Anak Hilang
versus
Anak Tidak Hilang
Homili Sabtu 2 Maret 2013
Mikha 7 : 14 – 15.18-20
Mzm 103 : 1 – 4. 9-12
Luk 15 : 1 – 3 . 11 – 32
P. Benediktus Bere Mali, SVD
Sebuah keluarga memiliki enam anak.
Orang tuanya berwatak keras tidak mau mengalah dalam mengemukakan pendapat.
Orang tua selalu menempatkan diri sebagai yang menang dalam berkomunikasi
dengan seluruh anggota keluarga. Anak-anak ketika masih kecil masih mengikuti
perkataan dan perintah orang tua. Ketika anak mulai meginjak masa remaja saat
memasuki pendidikan setingkat SMA dan pergurun tinggi, orang tua yang
senantiasa merasa yang menang mulai ditantang dengan sikap kritis anak-anak.
Anank-anak dengan sikap kritisnya juga tidak mau mengalah berhadapan dengan
orang tuanya. Anak keras pendirian. Orang tua keras pendirian. Memang tepat
dikatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Pohon orang tua yang keras pendirian
melahirkan anak-anak yang keras pendiriannya juga. Konflik senantiasa terjadi
di dalam keluarga itu. Bahkan anak lari meninggalkan orang tua dari rumah dan
pergi ke keluarga terdekat.
Pengalaman anak tinggal bukan serumah
dengan kedua orang tua punya cerita tersendiri. Awal hidup dengan orang lain
selalu memberikan yang menarik. Seminggu kemudian, anak mulai merasakan aneka
penolakan dari tempat tingal itu. Penolakan itu mulai dari sikap, ekspresi raut
wajah dan bahkan dengan kata – kata dari anggota keluarga terhadap anak yang
bukan anak kandung dalam rumah tersebut. Anak itu merasa serba sunkan untuk
makan, bicara, dan berekspresi secara bebas di dalam keluarga baru itu. Ia
seolah-olah menempatkan diri sebagai orang yang tidak keras kepala seperti di
rumah orang tua kandungnya. Selama kurang lebih sebulan tinggal dengan orang
lain, anak itu mulai sadar dan berkata dalam hati “baik tidak baik keluarga
orang tua kandung lebih baik. Jelek tidak jelek, keluarga asing lebih jelek.” Kesadaran itu lahir dari pengalaman sekian
lama meninggalkan keluarga orang tua kandung dan pergi tinggal bersama keluarga
asing.
Kesadaran itu kemudian membimbing
anak itu berpamitan dengan keluarga asing itu dan kembali kepada rumah asalnya
yaitu rumah kedua orang tua kandung. Ketika tiba di rumah, anak itu memeluk
kedua orang tuanya dan dengan meneteskan air mata berkata kepada kedua orang
tuanya : “baik tidak baik keluarga bapa dan mama kandung lebih baik. Jelek
tidak jelek keluarga asing lebih jelek”. Orang tua yang dulunya selalu konflik
dengan anaknya dengan penuh harapan dan cinta menerima anaknya di dalam
rumahnya. Anak pun mulai saat itu menghargai kedua orang tuanya. Pendidikan
tinggi anaknya membuat pola pikir anak berubah dalam berkomunikasi dengan orang
tua yang keras pendirian. Anak yang berpendidikan menempatkan diri pada posisi
mengalah dan dengan ketenangan memberikan nasihat pada orang tua pada saat yang
tepat sehingga arang tua pun semakin menyadari kelemahan dan kekurangannya.
Dengan demikian dari hari ke hari terjadi kemajuan yang baik di dalam keluarga
itu.
Injil hari ini adalah berbicara
tentang kepergian anak bungsu meninggalkan rumah kedua orang tuanya setelah
meminta harta kekayaan yang menjadi bagiannya dari orang tuanya. Orang tua pun
bukan melarang anak bungsu tetapi membiarkan anaknya pergi meninggalkan rumah
orang tua kandung dan tinggal di mana saja dia suka menggunakan harta yang
telah diterimanya. Rupanya kedua orang tuanya menggunakan prinsip “jelek tidak
jelek rumah orang asing lebih jelek” atau kedua orang tua memakai prinsip “baik
tidak baik rumah arang tua kandung lebih baik”. Orang tua melepaskan anak
bungsunya pergi dan membiarkan anaknya belajar dari pengalaman tinggal dengan
orang asing, dan menemukan sendiri bahwa “baik tidak baik rumah orang tua
kandung lebih baik”. Paradigma yang
digunkan orang tua dalam perumpamaan ini benar.
Anak pergi membawa uang yang telah
orang tua berikan kepadanya. Anak keluar dari rumah sudah memiliki kuasa penuh
untuk menentukan seluruh arah hidupnya sesuai dengan harta yang menjadi
bagiannya yang telah diberikan kedua orang tuanya. Tiba di tempat baru yang dituju,
ia hidup berpesta pora dan bahkan jatuh dalam dunia pelacuran. Orang tua
membiarkan anaknya mengalami semuanya itu.
Kesempatan berpesta pora semakin hari
semakin berkurang. Dana untuk hidup berfoya-foya pun semakin lama semakin
menipis hingga pada titik tertentu, anak itu kehabisan uang sama sekali
sehingga makan pun dia harus ke kandang babi makan bersama makanan babi.
Semakin lama semakin tersadarkan oleh pengalaman tinggal jauh dari kedua orang
tua. Paradigma “baik tidak baik rumah orang tua kandung lebih baik” menjadi
nyata di dalam pikirannya. Dia pun berdasarkan pandangan di atas bangkit
meninggalkan kandang babi menuju rumah Bapa dengan aneka perasaan yang
menghantui dirinya. Dia takut kepada saudara dan saudarinya menolak dirinya
karena jatah harta untuknya tidak disediakan lagi oleh kedua orang tua. Dia
takut kedua orang tuanya tidak menerimanya lagi sebagai anak kandungnya. Dia
takut kalau toh semua keluarga kandungnya menolaknya, dia harus ke mana
lagi. Dalam aneka perasaan dan prasangka
yang menghantui dirinya, dia memutuskan pergi ke rumah Bapa.
Dia tiba di rumah, semua prasangkanya
tidak terbukti. Justru orang tua dengan penuh kerinduan buah hatinya telah lama
pergi meninggalkan rumah induk, kembali ke pangkuan rumah orang tua kandung.
Kedua orang tua menerimanya dengan penuh pesta pora. Kedua orang tuanya
memberikan pakaian yang istimewa. Semua yang diberikan kepadanya adalah yang
terbaik dari kedua orang tuanya.
Orang tua yang melahirkan. Sejahat
apapun anak, anak tetaplah buah kasih kedua orang tua. Orang tua tetap
memberikan kasihNya yang total kepada anaknya. Kedua orang tua bersyukur karena
anaknya telah berubah berdasarkan pengalaman sebagai guru yang paling
bijaksana. Anak dengan pengalaman itu diteguhkan secara sungguh bahwa “baik
tidak baik kedua orang tua kandung lebih baik. Baik tidak baik rumah sendiri
lebih baik.” Pengalaman anak itu membawa
anak menyatukan satu pemahaman bahwa “baik tidak baik rumah orang tua kandung
lebih baik.”
Pengalaman yang adalah guru yang
paling bijaksana itu membuat anak itu berpikir berkali-kali untuk tidak
melakukan dosa dan pelanggaran yang sama yang mengantar dia untuk melalui
pengalaman jatuh yang serupa di dalam kehidupan yang akan datang. Pengalaman
pertobatan anak itu dari dosa membuat dia tidak akan melakukan kesalahan yang
sama untuk kedua kalinya.
Kita pun barangkali melakukan kesalahan
yang mengenaskan dalam hidup kita. Kita ketika bertobat dari dosa yang
mengerikan itu, kita pun tidak ingin melakukan dosa yang sama. Bagi saya
perumpamaan ini bukan perumpamaan tentang anak yang hilang tetapi perumpamaan
tentang anak yang tidak hilang. Anak yang tidak hilang karena dia yang pergi
jauh menghilang dari rumah orang tua kandung telah kembali ke dalam rumah kedua
orang tua kandung. Kalau perumpamaan tentang anak yang hilang maka anak itu
setelah menghilang dari rumah kedua orang tua kandung, tidak kembali lagi untuk
selama-lamanya.
Anak itu berdosa tetapi sudah bertobat. Anak
itu hilang tetapi sudah ditemukan kembali. Anak itu pergi dari rumah tetapi
sudah kembali ke rumah. Anak itu tinggal lama di luar rumah tetapi sudah
kembali tinggal dalam rumah kedua orang tua.
Berdosa berarti berjalan meninggalkan
rumah Bapa. Bertobat berarti berjalan meninggalkan kegelapan dosa pemborosan
dan dosa pelacuran kembali kepada pangkuan Allah Bapa yang Maha Murah, Maha
Pengasih serta Maha Pengampun.
Anak hanya sekali pergi meninggalkan
Rumah Bapa. Anak itu kembali kepada Bapa dan tidak akan untuk kedua kalinya
meninggalkan Bapa untuk yang kedua kalinya. Karena itu perumpamaan tentang anak
yang tidak hilang itu ditulis hanya sekali saja dalam Injil. Alasannya jelas
bahwa tidak ada kesempatan kedua bagia anak yang tidak hilang itu untuk hilang
lagi. Tidak ada kesempatan kedua untuk jatuh dalam dosa yang sama dalam
hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar