia yang panjang. Bambu yang digunakan mau menyatakan bahwa ilmu bambu semakin tinggi atau semakin tua usianya semakin merunduk ke tanah sebagai simbol kerendahan hati. Bambu juga adalah alat timba air sebagai simbol manusia menerima rahmat dari para leluhur dan rahmat itu diteruskan kepada setiap orang yang hidup bersama di sekitar. Bambu juga berakar kuat menjaga agar tanah tidak longsor di musim hujan. Bambu juga digunakan sebagai tangga bagi orang yang mengambil madu di pohon yang tinggi.  Bayi itu juga semestinya kelak menjadi tangga bagi orang lain untuk memperoleh sesuatu yang baik dan berguna.

Ritus adat ini tampakan bahan-bahan atau materi-materinya: ada daging, tali yang berasal dari akar beringin, ada besi-besi, ada uang, dan ada kapur. Tumpukan daging itu sesuai asal-asul suku. Seorang anggota suku yang meninggal, asal-asulnya tampak jelas dalam tumpukan daging-daging itu. Kalau tumpukan daging sepuluh berarti asal asul anggota suku yang meninggal itu berasal dari sepuluh suku yang lain dalam sejarah kehidupannya. Daging itu ditumpuk secara merata dan seimbang bagi setiap  wakil dari suku-suku yang menjadi asal-asul dari seorang anggota suku yang telah meninggal dunia. 

Daging itu mempunyai dua arti. Pertama daging adalah korban penebus kesalahan orang yang telah meninggal. Kedua daging adalah korban penebus dosa mereka yang masih hidup di dunia. Daging itu kemudian dibagikan kepada masing-masing suku yang menjadi asal usul kelahiran salah seorang anggota suku yang telah meninggal dunia. 

Pesan tua adat dalam doanya sebelum mengakhiri doanya dalam ritus adat ini adalah kesetaraan, kedamaian, keadilan, persatuan, kerukunan dan persaudaran antara "MALU" dengan "AIBA'A". Malu adalah orang tua yang melahirkan AIBA'A sebagai anak  dalam perspektif Suku Bunaq di Asueman. Ritus adat ini sesungguhnya ritus adat yang mengikat erat dan kokoh hubungan darah dalam sejarah kelahiran seorang anggota suku Bunaq yang barusan meninggal dunia. 

 

Ritus adat ini mengantar anggota yang meninggal menuju kehidupan abadi dengan kehidupan para leluhur yang telah mendahuluinya, dalam kerukunan abadi, persekutuan abadi, kedamaian abadi, kebahagiaan abadi. Ritus adat ini juga membangun kembali kerukunan dan persaudaraan serta kedamaian antara hubungan MALU dengan AIBAA'A atau dalam bahasa Tetum "Feto Sawa Uma Mane". 

Makan daging Adat "Si Por Pak" ini adalah makan daging persatuan, kemanusiaan, persaudaraan, kerukunan, kedamaian, kesetaraan, keadilan antara sesama manusia. Dengan demikian hidup manusia suku Bunaq di Asueman, Aitoun di dalam nilai nilai universal tersebut baik dalam berpikir, berkata-kata dan bertindak. Dan hal ini dimeteraikan di dalam darah daging dalam ritus adat "Si Por Pak". Ini ikatan perjanjian suci sejarah asal-usul dan hidup di surga orang yang meninggal dan damai di bumi orang masih hidup dalam darah-daging suci yang dibagi dan dimakan. Artinya bahwa nilai kebahagian di bumi dan di surga menjadi jiwa-darah-hidup anggota Rumah Suku "Malu" dengan Rumah Suku  "Aiba'a" di dalam kenyataan sehari-hari. *****

 

 

Minggu, September 27, 2020

SEJARAH PANGLIMA LORO LASIOLAT-FEHALARAN-BAUHO



*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

 

SEJARAH PANGLIMA KELOROAN 

LASIOLAT-FEALARAN-BAUHO 

dari Kacamata 

Rumah Suku Monewalu  Goronto Nualain

 &

Rumah Suku  Monewalu Hojabul Aitoun

Rumah Suku Monewalu Rato Asueman -Aitoun 

(Dulu-Kini-Akan Datang)

 



 

Hasil Rangkuman Terstruktur Wawancara dengan Bapak Gabriel Mali, lewat What Shapp (WA)  dari Manila-Aitoun, hari Minggu, 27 September 2020, dari pukul 08.00 Am-10.00 Am waktu Metro Manila-Philippine. Wawancara ini tulus, tidak ada kepentingan yang lain, murni untuk Pencarian pengetahuan yang benarterbuka untuk disempurnakan oleh setiap pembaca yang berhati tulus, tanpa kepentingan politis apapun model dan bentuknya. Pewawancara adalah Pater Benediktus Bere Mali, SVD. Bapak Gabriel Mali adalah ayah kandung Pater Benediktus Bere Mali, SVD.  Bapak Gabriel Mali memiliki Rumah Adat Suku Asutalin Aihun-dengan Malu Bul Rumah Adat Suku Leb Fulur. Pater Benediktus Bere Mali, SVD memiliki Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul, mengikuti Garis Keturunan berdasarkan Sistem kekerabatan Matrilineal, Aitoun, Keloroan Lasiolat-Fealaran, Bauho. Secara Patrilineal Murni, Pater Benediktus Bere Mali, SVD memiliki Malu Bul, Rumah Suku Monewalu Goronto – Nualain. Pendiri Rumah Suku Monewalu Hoja Bul adalah Bei Mau Taek dari Rumah Suku Monewalu Goronto-Nualain. Pater Benediktus Bere Mali, SVD memiliki Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain sebagai "Malu Mone Gomo" berdasarkan garis laki-laki dalam sistem perkawinan Patrilineal. Pater Benediktus Bere Mali, SVD juga memiliki Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur, Rumah Adat Suku Hoki'ik dan Rumah Adat Suku Laimea sebagai "Malu Pana Gomo" berdasarkan garis perempuan di dalam sistem perkawinan Matrilineal. Demikian berdasarkan keturunan biologis Malu-Aiba'a. Sedangkan berdasarkan dukungan tenaga, material, waktu, psikologis, sosiologis dan spiritual Pater Benediktus Bere Mali, SVD memiliki Rumah Adat Suku Liana'in Joilbul sebagai malu. Malu artinya kasih, memberi, pemberi. Aiba'a artinya terima, penerima, penikmat rahmat.  Dalam konteks ini Malu-Aiba'a dapat dipahami dalam arti yang seluas-luasnya, baik secara biologis, psikologis, sosiologis, spiritual maupun secara material. 

Sejarah Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul Aitoun dan Sejarah Rumah Adat Suku Monewalu Rato Aitoun memiliki hubungan erat dengan Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain dan sekaligus bergandeng erat dengan Sejarah Keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho. Rumah Adat Suku Monewalu Rato didirikan Bei Mali Liku, Ponakan Bei Mau Taek, baik Bei Mau Taek maupun Bei Mali Liku berasal dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain. 

Bei Mali Liku adalah Saudagar Cendana bersama Para Saudagar Kulit Putih yaitu Belanda, Portugal dan China. Karena itu Rumah Adat Suku Yang didirikannya disebut juga Deu Ewi Asueman. Dalam Bahasa Bunaq, Deu atau Reu artinya Rumah Adat Suku dan Ewi artinya orang berkulit putih. Deu Ewi artinya Rumah Adat Suku dengan anggotanya Berkulit Putih.  

Berdasarkan Posisi Saudagar Cendana ini, para saudagar kulit putih menjadikan Bei Mali Liku sebagai negosiator berbahasa Lokal sekaligus Belanda dan Portugis dalam memperlancar urusan saudagar Cendana dan hasil rempah-rempah lainnya. Serdadu Kulit Putih mendampingi Para Saudagar Kulit Putih bersama Bei Mali Liku dalam semua urusan pembelian dan pengeksporan cendana melalui satu pintu Pelabuhan Atapupu adalah sebuah pengalaman indah Bei Mali Liku sekaligus mempertajam pengetahuan Bei Mali Liku multi-bidang yaitu tentang Saudagar-Negosiator-Mediator berbahasa Lokal-Belanda-Portugis dan pengetahuan yang mendalam tentang urusan seluk beluk tugas dan fungsi Serdadu. 

Terdapat dua bukti pokok yaitu pertama, Senjata Panglima Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho ada di tangan Bei Mali Liku sebagai The Founding Father Rumah Adat Suku Monewalu Rato di Asueman -Kenaian Aitoun saat ini.  Kedua, Makam Sang Panglima Bei Mali Liku bersama makam Loro Lasiolat-Fehalaran-Bauho ada di Haliren – Kaki Gunung Lakaan. 

Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain melebarkan sayapnya yaitu berupa tahkta, wanita/keturunan, harta-kekayaan di berbagai wilayah Timor Barat dan Timor Leste dan salah satunya adalah Bei Mau Taek dengan dua keponakannya yaitu Bei Loi Malik dan Bei Mali Liku dan  dua cucunya Bei Laku Ati dan Bei Tay Bere berasal dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain diutus ke Aitoun-Saburaka-Kaisahe, wilayah Keloroan Lasiolat-Fehalaran-Bauho, dengan tujuan pertama dan utama adalah mendirikan Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul di Aitoun-Saburaka-Kaisahe.


Bei Mau Taek, Bei Loi Malik, Bei Mali Liku, Bei Tay Bere dan Bei Laku Ati dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain ke Aitoun untuk mendirikan Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul, mengembangkan harta kekayaan berupa sapi dan kerbau berkandang-kandang di Aitoun-Saburaka-Kaisahe dan mengembangkan keturunan dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul serta bertumbuh dan berkembang dewasa dan bijaksana membangun diri, anggota keluarga, anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul dan masyarakat Aitoun. 

 

 

“TATAPAN MATA TAJAM ELANG 

MONEWALU GORONTO NUALAIN 

MENEMBUS BATAS”

 

 

 

BEI GUA. Kata Bei artinya kakek atau Nenek. Mone artinya kakek atau laki-laki. Pana artinya Nenek atau perempuan. Gua artinya jejak, asal-usul. Bei Gua artinya asal-asul Keturunan Manusia. Bei Gua Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul berarti asal-usul sejarah keturunan manusia Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul.  Monewalu adalah kata Bahasa Bunaq. Monewalu artinya delapan bersaudara laki-laki. Mone artinya laki-laki. Walu artinya delapan. Hoja artinya kelapa. Bul artinya pohon, di bawah pohon. Hoja Bul artinya di bawah pohon kelapa. Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul artinya Rumah Adat Suku Delapan Bersaudara bertempat atau dibangun di bawah pohon kelapa atau di dalam pohon-pohon kelapa atau di dalam pepohonan kelapa atau di dalam hutan kelapa.

 

 

 

 

Bei Mone Mau Taek adalah the founding father of Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul di Kenaian Aitoun. Bei Mau Taek berasal dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain.  Bei Mone Mau Taek adalah salah satu dari delapan bersaudara laki-laki di dalam Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain. Delapan bersaudara Laki-laki ini dalam Bahasa Bunaq disebut Monewalu. Kata Monewalu adalah kata majemuk dalam Bahasa Bunaq, terdiri dari kata Mone artinya Laki-laki dan Walu artinya DelapanJadi kata majemuk Monewalu berarti Delapan bersaudara laki-laki. Dari Rumah Suku Monewalu Goronto-Nualain inilah asal-usul kata Monewalu itu lahir. 

 

EKSPANSI

  HARTA-TAHTA-WANITA/KETURUNAN

MONEWALU 

GORONTO

NUALAIN

 

Bei Mau Taek dalam Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain memiliki pandangan yang jauh ke depan dalam melebarkan sayap keturunannya, hartanya dan tahktanya. Delapan laki-laki bersaudara ini diutus ke berbagai tempat untuk melebarkan harta kekayaan berupa sapi dan kerbau berkandang-kandang, mendirikan rumah adat suku baru dalam menciptakan keturunan hubungan Rumah Adat Suku Malu dengan Rumah Suku Aiba’a yang lebih luas, dalam melebarkan kekuasaan politik yaitu tahkta. 

 

Pandangan jauh ke depan ini terwujud melalui perutusan delapan bersaudara laki-laki ke berbagai daerah dan wilayah baik diutus ke Wilayah Timor Leste maupun Timor Barat agar tujuan memperluas harta kekayaan, keturunan, dan kekuasaan politis atau tahkta dapat tercapai. 

 

Satu saudara yang paling terkenal dari delapan bersaudara yang diutus oleh Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain itu adalah Bei Mau Taek dengan rombongan sapi dan kerbau bersama dua keponakannya Bei Loi Malik dan Bei Mali Liku serta dua cucunya yaitu Bei Tay Bere dan Bei Laku Ati dari Rumah Adat Suku Monewalu-Goronto-Nualain lewat sebuah perutusan adat dengan kekuatan mitis-magis menuju Wilayah Kenaian Aitoun-Saburaka-Kaisahe-Wilayah Keloroan Lasiolat-Fehalaran-Bauho. 

 

Rombongan ternak berkandang-kandang yang bersama Bei Mau Taek ke Aitoun itu tepatnya sebelum menyeberangi Sungai Sali, persisnya di atas hulu air terjun Uluk Til, terjadilah sebuah tanda heran yang benar-benar dialami Bei Mau Taek. Terjadilah Mujizat perbanyakan sapi, berkandang-kandang secara berlipat ganda, dalam Bahasa Bunaq disebut “Apa Ret Taru” bagi Bei Mau Taek bersama rombongannya. Tempat Tanda heran perbanyakan sapi dari Sang Supranatural bagi Bei Mau Taek itulah menyadarkan dan membangkitkan Bei Mau Taek mendirikan Mezbah Bei Mau Taek, dalam Bahasa Bunaq “Bosok Bei Mau Taek” atau  disebut “Mezbah Air Suci atau Air Pemali Bei Mau Taek”  yang menjadi tempat ritus, ritual, praktek spiritual anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul mulai dari Zaman Bei Mau Taek sampai generasi milenial hari ini dan seterusnya. Bosok Bei Mau Taek adalah kenangan-saksi hidup-abadi pengalaman mujizat Sang Supranatural perbanyakan sapi berkandang-kandang bagi Bei Mau Taek The Founding Father Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul Aitoun.

 

Pengalaman akan Mujizat Perbanyakan Sapi dari Sang Supranatural dan Pembangunan  Mezbah Bei Mau Taek ini sebagai kenangan abadi dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain ini memberikan kepastian bagi rombongan Bei Mau Taek menyeberangi Sungai Sali menuju Aitoun-Saburaka-Kaisahe.  Bei Mau Taek memasuki Aitoun Saburaka Kaisahe dengan harta kekayaan sapi dan kerbau berkandang-kandang. 

 

 

BEI MAU TAEK 

“GEGE DAPU SEI”

 

 

 

Rombongan Bei Mau Taek dengan segala harta kekayaannya memasuki Aitoun-Saburaka-Kaisahe itu disambut gembira dalam pesta pora yang dikomandoi tuan rumah adat Suku Liana’in Joilbul  yang pertama-tama “Bei Mau Taek gege dapu sei” artinya menyapa-sambut-hangat-adat Bei Mau Taek bersama rombongannya dengan sukacita adat yang sangat istimewa.  Rumah Adat Suku Liana’in Joilbul memberikan wilayah yang istimewa kepada Bei Mau Taek bersama rombongannya termasuk harta kekayaan sapi berkandang-kandang di wilayah Aitoun-Saburaka-Kaisahe. 

 

Harta kekayaan Bei Mau Taek di Aitoun Saburaka Kaisahe semakin hari semakin bertambah dari tahun ke tahun. Sapi berkandang-kandang yang terus berkembang perlu diberi identitas berupa cap tradisional yaitu “Marak Lai” pada paha sapi dan kerbau agar sapi dan kerbau mudah dikenal jika hilang atau dicuri atau dibunuh. Cap Trandisional itu berupa besi beton yang dibentuk bermotif tikar dan jeruk lalu motif itu dipanaskan dalam api sampai muncul bara api di motif besi itu lalu ditempelkan pada paha sapi itu, sampai muncul luka, dan lalu luka disembuhkan, bekas luka berbentuk motif tikar dan jeruk itu tetap ada. Motif cap sapi ini dikenal dalam Bahasa Bunaq “Apa Marak Saburaka Aitoun Kaisahe.” Identitas Sapi dan kerbau Milik Bei Mau Taek  ini semakin lebih memberikan rasa aman dan memelihara dan menggandakan sapi dan kerbau dan semakin jelas membedakan sapi dan kerbau dari luar Aitoun-Saburaka-Aitoun. Pencuri pun mudah dilacak berdasarkan identitas Sapi dan kerbau milik Bei Mau Taek.

 

 

BEI MAU TAEK

The Founding Father 

RUMAH ADAT SUKU MONEWALU HOJA BUL

 

Bei Mau Taek adalah seorang Pemuda ganteng, berwibawa, kaya-raya. Beliau diarahkan oleh Ketua Rumah Adat Suku Liana’in Joilbul untuk menikah dengan seorang gadis cantik dari Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur dengan tujuan untuk mendirikan Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Arahan yang melewati berbagai proses yang Panjang itu diamini oleh Bei Mau Taek. 

 

Pernikan Bei Mau Taek ini pasti melibatkan begitu banyak orang untuk menuju sampai pada tibanya hari pernikahan yang direncanakan. Terlebih pernikahan itu secara patrilineal dengan tujuan utama mendirikan Rumah Adat Suku Baru yaitu Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul yang direncanakan secara matang berdasarkan arahan dan keterlibatan begitu banyak pihak dan bidang terutama menyangkut biaya adat dan jarak Fulur-Aitoun untuk perarakan adat pengantin wanita dari Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur menuju kediaman Bei Mau Taek di Aitoun-Saburaka-Kaisahe. Perayaan di Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur tentu sangat istimewa. Perayaan penyambutan pengantin wanita di Aitoun pun sangat special dalam konteks mendirikan rumah adat suku Monewalu Hoja Bul.  

 

Hari kepastian pernikahan pun tiba, Bei Mau Taek menikahi Bei Habu' Louk dari Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur. Perkawinan itu bersistem Patrlineal sebagai awal berdirinya Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Pendirinya adalah sang suami, Bei Mau Taek. Perkawinan Patrilineal itu menuntun isteri meninggalkan rumah adat suku Mot Alan Fulur ke dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Bei Mau Taek berasal dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain. Bei Mau Taek diutus Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain untuk melebarkan-memperbanyak harta, keturunan, dan tahta di Aitoun dengan mendirikan Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul Aitoun. Kata Hoja Bul inilah membuat rumah suku yang didirikannya sangat unik, special, berkarakter.  Artinya dari seluruh rumah adat suku yang ada di dunia ini hanya ada satu rumah adat suku yang bernama Rumah Suku Monewalu Hoja Bul, dengan the founding father-nya adalah Bei Mau Taek dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain. 

 

Dengan demikian terjawab sudah pertanyaan tentang mengapa disebut Rumah Adat Suku Monewalu Hoja BulHoja bul artinya di bawah pohon kelapa. Disebut sebagai Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul berarti Rumah Adat Suku Monewalu yang berada di bawah Pohon Kelapa. Pohon kelapa dapat dipotong dan kayunya yang sudah diolah dan dibentuk dapat digunakan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan manusia, misalnya sebagai tiang untuk pembangunan rumah. Daun kelapa menjadi sumber bahan perhiasan upacara adat di rumah adat dan juga di rumah ibadat keagamaan dan di tempat-tempat berlangsungnya ritus adat serta sebagai bahan pembuat ketupat untuk makanan ketika pergi ke tempat jauh. Lidi dari daun kelapa digunakan sebagai pembersih kotoran atau sampah di sekitar halaman rumah dan di dalam rumah. Sapu lidi adalah simbol pembersih kotoran yang tampak dan tidak tampak di permukaan. Buah kelapa menjadi obat, minyak, makanan, dapat diolah untuk kebutuhan makanan dan minuman Kesehatan misalnya minyak kelapa murni dan lain sebagainya. 

 

 

MENDIRIKAN RUMAH ADAT SUKU ITU MENCIPTAKAN 

RUMAH ADAT SUKU MALU

&

RUMAH ADAT SUKU AIBA’A

 

The Founding Father of Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul yaitu Bei Mone Mau Taek mengambil seorang gadis cantik dari Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur menjadi isterinya lewat perkawinan adat “Paen”  atau “sul suli dara” dalam Bahasa Bunaq dan “Faen” dalam Bahasa Tetun, mendirikan Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul dan sekaligus menjadi anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Maka dengan demikian dalam perspektif “Malu–Aiba’a” dalam Bahasa Bunaq atau “Feto sawa uma mane” dalam Bahasa “Tetun”, pada saat itu Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur menjadi “malu-bul”  satu-satunya bagi Rumah Adat Suku Monewalu Hoja bul  sebagai “Aiba’a Bul” di Aitoun.  Dalam Relasi antara wilayah kekuasaan Fulur dengan wilayah kekuasaan Aitoun, maka Fulur berstatus “Malu” karena mereka memberikan anak gadisnya kepada Aitoun sebagai “Aiba’a.” Dari Relasi Malu–Aiba’a dalam perspektif ini, menunjukkan bahwa konsep cara berpikir dan berkomunikasi berbasis relasi “Malu-Aiba’a” dapat digunakan dalam multi-konteks pembicaraan, bisa pada level hubungan antara kerajaan, antara wilayah, antara daerah dan antara rumah adat suku yang ada dalam masyarakat setempat.  Itu berarti cara berpikir “Malu-Aiba'a” dapat diterapkan atau diaplikasikan dalam konteks komunikasi dalam banyak bidang yang melingkupi proses komunikasi yang kontekstual untuk semakin menumbuhkan persaudaraan dan perdamaian antara daerah atau untuk mencapai sebuah solusi soal manusia di level tertinggi-menengah-bawah berdasarkan tata adat rapi hubungan “Malu-Aiba’a” atau “Fetosawa Uma Mane” itu sendiri. 


Hubungan Malu-Aiba'a terdiri dari dua bagian penting yaitu pertama malu mone gomo berdasarkan garis keturunan ayah, laki-laki, berbasis sistem perkawinan patrilineal dan kedua malu pana gomo berdasarkan garis keturunan ibu, perempuan, berbasis sistem perkawinan matrilineal. Dengan demikian dalam konteks ini Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur adalah Malu Pana Gomo bagi Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a. Sementara Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain adalah Malu Mone Gomo bagi Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a. 

 

Perlu dicatat bahwa pengertian "Paen" atau "Faen" atau "sul suli dara"  atau sistem perkawinan Patrilineal, adalah awal berdirinya Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Berbicara tentang "Paen" atau "Faen" atau "Sul Suli Dara"selalu dipahami dalam konteks seorang "Bei Mone" artinya kakek/laki-laki yang mengambil perempuan yang menjadi isterinya dan anak-anaknya dari rumah adat suku yang lain masuk ke dalam rumah adat suku Laki-laki atau Kakek atau "Bei Mone" secara adat dengan segala harta kekayaan yang suami berikan kepada rumah adat suku isteri sebagai Rumah Adat Suku Malu dan juga harta kekayaan bergerak dan tidak bergerak yang suami sediakan bagi isteri dan anak-anak yang masuk ke dalam rumah adat suku suami/bapak/ayah sebagai Rumah Adat Suku Aiba’a. Dalam arti ini seorang laki-laki yang melakukan "Faen" atau "Paen" atau "Sul Suli Dara" atau perkawinan Patrilineal memiliki harta kekayaan yang berlimpah, baik itu harta kekayaan bergerak maupun tidak bergerak bagi rumah adat suku isteri maupun bagi isteri dan anak-anak yang masuk ke dalam rumah adat suku suami. 

 

Dengan demikian, "paen" atau "faen" atau "sul suli dara" itu menunjukan bahwa bukan seorang "Bei Pana" atau Perempuan atau isteri yang menarik masuk suami dari rumah adat suku suami ke dalam rumah adat suku isteri.  Dalam arti bahwa "faen" atau "paen" atau "sul suli dara" terjadi berdasarkan kebutuhan penerusan keturunan rumah adat suku suami atas dasar kesadaran dan keiklasan penuh baik dari pihak rumah adat suku suami maupun rumah adat suku isteri dengan tata aturan adat yang sangat ketat, yang sedang berlaku, dalam mengembangkan-memperluas relasi sosial anggota rumah adat suku Bunaq "Malu-Aiba'a'" atau dalam bahasa Tetun relasi sosial anggota rumah adat "Feto Sawa Uma Mane."  Lalu dalam sejarah, setelah "Paen" atau "faen" atau "sul suli dara" hidup berdasarkan sistem kekerabatan Matrilineal suku Bunaq di dalam wilayah Kenaian Aitoun. 

 

 

Keturunan dari hasil perkawinan Bei Mone Mau Taek dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain dengan Bei Pana dari Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur ini berbuah tidak mendapat keturunan dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Bei Mone Mau Taek memiliki dua keponakannya yang ikut bersama rombongannya dari Rumah Adat Suku Goronto-Nualain menuju Aitoun. Dua Keponakan itu adalah Bei Loi Malik dan Bei Mali Liku. Ketiga Bei Tercinta ini hidup dan bertumbuh dan berkembang di dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul yang didirikan oleh Bei Mau Taek.  Pernikahan Bei Mau Taek dengan Bei Pana dari Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur ini tidak memberikan keturunan untuk melanjutkan keberadaan Keanggotaan Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul. Itu berarti masa depan Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul berada di tangan Bei Loi Malik dan Bei Mali Liku. Bei Mau Taek mempunyai tatapan tajam ke depan bahwa Bei Mali Liku dan Bei Loi Malik akan melangsungkan perkawinan “Sul Suli Dara” atau “Faen” atau “Paen” artinya perkawinan patrilineal dalam melanjutkan keturunan Anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul dengan the founding father-nya adalah Bei Mau Taek, soi apa luhan gomo dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain. Pertanyaannya, apakah rencana agung Bei Mau Taek itu terwujud dalam diri Bei Loi Malik dan Bei Mali Liku? Berikut adalah narasinya. 

 

 

BERBEDA IDEOLOGI 

BERBEDA AKSI

 

 

Bei Loi Malik selalu bersama omnya Bei Mau Taek mengembangkan harta kekayaan “Soi Apa Luhan Gomo” di Aitoun-Saburaka-Kaisahe. Harta kekayaan Bei Mau Taek semakin hari semakin berkembang dan berlipat-lipat di dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Sedangkan Bei Mali Liku memiliki sebuah kehebatan dalam melihat lebih jauh dan luas ke depan peluang berbisnis pada zamannya. 

 

Bei Mau Taek dan Bei Loi Malik punya fokus pada bisnis peternakan sapi, kuda, dan kambing, babi, ayam serta usaha lainnya di ruang lingkup Kenaian Aitoun. Sedangkan Bei Mali Liku fokus pada bisnis kayu cendana dan rempah-rempah lainnya di dalam dan di luar Kenaian Aitoun bersama para saudagar berkulit putih yang meliputi Orang Belanda, Orang Portugal, Orang China dan semua saudagar kayu cendana pada zamannya. 

 

Keistimewaan utama yang dimiliki Bei Mau Taek adalah bahwa Beliau mendapat mujizat “apa ret taru” artinya sapi muncul sendiri atau sapi berlipatganda muncul secara tiba-tiba atau mujizat perbanyakan sapi. Mujizat ini memiliki buktinya atau saksi hidup adalah Bosok tempat terjadinya mujizat perbanyakan sapi dari Sang Supranatural kepada Bei mau Taek itulah membuat Bei Mau Taek abadikan tempat terjadinya mujizat perbanyakan sapi itu dengan mendirikan Bosok Bei Mau Taek atau “mezbah” Bei Mau Taek di Kaki Bukit Aitoun di hulu tepi Air terjun Uluk Til atau Il Ha’o.  Mezbah ini menjadi pusat ritual, ritus, praktek spiritual Bei Mau Taek dan Anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul mulai zaman perdana Bei Mau Taek sampai generasi milenial anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul sampai hari ini. 

 

Bei Mau Taek memiliki kekayaan Sapi di Aitoun. Sapinya sangat banyak maka perlu memasang identitas tersendiri pada setiap sapi dengan memasang Simbol atau motif atau cap di paha kaki Sapi, kuda, kambing yang dimilikinya di Aitoun, dengan keunikan cap berupa simbol "Sabul" dan "Pil" atau cap Saburaka Aitoun. 

 

Dengan cap ini maka sapi milik Bei Mau Taek Soi Apa Luhan Gomo di Aitoun mudah dicari kalau hilang atau dicuri oleh pencuri pada zaman itu. Hal ini menunjukkan betapa cerdasnya Bei Mau Taek dan Bei Loi Malik dalam memelihara sapi, kuda, kambing, babi, ayam dan ternak lainnya. Pemberian cap pada paha sapi dan kuda serta kambing di Aiotun ini dikenal dalam Bahasa setempat, Bahasa Bunaq “Marak Lai” artinya memberi cap pada paha sapi dan kuda dan kambing. Motif cap ini sudah dibentuk dalam bentuk Besi yang kemudian dipanaskan sampai bara api kelihatan pada besi itu lalu diletakan pada paha sapi, kuda, dan kambing sehingga luka cap itu kelihatan di tubuh paha sampai terluka dan diobati kembali sembuh tetapi bekas atau jejak luka itu tetap kelihatan di paha kaki sapi dan kuda dan kambing. Dengan demikian saat kehilangan sapi dan kuda muda dikenal untuk mencari dan menemukannya kembali. Identitas Sapi, Kuda, Kambing dengan Cap Resmi Saburaka Aitoun ini sangat menjamin keamanan yang sangat baik bagi Bei Mau Taek dan Bei Loi Malik dalam mengembangkan harta kekayaan sapi yang lebih dikenal dalam Bahasa setempat  Bahasa Bunaq “Soi Apa Luhan Gomo” di Aitoun. 

 

 

ANGGOTA RUMAH ADAT SUKU MONEWALU HOJA BUL

“BERMAIN TIGA KAKI”

SEBAGAI 

SAUDAGAR-SERDADU-NEGOSIATOR

 

 

Bei Mau Taek dengan Ponakannya Bei Loi Malik fokus sebagai saudagar ternak Sapi di Aitoun dan wilayah sekitarnya. Hasilnya semakin lama semakin berlipat ganda. Sementara itu Bei Mali Liku fokus ambil usaha atau bisnis kayu cendana. Bisnis kayu cendana pada saat itu adalah barang dagangan orang kulit putih yaitu Penjajah Portugal di Timor Leste dan penjajah Belanda di Timor Barat. Bei Mali Liku sangat cerdas melihat peluang dalam berbisnis. 

 

Pebisnis kayu cendana pada waktu itu tentu punya kemampuan untuk berbahasa Belanda dan Portugis. Penjajah Portugal dan Belanda memiliki senjata juga sebagai alat pengaman dan pelindung dalam berbisnis kayu cendana. Dengan demikian tentunya Bei Mali Liku yang selalu dekat dengan para saudagar pasti memiliki kemampuan berbahasa dan kemampuan mengenai peralatan persenjataan yang cukup karena berkat bisnis cendana bersama orang kulit putih. Pengalaman saudagar dan serdadu bagaikan dua sisi mata uang yang melekat erat dalam rasa-akal-aksi Bei Mali Liku dalam berbisnis cendana bersama orang-orang kulit putih. 

 

Bei Mali Liku mengadakan perjalanan berkuda dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari pegunungan yang satu ke pegunungan yang lain dalam bisnis kayu cendana. Hasil pembelian kayu cendana itu kemudian diantar ke Pelabuhan Atapupu untuk mengekspor cendana ke luar daerah khususnya ke Portugal, Belanda dan China. Bei Mali Liku Tentunya semakin familiar dengan alat transportasi berkuda, berkendaraan bersama saudagar dan serdadu berkulit putih Belanda di Timor Barat dan Portugis di Timor Leste dan orang China. 

 

Sangat mengagumkan bahwa Bei Mali Liku selain berpengalaman sebagai saudagar dan serdadu bersama kaum kulit putih, memiliki juga pengalaman utama yaitu cerdas bernegosiasi dengan pihak Loro atau Raja setempat yang berkuasa atas Pohon Cendana dan hasil rempah-rempah lainnya. 

 

Bei Mali Liku telah mengukir sejarah hidupnya dan sejarah Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul dan Rumah Adat Suku Monewalu Rato/Dato di dalam Kenaian Aitoun, keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho. Dengan demikian Bei Mali Liku adalah trinitas talented saudagar-serdadu-negosiator ulung di mata kaum berkulit Putih Portugis di Timor Leste dan Belanda di Timor Barat serta China maupun di mata Loro Lasiolat-Fehalaran-Bauho serta di dalam Kenaian Aitoun. 

 

Kekayaan fisik dan non-fisik berupa multi-kemampuan dari Bei Loi Malik yang sealiran dengan om-nya yaitu Bei Mau Taek di dalam Kenaian Aitoun,  maupun dari Bei Mali Liku yang bergerak di level kelas atas di tingkat keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho dan berelasi dengan orang berkulit putih Belanda di Timor Barat dan Portugal di Timor Leste serta Orang China dalam berbisnis, adalah merupakan sebuah kebanggaan yang luar biasa dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul.

 

Suasana Bahagia atas nama besar Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul itu tentu akan membuat ketiga Bei terhebat yaitu Beli Mau Taek, Bei Loi Malik dan Bei Mali Liku memikirkan secara serius untuk kemajuan Keanggotaan Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul yang harum mewangi seperti harumnya parfum alamiah Cendana Timor di wilayah kenaian Aitoun maupun di luar Aitoun.  

 

Kekayaan itu sudah sangat pasti menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup secara pribadi, keluarga maupun dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul di Kenaian Aitoun. Tetapi di balik kebesaran nama, status, kuasa, harta, keturunan itu, juga tidak menutup kemungkinan perebutan harta kekayaan dalam keluarga sebagai senior dengan yunior, sebagai saudara atau kakak dan adik, sebagai om dengan keponakan. 

 

Relasi Bei Mau Taek dan Bei Loi Malik sealiran, lebih fokus dalam perdagangan Sapi pada jamannya yang lebih khusus bertempat di Aitoun dan dengan tetangga di sekitar Aitoun dalam menjalankan bisnisnya. Harta kekayaan Bei Mau Taek sebagai “Apa Luhan Gomo” dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain terus berkembang pesat dalam tangan dingin Bei Mau Taek dengan Bei Loi Malik di Aitoun Saburaka Kaisahe. 

 

Tetapi Bei Mali Liku dengan bisnis cendananya lebih banyak berkomunikasi dengan orang luar dalam hal ini penjajah Belanda dan Portugal serta China melalui jalur-jalur yang menjadi sumber cendana sampai ke Pelabuhan Atapupu sebagai pintu keluar perdagangan cendana pada zaman itu. 

 

Harta kekayaan itu selain menambah meningkatkan status sosial ekonomi dalam masyarakat, dapat juga membangkitkan rasa superior diri yang kemudian melahirkan pertengkaran dan bahkan perpecahan sebagai kakak dan adik, sebagai om dengan keponakan, sebagai saudara, sebagai seasal, sebagai seanggota rumah  adat Suku Monewalu Hoja Bul. 

 

Bei Mau Taek dengan keponakan Bei loi Malik dapat mengembangkan harta kekayaan ternak Sapi di dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul dan boleh dikatakan hampir seratus persen bekerja mengembangkan pengalaman saudagar ternak sapi dalam wilayah Aitoun dan dalam relasi dengan wilayah sekitarnya dalam mengembangkan bisnis sapi pada zamannya. 

 

Sedangkan Bei Mali Liku lebih bergerak cepat melebarkan sayab bisnis kayu cendana bersama orang kulit putih yang meliputi penjajah Portugal di Timor Leste dan Penjajah Belanda di Timor Barat dan para saudagar China dari setiap kampung ke kampung, dari pegunungan ke pegunungan penghasil cendana di Pulau Timor. Hasil pembelian kayu cendana itu dibawah ke Pelabuhan Atapupu sebagai pintu keluar atau eksport cendana bersama hasil rempah-rempah lainnya ke Negeri Belanda dan Portugal dan jauh Ke Negeri China. 

 

KEUNGGULAN MANUSIA

MENJADI BERKAT

BAGI DUNIA

 

Bei Mau Taek dengan keponakannya Bei Loi Malik adalah benar-benar cerdas dalam kosa kata teknis perdagangan ternak sapi sedangkan Bei Mali Liku sangat cerdas dalam kosa kata teknis perdagangan cendana, khususnya keunggulan  istimewa bernegosiasi dalam Bahasa lokal maupun Bahasa Belanda, Bahasa Portugis, Bahasa Melayu dan Bahasa China dan bahkan Bahasa lainnya dari pihak-pihak yang berbahasa berbeda dalam keterlibatannya sebagai saudagar kayu cendana dan rempah-rempah lainnya di Timor Pulau Cendana. Bei Mali Liku bertemu dengan begitu banyak orang dalam bisnis cendana, baik para saudagar itu sendiri maupun dengan pihak raja-loro-penguasa yang berkuasa atas tanaman cendana dan hasil bumi lainnya. Dalam benak setiap saudagar unggul  pasti sekali melakukan sebuah perjalanan dalam bisnisnya  pasti sangat cerdas melihat aneka peluang dalam menggandakan bisnisnya.

 

Dengan demikian, keterlibatan dalam perdagangan cendana tidak hanya melalui satu arah dalam bidang ekonomi cendana tetapi Bei Mali Liku mempunyai keahlihan yang tidak diragukan dalam berkomunikasi cerdas dengan para raja-loro setempat pada zamannya yang memiliki wilayah kekuasaan atas tumbuhan dan ternak dan hasil bumi, termasuk cendana, ternak sapi, dalam hubungannya dengan ijin, pajak, dan urusan administrasi lainnya dalam bisnis sapi, cendana dan hasil bumi yang lainnya.  Bei Mali Liku memiliki keterampilan sebagai seorang negosiator ulung yang patut diapresiasi setinggi-tingginya dalam memperlancar bisnis cendana yang selalu berkaitan erat dengan kekuasaan entah itu raja-loro dengan segala aparatnya. Bei Mali Liku memiliki kemampuan bahasa dan kewibawaan berbicara yang sangat mulia pada zamannya. 

 

Kemampuan diplomasi yang mantap dalam bisnis, dan juru bicara pada tingkat kekuasaan Loro atau Raja itu tentu mengundang penjajah, penjual cendana, pedagang, maupun raja-loro selalu merasa tertarik pada Bei Mali Liku sebagai negosiator ulung dalam bisnis dan sistem kerja pemerintahan Raja atau Loro pada zamannya. 

 

Diceriterakan bahwa Bei Mali Liku menjadi pembicara hebat dalam setiap pertemuan di wilayah kenaian Aitoun dan di level tertinggi setingkat Loro pada zamannya. Pembicaraannya selalu dijadikan sebagai dasar yang penting untuk dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan publik pada level kenaian Aitoun maupun ketika berada pada tingkat keloroan di zamannya. Dikatakan juga Bahwa Bei Mali Liku adalah utusan para tetua kenaian Aitoun dalam pertemuan setingkat keloroan karena Bei Mali Liku adalah seorang yang memiliki kewibawaan dalam berbicara di level kenaian Aitoun maupun pada tingkat tertinggi yaitu Keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho. Para tokoh Aitoun mengirim Bei Mali Liku ke level Keloroan karena kepintarannya dan utusan ini membuat nama Aitoun selalu harum bagaikan parfum cendana di level tertinggi tingkat Keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho.

 

Kehidupan di tingkat sistem kerja Keloroan tentu tidak selamanya berjalan mulus. Sering terjadi persoalan kecil-menengah-besar yang mewarnai di dalam istana Loro Lasiolat-Fehalaran-Bauho. Konflik yang sering terjadi di antara team kerja di level kerajaan atau keloroan dalam segala bidang, Sang Loro atau Raja yang mengalami konflik internal maupun eksternal itu sering meminta pendapat dari Bei Mali Liku dalam mencapai proses penyelesaiannya. 

 

Dari wawancara kecil ini, dikatakan bahwa dalam sistem kerja Loro terjadi  pertentangan yang sangat hebat antara kakak dan adik yang sama-sama bekerja dalam team kerja di tingkat tertinggi keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho. Konflik antara kakak dengan adik dalam sistem kerja pemerintahan Loro-Lasiolat-Fehalaran-Bauho itu tentang pemegang senjata dalam menjaga keamanan kehidupan Sang Loro dalam keseharian maupun dalam acara-acara resmi lainnya. Bei Mali Liku adalah utusan para tua adat kenaian Aitoun itu mewakili wajah kenaian Aitoun berbicara di forum resmi tertinggi di tingkat keloroan untuk menyelesaikan konflik di tingkat tertinggi keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho.

 

Dalam hubungan kakak dengan adik yang konflik hebat itu, dimana yang satunya adalah pemegang senjata yang merasa diri paling sombong, sedangkan yang bukan pemegang senjata direndahkan di dalam wilayah keloroan yang ada pada zamannya sehingga sistem kerja keloroan mengalami gangguan atau ketidakharmonisan. 

 

Pihak yang direndahkan mengajukan sebuah tuntutan keadilan kepada pihak Loro untuk mencari solusi. Pertemuan resmi pun direncanakan dan diadakan pada level Keloroan untuk memecat pemegang senjata yang mengganggu keharmonisan dalam sistem Keloroan yang sedang berlaku. 

 

Sejumlah orang diutus oleh Raja-Loro kepada pemegang Senjata itu untuk mengundangnya hadir dalam persidangan atas persoalan itu. Sesuai agenda pertemuan Loro bahwa Kehadirannya merupakan persetujuan akan hasil keputusan sidang yang ber-ending pemecatan pemegang senjata agar senjata itu diserahkan kepada orang lain yang lebih pantas, yang setia menjaga keamanan dan keharmonisan sistem kerja pemerintahan keloroan yang ada pada zamannya. 

 

Dari sekian banyak orang yang diutus ke pemegang senjata itu, hanya sampai utusan Bei Mali Liku yang dengan Bahasa diplomatisnya yang unggul dapat meluluhkan hati pemegang senjata itu datang ke persidangan di tingkat keloroan. Pemegang senjata itu kemudian diadili dan dihukum mati berdasarkan hasil sidang. Kemudian pemegang senjata itu dibunuh di sebuah tempat yang dirahasiakan sesuai keputusan final hasil sidang di tingkat keloroan pada zaman itu.

 

Keberhasilan Bei Mali Liku dengan kecerdasan diplomasinya itu, kemudian membuat peserta sidang tingkat keloroan secara resmi memutuskan bahwa senjata itu diserahkan kepada Bei Mali Liku sebagai Penjaga Keamanan di level Keloroan pada zamannya. Bei Mali Liku menjadi penjaga pintu keamanan yang sangat luas dalam lingkup keloroan dalam kehidupan harian Loro maupun dalam kehidupan resmi di Tingkat Keloroan. Bei Mali Liku terpilih secara resmi sebagai Panglima Loro Lasiolat-Fehalaran-Bauho. Senjata Panglima Loro di tangan Bei Mali Liku itu disebut “Meren Bule’e” artinya Senjata Emas itu kini sebagai saksi hidup sejarah ada di dalam Rumah Adat Suku Monewalu Rato Asueman di Aitoun. Rumah Adat Suku Monewalu Rato/Dato di Kenaian Aitoun the founding father-nya adalah Bei Mali Liku berasal dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain. 

 

Keberadaan senjata panglima Loro di Rumah Adat Suku Monewalu Rato/Dato Asueman di Aitoun ini menyimpan sejarah agung Keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho dan Jabatan Panglima Loro di Tangan Bei Mali Liku dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain. Artinya bahwa Bei Mali Liku adalah Panglima Generasi Terakhir dalam sistem  keloroan Lasiolat-Fehalaran-Bauho. Sejarah Keloroan-Lasiolat-Fehalaran-Bauho dapat diceriterakan kembali bermula dari Rumah Adat Suku Monewalu Rato/Dato Asueman di Aitoun yang didirikan oleh Bei Mali Liku Ponakan kandung dari Bei Mau Taek  dari Rumah Adat Suku Monewalu-Goronto-Nualain. 

