“BUKAN SIAPA TETAPI
APA “
Yer 1 : 4 - 5; 17 -19; 1Kor 13 : 4 -
13; Luk 4 : 21 – 30
Dari Surabaya Untuk Dunia
*P. Benediktus Bere
Mali, SVD*
Kalau
diminta memilih antara undangan Seminar dari seorang anak muda yang belum punya
nama dengan seorang senior yang sudah terkenal, pasti kebanyakan di antara yang
menerima undangan akan lebih tertarik pada pembicara yang lebih senior dan
mempunyai nama daripada anak muda yang tidak terkenal. Walapun barangkali anak
muda itu lebih kreatif dalam membawakan makalahnya. Mengapa demikian? Karena
para undangan terpola dengan sistem berpikir yang dijiwai oleh “bukan apa yang dikatakan tetapi siapa yang mengatakan.”
Demikian
juga seorang anak muda yang berbicara meyakinkan, penuh kuasa serta penuh
dengan sikap kritis di dalam sebuah
kampung di hadapan mayoritas para tetua
dan para sesepuh, belum tentu semua orang sekampung itu menerima
pembicaraannya. Sejumlah dari mereka yang tergolong sesepuh bisa jadi merasa
bangga dengan kehadiran anak muda itu dan bisasanya datangnya dari keluarga
dekat si pembicara atau yang berprinsip “bukan
orangnya tetapi kualitas pembicaraannya.” Tetapi sesepuh yang lain bisa jadi melihat
dengan kacamata iri hati pada si anak muda itu bahkan secara terang-terangan
dengan kata maupun sikap ataupun dengan perbuatan menyangkal kehadirannya.
Salah
satu tema yang dijadikan bahan diskusi dalam kapitel terakhir adalah kesenjangan
antara senior dengan yang yunior dalam hidup berkomunitas. Dalam kehidupan
bersama, yang senior seringkali bahkan banyak kali memandang yunior dengan
paradigma “ kau baru lahir kemarin belum tahu
apa-apa”. Sistem berpikir seperti ini melahirkan tanpa apresiasi dari
senior kepada Yunior yang bekerja tekun dan menghasilkan karya pelayanan yang
baik bagi banyak umat yang dilayaninya.
Pengalaman
yang demikian membawa dampak pada kehidupan berkomunitas, dimana antara senior
dengan yunior semakin berjalan jauh dari kekompakan di dalam karya pelayanan.
Atau sebaliknya yang Yunior pun dalam kehidupan bersama mengandalkan sistem
berpikir “merendahkan senior” karena usia
dan kesehatan, dan memandangnya sebagai beban bagi yang yunior, sehingga
konflik pun bisa semakin kelihatan.
Solusi
yang mau ditempuh adalah komunikasi dan evaluasi dari hati ke hati sebagai
jembatan yang mendamaikan antara yang Yunior dengan Senior di dalam kehidupan
bersama di Pastoran atau komunitas karya agar yang diutamakan adalah “Misi Allah”
bukan “misi diri” masing-masing baik Yunior maupun senior. Untuk itu paradigma yang
menjiwai hidup bersama adalah “kita (senior – Yunior)
sama tahu untuk melaksanakan Kehendak Allah bukan kehendak pribadi.”
Yesus
adalah Yunior dalam usia tetapi
pemikirannya penuh berbobot. Pembicaraannya sangat berbobot untuk keselamatan
dunia itu ditanggapi dengan penolakan
dari orang-orang sedesanya atau sekampungnnya.
Mayoritas
orang sekampung Yesus bahkan para pemuka
agama menolak Yesus si anak muda, yang selayaknya dijadikan harapan masa depan
dari Kampung Nazaret.
Apakah
penolakan itu membuat Yesus mundur dari perjuangannya memberikan yang terbaik
dan terbenar bagi masyarakat setempat, agar mendapatkan rasa aman dan tanpa
konflik di dalam komunitas Nazareth?
Sikap
kritis Yesus semakin bergema di dalam situasi penolakan yang dialaminya. Bahkan
Yesus menyampaikan sindiran yang mendalam terhadap BangsaNya sendiri, lewat
mujizat yang terjadi atas orang non Israel: janda Sarfaat di saat kelaparan hebat
dan Naaman yang sakit disembuhkan karena memiliki iman, harapan dan kasih kepadaNya.
Orang
asing non Israel diselamatkan karena mereka yang dulunya dicap sebagai bukan
bangsa terpilih kini bertobat menjadi bangsa terpilih oleh iman dan harapan dan
kasih kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya orang Israel yang dulunya dikenal sebagai
bangsa terpilih, tidak mengalami mujizat dari Tuhan karena kehilangan iman,
harapan dan kasih. Dengan kata lain Orang Asing berjalan bersama Yesus
sebaliknya Orang Israel berjalan bersama egoismenya.
Introduksi
Perayaan Ekaristi :
Allah
membentuk kita sejak dalam kandungan Ibu yang mengandung kita. Menjadi imam dan
bruder bahkan sebagai awam pun telah
direncanakan Allah sejak dalam kandungan ibu yang dengan penuh cinta mengandung
kita. Itulah Cinta Tuhan yang kita alami secara nyata di dalam kandungan orang
tua kita.
Kini
kita jaga dan pelihara serta merawat cinta itu di dalam perjalanan panggilan
hidup kita. Artinya meskipun Allah telah membentuk kita sejak awal kekhidupan
kita sesuai kehedaknya, kita bukanlah robot yang remote-nya dipegang oleh Allah yang mengarahkan kita kepada
kehendakNya.
Tuhan
memberikan kebebasan kepada kita sejak di awal kehidupan yang berasal dari
Allah sendiri. Dengan kebebasan itulah kita menyetir kendaraan perjalan hidup
kita, entah ke kiri atau ke kanan atau berjalan lurus sesuai dengan rambu-rambu
Tuhan sendiri. Dengan dasar iman harap dan kasih, kita mengendarai kendaraan
hidup kita berjalan pada kehendak Tuhan Yesus dalam suka maupun duka kita,
bukan berdasarkan kesombongan yang menghilangkan iman harap dan kasih kepada
Tuhan Yesus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar