Rabu, Agustus 11, 2010

ADAT "LASIK WA" SUKU BUNAQ AITOUN



*P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD*


Adat kematian suku Bunak sangat kompleks. Satu bagian adat kematian adalah “lasik wa”. Setiap anggota suku yang telah berkeluarga menerima dan melaksanakan adat “lasik wa” ini. Beberapa waktu lalu, ada adat kematian di dalam Suku Bunak di Desa Aitoun, Kecamatan Raihat. Ketua Suku menyampaikan kepada anggota sukunya yang berkeluarga untuk melaksanakan adat “lasik wa” ini. Ketua suku menetapkan jumlah uang yang dikumpulkan oleh setiap anggota suku Bunak yang telah berkeluarga untuk adat “lasik wa”. Ketua suku menetapkan jumlah uang yang dikumpulkan itu sekitar Rp.100.000.- per keluarga. Uang itu untuk membeli Babi yang akan dibunuh dan dimakan bersama anggota suku yang hadir, dalam adat kematian itu.
Secara sosial, anggota suku selalu menyetujui keputusan ketua suku untuk mengumpulkan jumlah uang yang telah ditetapkannya untuk pelaksanaan adat “lasik wa”. Secara psikologis, anggota suku juga melaksanakan itu agar tidak diberi label tidak terlibat di dalam adat “lasik wa” bahkan dijadikan buah bibir dalam kehidupan bersama suku Bunak. Sebaliknya ada cela terungkapnya penolakan dalam diri keluarga-keluarga terhadap besarnya jumlah uang yang harus dikumpulkan untuk adat “lasik wa”. Keluarga – keluarga yang masih yunior, kehidupan ekonomi yang pas-pasan, harus mengumpulkan sejumlah uang yang ditetapkan ketua suku, ada protes atau penolakan dalam hati. Keluarga yang ekonominya baik mengumpulkan uang sama jumlahnya dengan keluarga yang ekonomi kelas menengah ke bawah, adalah sebuah cela yang perlu diisi dengan makhluk keadilan dalam adat “lasik wa” dalam adat kematian suku Bunak.
Keadilan itu penting dilaksakanan oleh ketua suku bagi seluruh anggota keluarda dari suku Bunak, khususnya dalam menetapkan jumlah uang yang harus ditanggung oleh setiap keluarga dalam adat “lasik wa” dalam setiap adat kematian di dalam suku Bunak. Cara sederhana untuk menerapkan keadilan dalam melaksanakan adat “ lasik wa” adalah demikian. Ketua suku perlu mengenal setiap anggota keluarga dalam suku Bunak yang dipimpinnya. Mengenal itu meliputi beraneka aspek kehidupan anggota keluarga dalam suku yang dipimpinnya. Dalam gandengan dengan adat “lasik wa” dalam adat kematian yang tidak dapat dihindari setiap keluarga Suku Bunak ini, ketua suku perlu mengenal pendapatan setiap keluarga anggota sukunya, dengan data pendapatan keluarga dalam sukunya itu, menjadi pegangan atau alasan mendasar bagi ketua suku untuk menetapkan jumlah uang yang harus dikumpulkan setiap keluarga dalam sukunya untuk adat “lasikwa” dalam kematian salah seorang anggota sukunya. Mereka yang kaya menerima beban adat “lasik wa” lebih besar dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Keputusan ketua suku pada umumnya selalu diterima oleh anggota suku yang dipimpinnya. Dengan cara ini, ada cahaya keadilan bersinar dalam adat “lasik wa” sebagai satu bagian dari adat kematian dalam suku Bunak di desa Aitoun, Kecamatan Raihat.
Uang adat “lasik wa” itu biasanya tidak dibelanjakan semua. Masih ada sisi uang adat “lasik wa” dalam sebuah adat kematian dalam suku Bunak. Uang itu diketahui oleh ketua suku dan biasanya dipegang oleh bendahara suku. Laporan transparan atas Keuangan itu kepada anggota suku, dalam “lasik wa” dalam adat kematian itu mempertajam saling percaya di antara anggota suku Bunak. Uang sisa itu dapat disimpan atau ditabung dalam tabungan suku misalnya. Tinggal rencana ketua suku dan bendara dan seluruh anggota suku untuk memanfaatkan uang sisa itu bagi kemajuan dan kesejahteraan seluruh anggota suku Bunak. Sebuah Manajemen hati ketua suku untuk kesejahteraan semua keluarga dalam suku Bunak sangat berarti. ***

MELAYANI DENGAN HATI: KETUA RUMAH-RUMAH SUKU DI AITOUN

-->
*P.BENEDIKTUS BERE MALI, SVD*

-->

Adat kematian suku Bunak sangat kompleks. Satu bagian adat kematian adalah “lasik wa”. Setiap anggota suku yang telah berkeluarga menerima dan melaksanakan adat “lasik wa” ini. Beberapa waktu lalu, ada adat kematian di dalam Suku Bunak di Desa Aitoun, Kecamatan Raihat. Ketua Suku menyampaikan kepada anggota sukunya yang berkeluarga untuk melaksanakan adat “lasik wa” ini. Ketua suku menetapkan jumlah uang yang dikumpulkan oleh setiap anggota suku Bunak yang telah berkeluarga untuk adat “lasik wa”. Ketua suku menetapkan jumlah uang yang dikumpulkan itu sekitar Rp.100.000.- per keluarga. Uang itu untuk membeli Babi yang akan dibunuh dan dimakan bersama anggota suku yang hadir, dalam adat kematian itu.
Secara sosial, anggota suku selalu menyetujui keputusan ketua suku untuk mengumpulkan jumlah uang yang telah ditetapkannya untuk pelaksanaan adat “lasik wa”. Secara psikologis, anggota suku juga melaksanakan itu agar tidak diberi label tidak terlibat di dalam adat “lasik wa” bahkan dijadikan buah bibir dalam kehidupan bersama suku Bunak. Sebaliknya ada cela terungkapnya penolakan dalam diri keluarga-keluarga terhadap besarnya jumlah uang yang harus dikumpulkan untuk adat “lasik wa”. Keluarga – keluarga yang masih yunior, kehidupan ekonomi yang pas-pasan, harus mengumpulkan sejumlah uang yang ditetapkan ketua suku, ada protes atau penolakan dalam hati. Keluarga yang ekonominya baik mengumpulkan uang sama jumlahnya dengan keluarga yang ekonomi kelas menengah ke bawah, adalah sebuah cela yang perlu diisi dengan makhluk keadilan dalam adat “lasik wa” dalam adat kematian suku Bunak.
Keadilan itu penting dilaksakanan oleh ketua suku bagi seluruh anggota keluarda dari suku Bunak, khususnya dalam menetapkan jumlah uang yang harus ditanggung oleh setiap keluarga dalam adat “lasik wa” dalam setiap adat kematian di dalam suku Bunak. Cara sederhana untuk menerapkan keadilan dalam melaksanakan adat “ lasik wa” adalah demikian. Ketua suku perlu mengenal setiap anggota keluarga dalam suku Bunak yang dipimpinnya. Mengenal itu meliputi beraneka aspek kehidupan anggota keluarga dalam suku yang dipimpinnya. Dalam gandengan dengan adat “lasik wa” dalam adat kematian yang tidak dapat dihindari setiap keluarga Suku Bunak ini, ketua suku perlu mengenal pendapatan setiap keluarga anggota sukunya, dengan data pendapatan keluarga dalam sukunya itu, menjadi pegangan atau alasan mendasar bagi ketua suku untuk menetapkan jumlah uang yang harus dikumpulkan setiap keluarga dalam sukunya untuk adat “lasikwa” dalam kematian salah seorang anggota sukunya. Mereka yang kaya menerima beban adat “lasik wa” lebih besar dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Keputusan ketua suku pada umumnya selalu diterima oleh anggota suku yang dipimpinnya. Dengan cara ini, ada cahaya keadilan bersinar dalam adat “lasik wa” sebagai satu bagian dari adat kematian dalam suku Bunak di desa Aitoun, Kecamatan Raihat.
Uang adat “lasik wa” itu biasanya tidak dibelanjakan semua. Masih ada sisi uang adat “lasik wa” dalam sebuah adat kematian dalam suku Bunak. Uang itu diketahui oleh ketua suku dan biasanya dipegang oleh bendahara suku. Laporan transparan atas Keuangan itu kepada anggota suku, dalam “lasik wa” dalam adat kematian itu mempertajam saling percaya di antara anggota suku Bunak. Uang sisa itu dapat disimpan atau ditabung dalam tabungan suku misalnya. Tinggal rencana ketua suku dan bendara dan seluruh anggota suku untuk memanfaatkan uang sisa itu bagi kemajuan dan kesejahteraan seluruh anggota suku Bunak. Sebuah Manajemen hati ketua suku untuk kesejahteraan semua keluarga dalam suku Bunak sangat berarti. ***


Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

Selasa, Juli 27, 2010

KEMBALI KE AKAR BUDAYA "AREMA"

Rm. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD





Saya menyampaikan beberapa hal yang mendorong saya untuk menulis buku KEMBALI KE AKAR. Saya pada kesempatan ini memberi tulisan atas buku Pertama " Kembali ke Akar" dengan manambah kata Budaya "AREMA" (Arek-arek Marae), dengan beebrapa alasan mendasar. Pertama, saya termotivasi menulis tentang Budaya asal saya karena sepanjang saya belajar di pendidikan formal dari SD sampai Seminari Tinggi saya belajar tentang budaya orang lain dan saya tidak pernah belajar tentang budaya asal saya. Saya memberanikan diri memulai sesuatu yang baru. Memulai sesuatu yang baru seperti seorang petani yang membuka lahan baru dengan sebuah perjuangan yang luar biasa, untuk mendapat sebuah hasil yang baik bagi diri dan tentu secara sosial bagi anak-cucu. Hanya lewat menulis, anak cucu sesudah kita tahu tentang adat dan budaya kita sendiri. Kita sendiri harus menulis tentang diri sendiri dan kita sendiri harus tahu tentang diri kita sendiri agar orang luar tidak menipu kita dengan pandangan mereka.




Hal kedua yang mendorong saya untuk menulis KEMBALI KE AKAR adalah agar saya yang pastor ini mati dikenang karena sebuah hasil karya. Pastor tidak punya isteri dan tidak punya anak. Mati akan tidak dikenang kalau tidak mempunyai hasil karya BUKU yang resmi. Banyak penulis besar, filsuf, antropolog, seperti Louis Berthe dan Claudine Friedberg dikenanang generasa suku Bunak Sepanjang Masa karena hanya satu hal " MENULIS DAN MENULIS". Terutama MENULIS tentang SUKU BUNAK. Mereka tidak mati. Mereka Selalu HIDUP dalam Tulisannya. Saya dengan Buku KEMBALI KE AKAR telah menempatkan diri dan ditempatkan selevel dengan mereka yang selalu hidup karena MENULIS BUKU.



Hal ketiga yang membuat saya terdorong untuk untuk menulis tentang budaya saya adalah anak-anak muda yang kuliah di Jawa mengalami krisis identitas. Budaya asalnya tidak berakar dan budaya Jawa pun tahu setengah-setengah akhirnya mereka hidup terbawa arus zaman yang tidak tahu tujuannya kemana. ****

UNTUNG ADA YANG TULIS TENTANG ADAT SUKU BUNAK : EN GUA dan A GUA

RM. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD


Siapa yang menjadi penemu Suku Bunak? Secara formal ilmiah penemu suku Bunak adalah LOUIS BERTHE bersama isterinya Dr. Claudine Friedberg.


Louis Berthe menekankan "EN GUA" artinya asal manusia suku Bunak dari Wujud Tertinggi dalam mytos suku Bunak. Sebuah mitos memiliki keunikannya tersendiri. "Dalam mitos, keyakinan atas yang ideal itu umumnya melampaui batas nalar. Hal terpenting dalam mitos memang bukan benar atau salah, logis atau tidak, melainkan yakin atau tidak". (Lihat ACEP IWAN SAIDI : Dosen FSRD ITB, Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB. ACEP sebagai perensesi Buku yang berjudul JANTUNG LEBAH RATU, HIMPUNAN PUISI, KARYA NIRWAN DEWANTO. Resensi bukunya itu termuat dalam KOMPAS, Minggu 14 Desember 2008, halaman 11. JUDUL RESENSI: MITOS BARA BIRU NIRWAN DEWANTO).



Mitos ini digali dari keyakinan Suku Bunak oleh anropolog suku Bunak, LOUIS BERTHE. Suku Bunak yakin bahwa manusia suku Bunak berasal dari Wujud Tertinggi. Keyakinan yang sudah berakar dalam diri manusia suku Bunak itu yang terungkap dalam Karya Monumental LOUIS BERTHE : BEI GUA artinya perjalnan leluhur suku Bunak dalam mitos. Mitos itu dirangkai dalam kata sastra yang diceriterakan lisan dalam upacara adat resmi bukan ditulis dan dibacakan. Mitos lisan itulah yang beralih menuju mitos tertulis sehingga tidak hilang oleh antropolog LOUIS BERTHE yang menemukan kembali mitos yang hampir hilang. Sumbangan dan kerja keras Louis Berthe sangat berarti dan harus diberi apresiasi yang lebih. Unsur lebih itu harus terungkap dalam budaya menulis oleh orang Bunak Sendiri.


Saya secara pribadi sebagai darah daging leluhur suku Bunak, lebih setuju kalau judul itu diberi EN GUA, artinya asal-usul manusia. En artinya manusia. Gua artinya jejak, sejarah, asal-usul. En mengandung arti manusia laki-laki dan perempuan sekaligus. Meskipun saya apresiasi yang luar biasa kepada Louis Berthe.


Sementara itu Claudine friedberg isteri Louis Berthe, menemukan suku Bunak dalam ilmu etnobotani. Kalau Louis Berteh menulis tentang BEI GUA artinya asal-asul manusia suku Bunak dalam Mitos yang sangat diyakini oleh suku bunak yang hidup religius, sedangkan Claudine Friedberg menulis tentang Suku Bunak dengan fokusnya A GUA artinya asal manusia digali dari biologi Suku Bunak, yaitu dari tumbuhan dan hewan dalam pola pemahaman suku Bunak yang diangkat ke taraf ilmiah. Claudine Friedberg ini sekarang menjadi profesor emeritus tinggal di litbangnya di Paris- Prancis. Mereka berdua patut diberi apresiasi yang tinggi, karena mengangkat identitas manusia suku Bunak dari budaya lisan kepada budaya tulisan. Dengan tulisan mereka mengabadikan identitas alamiah suku Bunak. Suku Bunak kembali ke Asalnya lewat pintu lebar yang telah dibuka oleh kedua Bapa dan Mama penemu suku Bunak ini.***

Mengarak Budaya Lisan "AREMA" Kembali ke Akar Budaya Tulisan

Rm. BENDIKTUS BERE MALI, SVD


Saya melihat Bapa Louis Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai gembala yang mencari dan menemukan Budaya Lisan "AREMA" (arek-arek Marae, anak-anak Marae)yang hilang dan membawanya kembali ke Akar budaya tulisan. Nilai-nilai budaya yang diungkapkan secara lisan dalam mitos dan telah nyaris hilang dicari dan ditemukan serta dibawa kembali ke kandang mitos yang tertulis dalam karya monumental mereka sehingga setiap generasi muda suku Bunak yang sedang berada di persimpangan jalan, mana jalan suku Bunak mana jalan kemanusiaan mana jalan religius dapat menemukan kembali jalannya menuju hakekat pribadi sebagai suku Bunak karena ada rambu-rambu peringatan tertulis secara ilmiah dari Bapa Lous Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai orang tua yang melahirkan kembali Nilai suku Bunak untuk kedua kalinya. Nilai-nilai budaya telah lahir dari rahim leluhur suku Bunak dalam mistos dan lahir kedua dalam mitos yang ditulis dalam karya monumental mereka dalam kandungan bahasa Prancis dan kini bagi para generasi suku Bunak untuk membawa kembali ke rahim suku bunak dalam bahasa ibu Pertiwi Suku Bunak dan ibu pertiwi Indonesia agar nilai-nilai itu kembali akrab dengan suku Bunak. Kelahiran ketiga ini dinanti-nantikan oleh semua manusia suku bangsa bunak. Suku Bunak merasa yakin kelahiran dan kedatangan ketiga ini pasti terjadi berkat atau lewat tulisan - tulisan suku Bunak sendiri.



Yes You Can. Kata-kata ini akan bergema di hati nurani suku Bunak untuk mulai merasa diri yakin untuk menulis tentang budayanya sendiri dengan berguru pada Bapa Louis Berthe dengan mama Claudine friedberg. Kamu mau kamu bisa. "Arema" harus menukik lebih dalam dalamnya lautan adat Suku Bunak dengan satu tujuan mulia, anak muda suku Bunak membangun dari dalam Suku Bunak melalui tulisan. Tulisan awal barangkali sederhana, dan pasti sebagai pembuka pintu yang tertutup bagi generasi suku Bunak sepanjang masa untuk menyempurnakannya. Yang sederhana, yang menyusul diharap lebih menyempurnakannya.****

VOKAL DALAM BAHASA MARAE DAN ARTINYA

RM. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD


Dalam bahasa Bunak ditemukan arti dari setiap huruf vokal yang terdiri dari huruf-huruf A, I, U, E, O. Huruf A mempunyai arti makan. Huruf vokal I berarti kita dan arti kedua atau arti lain dari vokal I adalah menggigit. Huruf vokal U berarti rumput atau arti lain hidup. Huruf vokal E berart garam. Vokal O artinya udang. Gabungan huruf dua huruf vokal juga mempunya arti tersendiri. Misalnya AI artinya tanta. AU artinya bambu. AE artinya memberi makan kepada. AO artinya memanah. IA artinya memakan Anda. IU artinya berulat. IE artinya milikmu. IO artinya kotoranmu atau tahimu. UA artinya jejakmu. UI artinya ulat. UE artinya memukul. EA artinya memberi makan kepadamu. EI artinya mereka. OE artinya rotan. Inilah keunikan bahasa BUNAK menarik pembaca khususnya "AREMA", arek-arek Marae, putera puteri Marae untuk terus mendalami bahasa ibu ini. Kembali ke Akar "AREMA"

Selasa, Juli 20, 2010

MENATA MUTIARA " AREMA" YANG TERCECER

Di Soverdi ST. ARNOLDUS SURABAYA, Minggu Pesta Keluarga Kudus dari Nazareth 28 Desember 2008 Pukul 17.30 – 20.00 WIB, P. Benediktus Bere Mali, SVD merekam Penjelasan Isi Ringkas Buku Buku BEI GUA yang ditulis oleh Louis Berthe. Hasil ringkasan isi buku itu disampaikan oleh P. PIENIAZEK Josef SVD secara lisan, setelah beliau membaca Buku BEI GUA berbahasa Prancis selama dua Minggu. Hasil ringkasan itu kemudian direkam dan ditulis kemudian diedit oleh P. PIENIAZEK Josef SVD, lalu menghasilkan Ringkasan Final sebagai berikut.



Menata Mutiara Arema yang tercecer merupakan tugas dan tanggungjawab setiap putera dan puteri "AREMA" arek-arek Marae", anak-anak Suku Bunak. Isi Buku ini sebagai titik berangkat bagi setiap "AREMA" menata Kekayaan Budaya yang tercecer.


RM.BENEDIKTUS BERE MALI SVD




Louis Berthe Mengadakan penelitian dua tahap.Tahap pertama 1957 –1959, kurang lebih 14 bulan. Tahap kedua 1966. Buku BEI GUA ini diterbitkan pada 1972. Claudine Friedberg, Isteri Louis Berthe yang menerbitkannya. Menurut catatan kritis Claudine Friedberg, isteri Louis Berthe ini, teks yang dikumpulkan dalam BUKU BEI GUA itu tidak lengkap. Nyanyian-nyanyian tentang asal-usul suku Bunak itu dilagukan atau didaraskan oleh penyanyi khusus dalam Suku Bunak yang dilaksanakan pada pesta-pesta besar yaitu penguburan atau kematian dan pada pesta panen. Ada banyak cerita mitos dalam Buku BEI GUA ini yang tidak dikenal atau belum dimengerti kecuali oleh sumber asli yaitu orang-orang tua yang saat ini masih mengenal baik ceritera-ceritera mitos asal-asul nenek moyang. Sementara ini Claudine Friedberg mengakui bahwa teks yang dikumpulkan dalam buku BEI GUA ini belum lengkap.




Judul Perjalanan mengandung dua arti pertama, perjalanan satu angkatan ke angkatan yang berikut atau lain. Kedua, perjalanan nenek moyang dari satu tempat ke tempat yang lain. Ada tiga cerita tentang sejarah asal-usul nenek moyang atau suku-suku atau keluarga-keluarga dalam suku Bunak yaitu pertama, Oburu. Kedua, Sibiri. Ketiga, Luta. Selain itu ada empat tempat penting yang menjadi sorotan dalam cerita atau sejarah nenek moyang itu adalah pertama, Henes. Kedua Nualain. Ketiga, Gewal. Keempat, Lakmaras.



Nyanyian atau puisi Bunak dalam buku BEI GUA membenarkan situasi sosial yang ada sekarang, situasi sosial politik yang ada sekarang. Bukan untuk menjelaskan asal-usul suku. Ada tiga kelompok atau kelas atau semacam kasta dalam suku Bunak yaitu kelompok bangsawan, kelompok biasa dan kelompok budak. Kelompok Oburu dipandang sebagai yang turun dari Surga atau dari atas.


Nyanyian ini dinyanyikan pada kesempatan tertentu dan oleh orang tertentu yang ahli. Khusus tentang penciptaan duniawi sebagai sesuatu yang tidak dinyanyikan karena rahasia. Itu hanya diturunkan kepada generasi berikut pada saat dia hendak meninggal. Penurunan itu hanya kepada orang tertentu saja.



Dalam Buku BEI GUA ini, melukiskan kekuasaan atau otoritas atau hak-hak dan sebagainya tidak bergantung pada material tanah atau luasnya wilayah geografis. Tetapi otoritas dan kewibawaan itu berdasarkan sumber berupa tanda otoritas yaitu LAMBANG atau SIMBOL khusus yaitu bisa Patung atau gambar atau emas dan senjata atau KALUK atau kekuatan magis yang berharga dalam dirinya sendiri. Lambang itu tersembunyi dan dapat dibawa ke tempat lain. Lambang itu memberi kekuatan dan kewibawaan bagi seseorang yang berkuasa atau memimpin suku Bunak. Lambang atau symbol itu menjadi kekuatan magis yang memberi kekuasaan dan kewibaan seorang penguasa dalam suku Bunak.



Perjalanan nenek moyang itu terungkap dalam judul buku karena diceriterakan dari satu tempat yang khusus ke tempat yang lain yang berbeda-beda. Dengan kata lain Buku Bei Gua ini berisi cerita menyangkut orang-orang yang hidupnya nomaden. Ceritera itu ada yang terputus-putus dan tidak logis atau ada lobangnya, ada berbagai variasi cerita tentang perjalanan nenek moyang dalam menjelaskan tentang satu pokok peristiwa. Tergantung orang mau menekankan atau membatasi analisa yang terbatas pada satu variasi dari sudut pandang disiplin ilmu tertentu untuk mengenal manusia suku Bunak yang multidimensi.



Dalam buku BEI GUA, melukiskan tentang tiga macam manusia yaitu pertama, berasal dari surga atau dari atas. Manusia berasal dari atas adalah Luta. Kedua, berasal dari bawah dari dalam tanah yang dikenal berasal dari tanaman yang tumbuh di atas tanah yaitu secara khusus Jeruk. Ketiga, manusia yang ada sekarang yang konkret.


Mengenai penciptaan manusia; ada tiga tingkatan yaitu OBURU, LUTA, SIBIRI.


Cerita mengenai mengambil wanita dari suku yang lain. Pengambilan wanita dari suku lain menjadi anggota suku yang baru terfokus pada persaudaraan Malu dengan Aiba’a atau disingkat hubungan relasi adat Malu-Ai. Relasa adat malu-ai ini terus berkembang dalam kehidupan adat suku Bunak dewasa ini.



Wujud Tertinggi : SATU MATA, SATU TANGAN, SATU TELINGA, SATU KAKI, TIDAK MENGANDUNG, TIDAK MELAHIRKAN. Wujud Tertinggi dari langit ke tujuh, dari satu rumah adat, dari satu mesbah yang pertama dan utama.



Dari yang tertinggi ini turunlah ANA LIURAI dengan pasangan hidupnya yang melahirkan atau menciptakan Bulan dan Matahari. Kelahiran generasi selanjutnya lihat nama-nama dalam teks dalam Buku BEI GUA, bagian Cosmogoni.

OBURU:


Isteri mereka atau wanita dari babi hutan dan Jeruk. Isteri itu tidak dibeli tetapi hasil memburu babi hutan yang berubah menjadi manusia – isteri. Kemudian mereka melihat atau menemukan Jeruk dan dari jeruk ini berubah menjadi manusia. Isteri dari Jeruk yang berubah menjadi manusia.



SIBIRI :


Wanita yang pertama dari IKAN yang berubah menjadi manusia. Pengalaman ini waktu menangkap ikan.


LUTA :


Wanita itu dari hasil inces antara saudara dengan saudari, dan antara anak dengan ibunya.


Jaringan – hubungan antara masyarakat terjadi perkawinan dalam suku dan melalui suku luar melalui persekutuan, perjanjian dan sumpah dan sebagainya.



Ada dua (2) jalan yaitu Pertama, Dingin yaitu melalui persetujuan dan menjadi hubungan keluarga. Kedua, Melalui jalan panas yaitu melalui jalan perang antara satu suku dengan suku yang lainnya.


Ada dua (2) Jalan nenek moyang yaitu pertama, penduduk asli dan kedua, pendatang – tapi tidak diketahui dari mana asalnya.



Ketua penyanyi itu mempunyai kesulitan tersendiri. Setiap ketua penyanyi dari tempat yang satu berbeda versinya dari ketua penyanyi dari tempat yang berbeda.



BUNAK :


Pertama, Secara struktur dipandang sebagai satu negara. Kedua, secara pembentukan ritus-ritus yang paling kaya memiliki obyek organisasi sosial yang melarang inces. Ketiga, hubungan perkawinan dalam keluarga-keluarga dalam relasi malu-ai.

Pada suku Bunak itu hubungan malu-ai itu dibentuk secara kontinyu dalam mengarungi waktu.


Beri tanda – sumber lambang – lambang kekuasaan itu dari dunia di atas.


Cerita tentang MAU IPI GULOQ:


Buruh babi hutan. Babi berubah menjadi dua wanita. Satu cantik sekali. Dua saudara rebut yang paling cantik. Mereka ribut dan akhirnya mereka saling membunuh. Lalu wanita yang cantik itu datang dan membangkitkan MAU IPI GULOQ itu, dengan menggunakan air khusus. Akhirnya Mau IPI GULOQ mendapat dua isteri itu dan menjadi Raja. Dua isteri itu dari babi hutan yang diburu yang telah berubah menjadi manusia, dan wanita itu berasal dari buah jeruk yang ditemukan di hutan dalam perburuan babi hutan. Jeruk itu berubah menjadi manusia, wanita yang sangat cantik sekali. Asa Paran merasa iri terhadap Mau IPI GULOQ. Maka Asa Paran menyuruh Mau Ipi GULOQ naik pohon lantas Asa Paran menumbangkan pohon itu dan MAU IPI GULOQ mati. Isterinya tidak tahu. Lantas dua anjing diutus pergi tempat kematian MAU IPI GULOQ karena kejahatan Asa Paran. Menemukan mayat MAU IPI GULOQ sudah berulat, tetapi dia dibangkitkan kembali oleh isterinya. Kemudian dia bangun dan normal sebagai manusia. Anjing itu menjadi dua wanita yang cantik. Kedua wanita dari kedua anjing yang berubah menjadi manusia itu menggunakan minyak itu membuat badan itu menjadi utuh kembali – sehat kembali. Asa Paran heran sekali ketika melihat MAU IPI GULOQ hidup dan sehat.



Kerangka ringkas Buku BEI GUA:




I. Penciptaan Manusia



II. Keluarga Oburu – Marobo __________ di sini ada cerita tentang MAU IPI GULOQ memiliki 2 isteri yang awalnya dari babi hutan dan jeruk yang menjadi manusia – wanita yang menjadi isteri MAU IPI GULOQ. Kemudian dua isteri berikut dari dua ekor anjing yang menjadi manusia –wanita yang membangkitkan Mau IPI GULOQ dan menjadi isteri MAU IPI GULOQ yang menjadi Raja.



III. LUTA – DATO ZOPATA



IV. SIBIRI – KAILAUQ



V. A TURUL TUK – SIOL WA ______ Pertemuan 3 suku yaitu Oburu, Sibiri dan Luta



VI. Tinggal Tetap dan Misi Dewa Kera yang berfungsi sebagai perantara.



VII. Sumpah Ikatan antara HULO – LEP ____ Dua bambu yang magis dan keluarga – keluarga atau suku –suku.



VIII. Rumah- rumah atau keluarga-keluarga yang sekarang tinggal di HENES PAQEL – HOL SOSEK _________ Ada dua bagian penting dalam hal ini yaitu terdiri dari :Pertama, Pendasaran keluarga-keluarga di HENES PAQEL – HOL SESUK. Kedua, Asal-usul dari tiga (3) rumah atau keluarga bangsawan yaitu : Pertama , IU GEWEN – HOL LAPIT; kedua, LIANAIN BEIN MONE; HAU POR.



***

Kamis, Mei 07, 2009

VOKAL DALAM BAHASA BUNAK

Dalam bahasa Bunak ditemukan arti dari setiap huruf vokal yang terdiri dari huruf-huruf A, I, U, E, O. Huruf A mempunyai arti makan. Huruf vokal I berarti kita dan arti kedua atau arti lain dari vokal I adalah menggigit. Huruf vokal U berarti rumput atau arti lain hidup. Huruf vokal E berart garam. Vokal O artinya udang. Gabungan huruf dua huruf vokal juga mempunya arti tersendiri. Misalnya AI artinya tanta. AU artinya bambu. AE artinya memberi makan kepada. AO artinya memanah. IA artinya memakan Anda. IU artinya berulat. IE artinya milikmu. IO artinya kotoranmu atau tahimu. UA artinya jejakmu. UI artinya ulat. UE artinya memukul. EA artinya memberi makan kepadamu. EI artinya mereka. OE artinya rotan. Inilah keunikan bahasa BUNAK.

Jumat, Februari 27, 2009

ANEKA MANUSIA BUNAK BERARAK MENUJU PUSAT KEMANUSIAAN

Penduduk suku Bunak itu beraneka. Satu keanekaan yang nyata muncul adalah penduduk suku Bunak itu terbagi dalam suku-suku kecil yang tersebar di seluruh Kecamatan Lamaknen dan Kecamatan Raihat, khususnya di desa Aitoun. Desa Aitoun sendiri memiliki kurang lebih tiga puluh suku kecil. Keanekaan ini merupakan sebuah kekayaan budaya. Tetapi juga tidak menutup pintu terhadap potensi konflik. Supaya potensi perpecahan tidak terjadi perlu dibangun persamaan pola pikir suku Bunak. Pola pikir itu adalah sederhana. Perjalanan setiap suku menuju satu koridor yang benar. Jalan itu adalah jalan menuju satu tujuan yaitu menuju kemanusiaan. Maka semua isme dalam suku-suku kecil harus dijernihkan dalam pencerahan lewat berbagai cara agar orang yang masih merasa suram matanya dalam melihat terang kemanusiaan sebagai pusat dapat disembuhkan. Untuk itu semua pihak dilibatkan dan merasa diri terlibat dalam perjalanan menuju TERANG KEMANUSIAAN yang menjadi pusat hidup kita semua manusia suku Bunak yang sedang berjalan menuju tujuan yang satu dan sama itu. Kita bisa. Kalau mau. ***

Banyak Manusia Satu Kemanusiaan

Perjalanan hisdupku sangat berfariasi. Selama menuntut ilmu di bangku sekolah dasar saya menempati dua sekolah dasar dengan bahasa ibu yang berbeda-bede. Di SDI Wehasan Kecamatan Lasiolat pada saat ini, berbahasa Tetum. Saya sendiri bukan orang Wehasan dan bukan berbahasa ibu Tetum. Saya berbahasa ibu Bunak atau Marae. Waktu itu tahun 1982 dan 1983. Teman-teman di daerah setempat melihat saya sebagai orang pendatang dan selalu menempatkan diri saya sebagai kelas dua. Saya memang merasakan itu dan saya merasa agak terasing dengan keberadan penempatn diri saya sebagai orang yang berada di kelas dua. Saya menerima itu walau agak sakit hati menghadapi keadaan itu. Namun saya tidak putus harapan. Saya dalam keadaan sosial menempatan diri saya berada pada kelas dua seperti itu saya membangun satu strategi yang lebih positif yaitu saya berjuang menempatkan diri pada yang pertama lewat jalur yang lain. Jalur lain itu adalah belajar keras dan tekun serta disiplin sehingga nilai selalu baik dan saya mendapat rengking yang pertama. Strategi ini mengurangi bahkan membangun rasa sungkan dalam diri sesama untuk terus-menerus menempatkan diri saya pada posisi kelas dua. Dalam bidang pendidikan formal, saya sangat diandalkan. Saat itu saya semakin termotivasi untuk menjadi yang pertama dalam bidang pendidikan. Caranya adalah rajin ke sekolah. Rajin mendengarkan penjelasan guru di kelas dan mencatatnya. Pendidikan yang maju mengurangi tekanan sosial yang cenderung primordial.




Pengalaman pendatang berhadapan dengan penduduk setempat terus menggema dalam perjalanan hidup. Pada tahun 1995 sampai saat ini saya bukan hidup di tanah kelahiran saya sendiri. Saya hidup sebagai pendatang di Pulau Jawa. Keberadaan saya di tempat lain sebagai pendatang, ketika berhadapan dengan penduduk setempat, selalau secara spontan atau secara terencana sadar, penduduk setempat kerap menempatkan pendatang sebagai orang berada pada orang lemah yang belum sempurna seperti pendidik setempat. Pada sebuah acara santai makan bersama di sebuah rumah makan sederhana, seorang penduduk setempat memandang dan menilai bahwa seorang pendatang dengan penampilan yang berbeda, sebagi orang yang kurang mampu dibndingkan dengan dirinya sebagai penduduk setempat. Mendengar itu saya tertawa dalam hati dan memmakai topeng menjawabinya dengan apa yang diingini penduduk setempat sebagai penilai agar tidak menimbulkan sebuah persoalan yang baru.



Saya merenung bahwa penilai itu pada dasarnya masih tertinggal satu langkah tentang pemahaman atau pola pikirnya. Saya menilai bahwa penilai itu orang yang sombong dan merasa superior dalam arti secata sosial sebagai tuan tanah atau penduduk setempat. Saya sendiri merasa bersyukur bahwa pada hakekatnya semua manusi berbeda penampilan lahiriah itu memiliki satu kemanusiaan yang sama. Setiap manusia diberi kemampuan untuk maju dalam waktu yang diberikan oleh sang pencipta. waktu sama dan kemampuan diberikan sang pencipta. Siapa yang rajin dan tekun memakai kemampuan dan mempertajam kemampuan dalam waktu itu pasti akan berkembang maju. Jadi bukan soal pendatang atau penduduk setempat yang menentukan orang itu maju atau mundur. ***

Minggu, Desember 14, 2008

PENEMU BUDAYA YANG HILANG

Saya melihat Bapa Louis Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai gembala yang mencari dan menemukan Budaya Lisan yang hilang dan membawanya kembali ke kandang budaya tulisan. Nilai-nilai budaya yang diungkapkan secara lisan dalam mitos dan telah nyaris hilang dicari dan ditemukan serta dibawa kembali ke kandang mitos yang tertulis dalam karya monumental mereka sehingga setiap generasi muda suku Bunak yang sedang berada di persimpangan jalan, mana jalan suku Bunak mana jalan kemanusiaan mana jalan religius dapat menemukan kembali jalannya menuju hakekat pribadi sebagai suku Bunak karena ada rambu-rambu peringatan tertulis secara ilmiah dari Bapa Lousi Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai orang tua yang melahirkan kembali Nilai suku Bunak untuk kedua kalinya. Nilai-nilai budaya telah lahir dari rahim leluhur suku Bunak dalam mistos dan lahir kedua dalam mitos yang ditulis dalam karya monumental mereka dalam kandungan bahasa Prancis dan kini bagi para generasi suku Bunak untuk membawa kembali ke rahim suku bunak dalam bahasa ibu Pertiwi Suku Bunak dan ibu pertiwi Indonesia agar nilai-nilai itu kembali akrab dengan suku Bunak. Kelahrian ketiga ini dinanti-nantikan oleh semua manusia suku bangsa bunak. Suku Bunak merasa yakin kelahiran dan kedatangan ketiga ini pasti terjadi berkat atau lewat tulisan - tulisan suku Bunak sendiri.


Yes You Can. Kata-kata ini akan bergema di hati nurani suku Bunak untuk mulai merasa diri yakin untuk menulis tentang budayanya sendiri dengan berguru pada Bapa Louis Berthe dengan mama Claudine friedberg. Kamu mau kamu bisa.

Penemu Suku Bunak

Siapa yang menjadi penemu Suku Bunak? Secara formal ilmiah penemu suku Bunak adalah LOUIS BERTHE bersama isterinya Dr. Claudine Friedberg. Keduanya menulis tentang Bunak dari sudut Antropologi Budaya dan Bioantropologi. Louis Berthe menekankan "EN GUA" artinya asal manusia suku Bunak dari Wujud Tertinggi dalam mytos suku Bunak. Sebuah mitos memiliki keunikannya tersendiri. "Dalam mitos, keyakinan atas yang ideal itu umumnya melampaui batas nalar. Hal terpenting dalam mitos memang bukan benar atau salah, logis atau tidak, melainkan yakin atau tidak". (Lihat ACEP IWAN SAIDI : Dosen FSRD ITB, Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB. ACEP sebagai perensesi Buku yang berjudul JANTUNG LEBAH RATU, HIMPUNAN PUISI, KARYA NIRWAN DEWANTO. Resensi bukunya itu termuat dalam KOMPAS, Minggu 14 Desember 2008, halaman 11. JUDUL RESENSI: MITOS BARA BIRU NIRWAN DEWANTO). . Mitos ini digali dari keyakinan Suku Bunak oleh anropolog suku Bunak, LOUIS BERTHE. Suku Bunak yakin bahwa manusia suku Bunak berasal dari Wujud Tertinggi. Keyakinan yang sudah berakar dalam diri manusia suku Bunak itu yang terungkap dalam Karya Monumental LOUIS BERTHE : BEI GUA artinya perjalnan leluhur suku Bunak dalam mitos. Mitos itu dirangkai dalam kata sastra yang diceriterakan lisan dalam upacara adat resmi bukan ditulis dan dibacakan. Mitos lisan itulah yang beralih menuju mitos tertulis sehingga tidak hilang oleh antropolog LOUIS BERTHE yang menemukan kembali mitos yang hampir hilang. Sumbangan dan kerja keras Louis Berthe sangat berarti dan harus diberi apresiasi yang lebih. Unsur lebih itu harus terungkap dalam budaya menulis oleh orang Bunak Sendiri.


Sementara itu Claudine friedberg isteri Louis Berthe, menemukan suku Bunak dalam ilmu bioantropologinya. Kalau Louis Berteh menulis tentang BEI GUA artinya asal-asal manusia suku Bunak dalam Mitos yang sangat diyakini oleh suku bunak yang hidup religius, sedangkan Claudine Friedberg menulis tentang Suku Bunak dengan fokusnya A GUA artinya asal manusia digali dari biologi Suku Bunak, yaitu dari tumbuhan dan hewan dalam pola pemahaman suku Bunak yang diangkat ke taraf ilmiah. Claudine Friedberg ini sekarang menjadi profesor emeritus tinggal di litbangnya di Paris. Mereka berdua patut diberi apresiasi yang tinggi, karena mengangkat identitas manusia suku Bunak dari budaya lisan kepada budaya tulisan. Dengan tulisan mereka mengabadikan identitas alamiah suku Bunak. Suku Bunak kembali ke Asalnya lewat pintu lebar yang telah dibuka oleh kedua Bapa dan Mama penemu suku Bunak ini.***

ALASAN MENULIS BUKU KEMBALI KE AKAR

Saya menyampaikan beberapa hal yang mendorong saya untuk menulis buku KEMBALI KE AKAR. Pertama, saya termotivasi menulis tentang Budaya asal saya karena sepanjang saya belajar di pendidikan formal dari SD sampai Seminari Tinggi saya belajar tentang budaya orang lain dan saya tidak pernah belajar tentang budaya asal saya. Saya memberanikan diri memulai sesuatu yang baru. Memulai sesuatu yang baru seperti seorang petani yang membuka lahan baru dengan sebuah perjuangan yang luar biasa, untuk mendapat sebuah hasil yang baik bagi diri dan tentu secara sosial bagi anak-cucu. Hanya lewat menulis, anak cucu sesudah kita tahu tentang adat dan budaya kita sendiri. Kita sendiri harus menulis tentang diri sendiri dan kita sendiri harus tahu tentang diri kita sendiri agar orang luar tidak menipu kita dengan pandangan mereka.

Hal kedua yang mendorong saya untuk menulis KEMBALI KE AKAR adalah agar saya yang pastor ini mati dikenang karena sebuah hasil karya. Pastor tidak punya isteri dan tidak punya anak. Mati akan tidak dikenang kalau tidak mempunyai hasil karya BUKU yang resmi.

Hal ketiga yang membuat saya terdorong untuk untuk menulis tentang budaya saya adalah anak-anak muda yang kuliah di Jawa mengalami krisis identitas. Budaya asalnya tidak berakar dan budaya Jawa pun tahu setengah-setengah akhirnya mereka hidup terbawa arus zaman yang tidak tahu tujuannya kemana.