 

Bei Mali Liku memiliki pengaruh multi-bidang pada zamannya. Beliau sukses dalam bisnis lewat bidang ekonomi dalam perdagangan cendana dan rempah-rempah dan hasil bumi serta ternak lainnya dari masyarakat lokal dengan orang kulit putih mengelilingi  gunung-gunung sumber cendana sampai ke Pelabuhan Atapupu pintu penyaluran hasil perdagangan pada zamannya. 

 

Beliau memiliki kemampuan berdiplomasi yang sangat bagus dalam Bahasa lokal maupun dalam Bahasa Orang Kulit Putih dalam bisnis cendana, ternak, rempah-rempah, dan hasil bumi yang lainnya. Beliau memiliki kemampuan berbahasa diplomatis di tingkat keloroan yang memiliki kuasa atas cendana dan hasil bumi lain di wilayah keloroan pada zamannya. Ketika Bei Mali Liku yang pandai berdiplomasi itu menjadi pemegang senjata di Pintu Gerbang Keloroan tentu peristiwa ini membuat Bei Mali Liku memiliki pengaruh yang lebih luas di istana Keloroan baik di dalam urusan internal keloroan maupun dalam hubungannya ke luar lingkup istana keloroan. 

 

Bei Mali Liku Ponakan Kandung Bei Mau Taek yang diutus Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain ke Aitoun itu menjadi Panglima hebat di level keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho. Bei Mali Liku saudara kandung Bei Loi Malik dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain itu sebagai panglima Agung yang memegang senjata dengan multi-talented bernegosiasi di level tertinggi Keloroan. Dengan demikian Bei Mali Liku menciptakan Wajah baru kenaian Aitoun menjadi harum bagaikan parfum cendana berkat para tetua adat Aitoun selektif memilih mengutus orang hebatnya yaitu Bei Mali Liku dari Kenaian Aitoun masuk ke dalam jajaran lingkup istana keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho pada zaman itu. Bei Mali Liku Panglima Hebat dalam Sejarah Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho.

 

 

HARTA-TAKTA-KETURUNAN

MENJADI BERKAT ATAU KUTUK

 

 

Memang benar bahwa harta, takta atau kuasa, keturunan/wanita yang dimiliki Bei Mali Liku dengan Bei Mau Taek  sealiran Bei Loi Malik memiliki peluang yang terbuka untuk senantiasa damai tetapi benar juga bahwa kuasa dan harta itu tidak menutup pintu kemungkinan untuk konflik bahkan sampai perpecahan. 

 

Peluang damai itu ada, dialami dan dirasakan karena baik harta kekayaan Ternak Sapi dari Bei Mau Taek dan Bei Loi Malik, serta Senjata dan kekuasaan Vetor serta Panglima dalam diri Bei Mali Liku di Tingkat Keloroan itu jelas adalah menjadi sebuah kebanggaan status tinggi dan kebahagiaan Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul sepanjang sejarah hidup Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Tentunya hal ini membuat harum mewangi seperti harumnya parfum kayu cendana nama Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul yang terus diceriterakan sejak awal berdirinya Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul sampai generasi milenial hari ini. 

 

Tetapi Damai yang berbasis harta-tahta-wanita fisikal itu kemudian diakhiri dengan konflik antara ketiga Bei tercinta ini di dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Konflik berbasis harta-tahkta-wanita/keturunan fisikal itu yang kemudian melahirkan perpecahan dan pemisahan arah jalan. 

 

Sebagai kakak dan adik, sebagai ponakan dengan Om yang konflik sampai berpisah itu tentu tingkat konfliknya sudah sangat tinggi sekali derajatnya. Konfliknya saat itu tentu melibatkan para tua adat. Solusi final yang ditemukan adalah berpisah rumah adat suku dalam gandengan erat dengan ceritera sejarah  sistem Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho dan Rumah  Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain.  

 

Kalau Dulu Om Bei Mau Taek bersama Keponakan Bei Mali Liku dan Bei Loi Malik sama-sama-berastu-dalam-visi-besar diutus Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain ke Aitoun untuk mendirikan Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul, tetapi kini hanya Om Bei Mau Taek dengan Keponakan Bei Loi Malik sealiran mengembangkan harta kekayaan dan keturunan di dalam rumah adat suku Monewalu Hoja Bul dengan The Founding Father-nya adalah Om Bei Mau Taek. 

 

Sedangkan Ponakan Bei Mali Liku berbeda ideologi yang diwarnai identitasnya sebagai saudagar-negosiator-serdadu/Panglima Loro Lasiolat-Fehalaran-Bauho dengan meninggalkan/berpisah  pergi dari Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul di Aitoun Saburaka Aitoun menuju Bukit Tertinggi Asueman bersama isterinya dari Rumah Adat Suku Hukun, Faen, membawa harta kekayaan sebagai saudagar-serdadu/panglima-negosiator Loro,  lalu dengan harta kekayaan yang sangat banyak itu lah menjadi pendukung Bei Mali Liku mendirikan sebuah Rumah Adat Suku Monewalu Rato/Dato atau disebut Deu Ewi, karena kepribadian The Founding Father-nya, Bei Mali Liku adalah seorang saudagar hebat bersama orang kulit putih, dekat dengan serdadu kulit putih, panglima Loro, dan negosiator cerdas unggul dalam sistem kerja pemerintahan Loro dan di dalam sistem kerja Kenaian Aitoun, dan dalam sistem kerja Panglima Loro secara internal maupun secara eksternal. 

 

Kemudian Bei Mali Liku membawa senjata panglima dan kekuasaan vetor serta nama besar panglima dalam sistem keloroan itu yang telah diserahkan kepadanya di dalam lingkup kenaian Aitoun.  Bei Mali Liku sang panglima itu pantas digelari “MEO” artinya pemenang di dalam sistem keloroan yang ada dan berlaku pada waktu itu, dalam arti yang seluas-luasnya karena Beliau memiliki multi-talented dalam Kenaian Aitoun maupun dalam sistem keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho. Bei Mali Liku adalah seorang panglima yang super-cerdas di kenaian Aitoun dan pada level tertinggi dalam sistem keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho. 

 

Kedua bukti yaitu pemegang senjata panglima Loro dan kuasa Dato atau Vetor ini masih ada sampai sekarang di dalam Kenaian Aitoun dalam gandengannya dengan sejarah keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho.  

 

Bei Mau Taek dengan Ponakan Bei Loi Malik dan Bei Mali Liku awalnya sebagai satu anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Bei Bertiga orang hebat ini sama-sama utusan Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain ke Aitoun. Kemudian karena perbedaan ideologi antara Bei Mau Taek selairan Bei Loi Malik versus Bei Mali Liku itu mencipta berbeda jalan

 

Bei Mau Taek dengan Ponakan Bei Loi Malik memilih harta kekayaan berupa Sapi dan lainnya di dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Bei Mau Taek dengan Bei Loi Malik yang menjadi “Soi Apa Luhan Gomo” artinya Pemilik Kekayaan Ternak Binatang berupa Sapi di Aitoun, selalu setia dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul Aitoun Saburaka Kaisahe. Sedangkan Bei Mali Liku memilih harta Kekayaan Senjata Panglima Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho dan kekuasaan Vetor serta harta kekayaan dari bisnis cendana, hasil bumi, dan ternak lainnya, kemudian berpisah dengan Bei Mau Taek dan Bei Loi Malik.  Bei Mali Liku lari meninggalkan Bei Mau Taek dan Bei Loi Malik di Aitoun Saburaka Kaisahe menuju bukit Asueman mendirikan Rumah Adat Suku Monewalu Rato atau Dato. 

 

Bei Mali Liku sang negosiator hebat dan panglima jaya itu  pergi mendirikan Rumah Suku Monewalu Rato/Dato yang ada sampai saat ini di Asueman kenaian Aitoun. Isterinya yang cantik dari Rumah Adat Suku Hukun dibawahnya serta dan mendirikan Rumah Adat Suku Monewalu Rato/Dato di dalam Kenaian Aitoun. Senjata Panglima yang dikenal senjata emas murni, suci, kudus, pemali, meren bule'e por itu tersimpan rapi di dalam Rumah Adat Suku Monewalu Rato Asueman di Aitoun. 

 

Sekali lagi sejarah Agung Kenaian Aitoun dan Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho dapat diawali dari Rumah  Adat Suku Monewalu Rato/Dato Kenaian Aitoun berdasarkan bukti Senjata Suci Panglima yang mulia Bei Mone Mali Liku yang dimakamkan bersama dengan Sang yang Agung Loro-Lasiolat-Fealaran-Bauho di Kaki Gunung Lakaan.


Kakak dan adik, Om dengan Ponakan, Om Bei Mau Taek sealiran Ponakan Bei Loi Malik dan Bei Mali Liku yang dulunya satu Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul tetapi karena beda ideologi lalu berpisah tempat dan berbeda nama Rumah Adat Suku. 

 

Bei Mali Liku pergi ke Asueman dan menjadi The Founding Father dari Rumah Adat Suku Monewalu Rato/Dato. Ceritera Sejarah Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain-Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul Aitoun-Rumah Adat Suku Monewalu Rato, dulu awal mula-kini- akan datang, selalu dalam gandengannya dengan sejarah sistem keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho dulu-kini-akan datang-dan selamanya.

 

Bei Mau Taek dan Bei Loi Malik kuburannya ada di Aitoun. Bei Mau Taek dan Bei Loi Malik sebagai orang kaya akan ternak sapi, kuda, dan kambing di Aitoun. Cerita ini disampaikan oleh orang-orang tua sampai hari ini.  

 

Sedangkan Bei Mali Liku memiliki kuburannya bersama Loro Lasiolat-Fehalaran-Bauho di Haliren-Bernaba-Lasiolat-di kaki Gunung Lakaan.  Bei Mali Liku adalah pemegang senjata keamanan dalam sistem keloroan yang ada pada zamannya, seorang yang hebat dalam berdiplomasi dalam sistem kerja keloroan, dalam sistem perdagangan cendana dengan orang kulit putih.

 

Bei Mali Liku adalah juru bicara Loro dengan orang kulit putih di bidang perdagangan maupun urusan sosial politik budaya dalam kehidupan bermasyarakat pada zamannya. Hadiah teragung baginya adalah Bei Mali Liku mencipta sejarah dengan diangkatnya menjadi panglima terakhir dalam sejarah Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho. Senjata Panglima Bei Mali Liku itu kini sedang ada dalam rumah adat suku Monewalu Rato/Dato dengan The Founding Father-nya adalah Bei Mali Liku berasal dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain-Rumah Suku Monewalu Hoja Bul. Senjata Panglima Bei Mali Liku itu disebut “Meren Por Bule’e” dalam Bahasa Bunaq, artinya “Senjata Emas Suci-Kudus-Pemali”. Senjata panglima ini menjadi titik nadi sejarah Loro Lasiolat-Fehalaran-Bauho yang dapat dinarasikan kembali mulai dari “Meren Por Bule’e” ini.

 

Hal ini sangat didukung dalam pesan terakhir Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho kepada tetua adat Kenaian Aitoun. Dan ini yang sangat penting bahwa Pesan Sang Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho saat menyerahkan senjata panglima Keloroan kepada Bei Mali Liku dari Kenaian Aitoun.  

 

Loro berpesan kepada sang panglima agung Bei Mali Liku demikian: "Senjata panglima ini dibawah Sang Panglima Bei Mali Liku. Masyarakat Kenaian Aitoun harus menjaga dan merawat Senjata Emas Pemali ini dengan sebaik-baiknya. Jika kemudian Bei Mali Liku sakit dan kemudian Meninggal, maka jenazahnya harus dibawah secara adat ke Lasiolat-Fealaran-Bauho dan dimakamkan bersama di makam Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho."

 

Makam Sang Loro dan Panglima Agung sekaligus negosiator ulung -Saudagar Inovatif Bei Mali Liku itu kini ada di Haliren-Bernaba-Lasiolat, di Kaki Gunung Lakaan. Makam Loro Lasiolat dan Bei Mali Liku sang panglima dan sang negosiator ini adalah saksi sejarah kehebatan Bei Mali Liku dalam seluruh ceritera Rumah Adat Suku Monewalu Rato di Asueman dalam Kenaian Aitoun - dan sesungguhnya Kenaian Aitoun dalam gandengan erat dengan Sistem Keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho dulu, kini, akan datang-selamanya.  

 

 

MENDAPAT BERKAT SAAT 

ZIARAH KE MAKAM 

SANG LORO DAN SANG PANGLIMA

 

 

Waktu pewawancara ini bersekolah di SDI Wehasan, Panglima Agung Bei Mali Liku bersama Sang Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho dengan makamnya di Haliren, di kaki Gunung Lakaan ini, kami anak-anak SDI Wehasan kunjungi. 

 

Pewawancara SD kelas 1 dan 2 di SDI Wehasan, tetangga Haliren dan Bernaba, di Kaki Gunung Lakaan, tempat makam Panglima Agung Bei Mali Liku bersama Sang Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho. 

 

Makam Panglima-Negosiator Bei Mali Liku dan juga Senjata Panglima Loro Lasiolat-Fealaran-Bauho yang kini sedang berada di Rumah Suku Monewalu Rato/Dato Kenaian Aitoun adalah saksi hidup sejarah Panglima Agung Keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho dulu, kini, akan datang sampai selamanya. 

 

Panglima Besar Bei Mali Liku adalah panglima dan negosiator unggul ulung lintas bidang dalam sejarah kenaian Aitoun dalam hubungan erat dengan sejarah keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho dulu, kini, akan datang dan selamanya. 

 

 

GENERASI KEDUA 

RUMAH ADAT SUKU MONEWALU HOJA BUL

 

 

Hubungan “Malu” dengan “Aiba’a” atau dalam Bahasa Tetun hubungan “Feto Sawa Uma Mane,” Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul memiliki "Malu" yang masuk dalam Generasi kedua. Setelah Generasi kedua, hingga saat ini, Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul memiliki dua kelompok yang berasal dari dua "Malu." Ini berarti Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul generasi kedua ini memiliki anggotanya yang terdiri dari dua kelompok. 

 

Sejenak kembali ke generasi pertama anggota rumah adat suku Monewalu Hoja Bul. Kalau kelompok pertama berasal dari satu Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur sebagai satu-satunya “Malu Bul” artinya satu sumber pendiri atau pembentuk sekaligus anggota Rumah Suku Monewalu Hoja Bul. Dan dari wawancara cilik ini,  tidak bisa menemukan lagi generasi pertama anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Artinya generasi pertama itu keturunannya terputus dalam perspektif Sistem Kekerabatan Matrilineal Suku Bunaq di dalam Kenaian Aitoun.  Berdasarkan garis perempuan atau ibu, Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur adalah Malu-Pana-Gomo bagi Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a.

 

Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul pendirinya adalah Bei Mau Taek. Asal usul Bei Mau Taek yang adalah The Founding Father of Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul ini berasal dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain. Bei Mau Taek bersama Rombonganya bersama harta kekayaannya diutus Rumah Adat Suku Monewalu Goronto-Nualain untuk ekspansi harta-takta-Wanita/Keturunan di Aitoun.  Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain sebagai malu mone gomo bagi Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul sebagai Aiba'a.

 

Tiba di Aitoun setelah disambut dan semakin hari semakin kaya raya, Bei Mau Taek menikahi Bei Habu' Louk dari Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur dan mendirikan Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul Aitoun. Buah dari perkawinan ini tidak mendapat Keturunan dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. 

 

Untuk melanjutkan keturunan maka Ponakannya Bei Mau Taek yaitu Bei Loi Malik yang bersamanya dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain, menikahi Bei Pana dari Rumah Adat Suku Hoki’ik dan masuk dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Keturunan dari Bei Loi Malik ini terus berkembang sampai hari ini. Pada saat yang sama, Ponakan Bei Mali Liku yang sama-sama dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain yang seharusnya diharapkan mengembangkan keturunan Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul yang didirikan Om-nya Bei Mau Taek, ternyata, Bei Mali Liku beda ideologi, sangat pintar, sangat cerdas, status sebagai saudagar-serdadu-negosiator di tingkat Loro Lasiolat-Fehalaran-Bauho, kaya raya, mengambil keputusan untuk mengabadikan kehebatannya dengan mendirikan Rumah Adat Suku Monewalu Dato atau Rato di Asueman. Bei Mali Liku ingin setara dengan Om Bei Mau Taek the founding father of Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul, dengan status sebagai pendiri Rumah Adat Suku Monewalu Rato di Asueman. 

 

Bei Mau Taek melihat keadaan Ponakannya Bei Mali Liku ini, maka Bei Mau Taek memanggil dua cucunya bernama Bei Tay Bere dan Bei Laku Ati dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain. Bei Mone Tay Bere dan Bei Mone Laku Ati ini nikah dengan dua Bei Pana dari Rumah Adat Suku Laimea. Keturanan dari Rumah Adat Suku Laimea ini terus berkembang di dalam Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul sampai Generasi milenial sampai hari ini. 

Dengan demikian Keturunan dari Bei Pana dari Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur, sebagai Malu-Satu (selanjutnya disingkat M1) itu tidak mendapat keturunan. Tetapi keturunan dari Bei Pana Rumah Adat Suku Hoki’ik, sebagai Malu-dua (Selanjutnya disingkat M2) dan dari dua Bei Pana dari Rumah Adat Suku Laimea, sebagai Malu-Tiga (Selanjutnya disingkat M3) dapat berkembang keturunannya sampai generasi milenial hari ini di dalam menumbuhkembangkan Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul sebagai Aiba’a (Selanjutnya disingkat A). Rumah Adat Suku Mot Alan Fulur. Rumah Adat Suku Hoki'ik dan Rumah Adat Suku Laimea adalah malu pana gomo bagi Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a.

 

Anggota kelompok Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul yang berasal dari keturunan Bei Mone dengan isterinya dari Rumah Adat Suku Hoki’ik itu, kemudian menjadikan anggota Rumah Adat Suku Hoki’ik sebagai “Malu Bul” sebagai sumber asal asli anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul yang berasal langsung garis lurus dari Bei Pana dengan keturunannya menjadi anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul, sebagai “Aiba’a Bul.” 

 

Posisi “Aiba’a” adalah anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Sedangkan kelompok anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul yang berasal dari keturunan Bei Mone dengan isterinya dari Rumah Adat Suku Laimea itu menjadikan anggota Rumah Adat Suku Laimea sebagai “Malu Bul” artinya sumber asli anggotanya atau kelompoknya. 

 

Posisi “Aiba’a” adalah anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul. Kalau anggota rumah adat suku Monewalu yang berasal dari Rumah Adat Suku Laimea menjadikan Rumah Adat Suku Laimea sebagai “malu bul” maka anggota rumah adat suku Monewalu Hoja Bul yang berasal langsung garis lurus dari Rumah adat Suku Laimea disebut sebagai “Aiba’a Bul.” Demikian juga kalau anggota rumah adat suku Monewalu Hoja Bul yang berasal langsung dari Rumah Adat Suku Hoki’ik menjadikan anggota rumah adat suku Hoki’ik sebagai “malu bul” maka  yang menjadi “aiba’a bul” adalah anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul yang berasal dari Rumah Adat Suku Hoki’ik. 

 

Generasi Anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul (A) yang berasal dari Rumah Adat Suku Laimea (M2) dan Rumah Adat Suku Hoki’ik (M3) ini terus berkembang pesat pada zaman ini karena adanya perkawinan keluar dengan anggota suku yang berbeda atau dengan anggota suku lain yang terus didukung dan ditopang oleh Kesehatan yang baik dan Pendidikan yang mendukung selain sokongan dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lain yang mengitari kehidupan nyata anggota rumah adat Suku Monewalu Hoja Bul hingga pada saat ini di dalam kenaian Aitoun. Hubungan M dengan A ini selalu dihidupi dalam-darah-daging-suci-pemali “Si Por Pak” yang secara jujur tulus mendeskripsikan sejarah lahirnya anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul dalam ritual-ritus-praktek spiritual “Na’an Lulik” dalam Bahasa Tetun dan “Si Por Pak” dalam Bahasa Bunaq. 


Ada Rumah Adat Suku yang menjadi malu pana gomo dan malu mone gomo bagi Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul sebagai Aiba'a. Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain dan Rumah Adat Suku Liana'in Joilbul adalah malu mone gomo bagi Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul sebagai Aiba'a.  Sementara Rumah Adat Suku Mot Alam Fulur. Rumah Adat Suku Hoki'ik Aitoun dan Rumah Adat Suku Laimea Aitoun adalah malu pana gomo bagi Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a.  Dengan demikian Hubungan Malu-Aiba'a terdiri dari Malu Pana Gomo dengan Aiba'a dan Malu Mone Gomo dengan Aiba'a.  Relasi antara malu pana gomo dengan aiba'a berdasarkan garis keturunan ibu atau perempuan dalam sistem kekerabatan matrilineal. Sedangkan Relasi antara malu mone gomo dengan aiba'a berdasarkan garis keturunan ayah atau laki-laki dalam sistem kekerabatan Patrilineal. 

 

 

 

*****

 

NB: tulisan kecil ini merupakan rangkuman terstruktur berdasarkan hasil wawancara menurut versi ayah kandung /pewawancara, bernama Bapak Gabriel Mali, memiliki Rumah Adat Suku Asutalin Aihun dengan Rumah Adat Suku Leb Fulur sebagai Malu Bul, Tua Adat Suku Bunaq Aitoun,  Guru Agama Katolik Senior di Asueman- Paroki St. Theodorus Weluli. Silahkan membaca secara tulus dan memberi komentar jujur tulus untuk menyempurnakan tulisan sederhana ini dalam mencari bersama kebenaran sejarah di masa generasi milenial ini. Wawancara ini tulus, tidak memiliki kepentingan politik apapun model dan bentuknya.  Pewawancara adalah Pater Benediktus Bere Mali, SVD, memiliki Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul, Kenaian Aitoun, Wilayah Keloroan Lasiolat-Fehalaran-Bauho. Rumah Adat Suku Monewalu Hoja Bul didirikan Bei Mau Taek dari Rumah Adat Suku Monewalu Goronto Nualain. 

 

Ceritera ini sangat menyentuh rasa atau orang Inggris bilang "make sense" karena ada plot-plot yang mencipta ketegangan dan gap tertentu dalam imajinasi pembaca yang selanjutnya mendorong pembaca untuk memperdalam rasa ingin tahu hal-hal yang masih tetap rahasia, misalnya dimanakah tempat pembunuhan pemegang senjata atau panglima Loro yang kemudian diganti oleh Panglima Hebat Bei Mali Liku? Pelanggaran seperti apa yang dilakukannya sehingga Beliau  bukan dipecat saja tetapi harus sidang putuskan sang panglima itu dibunuh di tempat yang rahasia? Tetapi itulah sejarah Sang Saudagar-Serdadu-Negosiator Unggul-Ulung Bei Mali Liku yang menarik hati pembaca. Maknanya ganda bagi setiap pembaca teks cilik ini. Tetapi tepat sekali bahwa Yang Kecil ini adalah awal ceritera yang besar.

 

*****

Metro-Manila-Philippine

Minggu, 27 September 2020

P. Benediktus Bere Mali, SVD

*****



DAFTAR PUSTAKA


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..





SUMBER PRIMER YANG MENYEMPURNAKAN  WAWANCARA INI



Bapak Marianus Luan


 

Data primer tentang  malu-aiba'a dalam perspektif Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul diperoleh lewat interview mendalam dengan Kepala Desa Aitoun,  Bapak Marianus Luan sebagai Anggota Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul. Team khusus bersama Kepala Desa menelusuri Proses Lahirnya Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul yang berarti menelusuri proses lahirnya malu-aiba'a dalam Rumah Adat Suku Monewalu.  Penelusuran jejak sejarah Rumah Adat  Suku Malu dengan Rumah Adat  Suku Aiba'a ini melewati lima tahap pertemuan dengan biaya setiap keluarga dari Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul menyumbang Rp.200.000,-  Generasi milenial sangat antusias  untuk lebih  mengenal sejarah lahirnya Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul berstatus Aiba'a yang didirikan oleh Rumah Adat Suku Malu. Antusiasme kaum milenial Rumah  Adat Suku Monewalu itu terungkap dalam menyumbang uang demi lebih mengenal-mencintai-mencari-menemukan "malu-aiba'a" Rumah Adat Suku Monewalu  Hojabul. Keuangan  tersebut  untuk konsumsi, transportasi, dan ritus adat di makam suci (Tel Por) leluhur bersama Pendiri Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul, leluhur "malu-aiba'a", ritus adat di altar suci (Bosok Por) Sang Pendiri Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul, ritus adat di kaki Tiang Agung Rumah Adat (Deu Por) Suku Monewalu Hojabul dan beli kurban binatang yang dengan  darah hidupnya yang suci (Si Por) memeterai ritus di di Tel Por, makam suci, ritus di Deu Por, Rumah Adat Suci, dan  ritus di Bosok Por, altar kudus. Team Pertemuan lima tahap itu mengundang  senior anggota atau  Om, atau baba dalam bahasa bunaq, dalam bahasa Tetun disebut na'i dari Rumah Adat  Suku  Monewalu Hojabul dan mengundang Makoan Aitoun dan Tua Adat Aitoun serta para Ketua Rumah-Rumah Adat Suku Malu. Pertemuan pertama: Selasa 15 September  2020 di Fatubenao pagi dan sore di Asueman. Pertemuan  kedua: Sabtu 10 Oktober 2020 di Asueman. Pertemuan Ketiga: Senin 12 Oktober 2020 di Kirumot. Pertemuan  keempat: Selasa 13 Oktober 2020 di Asueman. Pertemuan  Kelima: Rabu 14 Oktober 2020 adalah pertemuan final. Lengkap arsip Hasil foto dan rekaman video serta rangkuman hasil pertemuan dari team bersama Kepala Desa Aitoun. Berdasarkan sumber itu penulis melakukan interview mendalam fokus malu-aiba'a dengan Kepala Desa Aitoun, Bapak Marianus Luan. Interview mendalam tentang malu-aiba'a setelah setiap tahap pertemuan pada  tanggal  15/9/2020, 10/10/2020, 12/10/2020, 13/10/2020, 14/10/2020.

 

 

 






*****