MENJADI
KETUA SUKU
BUNAQ
SEMALAM “NO
HATAMA"
DI MALANG
(P. Benediktus Bere Mali, SVD)
Orang yang banyak jalan, banyak pula
yang dikunjungi, banyak pula yang dilihat, banyak pula yang didengar, banyak
juga makna yang dihirup. Hari ini Minggu 11 Nopember 2012, acara hantaran adat dari calon mempelai Pria kepada
calon mempelai wanita. Acara ini dalam bahasa ibu, bahasa Buna’ disebut dengan
istilah “ No Hatama”. Saya sendiri
sebagai salah satu bagian dari keluarga calon mempelai pria.
Kami datang ke kediaman mempelai
perempuan tepat pukul 19.00 WIB. Setiba di pondok mempelai perempuan, kami
menerima sambutan hangat dalam suasana kekeluargaan yang sangat akrap. Hantaran
langsung diterima dan disimpan di kamar pengantin. Kami langsung dipersilahkan
duduk di kediaman mempelai perempuan.
Acara sapaan selamat datang dan
perkenalan pun dimulai. Acara ini dipandu oleh MC atau juru bicara dari
keluarga mempelai perempuan maupun dari keluarga mempelai laki-laki.
Pertama-tama disampaikan maksud dan
tujuan kedatangan keluarga mempelai laki-laki yaitu untuk menyampaikan
kepastian status calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai perempuan,
yang akan diresmikan dalam sakramen pernikahan pada tanggal 12 Nopember 2012 di
Gereja Katedral Malang.
Keluarga baru ini berasal dari adat dan
budayasebagai akarnya yang pertama, maka pada malam hari ini malam perkenalan
adat dan budaya kedua calon mempelai.
Diawali perkenalan pihak keluarga calon
mempelai laki-laki yang dipandu oleh Om Mis sebagai juru bicara calon mempelai
laki-laki.
Lalu disambung perkenalan pihak
keluarga calon mempelai perempuan, yang dipimpin oleh juru bicara dari calon
mempelai perempuan.
Kemudian serah kain adat Kasih dari
keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita, lalu di
susul dengan doa syukur bagi kedua mempelai dan doa santap malam bersama lalu
komukasi santai kekeluargaan lalu bubar.
Menarik sekali ketika serah kain adat Timor dan kalung emas
dari keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita.
Pemaknaan atas peristiwa pengalungan selendang dari orang tua calon mempelai pria
kepada orang tua calon mempelai wanita serta pengalungan selendang kepada
adiknya calon mempelai wanita serta penyerahan kalung emas kepada calon mempelai
perempuan, dipandu oleh putera suku Bunaq yaitu P. Benediktus Bere Mali, SVD
sebagai keluarga dari calon mempelai pria yang adalah darah suku Buna’ juga.
Mengapa harus saya? Karena yang hadir
dibelakang Bapak Martinus Meta sebagai “malu bul” bagi saya sebagai “aiba’a”, hanyalah saya seorang diri. Maka ini adalah
wakil istimewa dari darah “malu – aiba’a”.
Peristiwa pengalungan selendang adalah
sebuah peristiwa adat penerimaan tamu agung yang datang di daerah suku Buna’
dan sekaligus sebagai penghormatan dan selamat datang di daerah suku
Buna’. Artinya dengan pengalungan ini,
tamu atau pendatang bukan menjadi orang luar yang menjadi asing, tetapi sudah
menjadi bagian dari mereka yang menerima. Suasananya dari keterasingan – orang
luar berubah menjadi orang dalam bagian
dari penerima.
Pada malam hari ini konteks pengalungan
selendang memberikan kesan yang indah. Selendang atau kain adat ini adalah kain
adat Timor. Mengapa kain adat Timor? Karena Nando calon mempelai pria ini
berasal dari akarnya yaitu darah Timor, dari darah ayahnya dari Timor, khusus
suku Buna’. Menerima Nando berarti menerima adat dan budaya Timor khusus suku
Buna’.
Dengan memberikan pengalungan selendang
– kain adat Timor ini menunjukkan bahwa ikatan keluarga Nando dengan Widya,
bukanlah hanya ikatan pribadi Nando-Widya melainkan ikatan ini adalah ikatan
seluruh keluarga besar Nando-dengan keluarga besar Widya. Ikatan ini adalah
ikatan adat dan budaya Nando – dengan adat dan budaya Widya. Maksudnya Nando
menghargai dan menjunjung tinggi keunggulan adat dan budaya Widya. Demikian juga Widya menghargai dan menjunjung
tinggi keunggulan adat dan budaya Nando.
Usai penyampaian makna kain adat, saya memberikan kesempatan kepada Bapak
Martinus Yosef Meta sebagai ayah dari calon mempelai laki-laki, memberikan
pengalungan selendang adat Timor kepada Bapak Hari sebagai ayah dari calon mempelai
perempuan, lalu disusul Ibu Martinus
sebagai mama dari calon mempelai pria mengalungkan selendang kepada ibu Hari
sebagai mama dari calon mempelai perempuan, dan Arni sebagai saudari kandung calon
mempelai pria mengalungkan selendang kepada Mba Dea sebagai adik kandung dari calon
mempelai perempuan. Pengalungan itu disambut dengan tepuk tangan yang sangat
meriah dari para undangan dan keluarga besar kedua calon mempelai Nando – Widya.
Setelah tepuk tangan meriah atas
pengalungan kain adat itu, disusul dengan pemaknaan pemberian kalung emas dari
ibu Martinus kepada anak mantunya. Di awali dengan sejarah kalung emas ini dan
pemaknaannya.
Kaluang Emas ini berasal dari nenek dan
kakeknya Nando yang ada di Timor. Kalung ini diberikan kepada ibu Martinus saat
menjadi anak mantunya. Kalung yang sama,
yang berasal dari nenek dan kakeknya Nando yang ada di Timor itulah yang pada
malam hari ini akan dan segera diberikan kepada Widya sebagai anak mantu dari
Bapak dan Ibu Martinus.
Maksudnya dengan menerima dan
mengenakan kalung emas ini, Widya secara sadar, bahwa kalung emas ini dari
nenek dan kekeknya Nando, dan Widya dengan penuh kesadaran menghormati dan
menghargai Nenek dan Kakek Nando, Bapak dan Mama Nando, saudara dan saudari
Nando, keluarga besar Nando, adat dan budaya keluarga Nando. Lalu Ibu Martinus mengalungkan Kalung Emas
kalung bersejarah itu kepada Widya sebagai anak mantunya. Ibu Martinus sempat berbisik di telinga anak
mantunya sambil mengalungkan kalung bersejarah itu dalam bahasa Belu – Timor “Uma nain
foun uma nain laran fehan” artinya anak mantu yang sangat baik.
Demikianlah makna dari peristiwa kain
Kasih dan kalung Kasih. Disebut Kain Adat Kasih dan Kalung Kasih. Mengapa?
Karena kami memberi singkatan kata
KASIH demikian. KASIH : Keunggulan Adat dan budaya Selalu Isi Hati. Hati itu
adalah hati Widya-Hati Nando, hati keluarga Nando dan keluarga Widya serta hati
kita semua.
Akhirnya kami memberikan harapan bahwa jikalau
kain Kasih dan kalung kasih hilang termakan usia, maka maknanya tetap dan pasti
berdiam di hati Widya dan keluarga Widya serta kita semua yang hadir dan
menjadi saksi pada malam hari ini.
Kalau demikian, tepat kata sang filsuf,
ketika kata-kata terucap mulut pembicara dan dan maknanya diterima telinga hati
pendengar, maka jiwa kata kata ini bukan lagi menjadi milik pembicara tetapi
telah menjadi milik penerima berita. Dengan
demikian, jiwa, roh, spirit pembicaraan, kata-kata, atau tulisan tetap hidup
dari waktu ke waktu, dari hati ke hati, dan dari kepada ke kepala.***
Daftar Pustaka
A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978
(2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar