Sabtu, Januari 12, 2008

DAFTAR DATA DAN INFORMASI TENTANG SUKU BANGSA BUNAQ

Dalam bagian ini, penulis memaparkan tema-tema penting tentang kebudayaan Suku Bangsa Bunaq. Suku bangsa Bunaq mengungkapkan diri dalam budayanya. Kebudayaannya yang tersistematisasi kemudian membentuk pola lakunya. Sejauhmana kebudayaan mendukung kehidupan kemanusiaan manusia Bunaq, dapat mengetahuinya melalui kebudayaannya sebagaimana tercetus di dalam seluruh penguraian berikut.



1. Kebudayaan Suku Bunaq


Setiap manusia berbudaya. Manusia menciptakan budaya, dan kebudayaan hasil ciptaannya itu kemudian tersistematisasikan lantas sistem itu sebagai ketertaan yang menata keterarahan kehidupannya. Selanjutnya pada gilirannya manusia memperbaharui sistem kebudayaannya demi menghadirkan perikemanusiaan kepermukaan sistem kebudayaan dan kemanusiaan itu menjadi jantung sistem budaya yang mengatur tata kehidupan bersama. Ketika menusia menciptakan budaya, posisi manusia sebagai subyek atas budayanya. Sebaliknya ketika kebudayaannya membentuk Suku bangsa Bunaq, posisi kebudayaannya sebagai subyek. Hubungan dialektika antara kebudayaan dan manusia terarah pada kehidupan yang manusiawi. Dengan demikian budaya yang menjamin kehidupan yang manusiawi terpelihara dan dilestarikan, dan yang tidak baik dalam arti tidak manusiawi lagi ditransformasi untuk menjadikan budaya yang semakin insani. Artinya budaya menjamin bagi tindakan yang manusiawi, bukan mendungukan manusia dan tertindas oleh budayanya.


Manusia Bunaq adalah bagian dari manusia di dunia yang berbudaya. Suku Bangsa Bunaq menciptakan dan tercipta oleh budayanya. Paparan berikut adalah penyelaman ke dalam budaya suku Bunaq dengan tujuan untuk lebih mengenalnya dan sejauh mana kepedulian budaya suku bunaq akan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.


2. Arti kata “Bunaq” dan Asal-Usul Suku Bunaq



Kata “bunaq” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku bangsa bunaq sendiri, untuk menyebut suku bangsa bunaq dan bahasa bunaq. Secara teritorial, suku bangsa Bunaq berdiam di Lamaknen, Aitoun, Makir dan Lamaksenulu.
Mereka ini menggunakan bahasa Bunaq dalam berkomunikasi. Bahasa Bunaq terbagi dalam dua jenis yaitu bahasa sehari-hari dan bahasa adat. Bahasa komunikasi sehari-hari bermakna eksplisit dan mudah dimengerti oleh semua pihak. Bahasa Adat sarat makna implisit dan simbolis, hanya dimengerti oleh tokoh-tokoh adat dan para ketua suku dan berlaku saat berlangsungnya upacara adat.



Contoh En Bunaq artinya orang bunaq. Bunaq giol berarti bahasa Bunaq. Kata “Marae” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku bangsa Tetum, untuk menyebut suku bangsa Bunaq dan Bahasa Bunaq. Contoh Ema Marae berarti orang Marae juga berarti orang Bunaq. Lia Marae berarti Bahasa Marae juga berarti bahasa Bunaq.



Kata “Tetum” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku Bunaq, untuk menyebut suku bangsa Tetum dan bahasa Tetum. Contoh Ema Tetum berarti orang Tetum, Lia Tetum berarti bahasa Tetum. Kata “Momut” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku Bunaq, untuk menyebut suku bangsa Tetum dan Bahasa Tetum. Contoh En Momut berarti orang Momut, orang Tetum. Momut giol berarti bahasa Momut, bahasa Tetum.


Orang Bunaq tidak memakai kata “Marae” untuk menyebut suku bangsa dan bahasa Bunaq. Orang Tetum tidak memakai kata “Momut” untuk menyebut suku bangsa dan bahasa Tetum.


3. Arti dan Asal Mula Nama Suku Bunaq.


Nama Bunaq sebagai nama asli dari suku bangsa ini baru saja diperkenalkan dan dilasimkan oleh bekas Raja Lamaknen A.A.Bere Tallo, sejak tahun 1950-an. Nama populernya ialah Marae. Bahasa Bunaq dipakai oleh Suku Bangsa Bunaq, yang mendiami bekas swapraja Lamaknen di wilayah Timor Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Juga banyak orang Bunaq yang mendiami wilayah-wilayah yang berbahasa Tetum seperti Kedesaan Aitoun, Litamali, Kamanasa, Suai, Kletek, Sukabinawa dan Babulu. Di samping itu suku bangsa Bunaq mendiami wilayah yang luas pula di Timor-Timur yakni Wilayah Daerah Tingkat II Bobonaro (bekas keliuraian Lolotoi, Lakus, Bobonaru, Aiasa, Memu, Maliana dan Hoololo). Di samping itu terdapat pula di Kecamatan Fatululi dalam wilayah Kabupaten Kobalima. Baik orang-orang Bunaq di Timor-Timur maupun Belu mempunyai leluhur yang sama dan hubungan darah langsung yaitu semuanya berasal dari Timor-Timur. Menurut Dr.Ormeling bahwa suku Marae adalah satu suku bangsa yang mendiami pegunungan Lamaknen dan sekitar jajaran bukit Lakus dan Nabilwa. Ia mempunyai banyak perbedaannya dengan suku Bangsa Belu yang berbatasan dengannya, dalam hal bahasa dan kebudayaannya. Mereka ini juga merupakan salah satu dari suku-suku bangsa yang tua yang lebih dahulu mendiami Pulau Timor. Menurut pendapat Nona Keers tahun 1948 mereka tidak termasuk di dalam kelompok bangsa-bangsa Melayu, karena tempurung tengkorak kepalanya yang lebih besar. Gopell tahun 1944 menyatakan bahwa bahasa Bunaq memperlihatkan segala ciri-ciri dari bahasa Irian. Demikian Dr.Ormeling (hal 71). Tetapi bila kita mengikuti tulisan dari Raja Lamaknen (A.A.Bere Tallo) di dalam bukunya “ Pandangan Umum Wilayah Belu Tahun 1957 hal. 4-5 di mana dikatakan bahwa Lamaknen terdiri dari 6 suku yaitu: Luta Rato Jopata; Lakulo Samoro; Sibiri Kailau, Roikun Robulan Oburo Maboro, Ton Ba Ton Way. Mereka bersama-sama mendiami Lamaknen setelah didesak penghuni asli yang disebut orang Melus atau Kenurawan.



Mengenai asal-usul dan masa kedatangan enam suku ini bermacam-macam. (1) Latu Rato Jopata dan (2) Roikun Robulan berasal dari Siawa Mugiwa (Hindia Muka?), Sina Mutin Malaka, Galelu Gowa, Lubu rato Salower (Selayar?) dan bergerak terus menuju pantai selatan lalu mendarat di Kamanasa Kolobila. Dari sana mereka berpindah menuju Luta Rato Jopata, akhirnya di Kewar. Sedangkan Roikun Robulan terus ke Amanuban dan kembali melalui Hatu Koba (Fatu Koba) Rai Tula, Weto Maubesi, terus melalui Mandeu-Sarabau menetap di Fulur. (3) Lakulo Samoro dan (4) Sibiri Kailau serta (5) Oburo Marobo berasal dari Kanua Maliana, Kukun Hitu Lamak Hitu, Lemel Netel Bolnetel lalu ke Lamaknen. (6) Ton Ba Ton Way berasal dari Sia Wa Mugi Wa Sia Wa Batola, Sina-Mutin-Malaka, Galelu Gowa, Laburato Salower dan berlayar terus menuju ke pantai selatan, di Kamanasa Kolobila lalu kemudian ke Lamaknen.
Dengan akal dan muslihatnya, Luta Rato Jopata berhasil diakui sebagai pemimpin di Lamaknen setelah melalui politik liciknya dan akal yang tinggi. Di atas puncak gunung Lakus Manulor dengan sebutan adat Turultuk Siolwa, di kecamatan Lolotoi bekas swapraja Lakus Kabupaten Bobonaro. Di tempat itulah dia mengumpulkan semua pengikutnya untuk mengadakan sumpah sebelum mereka mencari tempat tinggal masing-masing. Untuk bersumpah tiap suku mengambil 3 batu, yang kemudian dipakai sebagai batu tungku api, dan masing-masing duduk di atas batu mereka sendiri. Mereka semua menyayat bagian tubuh mereka, darah yang keluar diambil dan diminum bersama tuak (minuman setempat). Mereka bersepakat untuk tidak boleh berkelahi atau berperang satu sama lain. Setelah bersumpah mereka pergi mencari tempat tinggal mereka masing-masing. Bere Mau akhirnya tinggal di Kewar, Ho Mau di Honaru (Bobonaru), Ai Mau di Ai Asa, Oe Mau di Oe Leu, Sabu Mau dan Tei Mau di Sabu Lei (bagian dari Timor-Timur). Dua yang terakhir kemudian berpindah ke Belu Selatan lalu terus menuju Sabu. Sampai sekarang, sumpah tersebut di atas masih ditaati oleh Belu dan Sabu. Nama orang Sabu dan Belu (Lamaknen) banyak kesamaan. Beberapa contoh bisa kita kemukakan berikut:


Sabu: Lamaknen:
Doko Loko
Bire Bere
Talo Talo
Wila Mela



Kedua suku ini masih sangat mentaati sumpah tersebut di atas. Mereka tidak boleh berkelahi, berperang bahkan tidak boleh memarahi atau berbicara kasar. Pelanggaran terhadap sumpah tersebut akan mengakibatkan muntah darah, berak darah, dan malapetaka yang lain. Setelah tiba di pantai, mereka tidak mempunyai rumah, sehingga mereka membalik perahu mereka untuk menjadi tempat berteduh/tinggal. Hal ini bisa kita perhatikan kalau melihat rumah yang belum beratap. Contoh, rumah adat asli di Kewar. Bentuknya sangat mirip dengan perahu terbalik. Oleh kedatangan mereka, penduduk yang lama yaitu orang Melus terdesak ke bagian Barat.


Perlu diketahui bahwa pada tahun 1957-1959, seorang sarjana berkebangsaan Perancis, Louis Berthe, atas biaya “Pusat Dokumentasi dan Penelitian Tentang Asia Tenggara dan Dunia Indonesia” mengadakan penelitian di Bunaq dalam rangka menyusun suatu monografi penduduknya. Pada bulan Mei-Nopember 1966, sarjana tersebut kembali lagi ke Bunaq bersama isterinya, Claudina Berthe Friedberg. Setibanya di Perancis dia meninggal, namun pada bulan Mei 1969-1970 isterinya kembali ke Bunaq untuk melanjutkan usaha suaminya serta tugas khususnya sendiri di bidang etnobotani.


4. Jumlah Penduduk dan Penyebarannya
4.1. Populasi


Jumlah banyaknya suku bangsa Bunaq adalah sebagai berikut. Lamaknen: 12.706 jiwa. Makir: 1.653 jiwa, Lamaksenulu: 856 jiwa, Aitoun: 1.550 jiwa. Perhitungan ini berdasarkan sensus 1987.


Di samping itu, dalam propinsi Timor-Timur, kini Timor Leste masih terdapat pula suku bangsa Bunaq, sebagian di Kabupaten Bobonaro, sebagian di Kabupaten Kobalima, sebagian di Kabupaten Same, dan sebagian di Kabupaten Ainaro. Data mengenai jumlah populasinya belum diketahui.


4.2. Penyebaran

Keadaan tanah yang kurang subur, berlereng-lereng, kepadatan penduduk, jaminan keamanan, adalah faktor-faktor yang dominan, yang menyebabkan penyebaran suku Bunaq ke lain-lain wilayah. Penyebaran ini dimulai pada awal abat ke XX, semasa pergolakan politik di Timor- Timur. Khususnya ke wilayah Belu dan sesudah pergolakan di Timor-Timur, dan pengintegrasian Timor-Timur, juga ada penyebaran ke wilayah-wilayah di Timor-Timur.


Penyebaran dalam Kabupaten Belu, dapat dicatat sebagai berikut. Sebagian kecamatan Tasifeto Barat yaitu Desa Naitimu, Lidak, Jenilu. Sebagian Kecamatan Tasifeto Timur yakni desa Dafala, Manuleten, Umaklaran dan Takirin. Sebagian Kecamatan Malaka Timur, desa Mandeu, Babulu, Sanleo, Alas, Litamali, Lakekun. Sebagian Kecamatan Malaka Tengah, desa Kamanasa, Bolan, Kletek. Sebagian Kecamatan Malaka Barat, desa Umatoos, Weoe.


Penyebaran ke wilayah propinsi Timor-Timur, belum ada data yang lengkap. Dalam penulisan ini, hanya disinggung data dan informasi khusus mengenai suku Bangsa Bunaq di Lamaknen, di samping beberapa catatan tentang suku Bangsa Bunaq.


5. Pola Pemukiman

Pada umumnya dusun-dusun didirikan di atas puncak bukit demi kepentingan pertahanan. Dusun-dusun itu dikelilingi dengan pagar hidup yang kuat, umpamanya bambu dan duri atau batu. Sebagai contoh keadaan dusun Kewar, sebagai pusat kebudayaan Lamaknen. Rumah-rumah suku (“deu hoto”) didirikan melingkari dan menghadap “mot” yaitu lapangan berbentuk bulat dikelilingi dengan pagar batu. Di pinggir “mot” terdapat tempat persembahan (mezbah) disebut “bosok”. Di Kewar terdapat dua “mot” yaitu “mot pana” dan “mot mone”. Fungsi “mot pana” adalah sebagai berikut: Tempat duduk para tamu dari lain kerajaan pada salah satu upacara yang dilakukan di “mot”. Tempat melangsungkan upacara ”a tate” dalam rangka upacara “tubi lai” menjelang musim hujan. Tempat meletakkan jenazah selama pelangsungan upacara kematian bagi seorang yang gugur dalam medan pertempuran ataupun lain-lain kecelakaan. Tempat penguburan orang yang gugur dalam medan pertempuran dan lain-lain kecelakaan.


Fungsi “mot mone” adalah sebagai berikut: Sebagai tempat sidang pengadilan tertinggi. Tempat mengadakan keramaian umum (“teberai”) pada pelangsungan berbagai upacara, dan “tei” pada upacara rumah suku baru. Tempat upacara pembukaan “lal guju” (upacara kenduri) atau “lal belis” (upacara kegembiraan).


Berhadapan dengan “mot pana” dan “mot mone” terdapat “mot gol” yang berfungsi sebagai berikut. Tempat penyelenggaraan segala macam persoalan pertikaian, tingkat tinggi. Tempat penyaringan para tamu dari dalam dan dari luar Lamaknen.
Berhadapan dengan kampung di bagian depannya ada suatu lapangan dengan pohon-pohon beringin besar. Tempat ini berfungsi sebagai berikut. Tempat melaksanakan hukuman mati, atas keputusan sidang pengadilan tertinggi. Tempat menunggu pada sidang pengadilan tinggi dan tertinggi. Tempat melaksanakan keramaian umum. Tempat mendirikan tenda-tenda bagi tamu dari luar Kerajaan.


Rumah adat atau rumah suku disebut “deu hoto” berbentuk segi empat dengan atap alang-alang, rendah sampai di tanah dan didirikan di atas tiang-tiang. Kolong rumah dijadikan tempat tinggal hewan piaraan, tempat simpan kayu api dan tempat air dari bambu betung disebut “mapo”. Di atas kolong rumah, rumah adat terbagi atas 3 bagian yaitu “lakoq lor”, “deu mil”, “lakoq hoto”.


“Deu mil” terbagi pula atas dua ruangan tanpa dinding, hanya dibatasi dengan papan disebut “otan” dan dinamai “deu mil lor” dan “deu mil hoto”.
“Lakoq lor” berfungsi sebagai berikut. Tempat duduk dan tempat menerima tamu. Tempat tidur anggota suku pria yang belum berkeluarga.


“Deu mil lor” berfungsi sebagai berikut. Tempat tidur para gadis yang belum berkeluarga. Tempat melaksanakan upacara religius. Tempat meletakkan mayat, selama belum dikuburkan.


“Deu mil hoto” berfungsi sebagai berikut. Tempat memasak makanan (dapur). Tempat tidur para gadis, juga yang sudah berkeluarga, tempat menyimpan bahan makanan. “Lakoq hoto”, berfungsi sebagai tempat tinggal tuan rumah.


“Deu mil” dikelilingi dinding papan. Papan pada dinding yang berhadapan dengan “lakoq lor” dan “lakoq hoto”, biasanya diukir dengan bermacam-macam ukiran, berbagai jenis. Ukiran itu hanya terdiri dari satu garis dan tidak boleh terputus. Hal ini melambangkan kelestarian dan keabadian. Di atas ukiran terdapat buah dada perempuan sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran.


Di atas “lakoq lor” dan “lakoq hoto”, ada pula loteng yang disebut “toren” tempat menyimpan bahan makanan dan barang-barang lain.


Di atas “deu mil” tidak ada loteng. Di atasnya hanya diletakkan bambu atau kayu lurus untuk tempat gantung jagung yang masih berkulit, sebagai persediaan. Rumah adat memiliki dua tiang agung disebut “nulal”, satu disebut “nulal lor” dan yang lain disebut “nulal hoto”.


Di bawa dan di atas “nulal lor” tersimpan senjata dan lain benda yang dianggap keramat, peninggalan leluhur. Di bawah “nulal lor” terdapat pula mezbah untuk tempat persembahan pada segala macam upacara. Di samping dua tiang agung, rumah adat mempunyai 4 tiang sudut yang disebut “lirus”.


Bubungan rumah dibungkus dengan ijuk dan untuk menandai kedudukan suku, bubungan itu dihiasi dengan menyisipkan sembilu dari bambu, dimiringkan ke kiri dan ke kanan. Di ujung kiri kanan dan di tengah bubungan, dibentuk tanduk kerbau dari kayu dan ijuk, sebagai lambang kekuatan. Bubungan itu disebut “deu maten kes”.


Dewasa ini, rumah adat sudah hampir tidak ada lagi terkecuali rumah adat di Kewar dan di beberapa tempat di Lamaknen. Orang sudah mulai membangun rumah yang lebih memenuhi persyaratan hygienis, beratap seng, berdinding bebak, dengan pintu berjendela yang baik, malah ada pula yang sudah memiliki rumah dengan dinding setengah tembok atau tembok seluruhnya.


6. Bahasa dan Dialek

Seperti telah dijelaskan pada nomor satu, suku Bunaq mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Bunaq atau “Bunaq Giol”.


Dialek tidak ada, terkecuali beberapa perbedaan kata dan lagu pembicaraan, namun dapat pula dimengerti. Dari lagu pembicaraan mudah diketahui tempat asal yang berbicara.


Kata kerja dalam bahasa Bunaq berubah menurut dua jenis kata benda, katakanlah kata benda jantan dan kata benda betina. Susunan kalimat sebagai berikut: Pokok kalimat+Penderita+Kata kerja. Contoh: Neto hoja a artinya saya kelapa makan. Sebetulnya saya makan kelapa. Neto dila gia berarti saya pepaya makan. Arti sebenarnya adalah saya makan pepaya. Erenoq neto mar gene dik-hotel gia. Artinya kemarin saya kebun di ubi kayu makan , yang dimaksud adalah kemarin saya makan ubi kayu di kebun. Neto Atambua mal bu, eto man deu hotol naq. Artinya Saya Atambua pergi kalau, kau datang rumah jaga dulu. Arti sesungguhnya adalah kalau saya pergi Atambua, engkau datang jaga rumah dulu.


Kata-kata dengan akhiran suku kata hidup, diucapkan sebagai kata ta’ dalam bahasa Indonesia, agar tidak merancukan pengertian atau salah paham. Contoh: Niq taq yang berarti belum, jangan diucapkan ni ta yang berarti menembak saya. Bunaq tidak boleh diucapkan “Buna”.



7. Mata Pencaharian Utama dan Sampingan


Mata pencaharian yang utama dari suku Bunaq adalah bercocok tanam, di ladang yang berada di lereng-lereng bukit, di dalam tanah “naen” milik suku, yang terdapat dalam tanah perkebunan umum di sebut “matas momen”. Cara kerjanya sebagai berikut. Tebas rumput belukar dan rerumputan, sekitar bulan Juni dan Juli “Mar Se” yang berarti menebas rumput dan belukar. “Hotel pake” atau “hotel getetaq” yang berarti menebang kayu memotong ranting-ranting kayu sekitar bulan Juli. “ Mar ini” yang berarti membakar sekitar bulan Agustus. “Hoto koin” yang berarti membakar kayu sisa yang tidak terbakar, sekitar September. “Deu mar gie hoon” yang berarti membuat rumah kebun (gubuk), sekitar bulan Oktober. “Muk ere” yang berarti menanam, sekitar Nopember. “U tul” yang berarti membersihkan rumput tahap pertama, sekitar Desember dan Januari. “U tul” tahap kedua yang berarti membersihkan rumput tahap kedua , sekitar Pebruari. “Paol gureq” dan “ipi wit” yang berarti memanen, sekitar Maret dan April.


Cara kerja ini, hanya dengan alat sebatang besi gali selebar 3-4 cm, parang dan kapak, sangat berat dan hasilnya tidak seimbang dengan jeri payahnya. Ladang hanya dimanfaatkan dua tahun, tahun pertama ditanami padi, tahun kedua jagung dan kacang-kacangan, lalu dibiarkan selama 3-4 tahun, baru dibuka lagi, untuk diusahakan lagi selama dua tahun, dan seterusnya.


Di dataran, terlebih di Makir dan Lamaksenulu dan di Delta Sungai, diusahakan pula sawah, melalui perencahan dengan sapi, lalu padi dihambur, dan dibiarkan sampai berbuah dan dipetik hasilnya. Tentu saja, tidak seberapa hasilnya.


Dewasa ini, pemuda dan pemudi yang sudah kunjungi sekolah, apalagi yang sudah sampai ke tingkat SLTP dan SLTA, tidak tertarik sama sekali, kepada pekerjaan berat ini. Mereka lebih suka merantau tinggal di kota, menjadi pelayan toko atau kondektur mobil dan lain-lain, tanahnya dibiarkan ditumbuhi alang-alang.


Hal ini menimbulkan lagi problem baru, ialah inflasi gadis dusun-dusun, tidak ada cukup pemuda untuk menikahinya dan dibiarkan menjadi “perawan tua” atau jika tidak lekas ditangani pemerintah dan Gereja, ia mencari jalan keluar dengan melaksanakan peraktek prostitusi atau pelacuran umum.


Salah satu jalan keluar, mungkin dengan menggiatkan penanaman tanaman umur panjang, terutama kopi dan /atau kemiri, yang dapat menarik lagi para pemuda untuk datang ke daerah asal, untuk mengusahakan tanahnya.


Usaha sampingan, kelihatan beralih ke arah berdagang kecil-kecilan, dengan adanya pemunculan kios-kios mini di berbagai dusun.

8. Teknologi setempat yang dikembangkan


Di dataran, juga di lereng-lereng yang tidak berbatu, pemakaian pacul pengganti besi gali warisan leluhurnya, sudah mulai menjadi populer.


Alat produksi pertanian, alat rumah tangga dan lain-lain alat, dengan mudah didatangkan dari lain pulau, sehingga teknologi setempat tidak lagi dikembangkan.


9. Sistem kepemimpinan atau Pemerintahan dan stratifikasi sosial

9.1. Sistem Kepemimpinan atau Pemerintahan.

9.1.1. Masa asli, sebelum tibanya pemerintah Belanda.


Seperti telah dijelaskan di atas, yang dimaksudkan dengan suku bangsa Bunaq di Lamaknen, ialah penduduk Kecamatan Lamaknen, minus Desa Makir dan Lamaksenulu. Makir dan Lamaksenulu adalah kesatuan “autochthoon” yang berdiri sendiri dan tidak merupakan sebagian dari Kerajaan Lamaknen.


Figur tertinggi dalam Kerajaan Lamaknen, di sebut “Loro”’ yang diangkat dari seorang anggota suku Leogatal di Kewar dan berkedudukan di Kewar.


Loro Lamaknen memimpin 4 kepala wilayah, yang disebut “Bein Goniil” yaitu 4 yang agung, di samping 9 kepala wilayah yang disebut “Hol Gomo” yaitu penguasa batu dan seorang kepala pengairan, yang disebut “kanu hasan gomo” yaitu penguasa saluran air. Yang dimaksud dengan “Bein Goniil” adalah sebagai berikut. Kewar ( Kini: desa Kewar), Lakmaras ( Kini Desa Lakmaras), Henes (Kini Desa Henes) dan Nualain (kini Desa Nualain).Yang disebut 9 “Hol Gomo” adalah Fulur ( Kini desa Fulur), Leowalu (Kini desa Leowalu), Duarato (Kini Desa Duarato), Ekin ( Kini Desa Ekin), Abis ( Kini Dusun dari Lakmaras) , Loona ( Kini Desa Loonuna), Sasaq (Kini dusun dari desa Juldapil Kecamatan Lolotoi-Timor Leste), Mahui (Kini Dusun dari desa Makir), dan Dirun (Kini Desa Dirun). “Kanu Hasan Gomo” ialah Laimea, kini menjadi Dusun dari desa Dirun, Weluli.


Seperti fungsi adat yang lain, fungsi pemerintahan pun adalah milik suku tertentu dan bersifat turun temurun milik suku, bukan milik pribadi salah satu anggota suku. Demikian: Jabatan Loro-suku Leogatal/Ohoro Babulu, Kewar-Suku Tesgatal, Lakmaras-Suku Datogubul, Henes-suku Hollapit, Nualain-Suku Monesogo.


Hol gomo: Fulur–Suku Hakpor, Leowalu-Suku Mautepa, Duarato-Suku Purbelis, Ekin-Suku Monegoinciet, Abis-suku Purbelis, Loona-suku Maugonion, Sasaq-suku Motugatal, Mahui-suku Barutpor, Dirun-suku Monesogo, Laimea-Suku Monesogo dan Bonpor.
Loro memiliki staf pembantu, ialah rumah–rumah suku sekeliling “mot”, diketuai oleh suku Tesgatal, merangkap kepala wilayah Kewar.


Pengawasan tanah perkebunan dan isinya “matas momen”, dilakukan para “makleat” dari suku tertentu, yang juga bersifat turun temurun.

Upacara adat yang bersangkutan dengan bahan makanan, dilakukan “por gomo”. Pelaksanaan berbagai upacara yang lain , diserahkan pada “lal gomo” yaitu pandai adat, yang hanya dimiliki salah satu suku tertentu.


Delik adat ringan berat diselesaikan menurut prosedur tertentu. Tingkat orang tua, tingkat dato/tamukung, tingkat kepala wilayah, tingkat pengadilan tinggi di Kewar (Mot Gol), tingkat pengadilan tertinggi di Kewar (Mot Mone). Loro memiliki hak untuk membatalkan keputusan pengadilan tertinggi.


Jaminan keamanan ditanggungkan kepada semua suku, olehnya suku memiliki ajimat perang, yang disebut “kaluk”.


Organisasi pemerintahan dilakukan dengan mengilhami pembangunan rumah suku, memiliki 2 “nulal” (Bein pana, bein Mone) 4 lirus yaitu 4 Bein Kepala Wilayah, dan tiang penopang lain yaitu para hol gomo, rakyat yaitu kasau dan atap. Bein pana sebagai Bein Perempuan yaitu orang pertama, bein Mone sebagai Bein pria yaitu orang kedua.


Lamaknen berhasil memperluas wilayah dengan menaklukkan kerajaan Hatutui Holwa (dibawa-sebelah Utara dusun Kewar) dan Kerajaan Maudemu, yaitu desa Dirun, sebagian desa Nualain, Loonuna, Ekin, Lakmaras, sekarang dibawa pemerintahan Loro Laku Maliq (Loro ke IV). Untuk itu dibangun markas Ranu wa di Dirun.



9.1.2. Masa sesudah Tibanya Pemerintahan Belanda

Tahun 1862. Pemerintahan Belanda diwakili Gezaghebber Rogge, tiba di Atapupu. Lamaknen diakui sebagai satu kerajaan berdiri sendiri, di bawa Loro Bere Taeq (Loro IV), dari suku Leogatal/Ohoro Babulo.


Tahun 1909. Persetujuan batas wilayah Timor Belanda dan Timor Portugis antara Pemerintahan Belanda dan Pemerintahan Portugal, seperti yang ada sekarang. Timor Portugis disebut “Ewi Belis” yang berarti pendatang putih, Timor Belanda disebut “Ewi Guju” yang berarti pendatang hitam.


Tahun 1911. Pertempuram di Lakmaras antara Lamaknen melawan Pemerintah Belanda dan tentara Timor Portugis. Peristiwa ini disebut “Lolo Gonion Tal” yang berarti pertempuran tiga bukit. Pihak Lamaknen banyak yang gugur. Akibat peristiwa ini, maka seluruh Desa Dirun, sebagian Desa Nualian, sebagian Desa Loonuna, sebagian Desa Ekin, Sebagian Desa Lakmaras , dijadikan wilayah Timor Portugis. Pemerintah Belanda tempatkan pos tentaranya di Beredao, sedang Pemerintah Timor Portugis tempatkan Pos Tentaranya di Debululik. Beredao terletak di pinggir kali Beredao, wilayah Desa Nualain. Loro Bere Tae tidak mau juga menghadap pemerintah Belanda di Beredao akan tetapi hanya dikirim saja wakilnya, Siri Loko, Kepala Wilayah Kewar dari suku Tesgatal. Oleh Karena Siri Loko dibentak dan dimarahi Pembesar Belanda, ia serahkan jabatannya kepada Bau Liku (Wafat tahun 1947), akan tetapi Pembesar Belanda tunjuk Bere Bauq-suku Datogubul, kepala wilayah Lakmaras, sebagai wakil Loro Lamaknen.


Tahun 1916. Dengan surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 10 Mei 1916 No.22 (Staatsblad=Lembaran Negara No.372) Kerajaaan Lamaknen dihapuskan dan dijadikan distrik dari Kerajaan Belu-Tasifeto, dibawa Raja Don Josep da Costa, Raja Jenilu.Tahun 1916. Terhitung mulai tanggal 1-11-1916 persetujuan batas antara Belanda dan Portugis dinyatakan berlaku. Akibatnya, wilayah yang diambil dan dijadikan wilayah Timor Portugis, dikembalikan lagi kepada Lamaknen.


Tahun 1924. Kerajaan Belu-Tasifeto dihapuskan dan dibentuk Kerajaan Belu, dibawa seorang Raja bergelar Maromak Oan, Bria Nahak, yang meninggal dunia sebelum dilantik, lalu diganti oleh Seran Nahak. Distrik Lamaknen dihapuskan, sedang onderdistrik yang ada, dijadikan distrik dari Kerajaan Belu, yang memimpin dan memerintahkan 39 distrik. Di Lamaknen hanya ada 8 distrik gaya baru yaitu Kewar, Ekin, Fulur, Nualain, Lakmaras, Leowalu, Dirun, dan Loonuna. Mahui dijadikan kampung dari Distrik Makir, weluli dijadikan kampung dari distrik Dirun.


Tahun 1926. Kepala distrik Bauho (Loro Bauho) Atok Samara, memprotes pengangkatan Seran Nahak dan tidak menyetujui sistem gaya baru, dengan tidak menghadiri, upacara pelantikan Seran Nahak, sebagai Maromak Oan. Kepala distrik Kewar Bau Liku, juga mengambil sikap yang sama, dengan tidak mengizinkan rakyatnya mengusung Maromak Oan Seran Nahak sewaktu tiba di Perbatasan Makir dan Kewar, dalam kunjungannya ke Lamaknen.


Tahun 1928. Raja Insana, Kahalasi Taolin, mengambil sikap yang sama, dengan tidak mau mencium kaki Maromak Oan Seran Nahak, seperti para Raja yang lain, sewaktu bersama-sama ke Kupang untuk sesuatu urusan.


Tahun 1929. Maromak Oan Seran Nahak, ajukan surat permohonan berhenti tanggal 8/1/1929. Surat permohonan berhenti ini disusul lagi dengan surat tanggal 12/9/1929.
Tahun 1930. Dengan surat keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 8/4/1930 No.39 Maromak Oan Seran Nahak diperhentikan dengan hormat. Pemerintahan dijalankan sendiri oleh Liurai Seran Asit Fatin, yang juga meninggal dunia, tidak lama sesudah pengangkatannya. Dibentuk panitia pemerintahan Kerajaan Belu dengan 3 anggota yaitu Loro Waiwiku yaitu Bere Nahak, Loro Lakekun yaitu Benediktus Leki, Loro Bauho yaitu Atok Samara. Belu Utara termasuk Lamaknen, berada di bawa kekuasaan Loro Bauho Atok Samara.


Tahun 1942. Kedatangan Pemerintah Jepang. Loro Bauho Atok Samara meninggal Dunia, diganti sementara oleh Nikolas Manek, kemudian oleh H.B.S. da Costa.
Tahun 1945. 5 /8/ 1945, A.A.Bere Tallo dilantik menjadi Loro Lamaknen, Lamaknen diakui sebagai Kerajaan berdiri sendiri terlepas dari Bauho.


Tahun 1949. Dengan surat keputusan Residen Timor Archipel tanggal 31/3/1949 No.121, diperbaharui anggota panitia pemerintah Belu sebagai berikut: Loro Lakekun yaitu Benediktus Leki, menguasai Kerajaan Malaka. Loro Bauho yaitu H.B.S.da Costa, menguasai kerajaan Tasifeto. Loro Lamaknen yaitu A.A.Bere Tallo, menguasai Kerajaan Lamaknen.


Tahun 1958. Pembentukan Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dengan Undang-Undang No.64/1958. Pembentukan daerah sementara Tingkat II Belu (Kabupaten Belu) dengan undang-undang No.69/1958, dengan A.A.Bere Tallo sebagai Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Belu. G.A.Asy dijadikan wakil Loro Lamaknen.
Tahun 1962. Dengan surat keputusan Gubernur/Kepala Daerah Nusa Tenggara Timur tanggal 28/1/1962 No.Pem.66/1/2, dihapuskan Kerajaan Malaka, Tasifeto dan Lamaknen, dan dibentuk 5 Kecamatan. Malaka Barat ibukota Besikama dengan camatnya E.Teiseran. Malaka Timur ibukota Betun dengan camatnya Emanuel Laka. Tasifeto Barat ibu kota Atambua dengan camatnya adalah Blasius J.Manek. Tasifeto Timur ibu kota Nobelu dengan camatnya adalah A.R.Parera. Lamaknen ibu kota weluli dengan camatnya G.J.Asy.


Tahun 1966. Dengan surat keputusan Bupati kepala Daerah tingkat II Belu tanggal 31 Maret 1966 No.Pem.6/1966, seluruh kenaian di Belu ditiadakan dan dibentuk Desa-Desa di seluruh Belu. Lamaknen terdiri dari 12 Desa, ialah:
1. Kewar dengan kepala desanya Matheus Bere
2. Lakmaras dengan kepala desanya Johanes Mau
3. Fulur dengan kepala desanya Lambert Ati
4. Duarato dengan kepala desanya Nikolas Nahak
5. Loonuna dengan kepala desanya Gabriel Oes
6. Makir dengan kepala desanya (lowong)
7. Nualain dengan kepala desanya M.Asa Tuan
8. Henes dengan kepala desanya Pius Dasi
9. Leowalu dengan kepala desanya Arnol Boko
10. Ekin dengan kepala desanya P.Bere Bakurai
11. Dirun dengan kepala desanya Gaspar Lesu
12. Lamaksenulu dengan kepala desanya Bene Bere Mau



9.2. Stratifikasi Sosial


Menurut mitos, yang diceriterakan oleh para “Lalgomo”, suku bangsa Bunaq yang ada di Lamaknen, Makir, Lamaksenulu, Aitoun, berasal dari 10 kelompok leluhur yang datang dari seberang lautan, 20 generasi yang lalu dan yang disebut:
1. Lutarato Jopata = Luta
2. Lakuloq Samoro = Lakuloq
3. Oburo Marobo = Oburo
4. Sibiri Kailau = Sibiri
5. Lakan Roman
6. Ro Ikun Ro Wulan = Ro Ikun
7. Siataq Mauhaleq = Siataq
8. Tonbaq Tonwai = Ton
9. Gotoqpor Gawalpor = Gotok
10. Dilubaraq Hakbaraq = Dilu



Setiap kelompok terdiri hanya dari beberapa orang, tidak sampai duapuluh orang. Setiba di Loborgoloq Cialeru (Timor Timur) sewaktu akan berpisah, atas prakarsa dua berkakak adik Bele Mau dan Sabu Mau dari kelompok Oburu, anjurkan agar diadakan sumpah, sebelum berpisah. Diambil bambu suling, diiris, dipotong lidah dan belakang lutut tiap-tiap orang, darahnya dicampur dengan bambu suling, dicampur lagi dengan tuak, diminum bersama, lalu berpisah. Setiap anak yang lahir, dipotong tali pusatnya dengan bambu suling, sebagai tanda keterlibatan pada sumpah leluhur itu, yang berlaku turun temurun.


Demikianlah terjadi hubungan “Hulo Lep” atau hubungan persahabatan yang abadi. Kemudian terjadilah kawin-kawin, terbentuklah suku dan hubungan perkawinan yang juga bersifat abadi yang disebut hubungan “Malu Ai”. Sesudah manusia berbiak, maka perlu diatur, maka terjadilah hubungan “dasaq rak” yang berarti hubungan pemerintahan, yang juga bersifat abadi.


Demikianlah masyarakat suku bangsa Bunaq, terdiri dari suku atau klan atau “deu” dalam bahasa Bunaq. Deu ini bersifat exogam, unilateral, tradisional.
Dalam hubungan “hulo lep” semua “deu” (dengan anggotanya) berkedudukan sama dan sederajat.


Dalam hubunga “malu ai”, “deu malu” (deu pemberi perempuan) berkedudukan lebih tinggi daripada “deu aibaa” (deu penerima perempuan).


Dalam hubungan “dasaq rak” , deu yang ditetapkan menjabat susuatu fungsi adat (Loro, Nai, Holgomo, Rato, Tamukun, Makleat) terpandang dalam masyarakat, terlebih dalam upacara-upacara adat.
Akan tetapi posisi dalam hubungan “dasaq rak”, tidak mempengaruhi posisi dalam hubungan “malu ai”.


Contoh; “Deu” Loegatal adalah memiliki fungsi sebagai Loro (dalam hubungan “dasaq rak”.) “Deu Leogebu, memiliki fungsi adat yang lebih rendah dari “deu” Loegatal. Dalam hubungan “malu ai” anggota “deu” Loegatal, sekalipun berkedudukan Loro, harus tunduk kepada “deu” Leogebu dan anggotanya. Yang memiliki posisi, berupa fungsi adat, adalah “deu” atau “suku”, bukan pribadi-pribadi anggota suku. Demikian, seorang anggota suku “malu” dialihkan dan tanggalkan keanggotaan suku “malu” dan terima keanggotaan suku “aibaa”, ia harus konsekuen, memegang posisi yang dimiliki “deu” yang kini, ia menjadi anggotanya.


Dahulu kala ada hamba sahaya, yang disebut “jala losan” atau “losan” atau “mila” yang berarti hamba. Hamba sahaya diperoleh melalui:


1. Ditawan dalam medan perang atau diculik
2. Ditebus karena tidak dapat bayar denda, sesuai putusan pengadilan.
3. Dibeli


Tawanan perang dan hasil culikan, langsung diupacarakan dan dijadikan anggota suku. Hal ini untuk menghargai kesaktian “kaluk”. Hamba yang ditebus atau dibeli, masih dilihat perilakunya, kemudian juga dijadikan anggota suku.


Kesimpulannya, tidak ada oknum, yang menjadi anggota sesuatu “deu”. Ketiga hubungan tersebut di atas, merupakan mata rantai seperti jala, yang saling berhubungan, mempersatukan suku bangsa Bunaq, keluar suku dan ke dalam suku.


Akibat pendidikan sekolah dan ekonomi, maka dewasa ini, telah timbul sesuatu lapisan baru, terdiri dari pegawai, pedagang, rohaniwan, dan para jebolan sekolah Tinggi, tergolong dalam lapisan Sosial yang baru itu.


Dengan demikian prinsip-prinsip stratifikasi sosial yang bersifat nasional, mulai mempengaruhi stratifikasi sosial di daerah, termasuk juga Lamaknen.



10. Sistem Kekerabatan, kelompok kekerabatan, prinsip kekerabatan.
10.1. Sistem dan Prinsip Kekerabatan


Perkawinan “sul dara” yaitu bentuk perkawinan patrilineal. Dianggap sangat ideal, jikalau seorang pemuda menikahi gadis, yang berasal dari suku “malu” yaitu suku pemberi perempuan. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan, menikahi gadis dari suku lain yang bukan “malu”. Suku lain itu, disebut “leolegul”.
Dengan menikahi gadis suku “Leolegul”, dengan bentuk perkawinan “sul dara”, maka terjadilah pula hubungan “malu-ai” antara suku pemuda dan suku isterinya itu, yang tidak lagi berstatus “leolegul” tetapi “ malu” dari suku suaminya. Uang mahar pada perkawinan “sul dara” pada dasarnya sama, sesuai dengan prinsip bahwa dalam hubungan “malu ai” semua suku pada dasarnya sederajat sama, terkecuali suku “malu” yang dianggap lebih tinggi posisinya dari suku “aibaa”. Dengan demikian, derajat suku menurut hubungan “dasaq rak” yaitu hubungan pemerintahan, tidak berpengaruh atas jumlah uang mahar yang harus dibayar. Uang mahar itu pun, pada dasarnya sama, sekalipun di sana sini, terdapat perbedaan jenis, penyebutan, jumlah dan urut-urutan uang mahar, dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Sigal saen. Tanggung pihal suami/“aibaa”: 1 emas dan 1 perak. Isteri/”malu”: steri/”malu”: 1-2 Selimut Timor
1. Bora pil Jewen. Suami : 1 perak. Isteri :1 selimut.
2. Taq O Turiq. Suami: 1 emas, 1 perak. Isteri: ---
3. Bei gotin. Suami: 7 perak. Isteri: ---
4. Napo tesi, watan lotuq. Suami: 1 emas, 1 perak. Isteri:---
5. Bokan O Nalas. Suami: 1 emas, 1 perak. Isteri :---
6. Su mamal, su soat. Suami: 1 kerbau dengan anak. Isteri: ---
7. Gubul O Geweel. Suami: I mas, 1 perak. Isteri: ---
8. Lor wa, lor bul. Suami: 1 mas 1 perak. Isteri: ---
9. Tajuq lor, Tajuq hoto. Aibaa: 1 mas, 1 perak. Malu:---
10. Sul O Suliq. Aibaa: 1 mas, 1 perak. Malu:---
11. Loeq masak, loeq gol. Aibaa: 7+5 perak. Malu: 7+5 selimut
12. Tel Wese. Aibaa: 2 perak. Malu: 1 selimut, 1 ekor babi.
13. Saki O jiq. Aibaa: 1 tahin. Malu: 1 selimut, 1 ekor babi.
14. Piral Noq Topol. (disesuaikan dengan banyaknya anggota suku “malu”).
15. Ope ganal tol. Aibaa: 2 tahin. Malu:---
16. Sael Ope. Aibaa: 1 ekor kerbau. Malu: 1 ekor babi
17. Peq naran, peq tiluq. Aibaa:--- Malu: 2 utas peq
18. Depal gie naran, depal gie tiluq. Aibaa:--- Malu: 2 pasang giwang (kouq) mas
19. Sawe Sepak. Aibaa: --- Malu: 1 sisir emas.
20. Kira O Bian. Aibaa: --- Malu: 2 mas
21. Jap nokar, cie nokar. Aibaa: --- Malu: 1 ekor anjing, 1 ekor ayam (bibit)
22. Palu pae goloq. Aibaa: -- Malu: 1 kebun
23. Opa tutul gie, rene pin gie. Aibaa: --- Malu: 1 orang hamba.


Penjelasan:


1 mas = 1 plat (piring) dari emas. 1 perak = 1 plat (piring) dari perak. 1 peq = 1 utas manik-manik dari tanah = Tetum: Morten. Jumlah tanggungan pria : 8 emas, 33 perak, 2 ekor kerbau dengan 1 anak kerbau. Jumlah tanggungan perempuan: 17 selimut, 2 utas peq, 2 emas, 1 sisir emas, 2 pasang anting-anting (kouq) dari emas, 3 ekor babi, 1 kebun, seorang hamba, 1 ekor anjing (bibit), 1 ekor ayam (bibit).
Jikalau I emas dinilai Rp. 100.000.- 1 perak dinilai Rp. 2.000,- 1 selimut dinilai Rp.20.000,- 1 ekor Kerbau dinilai Rp. 150.000,- 1 anak kerbau dinilai Rp. 50.000,- 1 ekor babi Rp.50.000,- 1 peq dinilai Rp. 250.000,- 1 pasang anting-anting (keuq) dinilai Rp.250.000,- 1 sisir emas 10 uang mas sukuan= Rp. 1.000.0000,- 1 kebun dinilai Rp. 5.000.000,- 1 ekor anjing dinilai Rp. 5.000,- 1 ekor ayam dinilai Rp. 2.000,- maka hasilnya sebagai berikut:


Tanggungan pria = Rp. 1.216.000,-
Ditambah no 16. “Piral Noq Topol “ = Rp. 200.000,-
Rp. 1.416.000,-


Tanggungan pihak perempuan Rp. 6.697.000,- + 1 orang hamba.
Jelas bahwa dalam perkawinan bentuk “sul dara” tanggungan dan antaran pihak “malu” jauh lebih banyak dari pada tanggungan “aibaa”, dan yang terutama ialah , kedua pasangan baru ini dapat memulai membentuk rumah tangga dalam posisi “Plus” tidak “nol” apalagi “minus”. Dan pula, pada pembayaran uang mahar tidak ditekankan kepada unsur tubuh perempuan akan tetapi martabat perempuan, sedang perempuan pun,dengan antaran yang demikian menyatakan tegas, bahwa pihaknya tahu pula akan harga dirinya.


Penjelasan istilah:

1. sigal saen = hotel por sigal saen = gantung daun-daun larangan = menandakan bahwa gadis itu sudah dilamar orang, istilah tepatnya: uang pertunangan.
2. Bora pil jewen = membentang tikar = tamu yang datang harus dipersilahkan duduk di atas tikar.
3. Taq O Turiq = kapak dan parang = pernyataaan kesanggupan pria untuk memelihara isteri dengan berkebun.
4. Bei gotin = membangunkan nenek moyang (leluhur). Pemberitahuan kepada leluhur tentang peristiwa yang dihadapi.
5. Mapo tesi, watan tetuq = potong bambu untuk timba air dan potong kayu untuk membuat api di dapur agar isteri dapat berpanggang api sesudah melahirkan, atau jelasnya : kecapaian ayah.
6. Bokan O nalas = periuk besar tempat masak air panas = untuk memandikan ibu setelah melahirkan, tepatnya: Kecapaian ibu.
7. Gubul O Geweel = kepala dan dagu dari si gadis = ganti rugi si gadis.
8. Su mamal su soat = air susu lembek, air susu keras = pemeliharaan gadis sejak bayi sampai dewasa.
9. Lor wa, lor bul = tempat persembahan alam rumah atas dan bawa = pemisahan dengan tempat persembahan dalam rumah suku.
10. Tajuq lor, tajuq hoto = pintu sebelah lor dan sebelah hoto = perpisahan dengan rumah suku.
11. Sul O Suliq = tombak dan keris = perpisahan dengan senjata keramat rumah.
12. Loeq masak, loeq gol = sawah besar, sawah kecil = perpisahan dengan kebun-kebun rumah suku
13. Tel wese = memisahkan pekuburan = si gadis dikuburkan di pekuburan deu aibaa, tidak lagi di kuburan suku asalnya.
14. Saki O jiq = membelah dan menggaris = penegasan penanggalan keanggotaan suku asal si gadis.
15. Ope ganal = tangkai buah labu = si gadis sudah terpetik, sehingga sudah terlepas dari tangkai buah = penanggalan keanggotaan suku asal si gadis.
16. Piral noq topol = Butir beras terjatuh = pemberitahuan kepada seluruh anggota suku asal si gadis tentang peristiwa ini, dengan sejumlah uang.
17. Sael ope = babi labuh = daging untuk disantap bersama, sewaktu di rumah si gadis, upacara pesta di rumah gadis.
18. Peq naran, peq tiluq = Peq penanda, peq tersimpan = peq yang menandakan kedudukan gadis dalam masyarakat.
19. Depal gie naran, depal gie tiluq = Anting-anting penanda, anting-anting tersimpan = maksudnya sama no. 18.
20. Sawe sepak = sisir emas = maksudnya sama no. 18.
21. Kira O Bian = alat pemintal benang dengan piring kecil = maksudnya sama no. 18
22. Jap nokar, cie nokar = anjing di pintu, ayam di pintu = melambangkan bibit hewan piaraan, anjing sebagai pengawal rumah, ayam sebagai penanda tibanya waktu siang.
23. Palu pae goloq = tempat memetik = kebun untuk mengusahakan hasil, agar dapat dipungut atau dipetik hasilnya.
24. Opa tutul gie, rene pin gie = untuk membawa tempat sirih, membawa keranjang tempat sirih = pembantu rumah tangga untuk disuruh membantu pekerjaan rumah tangga.


Akibat perkawinan “sul dara” :


1. Isteri menerima keanggotaan suku suami, dan dipandang sebagai perempuan utama dalam suku, dan digelar sebagai “deu gomo” – tuan rumah atau “momen pana” = perempuan tua, suami pun digelar “momen mone” = laki-laki tua.
2. Ayah berhak penuh atas isteri dan anak-anaknya.
3. Anak-anak seluruhnya menjadi anggota suku ayahnya, dan mendapat hak utama atas warisan atau salah satu fungsi adat dari rumah suku ayahnya.
4. Hubungan “malu ai” abadi antara suku asal isteri dan suku suami.
5. Poligami tidak diperkenankan, dan tidak ada perceraian.
6. Berzinah dihukum mati dipancung kepala.


Di samping itu ada pula hubungan “malu ai” timbal balik disebut “sutaq noq” jika pihak suku “malu” mengawini gadis “aibaa” secara “sul dara”.


Perkawinan bentuk “ton terel” yaitu perkawinan matrilineal:


Pria dapat mengawini seorang gadis dari suku “malu” atau “ aibaa” atau “leolegul”. Uang mahar ditanggung pria:
1. Sigal saen = 1 mas, 1 perak, 10 rupiah perak Belanda, dibalas dengan 1 selimut oleh gadis.
2. Molo pu tomak = sirih pinang penuh = uang harga kegadisan. Uang ini berbeda-beda menurut derajat suku si gadis besarnya dari: 3 mas-3 perak-30 rupiah Belanda sampai 9 mas-9 perak-90 rupiah Belanda dengan 3-9 ekor kerbau. Tidak ada balasan dari pihak perempuan.
3. Tajuq lor, tajuq hoto = pintu lor, pintu hoto= laki-laki dapat leluasa masuk keluar rumah suku isterinya: 1 emas-1 perak-10 rupiah Belanda untuk semua tingkatan. Tidak ada balasan dari pihak perempuan.
4. Peq liti neq = membagi peq dan loyang = pemberian uang kepada semua anggota suku, sebagai tanda pemberitahuan. Ada balasan, jika diberi mas atau kerbau.


Pada suku berderajat Loro, dan kepala wilayah di samping ini ada lagi: Bigil obuk, nokar gon = Daun pohon pisang hutan dan kayu palang pintu = maksudnya pemberitahuan kepada para Rato/Temukung, sebesar: 2 perak dan 20 rupiah Belanda.


Akibat perkawinan “ton terel”:
1. Suami dan isteri masing-masing pertahankan keanggotaan suku, tetapi laki-laki harus datang berdiam di rumah suku isteri (uxorilokal)
2. Ayah tidak berhak penuh atas anak-anak dan isteri sendiri serta harta warisan keluarga. Ahli waris adalah anak perempuan. Anak laki-laki bukan ahli waris
3. Anak-anak seluruhnya mendapat keanggotaan suku ibu, terkecuali ayah menghendaki agar salah seorang anak, mendapat keanggotaan suku ayah, melalui upacara pemindahan keanggotaan suku, disebut “gie ama gita ruhuat” = berarti berdiri di samping ayah, dengan mebayar kompensasi.
4. Tidak ada hubungan “malu ai” antara kedua suku suami dan isteri.
5. Poligami dan perzinahan diizinkan dengan membayar sejumlah uang kepada suku isteri.
6. Perceraian dibolehkan dengan membayar uang “ukon lai” pada isteri (sukunya).
7. Jika ayah meninggal dunia, jenazahnya harus diangkat ke rumah suku ayah, dan dikuburkan di pekuburan sukunya sendiri, sebab tidak boleh dikuburkan di pekuburan suku isteri.


Jikalau pembayaran uang mahar pada perkawinan “sul dara” dipersahajakan, maka perkawinan “sul dara” inilah yang sangat ideal dan sangat dianjurkan.


Mempersahajakan pembayaran uang mahar dapat dilakukan umpamanya, pihak suku suami dan isteri bersepakat membuat rumah atau membeli alat rumah tangga yang baik bagi keduanya, dan rumah dan alat-alat inilah dianggap sebagai uang mahar tanggungan pihak suami dan isteri. Lalu keduanya dapat membentuk suku sendiri dan tidak taat lagi atau terlepas dari suku asal isteri dan suami. Yang menjadi suku malu, adalah suku asal suami dan asal isteri, yang masing-masing menjadi malu pertama (“mone gomo”) dan malu kedua (“pana gomo”) bagi suku keduanya yang baru dibentuk. Untuk bertindak ke arah modernisasi masyarakat dalam rangka membasmi pemborosan dana, waktu dan kecapaian, cara ini benar-benar dapat dianjurkan.


10.2. Kelompok Kekerabatan


Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah suku, atau suku rumah, atau klen, dan bukan rumah tangga, yang hanya menjadi anggota suku, yang harus taat kepada ketua sukunya. Di samping itu dengan cara perkawinan “ton terel” yang kini sudah menjadi tradisi, maka anggota suatu suku akan makin membengkak jumlahnya, sehingga tidak mungkin dibatasi pemborosan harta , waktu dan kecapaian. Seorang bapa keluarga tidak dapat membantah keputusan ketua suku, setiap kali dibebankan dengan uang, hewan pada setiap peristiwa kematian, uang mahar, uang delik, uang studi salah satu anggota kerabat isteri dan lain-lain. Demikian, bapa keluarga tidak mungkin menentukan sendiri kebijaksanaan pengendalian rumah tangganya sendiri.


Seperti diuraikan di atas, keanggotaan suku diperoleh dari :
1. Kepindahan suku, akibat perkawinan “sul dara”
2. Kelahiran menurut garis ayah atau ibu, sesuai bentuk perkawinan.
3. Kepindahan suku, untuk dijadikan anggota suatu suku yang sudah putus keturunan.
4. Kepindahan suku, dengan cara memelihara anak dari adik perempuan, “dapuq wese su ul” = membagi pangkuan dan membebaskan dari air susu ibu.
5. Kepindahan suku, karena keinginan ayah, agar seorang anak jadi anggota sukunya (“ama gita ruhuat”)
6. Pemberian keanggotaan suku, kepada para tawanan dan tebusan atau hamba yang dibeli.
Ketua suku berkewajiban:
1. Menjaga keseimbangan antara anggota sukunya ke dalam dan keluar suku.
2. Menjaga keseimbangan para anggota sukunya dengan alam gaib.
3. Memimpin dan menyelenggarakan upacara adat yang harus dilakukan sekitar suku
4. Menjaga dan mengawasi segala milik suku, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.



Seluruh suku di bawa pimpinan ketua suku, sama-sama menanggung beban suku dan sama-sama bertanggungjawab atas penyelewengan seseorang anggota suku. Lain-lain hal mengenai suku atau “deu” telah disinggung pada nomor-nomor yang lalu.


11. Sistem Religi, Upacara dan kelompok upacara.


Pada masa sekarang dapat dikatakan , 100 % suku bangsa Bunaq di Lamaknen telah memeluk agama Katolik Roma. Namun demikian , para pemeluk agama katolik itu, pada hakekatnya belum melepaskan konsep-konsep dan adat istiadat keagamaan yang berasal dari religi asli tersebut.


Unsur penting dalam religi asli itu adalah:
Adanya kepercayaan bahwa ada satu keadaan yang Tertinggi, disebut “Hot” atau “Hot Esen”. Dalam syair mitologis Hot Esen disebut : “ Masaq Giral Kereq, Boal Gepal Uen” = Yang Agung bermata tunggal dan bertelinga tunggal = Yang Agung Maha Sempurna. Pada pembukaan dan penutupan setiap doa, pada segala macam upacara, selalu disebut terlebih dahulu Hot Esen dengan perkataan berikut: “ Hot, Ligi O Le Esen, Tiu O Mugi As, Bekaq O Nolaq Esen” = Demi Hot Yang Maha Tahu, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung.


Kemudian baru disapa, arwah leluhurnya, yang sudah berada di samping Hot, untuk menyampaikan segala macam permohonan kepada Hot Esen.


Kepercayaan yang lain ialah menurut syair itu bahwa:
Hot Esen berdiam di Esen Hitu, As Hitu = Pada Tujuh Ketinggian. Kegelapan meliputi seluruh alam raya. Untuk menghalau kegelapan, Hot ciptakan bintang, bulan dan Matahari. Ternyata di bawa Esen Hitu, As Hitu, hanya ada air tidak terbatas. Hot menjatuhkan satu gumpalan tanah, ternyata hanya menjadi air. Gumpalan 3 buah dijatuhkan lagi, hanya kelihatan, binatang bergerak dalam air. 5 Gumpalan tanah dijatuhkan, terpisahlah daratan dengan air, tetapi tanah rata saja, tidak bergunung dan berbukit, dan hanya penuh ditumbuhi rumput “tese” dan “sibil”. Dijatuhkan lagi 7 gumpalan, bermunculanlah pegunungan dan pebukitan, tetapi masih bergoyangan di atas air. Dengan menurunkan pohon “ge”, mantaplah tanah daratan ciptaan itu. Untuk menggilas rumput “tese” dan “sibil” diturunkan kambing, babi, kerbau maka tergilaslah rerumputan itu. Diturunkan lagi kera untuk menghuni hutan, serta burung gagak dan burung “koak” untuk memberi tanda tibanya siang dan malam. Bumi disebut ligi hitu nual hitu yang berarti tujuh yang di bawa. Kemudian ternyata bintang, bulan dan matahari melahirkan manusia. Inilah sebabnya manusia disebut “Hot Gol”-“Hul Gol” yang berarti anak matahari dan bulan. Di samping itu bintang-bintang melahirkan pula roh-roh jahat pembawa malapetaka bagi manusia dan roh baik membawa kemakmuran, keberanian, kepandaian bagi manusia. Manusia ini berdiam di Esen Hitu, As Hitu akan tetapi sejak kecil nakal, suka berkelahi, sesudah dewasa, juga mulai mencuri, merusakkan barang milik orang, lalu Hot perintahkan mereka itu, untuk mendiami bumi. Lalu turunlah mereka itu dari Esen Hitu, As Hitu dan mendiami bumi. Dari mereka inilah, antara lain, 10 kelompok akhirnya tiba dan mendiami Lamaknen, seperti telah disinggung terlebih dahulu, yang mendiami seluruh Timor dan juga sampai ke Pulau Sabu dan Rote.


Pada setiap upacara pada setiap kesempatan, terlebih dahulu, diatur “ taka gol” yang diisi sirih dan pinang. Lalu “lal gomo” mengucapkan doa, dengan permohonan yang diperlukan dan dibarengi dengan permintaan, agar diberikan tanda dalam usus babi atau ayam, yang menyatakan pendirian para leluhur, apakah permohonannya diterima atau ditolak. Sesudah itu hewan (ayam atau babi) disembelih, dan diteliti ususnya. Sesudah makanan masak, ditaruh juga dalam “taka gol”, sambil mengundang leluhur untuk turut pula bersantap. Sesudah dipersilahkan , "taka gol" dibagi-bagi kepada hadirin, sebagai makanan sisa leluhur, untuk dimakan bersama oleh hadirin. Sisa makanan orang-orang tua pun tidak boleh diberikan kepada binatang atau dibuang akan tetapi harus dimakan oleh yang lebih muda. Jika ternyata ada tanda yang tidak baik dalam usus babi atau ayam, maka dicari tahu lagi dengan jalan “hik sagal”, dan dibuat lagi upacara semacam ini, sampai ada tanda yang baik, dalam usus babi atau ayam.


Demikianlah suku bangsa Bunaq, melakukan upacara berbagai ragam pada:
Kesempatan kelahiran, perkawinan (sul dara), sakit dan kematian. Pada kematian, dibuatkan peti, berbentuk kapal/perahu, agar yang mati, dapat berlayar kembali ke tanah leluhur, sampai tiba kembali di Esen Hitu, As Hitu. Pesta kenduri dimaksudkan untuk membekali yang mati, agar jangan nanti berkekurangan di Esen Hitu, As Hitu.


Kesempatan membangun rumah suku baru atau rumah adat baru. Hal ini untuk memulihkan kembali keseimbangan antara para anggota suku yang membuat rumah dengan makhluk kayu, rumputan dan lain-lain ramuan yang dipakai untuk membangun rumah, berdasarkan pemikiran, bahwa kayu dan lain-lain itu pun adalah sesama makhluk yang sama dan sederajat dengan manusia, jadi harus diadakan perdamaian kembali dengan mereka.


Upacara mengenai bahan makanan, kayu cendana dan lilin (lebah). Hal ini berdasarkan syair mitologis, bahwa bahan makanan, kayu cendana dan lebah adalah kasil penjelmaan seorang putera dan puteri bernama Dasi Bau Maliq dan Dasi Bui Maliq. Dasi Bui Maliq menjadi lebah dan Dasi Bau Maliq menjelma menjadi bahan makanan dan kayu cendana.


Darah, daging, gemuk menjelma menjadi padi-padian. Giginya menjadi jagung, lidahnya menjadi tebu, biji matanya menjadi kacang-kacangan, perutnya menjadi labuh, pantatnya menjadi ubi “me” = “maek” – Tetum, jari-jarinya menjadi ubi-ubian, tulangnya menjadi kayu cendana.


Berdasarkan kepercayaan itu, maka ada berbagai macam upacara yang dilakukan, yang bersangkutan dengan bahan makanan, dengan tujuan untuk: Elakkan gangguan perusak tanaman bahan makanan, Hindarkan bencana alam, pemusnah bahan makanan, Melancarkan curah hujan dan elakkan kekeringan, Menambah kesuburan tanah, Memperlipatgandakan hasil kebun, Mengucapkan syukur atas semua kebaikan.
Upacara ini dapat disebut sebagai berikut:


September/Oktober : Tuat Paul atau Bei Dubul Kouq atau An Gene oleh Makir dan Lamaksenulu. Tubi lai oleh Lamaknen, dilakukan setiap wilayah melalui ketentuan Por Gomo Masing-masing. Nopember: Hotel Gawa gemen oleh Kewar. Desember: Koul Uku, salan hatama oleh Makir dan Lamaksenulu. Januari: Il suq oleh Makir dan Lamaksenulu. Bu Nolaq, Naka Olu oleh Makir dan Lamaksenulu. Paol tuu oleh Kewar. Maret/April : Paol Sau oleh Kewar dan Lamaknen, sesuai keadaan dalam tiap wilayah. Juni: Tir dujuk oleh Lamaknen. Juli/Agustus: Jobel a atau Natal rasa atau porat hatama oleh Makir dan Lamaksenulu. Hohon a oleh Lamaknen.


Penjelasan:


Tuat paul (belah ketupat) bei dubul kouq (nenek gundulkan rambut) dan an gene berarti berada di rerumputan yaitu berburu, menghalaukan binatang liar perusak tanaman. 3-7 hari. Tubi lai berarti ubi rambat dikeringkan, dijadikan tepung, dibuatkan kue. Hal ini untuk menjaga keseimbangan dengan hewan liar perusak. Lamanya upacara 3-7 hari. Hotel gawa gemen = menegakkan kembali kayu, yang ditebang sewaktu membuka kebun. Memulihkan kembali keseimbangan dengan kayu rumputan yang ditebas dan untuk mohon curah hujan. Koul uku = menutup tempurung kelapa, salan hatama = memasuki musim hujan. Tujuannya untuk memperlancar curah hujan. Il suq = menggali air, juga untuk melancarkan curah hujan. Bu Nolaq, Naka Olu = membersihkan lumpur (dari kaki kerbau) sesudah dipakai merencah sawah. Pao tuu = menumbuk kacang, semacam kacang disebut “ pao cinoq “ atau “pao busa”. Sesudah upacara ini dilaksanakan, maka para ketua suku Loegatal dan lain-lain suku yang berhubungan, baru boleh memakan sayur labuh di kebun sendiri. Paol sau = memakan hasil jagung baru. Sebelum upacara ini dilakukan tidak diperbolehkan memakan jagung muda dan merusakkan batang pohon jagung. Hal ini untuk menghargai “HOT”. Jikalau dipetik jagung muda, maka tangkainya tidak boleh dirusakan, sedang jagung muda yang dibawa, harus dilindungi dengan daun kayu, juga sebagai penghargaan kepada “HOT”, karena sebelum dilakukan upacara ini, tidak boleh makan jagung muda. Pelaksanaan upacara ini, didahului dengan pengambilan kulit pohon “ge”, yang dengannya baru dapat dilakukan upacara, agar bahan makanan ini jangan sampai punah, dan tetap tinggal mantap, sebagai Hot memantapkan dunia dengan pohon “ge”. Tir dujuk = makanan hasil kacang “tir “ yang baru. Dilakukan tiap-tiap rumah tangga. Jobel a = makanan yang muda, natal rasa = membersihkan natal (tempat tumbuh pohon tuak), porat hatama = memasuki masa musim panas. Sebelum upacara ini, tidak boleh makan halia, tebu, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Hohon a = memakan hasil padi baru.


Di samping upacara-upacara ini, ada lagi berbagai upacara pengambilan lilin lebah/ madu, penanaman padi ladang , pemungutan hasil padi ladang, pada waktu panen jagung, yang dilakukan oleh setiap rumah tangga.


Upacara –upacara ini yang dilaksanakan setiap tahun, dapat meyakinkan kita tentang keadaan hubungan, keamanan zaman dahulu, sehingga orang takut akan ketiadaan bahan makanan, lalu punahlah manusia.



12. Sistem Pengetahuan yang Dikembangkan

Yang dikembangkan dan terus dilatih, sekalipun tidak merata, ialah pengetahuan tentang adat istiadat yang bersangkutan dengan berbagai upacara, silsilah leluhur, yaitu kelompok yang turun dari Esen Hitu, As Hitu dan mendiami desa atau dusunnya masing-masing.


13. Jenis Kesenian
i. Seni tari = Teberai dan Biru
ii. Seni ukir= Beseq lias = mengukir papan dinding / pintu rumah, hau lias = mengukir tempat kapur sirih.
iii. Seni pahat = aitos goon = membentuk arca.
iv. Seni suara = tei, ligi, olek, holon, kawen, magaliaq, bai toan.
Dari kesemuanya, seni ukir dan seni pahat yang mulai ditinggalkan.

14. Unsur Kebudayaan yang Menonjol


Lapisan sosial baru, seperti yang telah diuraikan dalam stratifikasi sosial, lebih menyukai adopsi kebudayaan Barat umpamanya dansa. Pada hakekatnya, adat kebiasaan suku Bunaq, tidak membenarkan seorang pemuda memegang / memeluk anak gadis orang, yang bukan isterinya, hal mana dahulu kala, dikenakan pembayaran kompensasi disebut “giwi hini por” = memperkeramatkan kembali tubuhnya.


15. Arti dan Asal Mula Nama Tempat


Kewar, yang sebenarnya adalah Gewal atau Geal atau Gial = membawa serta. Gomoq baq mal gial = kawanan gadis untuk dibawa serta = kawanan gadis untuk dibawa serta untuk dinikahi. Pada hakekatnya Kewar, selain pusat kebudayaan, suku-suku yang ada di Kewar adalah suku “malu” (pemberi perempuan) pada kebanyakan suku di Lamaknen.
Bandingkan: (dalam bahasa Tetum). Natarmeli bauho = natar meli ba ho = arti dan maksudnya sama seperti di atas. Atambua (Tetum) sebenarnya : Ata == hamba, buan = suangi. Atambua Maudeku = tempat memukul mati hamba yang suangi. Besikama (Tetum) sebenarnya : Besik Ama = Ayah si Besik (nama orang). Halilulik (Tetum) = beringin keramat.


16. Nama Panggilan Anak Secara Adat
16.1. Panggilan Anak Laki-laki


Apa’ untuk memanggil anak sulung. Pou untuk anak kedua. Uju untuk anak ketiga. Uka untuk anak bungsu. Kalau anak laki-laki berjumlah lebih dari empat maka anak kelima disebut apa’. Anak keenam disebut pou. Anak ketujuh disebut uju. Anak ke delapan disebut uka dan seterusnya.



16.2. Panggilan anak Perempuan

Anak sulung dipanggil Aiba’. Anak kedua dipanggil pou. Anak ketiga dipanggil uju. Anak keempat dipanggil uka. Anak kelima dipanggil aiba’ dan sterusnya sama dengan panggilan anak laki-laki.
Dari panggilan anak laki-laki dan perempuan di atas dapat disimpulkan bahwa panggilan anak sulung pria dan perempuan berbeda sedangkan panggilan anak kedua dan seterusnya sama.



$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$



Weluli, 22 Januari 1987
Juru Pemelihara Megalitik/Rumah Adat Kewar



Laurens Bere



Mengetahui Kepala Adat Lamaknen


A.A.Bere Tallo

**********************************************************************************************************

Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..



Jumat, Januari 11, 2008

MERASAKAN NOMENA AGAMA BERTEMU ADAT SUKU BUNAQ

I. Pengantar


Suku Bunaq adalah satu suku di Pulau Timor. Penulis adalah seorang Suku Bunaq. Penduduk Suku Bunaq adalah manusia-manusia yang beriman dalam budayanya. Dengan pengetahuan mereka yang seadanya mereka mengaku bahwa ada sesuatu atau satu pribadi yang sangat berkuasa. Melihat keajaiban alam dan berbagai fenomenanya mereka merasa dan mengaku bahwa di balik semua ini pasti ada yang menciptakannya. Melihat sebuah pohon besar, mereka terkagum, tentu pohon ini tidak ada dengan sendirinya. Mereka yakin bahwa semuanya ini diciptakan oleh wujud tertinggi.


1.1.Wujud Tertinggi


Orang Bunaq (Suku Bunaq) menyebut Wujut Tertinggi dengan nama “ HOT ESEN” . Hot berarti daya, hangat, panas, kekuatan, sinar, terang. Esen berarti atas, tinggi, kuasa. Hot Esen berarti panas atas, matahari. Suku Bunaq memandang Hot Esen ini memiliki sifat Masak Giral Kereq-Boal Gepal Kereq, artinya Yang Maha Agung dan Maha Sempurna; Hot Ligi O Le Esen, artinya Yang Maha Tahu; Tiu O Mugi As,artinya Yang Maha Tinggi; Bekaq O Nolaq Esen, artinya Yang Maha Penguasa dan Yang Maha Pencipta alam semesta dan segala isinya.

1.2. Tempat-Tempat Kultus Suku Bunaq


1.2.1. Deu Hoto ( Rumah Adat)


Deu Hoto adalah tempat sekaligus pusat perayaan keagamaan setiap Suku. Dan setiap suku memiliki Deu Hoto masing-masing. Mereka percaya bahwa di sini Yang Ilahi bersemayam. Deu Hoto ini sudah ada sejak nenek moyang masih mengembara. Budaya ini ditradisikan dari generasi ke generasi sampai sekarang ini. Dalam Deu Hoto ini disimpan semua peninggalan nenek moyang. Dan peninggalan ini dilihat sebagai tanda kehadiran para leluhur yang adalah pendiri deu hoto ini.



1.2.2. Pekuburan


Di sini mereka berdoa bagi orang tua dan sanak keluarga yang telah meninggal supaya membantu mereka yang masih ada di dunia sekarang ini. Doa dan korban ini melambangkan hormat dan cinta mereka. Di sini mereka menyembah hewan dan mempersembahkan sesajian dengan keyakinan adanya kehidupan di dunia seberang. Bahwa apa yang dimiliki perlu dinikmati secara bersama dengan mereka yang telah meninggal.


1.2.3. Air Keramat ( Mot/Il Giral)


Setiap Suku memiliki sumur berair keramat (Mot/ Il Giral masing-masing, dan biasanya terletak di hutan. Il Giral/Mot ini diyakini sebagai sumber daya kehidupan Suku. Setiap tahun, di saat makan jagung mudah, di tempat ini biasa diadakan upacara ritual. Melalui Mot / Il Giral ini mereka melihat suatu keajaiban yaitu kehidupan dialirkan kepada mereka. Di balik Mot ini mereka melihat sesuatu yang kudus dan melampaui segala sesuatu. Karena itu sumur ini tidak ditimbah secara sembarangan. Dan yang melanggar akan dikenakan denda.


Hal ini juga mereka lakukan di pohon-pohon besar, hutan-hutan lebat, gua-gua, kebun, sawah, padang peternakan. Mereka percaya tempat-tempat ini adalah kediaman roh-roh. Karena itu orang harus terlebih dahulu meminta izin kepada roh-roh itu sebelum menggunakan tempat-tempat tersebut. Namun mereka tidak berhenti di sini, sebab mereka yakin tempat-tempat itu hendak menghantar mereka ke sesuatu yang tertinggi dan melampaui segala yang ada di dunia.


1.3. Catatan Kritis

Dari uraian ini menjadi nyata bahwa Suku Bunaq adalah manusia-manusia religius. Dengan caranya mereka menyatakan sembah bhaktinya kepada wujud tertinggi, Hot Esen. Mereka juga mengakui adanya roh-roh yang mendiami tempat-tempat (hutan, pohon, kebun, sawah, dsb) di dunia ini. Inilah Suku Bunaq berpandangan hidup yang berakar dan bertumbuh subur dalam budayanya. Dan falsafah hidup asli Suku Bunaq ini, menjadi jati dirinya yang sebenarnya. Suku Bunaq beriman asli dalam budaya warisan leluhurnya.


II. IMAN KATOLIK

2.1. Kitab Suci


Kitab Suci menonjolkan kata beriman bukan iman. Beriman sangat menentukan aspek kehidupan beriman yaitu kelakuan orang beriman. Teologal sangat menonjolkan beriman mengandaikan inisiatif dari pihak Tuhan, sedangkan manusia hanya memberi reaksi atau jawaban. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pewahyuan diri Allah baru mencapai tujuannya apabila terjadi pertemuan antara Tuhan dan manusia yang menyerahkan diri kepadaNya.


2.1.1. Kitab Suci Perjanjian Lama

Kitab Suci Perjanjian Lama menggunakan kata Ibrani Aman yang punya arti sangat luas misalnya teguh atau setia. Justru itu sebuah kata yang digunakan untuk hubungan pribadi dengan sesama, bisa digunakan untuk hubungan antara manusia dengan Allah. Atau YAHWE dengan Israel, yang ditekankan atau ditonjolkan bukan hanya soal beriman, melainkan memberikan kesaksian hubungan antara Tuhan dengan manusia, yang dihayati oleh Abraham-orang beriman ( Rom 4: 5). Wujud Tertinggi Perjanjian Lama adalah YAHWE, sumber dan pusat iman umat Perjanjian Lama.


2.1.2. Kitab Suci Perjanjian Baru

Perjanjian Baru menggunakan istilah Pistis, atau pisteo, untuk menunjukkan hubungan manusia terhadap Tuhan. Kata Pisteo berarti : percaya akan Sabda Tuhan, misalnya Yoh 2:22; patuh yang menekankan pentingnya aspek ketaatan dan beriman; percaya, misalnya Ibr 11:11; dapat juga mengaju kepada kesetiaan. Jadi orang beriman itu berarti menerima pewartaan kristiani yang menyelamatkan. Isi dari iman kristiani itu sendiri diringkas dalam Rom 10:9. Iman juga berarti hubungan personal dengan Yesus Kristus. Wujut Tertinggi Perjanjian Baru adalah Yesus Kristus puncak dan pusat YAHWE (PL), Allah mewahyukan DiriNya kepada manusia. Allah telah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.


2.2. Beriman dalam Tradisi

Dikenal beberapa istilah yang dipakai sejak skolastik, misalnya Credere Deum; Credere Deo; Credere In Deum.


2.2.1. Credere Deum

Credere Deum berarti percaya bahwa Tuhan itu ada, dan ini bisa berarti sangat dangkal karena mungkin suatu keyakinan teoritis, tanpa konsekuensi dalam peraktek.

2.2.2. Credere Deo


Credere Deo berarti percaya kepada Tuhan mengenai apa yang diwahyuhkanNya, menganggap benar agama Kristiani sebagai agama yang sudah saya terima atau sungguh-sungguh mempengaruhi kehidupan saya. Katakan saja iman yang demikian bukanlah sebuah keutamaan.

2.2.3. Credere In Deum


Credere In Deum berarti iman yang hidup, dalam arti penyerahan diri kepada Tuhan. Iman yang berarti bagi diri sendiri, yang punya pengaruh bagi kehidupan pribadi. Sebuah iman yang sudah diresapi oleh cinta kasih (Gal 5:6).

2.3. Iman Dalam Ajaran Gereja


Untuk melawan Pelagianisme yang menekankan bahwa iman bisa diusahakan hanya oleh manusia, Gereja memperhatikan ajaran bahwa desakan pertama untuk beriman dan kesediaan untuk menerima iman merupakan anugerah Tuhan.


2.3.1. Konsili Trente

Konsili Trente mengajarkan ajaran reformasi. Gereja menekankan bahwa iman itu hanya lebih daripada kepercayaan karena iman merupakan perbuatan persetujuan terhadap apa yang diwahyukan dan apa yang dijanjikan Tuhan. Trente menekankan bahwa iman dianugerahkan Tuhan. Dan merupakan awal dan akar keselamatan. Iman tanpa harapan dan cinta kasih adalah mati.

2.3.2. Konsili Vatikan I

Dijumpai paham iman yang agak intelektualistis. Untuk melawan rasionalisme Gereja mempertahankan sifat adikodrati ini, sedangkan untuk melawan tradisionalisme, Gereja menekankan peranan akal budi.

2.3.3. Konsili Vatikan II

Konsili II ini menekankan segi personal iman. DV artikel 5 menulis: “kepada Allah yang memberi wahyu, manusia harus menyatakan ketaatan iman yaitu dengan bebas menyerahkan diri seluruhnya kepada Allah”.

2.4. Iman Sebagai Keutamaan Teologal

Keutamaan adalah sikap dasar kita. Iman sebagai sesuatu yang berlangsung pada saat-saat tertentu atau yang disebut sebagai perbuatan. Keutamaan teologal iman yang dicurahkan dan bersifat adikodrati merupakan prinsip yang memungkinkan perbuatan-perbuatan iman yang bersifat adikodrati pula. Dalam Kitab Suci terutama surat-surat Paulus terdapat perbedaan antara status menetap beriman, misalnya Rom 4:5, 10:11. Selain itu dikenal secara bersama-sama harapan dan kasih sebagai inti hidup kristiani, sebagai keadaan yang menetap dan bukan meluluh sebagai perbuatan yang berlalu. Ada beberapa ungkapan yang menunjukkan keadaan yang menetap, misalnya hidup dalam iman. Gal 2:20 atau jalan dalam iman 2Kor 5:7, juga berdiri tegak dalam iman.


Sasaran langsung dan motivasi keutamaan teologal serta perbuatan beriman ialah Tuhan sendiri sebagai kebenaran tertinggi, yang mewahyukan dan menganugerahkan diriNya secara adikodrati kepada manusia.

2.4.1. Tanggungjawab Terhadap Iman

Iman bukan hanya merupakan anugerah, tetapi sekaligus merupakan tugas dengan demikian iman mempunyai konsekuensi moral. Dari iman timbul tugas penuh tanggungjawab bagi manusia kristiani. Dan ia juga punya tanggungjawab untuk iman.


2.4.1.1. Tugas Menghayati dan Membina Iman


Iman merupakan hidup baru yang harus berkembang dalam hidup manusia, maka perlu sungguh-sungguh dihayati dan dibina. Menghayati dan membina iman mengandung banyak unsur yaitu melindungi iman dan memperdalam iman. Menghayati iman berarti menghayatinya dalam semangat cinta kasih. Dengan demikian cinta kasih bukanlah tambahan sampingan melainkan tak terpisahkan dari iman.

2.4.1.2. Tugas untuk Memberi Kesaksian Iman

Hal ini merupakan dimensi sosial iman yakni adanya kewajiban untuk menyatakan iman keluar, memberikan kesaksian iman terhadap dunia luar. Untuk menunjukkan dimensi sosial iman ini orang mengacu pada Mat 10:32-33. Kesaksian iman pada umumnya cukup implisit, tetapi ada kalanya diminta kesaksian eksplisit, misalnya, apabila diam saja, sudah dipandang sebagai penyangkalan iman (Kan. 1325). Meskipun demikian dalam pengejaran pembunuhan, orang dapat menyembunyikan imannya untuk sementara.

2.4.1.3. Tugas Menyebarkan Iman


Dokumen Ad Gentes menekankan bahwa iman Katolik itu bersifat universal. Gereja itu sendiri berarti misi, maka jelaslah bahwa penyebaran iman merupakan tugas hakiki Gereja sebagai keseluruhan. Dengan demikian menjadi tugas utama setiap orang Kristiani.


2.5. Catatan Kritis


Beriman berarti menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah Yang Esa, yang mewahyukan DiriNya dalam Diri PuteraNya Yesus Kristus, menerima ajaranNya, menghayati ajaranNya dan mewartakanNya kepada orang lain, supaya Kerajaan Allah meraja dalam hati semua manusia. Inilah komitmen pribadi maupun bersama orang yang beriman Katolik. Iman Katolik beriman kepada Allah Esa yang mwnjadi manusia dalam Yesus PuteraNya.


III. REFLEKSI KRITIS

Agama Katolik memiliki figur Allah yang Esa. Iman asli Suku Bunaq memiliki iman akan Wujud Tertinggi dengan nama Hot Esen. Dalam hal ini wajah Allah iman Katolik bertemu muka-wajah ”Allah” Suku Bunaq (Hot Esen). Kondisi iman asli suku Bunaq ini menjadi lahan subur bagi misi gereja yang inkulturatif. Ini telah terbukti, doa-doa Katolik berbahasa Bunaq, menginkulturasikan Wajah Allah Tradisi Gereja Katolik dalam wajah Allah suku Bunaq yaitu Hot Esen. Bahasa atau Nama Allah atau Tuhan diterjemahkan dengan nama Hot Esen. Dengan demikian iman katolik sangat mudah tertanam, berakar, bertumbuh subur dalam perasaan-hati manusia Suku Bunaq, yaitu kebudayaannya. Inilah power misi berpakaiankan budaya Suku Bunaq oleh para misinaris SVD awali dalam Suku Bunaq.


Meskipun demikian, misi Allah gaya inkulturatif ini mengalami kesulitan pada budaya-budaya tertentu. Konsep Allah sebagai pribadi, figur dari Tradisi Katolik ini menghadapi penyangkalan yang serius dalam kebudayaan-kebudayaan yang mengimani wujud tertinggi tak berfigur dan tidak dapat difigurkan oleh manusia yang tak berdaya dan terbatas terhadap wujud tertinggi, kebudayaan Budhis, misalnya.
Pada lain pihak pandangan hidup Suku Bunaq juga masih mengandung penghormatan kepada bermacam-macam roh (pohon, hutan lebat, gua-gua, yang masih disembah oleh Suku Bunaq dalam budayanya. Kondisi ini harus ditanggapi secara kritis dalam kacamata iman Katolik yang hanya menganut monoteisme. Meskipun demikian keadaan Suku Bunaq ini menjadi peluang bagi misi Katolik untuk menerangi budaya Suku Bunaq dengan Terang nilai-nilai Injili. Untuk itu pendekatan manusiawi harus menjadi komitmen dalam menanam tradisi Gereja Katolik dalam budaya Suku Bunaq. Menuju budaya suku Bunaq diterangi nilai-nilai Kristiani memang membutuhkan sikap waspada dan proses yang lama, agar misi Katolik tidak melukai hati dan budaya Suku Bunaq tetapi benar-benar meneranginya.


Singkatnya nilai-nilai budaya yang bertemu dengan nilai-nilai kristiani dapat dimanfaatkan sungguh-sungguh untuk bermisi dalam Budaya Suku Bunaq. Nilai-nilai Injili menjiwai budaya setempat dan bukan sebaliknya (Bdk EN.no.20).




DAFTAR PUSTAKA


Berthe, Louis, Cara Perkawinan dan Susunan Masyarakat Pada Orang Bunaq di Timor Tengah, Jakarta: UI, 1966

Bere, Laurens, Daftar Data dan Informasi tentang Suku Bangsa Bunaq, Weluli: P & K, 1987

Go, Piet, Diktat Keutamaan Teologal dan Religi, Malang: STFT Widya Sasana, 1984
Janga, Antonius, CP, Catatan Kuliah Mimbar, Malang: STFT Widya Sasana, 2002/2003


Kirchberger, Georg, ALLAH Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen, Ende: LPBAJ, 1999

Kobong, Th, Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994

Liliweri, Alo, ed. Inang Hidup dan Bhaktiku, Kupang: Tim Penggerak PKK NTT, 1989

Mangun Wijaya, Y.B, Sastra dan Religiositas, Jakarta: Sinar Harapan, 1982


Norsena, Bambang, Religi dan Religiositasm Bung Karno, Keragaman Mengokohkan Keindonesiaan, Denpasar: Bali Jagadhita Press, 2002


Prior, John M, SVD, Bejana Tanah Nan Indah, Ende: Nusa Indah, 1993

Sinaga, Anicetus, Gereja dan Inkulturasi, Yogyakarta: Kanisius, 1984

Sermada Kelen, Donatus, Diktat Filsafat Ketuhanan, Malang: STFT Widya Sasana, 1999


Z.M. Hidajat, Masyarakat dan Kebudayaan Suku-Suku Bangsa di NTT, Bandung: CV Tarsito, 1976

Kamis, Januari 10, 2008

PRESIDEN SUKU MERAYAKAN “ADAT BULA HOON” D I ATAS “BOSOK”

BULA HOON artinya mempersembahkan korban binatang kepada leluhur yang dipimpin oleh POR GOMO. Por gomo adalah pemimpin tertinggi para leluhur maupun pemimpin jiwa anggota suku yang masih hidup di dunia ini. Istana kediaman Por Gomo ini di sebuah altar yang dibangun oleh nenek moyang sejak jaman dulu kala. Altar itu dibangun dari batu-batu alam. Altar persembahan itu dalam bahasa Bunaq disebut BOSOK.



Tempat Altar itu biasanya di tempat di mana ada sumber air. Orang yang mengadakan BULA HOON, menimbah air itu dan membawanya ke rumah, di simpan di rumah, sebagai air berkat dalam rumah. Por gomo adalah penguasa atas hidup manusia. Paham bahwa sakit seorang anggota suku sampai operasi misalnya, merupakan satu penyakit karena kemarahan por gomo yang berkuasa atas hidup setiap anggota suku. Sakit keras dan kemudian sembuh kembali, dipandang bahwa kesembuhannya itu belum total. Dipandang bahwa jiwa seorang anggota suku itu masih tinggal dibawa kuasa por gomo. Lalu bagaimana supaya jiwa itu kembali menyatu dengan seorang anggota suku yang telah sembuh dari sakit itu ? Di samping proses peyembuhan secara medis maupun lewat dukun kampung, diadakan adat liturgi BULA HOON untuk si sakit bersatu kembali dengan jiwanya agar dia mengalami kesehatan yang utuh.




Sejak nenek moyang dahulu kala, adat BULA HOON ini sudah ada dan terus dilaksanakan sampai hari ini oleh generasi suku-suku kecil dalam suku Bunaq. Setiap suku kecil dalam suku Bunaq memiliki por gomo sendiri-sendiri. Setiap suku kecil memiliki altar persembahan yang dibangun dari bebatuan yang biasanya dekat sumber air. Setiap melaksanakan korban binatang sesuai dengan intesinya untuk menerima rahmat utuh dari POR GOMO setelah sakit keras, dan setelah kecelakaan. Sakit penyakit itu berasal dari kutukan POR GOMO atas seorang anggota suku yang sakit atau celaka karena mengandalkan diri tidak mengandalkan kekuatan POR GOMO yang menguasai hidup setiap anggota suku. Anggota suku yang sombong, tidak rendah hati lewat tidak taat pada adat istiadat yang berlaku, akan diberi penyakit atau kecelakaan oleh POR GOMO. Adat BULA HOON untuk kembali memperbaharui diri seorang yang telah sakit atau celaka itu untuk hidup rendah hati dan peduli serta taat pada tata adat yang diturunkan nenek moyang sejak dahulu kala.




BULA HOON yaitu perayaan liturgi adat dengan mengorbankan korban binatang yang dipercikkan darahnya di atas altar persembahan nenek moyang itu disertai dengan mantra-mantra oleh seorang dukun sekaligus seorang yang tahu adat tentang asal-asal suku dan tahu baik bahwa sumber kemarahan POR GOMO terhadap yang menderita sakit dan atau mengalami kecelakaan, agar mantra-mantra kerendahan hati dan permohonan maaf di depan POR GOMO dapat meluluhkan hati POR GOMO untuk memberi kesembuhan utuh serta berkat dan perlindungan hidup sehat kepada si sakit. BULA HOON di atas BOSOK atau altar persembahan ini bertujuan untuk hidup damai antara anggota suku yang sakit dengan POR GOMO suku. Persembahan korban binatang di atas BOSOK yang telah dibangun sejak dulu kala sejak zaman nenek moyang, tetap dijaga oleh presiden suku atau ketua suku bersama para anggota suku yang akan mengganti presiden suku.





Korban yang dipersembahkan di BOSOK tersebut adalah korban pendamaian antara anggota suku yang sakit dengan POR GOMO sebagai pemimpin atas kehidupan anggota terutama atas anggota suku yang sakit atau celaka yang sedang dalam proses penyembuhan menuju kesembuhan total. Sangat diyakini bahwa pembuat adat liturgi BULA HOON di atas BOSOK itu, selain berdamai dengan POR GOMO, adat ini dirayakan untuk mengambil kembali jiwa yang masih ada di tangan kuasa POR GOMO yang berkuasa atas kehidupan si sakit karena penyakit atau kecelakaan, agar jiwanya itu kembali bersatu dengan dirinya. Permintaan jiwa si sakit itu oleh presiden suku lewat mantra-mantra yang diucapkannya. Lewat Adat liturgi BULA HOON di atas BOSOK atau altar itu presiden suku atau ketua suku meminta rahmat dan kebaikan serta perlindungan dan kesehatan kepada anggota suku yang sedang dalam proses sakit karena penyakit atau kecelakaan.





Akan dibawa kemana daging yang dikorbankan itu? Daging itu akan dimasak di sekitar BOSOK altar tempat persembahan suku kepada pemimpin kehidupan yaitu POR GOMO. Daging yang sudah dimasak dengan nasi, siri pinang, sejumlah uang logam, sesuai ketentuan adat yang berlaku dalam suku, dimasukkan di dalam TAKA GOL yaitu tempat persembahkan kepada POR GOMO di atas altar atau BOSOK tersebut. Inilah pemberian jata atau yang menjadi bagian dari POR GOMO yang berkuasa atas kehidupan anggota suku. Persembahan kepada POR GOMO di atas altar atau BOSOK itu adalah daging yang berisi dan bergisi. Diyakini bahwa ini adalah makan pesta pendamaian antara yang sakit dengan POR GOMO yang berkuasa atas hidup anggota suku yang sakit. Ini adalah pesta syukur atas kesembuhan yang dialami si sakit.




Daging yang lainnya dimakan oleh anggota suku yang menghadiri upacara liturgi BULA HOON itu. Mereka makan pesta perdamaian di sekitar BOSOK atau altar itu sebagai satu pesta perdamaian dengan POR GOMO atau pemimpin kehidupan dengan anggota suku yang sakit dan sedang dalam proses penyembuhan menuju kesehatan yang diidamkan.





Peristiwa upacara liturgi adat BULA HOON di atas BOSOK atau altar persembahan leluhur kepada POR GOMO atau penguasa atas kehidupan anggota suku terutama atas anggota suku yang sedang sakit ini menunjukkan bahwa anggota manusia suku Bunaq mengakui adanya penguasa atas kehidupan manusia, yang dalam bahasa adat Bunaq disebut POR GOMO yang tidak kelihatan tetapi diakui, diterima lewat upacara liturgi adat BULA HOON. Dalam iman Katholik ada penguasa tunggal atas kehidupan di dunia ini dan kehidupan abadi yaitu ALLAH yang menyatakan diri secara penuh kepada manusia dalam diri YESUS KRISTUS.





Hanya ada sesuatu yang sulit didamaikan antara adat BULA HOON dengan pola pemahaman iman Katholik yaitu bahwa dalam paham adat BULA HOON, sakit atau kecelakaan manusia, dalam hal anggota suku berasal dari semacam kemaraham POR GOMO. Ini menunjukkan bahwa dalam diri POR GOMO ada keinginannya untuk diperhatikan, dilayani, dipedulikan. Hal itu diungkapkan dalam upacara adat BULA HOON di atas BOSOK atau altar suku untuk persembahan kepada POR GOMO, sebagai upacara rukun-rujuk antara anggota suku yang sakit dengan POR GOMO yang dipandangnya sebagai penguasa atas hidup dan jiwa si sakit. Artinya ada sisi baik dan jahat dalam diri POR GOMO itu. POR GOMO akan memberi kebaikan kalau diperhatikan. Por GOMO akan marah, mendatangkan penderitaan dan sakit kepada anggota suku kalau anggota suku tidak memperhatiakannya, tidak secara teratur merayakan upacara adat liturgi BULA HOON di BOSOK atau altar persembahan itu. Dalam paham Katholik, TUHAN adalah sumber kebaikan dan cinta sejati. Tuhan selalu memberi rahmat kehidupan dan kelimpahan kepada manusia ciptaanNya.





Publikasi ini diharapkan memurnikan pola pemahaman adat yang lebih rasional dalam kriteria iman suku-suku kecil yang menyebar di wilayah luas suku bangsa bunaq. Secara administratif, suku bunaq beragama Katholik. Kekatholikan itu dihidupi dalam adat dan kebudayaan suku Bunaq. Iman bertumbuh di atas Budaya setempat. Iman bukan sesuatu yang langsung jatuh dari langit.

PRESIDEN SUKU BUNAQ MERAYAKAN ADAT "HOL GO GAWA"



"HOL GO GAWA" adalah satu adat dalam suku Bunaq bagi seorang anggota suku yang akan meninggalkan istana rumah suku pergi ke tempat yang jauh. Malam sebelum kepergian seorang anggota suku ke tempat yang jauh karena bertugas atau untuk melanjutkan pendidikan, diselenggarakan adat "HOL GO GAWA" di dalam istana rumah adat suku Bunaq. Adat "HOL GO GAWA" ini dipimpin oleh presiden suku atau KETUA SUKU sebagai pemimpin tunggal Suku.




Pada waktu upacara adat "HOL GO GAWA" ini sedang dimulai, presiden suku mengundang semua "MUGEN" yaitu para leluhur agar hadir dalam upacara adat "HOL GO GAWA" yang sedang dipimpinnya. Undangan itu mau menunjukkan bahwa kehadiran "MUGEN" adalah sebagai saksi dan sekaligus pengesahan serta persetujuan terhadap pengutusan anggota sukunya yang akan pergi ke tempat yang jauh untuk melaksanakan tugas atau melanjutkan pendidikan. Kata-kata yang disampaikan ketua suku atau presiden suku diyakini keluar langsung dari mulut para leluhur yang diundang presiden suku dalam adat "HOL GO GAWA" itu.



Anggota suku yang hendak pergi ke tempat yang jauh, didoakan oleh presiden suku atau ketua suku. Doa itu isinya mantra-mantra yang diturunkan oleh para "MUGEN" dalam mulut-hati-pikiran presiden suku. Setelah doa, ketua suku keluar lewat pintu istana rumah suku, bersama anggota suku yang akan pergi jauh lalu melemparkan sebuah batu kecil ke arah tempat yang akan dituju oleh anggota suku yang akan pergi dari istana sukunya.


Makna terdalam dari adat "HOL GO GAWA" artinya sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh presiden suku, menunjukkan bahwa para "MUGEN" atau para leluhur suku telah mendahului anggota suku ke tempat baru yang akan dituju. Para leluhur menjadi "security" anggota suku dalam perjalanannya ke tempat baru. Dalam adat "HOL GO GAWA" itu hadirlah para "MUGEN" pemilik semua yang baik. Kehadiran "MUGEN" dalam "HOL GO GAWA" menunjukkan kehadiran berkat, rahmat, perlindungan, pengamanan terhadap kehidupan dan perjalanan anggota suku yang akan pergi ke tempat yang jauh dan tinggal di tempat yang dituju dalam waktu yang lama.



Dampak positif yang langsung dialami oleh anggota suku yang hendak pergi ke tempat baru yang jauh, terbebas dari segala ketakutan psikologis. Anggota suku itu, lewat adat "HOL GO GAWA" itu merasa dekat sekali dengan para leluhur yang senantiasa mendampinginya, menyelamatkannya, mengamankannya, mengarahkannya, menuntunnya pada yang baik, indah dan benar. Anggota suku yang hendak pergi jauh, dan tinggal di tempat yang baru, diteguhkan oleh adat " HOL GO GAWA" ini. Anggota suku yang pergi jauh menjadi percaya diri dalam seluruh perjalanan hidupnya dan seluruh usaha dan karyanya.




Kepercayaan diri yang dirasakan oleh anggota suku di tempat baru, entah untuk bekerja dan belajar, sebagai awal untuk berkembang maju di tempat yang baru. Anggota suku di tempat yang baru berjuang dengan tekun untuk meraih hasil yang baik bagi dirinya dan bagi anggota sukunya. Keberhasilan dan kesuksesan diterima, dipandang sebagai berkat campur tangan para "MUGEN" yang meniupkan berkat dan rahmat yang berlimpah dalam upacara liturgi adat "HOL GO GAWA".



Pola seperti ini membangun satu relasi emosional yang kuat sekali antara anggota suku yang tersebar di seluruh dunia karena tugas dan demi mempertahankan hidup, dengan presiden suku atau ketua suku yang berdiam di ibu pertiwi istana suku di kampung halaman, tempat kelahiran anggota suku yang menyebar ke seluruh dunia. Ikatan emosional itu dewasa ini semakin dicairkan lewat komunikasi via telephone dan HP serta SMS.




Relasi yang jauh karena jarak akan menjadi dekat lewat simbol adat "HOL GO GAWA" dalam suku dan dewasa ini lewat jauh di mata dekat di SMS dan HP. Ada berbagai hal yang mengokohkan sebuah relasi dengan yang jauh di mata tetapi dekat di hati. Jauh di mata dekat dalam doa. Doa mendekatkan yang tak kelihatan hadir dalam hati dan perasaan sang pendoa. Doa adalah komunikasi dengan yang tak kelihatan menjadi hadir dan dekat dengan diri dalam perasaan iman. Ada banyak simbol dalam Gereja yang menjadi jembatan mendekatkan YANG LAIN yang diimani dalam kehidupan iman dan seluruh karya dan pekerjaan.



Kekuatan rohani, spiritual dan psikologis bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Tetapi kekuatan-kekuatan itu diterima lewat sesama dalam saling mendoakan, saling meneguhkan, saling membaptis pikiran dalam diskusi, sms, e-mail, chating, telephone dan juga lewat simbol-simbol yang begitu kaya dalam hidup kita, dalam gereja Katholik yang mengalirkan kekuatan-kekuatan itu dalam suatu proses panjang refleksi dan renungan pribadi.

Selamat Merayakan Tahun Baru HIJRIYAH 1429, pada 10 Januari 2008

Rabu, Januari 09, 2008

MUGEN ADALAH SEBUTAN PARA LELUHUR YANG HIDUP BAHAGIA DI DUNIA SEBERANG


Mugen adalah sebutan bagi setiap anggota suku yang telah meninggal dunia dan tetap hidup di dunia seberang. Mugen ini hidup abadi di dunia para leluhur yang penuh dengan suka cita yang dialaminya tanpa akhir. Dunia yang demikian dialami oleh orang yang telah meninggal dunia ini lewat tata adat upacara pengesahan dan penghantaran atau perarakan diri orang yang meninggal. Upacara adat itu telah digariskan nenek moyang sejak jaman dulu hingga sekarang ini dan seterusnya tetap berlaku dan dilaksanakan dalam budaya Suku Bunaq.


Dunia Mugen adalah dunia penuh sukacita. Dunia mugen tanpa penderitaan. Kematian seorang suku Bunaq yang dirayakan dalam adat kematian secara utuh mengarak diri pribadi yang meninggal ke dalam persekutuan para mugen yang keadaannya yang penuh dengan pesta pora tanpa akhir.




Para mugen ini diyakini pemilik berkat dan rahmat bagi anggota suku bunaq yang sedang hidup dan berkarya di dunia ini. Berkat dan rahmat berlimpah para mugen itu dimohonkan oleh anggota suku yang masih hidup. Permintaan rahmat para mugen itu lebih berdaya bila diperantarai oleh presiden Suku atau ketua suku. Ketua suku dipandang sebagai jembatan pipa rahmat bagi para mugen mengalirkan berkatnya bagi anggota suku yang meminta rahmat itu. Ketua suku atau presiden suku juga adalah penyampai permintaan rahmat oleh anggota sukunya kepada para mugen. Relasi yang demikian memberi kekuatan dan peneguhan serta kepercayaan diri setiap anggota dalam hidup dan karyanya, terutama dalam menghadapi semua kesulitan dan tantangan hidup. Setiap tantangan dan ancaman akan teratasi berkat permohonan atau permintaan berkat dan ramat kepada mugen lewat presiden suku.



Peran ketua suku sangat kental dalam relasi rohani dengan para mugen. Presiden suku memiliki ikatan spiritual yang kuat dengan para mugen ini. Semua pusaka dan kekuatan gaib suku diturunkan atas diri presiden suku. Presiden suku tanda kehadiran para mugen. Kekuatan rohani itu ditiupkan kepada setiap anggota sesuai dengan permintaan dan kerinduan serta kebutuhan anggota suku. Perkataan presiden suku atau mantra-mantra presiden suku dalam memberikan kekuatan rohani yang berasal dari para mugen yang berada atau berdiam disekitar pusaka nenek moyang berupa emas, perak, intan, berlian dan mutiara yang ada di rumah istana suku atau rumah adat suku, benar-benar diimani berasal dari para mugen lewat perantaraan presiden suku. Anggota suku yang menerima kekuatan dan rahmat para mugen lewat presiden suku merasa penuh percaya diri dalam usaha dan karyanya.


Anggota suku setelah berhasil dalam usaha dan karyanya, mempersembahkan hasil usaha dan karyanya kepada para mugen lewat membunuh binatang di rumah adat dan memberikan makanan dan daging itu kepada para mugen di dalam rumah istana suku atau rumah adat suku. Pada saat itu, lewat ketua suku, ucapan syukur disampaikan kepada para mugen sekaligus meminta agar para mugen terus menurunkan rahmat ke atas anggota suku yang mengadakan upacara adat suku itu, agar hasil usahanya tetap berkelimpahan.


Perasaan manusia dalam berelasi dengan yang lain dalam hal ini dengan para mugen merupakan suatu yang indah untuk didalami secara serius untuk mengenal perasaan hati manusia suku Bunaq dalam berelasi dengan yang lain yang memiliki kekuatan rohani yang luar biasa bagi hidup dan karya manusia suku bunaq.


Kehidupan manusia Bunaq yang demikian mengungkapkan jati dirinya sebagai manusia yang hidupnya optimis akan masa depan setelah hidup di dunia ini berakhir. Hidup yang akan datang itu penuh dengan harapan indah. Hidup yang akan datang itu penuh dengan suka cita abadi. Hidup yang akan datang penuh dengan tiada airmata dan derita. Keadaan yang demikian itu adalah milik para mugen yaitu mereka yang kematiannya dirayakan secara liturgi adat kematian sempurna sesuai adat nenek moyang dari generasi ke generasi. Syarat pemenuhan adat nenek moyang dalam suku adalah jaminan bagi seorang yang mati masuk ke dalam dunia para mugen, persekutuan dengan para mugen.


Aturan adat tidak dilaksanakan maka dunia mugen yang digambarkan tadi akan tidak dialami oleh orang yang telah meninggal atau orang yang telah mengakhiri hidupnya di dunia ini. Dia yang mati tetapi adat kematiannya tidak dirayakan secara lengkap sesuai yang diwariskan nenek moyang maka dia akan menjadi penonton dari luar jendela rumah suku para mugen atau istana para mugen, dalam kepanasan, kedinginan, kelaparan, dan penderitaan. Dia yang mati tetapi sukunya tidak merayakan adat kematiannya secara lengkap maka dia akan hidup di luar pagar rumah istana para mugen.


Dia hanya dapat masuk dalam pengalaman bahagia bersama para mugen dalam istana para mugen, kalau suatu ketika anggota kelurga suku di dunia ini sudah merayakan adat kematiannya secara sempurna. Adat kematian yang telah diturunkan nenek moyang dilaksanakan seutuhnya agar pintu istana bahagia para mugen dibukakan kepadanya.


Rupanya konteks pola suku Bunaq yang demikian tidak jauh berbeda dengan pola pemahaman Kristiani tentang Surga. Istana Surga dalam pola pikir kristiani boleh dikatakan gambarannya serupa dengan istana mugen suku bunaq. Syarat masuk istana mugen adalah taat dan setia melaksanakan adat nenek moyang, syarat masuk surga adalah taat-setia kepada Allah sang penyelamat, yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Kristus adalah jalan keselamatan masuk Surga.


Pewarta iman Kristiani dalam suku Bunaq, tentang surga tidak mengalami kesulitan untuk diterima oleh hati suku Bunaq. Yang penting seorang pewarta Sabda Allah, di suku Bunaq dengan rendah hati menghargai adat suku setempat, sebagai lahan yang perlu digemburkan bagi pertumbuhan pohon iman kristiani yang kokoh.



Tulisan ini disusun dan dipublikasikan tepat pada MALAM EMPAT PULUH meninggalnya Rm. Lambertus Paji Seran, SVD