Minggu, Februari 03, 2013

Homili Minggu 3 Februari 2013



 “BUKAN SIAPA  TETAPI  APA “

Yer 1 : 4 - 5; 17 -19;
1Kor 13 : 4 - 13;
 Luk  4 : 21 – 30

Homili Minggu 3 Februari 2013
Dari Surabaya Untuk Dunia


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*


Kalau diminta memilih antara undangan Seminar dari seorang anak muda yang belum punya nama dengan seorang senior yang sudah terkenal, pasti kebanyakan di antara yang menerima undangan akan lebih tertarik pada pembicara yang lebih senior dan mempunyai nama daripada anak muda yang tidak terkenal. Walapun barangkali anak muda itu lebih kreatif dalam membawakan makalahnya. Mengapa demikian? Karena para undangan terpola dengan sistem berpikir yang dijiwai oleh “bukan apa yang dikatakan tetapi siapa yang mengatakan.”
Demikian juga seorang anak muda yang berbicara meyakinkan, penuh kuasa serta penuh dengan sikap kritis  di dalam sebuah kampung di hadapan  mayoritas para tetua dan para sesepuh, belum tentu semua orang sekampung itu menerima pembicaraannya. Sejumlah dari mereka yang tergolong sesepuh bisa jadi merasa bangga dengan kehadiran anak muda itu dan bisasanya datangnya dari keluarga dekat si pembicara atau yang berprinsip “bukan orangnya tetapi kualitas pembicaraannya.”  Tetapi sesepuh yang lain bisa jadi melihat dengan kacamata iri hati pada si anak muda itu bahkan secara terang-terangan dengan kata maupun sikap ataupun dengan perbuatan menyangkal kehadirannya.
Salah satu tema yang dijadikan bahan diskusi dalam kapitel terakhir adalah kesenjangan antara senior dengan yang yunior dalam hidup berkomunitas. Dalam kehidupan bersama, yang senior seringkali bahkan banyak kali memandang yunior dengan paradigma “ kau baru lahir kemarin belum tahu apa-apa”. Sistem berpikir seperti ini melahirkan tanpa apresiasi dari senior kepada Yunior yang bekerja tekun dan menghasilkan karya pelayanan yang baik bagi banyak umat yang dilayaninya.
Pengalaman yang demikian membawa dampak pada kehidupan berkomunitas, dimana antara senior dengan yunior semakin berjalan jauh dari kekompakan di dalam karya pelayanan. Atau sebaliknya yang Yunior pun dalam kehidupan bersama mengandalkan sistem berpikir “merendahkan senior” karena usia dan kesehatan, dan memandangnya sebagai beban bagi yang yunior, sehingga konflik pun bisa semakin kelihatan. 
Solusi yang mau ditempuh adalah komunikasi dan evaluasi dari hati ke hati sebagai jembatan yang mendamaikan antara yang Yunior dengan Senior di dalam kehidupan bersama di Pastoran atau komunitas karya agar yang diutamakan adalah “Misi Allah” bukan “misi diri” masing-masing baik Yunior maupun senior. Untuk itu paradigma yang menjiwai hidup bersama adalah “kita (senior – Yunior) sama tahu untuk melaksanakan Kehendak Allah bukan kehendak pribadi.”
Yesus adalah Yunior dalam usia tetapi  pemikirannya penuh berbobot. Pembicaraannya sangat berbobot untuk keselamatan dunia itu  ditanggapi dengan penolakan dari orang-orang sedesanya atau sekampungnnya.
Mayoritas orang sekampung Yesus  bahkan para pemuka agama menolak Yesus si anak muda, yang selayaknya dijadikan harapan masa depan dari Kampung Nazaret.
Apakah penolakan itu membuat Yesus mundur dari perjuangannya memberikan yang terbaik dan terbenar bagi masyarakat setempat, agar mendapatkan rasa aman dan tanpa konflik di dalam komunitas Nazareth?

Sikap kritis Yesus semakin bergema di dalam situasi penolakan yang dialaminya. Bahkan Yesus menyampaikan sindiran yang mendalam terhadap BangsaNya sendiri, lewat mujizat yang terjadi atas orang non Israel: janda Sarfaat di saat kelaparan hebat dan Naaman yang sakit disembuhkan karena memiliki iman, harapan dan kasih kepadaNya.
Orang asing non Israel diselamatkan karena mereka yang dulunya dicap sebagai bukan bangsa terpilih kini bertobat menjadi bangsa terpilih oleh iman dan harapan dan kasih kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya orang Israel yang dulunya dikenal sebagai bangsa terpilih, tidak mengalami mujizat dari Tuhan karena kehilangan iman, harapan dan kasih. Dengan kata lain Orang Asing berjalan bersama Yesus sebaliknya Orang Israel berjalan bersama egoismenya.

Introduksi Perayaan Ekaristi :

Allah membentuk kita sejak dalam kandungan Ibu yang mengandung kita. Menjadi imam dan bruder  bahkan sebagai awam pun telah direncanakan Allah sejak dalam kandungan ibu yang dengan penuh cinta mengandung kita. Itulah Cinta Tuhan yang kita alami secara nyata di dalam kandungan orang tua kita.

Kini kita jaga dan pelihara serta merawat cinta itu di dalam perjalanan panggilan hidup kita. Artinya meskipun Allah telah membentuk kita sejak awal kekhidupan kita sesuai kehedaknya, kita bukanlah robot yang remote-nya dipegang oleh Allah yang mengarahkan kita kepada kehendakNya.
Tuhan memberikan kebebasan kepada kita sejak di awal kehidupan yang berasal dari Allah sendiri. Dengan kebebasan itulah kita menyetir kendaraan perjalan hidup kita, entah ke kiri atau ke kanan atau berjalan lurus sesuai dengan rambu-rambu Tuhan sendiri. Dengan dasar iman harap dan kasih, kita mengendarai kendaraan hidup kita berjalan pada kehendak Tuhan Yesus dalam suka maupun duka kita, bukan berdasarkan kesombongan yang menghilangkan iman harap dan kasih kepada Tuhan Yesus.

“BUKAN SIAPA TETAPI APA “

“BUKAN SIAPA  TETAPI  APA “

Yer 1 : 4 - 5; 17 -19; 1Kor 13 : 4 - 13; Luk  4 : 21 – 30
Dari Surabaya Untuk Dunia

*P. Benediktus Bere Mali, SVD*


Kalau diminta memilih antara undangan Seminar dari seorang anak muda yang belum punya nama dengan seorang senior yang sudah terkenal, pasti kebanyakan di antara yang menerima undangan akan lebih tertarik pada pembicara yang lebih senior dan mempunyai nama daripada anak muda yang tidak terkenal. Walapun barangkali anak muda itu lebih kreatif dalam membawakan makalahnya. Mengapa demikian? Karena para undangan terpola dengan sistem berpikir yang dijiwai oleh “bukan apa yang dikatakan tetapi siapa yang mengatakan.”
Demikian juga seorang anak muda yang berbicara meyakinkan, penuh kuasa serta penuh dengan sikap kritis  di dalam sebuah kampung di hadapan  mayoritas para tetua dan para sesepuh, belum tentu semua orang sekampung itu menerima pembicaraannya. Sejumlah dari mereka yang tergolong sesepuh bisa jadi merasa bangga dengan kehadiran anak muda itu dan bisasanya datangnya dari keluarga dekat si pembicara atau yang berprinsip “bukan orangnya tetapi kualitas pembicaraannya.”  Tetapi sesepuh yang lain bisa jadi melihat dengan kacamata iri hati pada si anak muda itu bahkan secara terang-terangan dengan kata maupun sikap ataupun dengan perbuatan menyangkal kehadirannya.
Salah satu tema yang dijadikan bahan diskusi dalam kapitel terakhir adalah kesenjangan antara senior dengan yang yunior dalam hidup berkomunitas. Dalam kehidupan bersama, yang senior seringkali bahkan banyak kali memandang yunior dengan paradigma “ kau baru lahir kemarin belum tahu apa-apa”. Sistem berpikir seperti ini melahirkan tanpa apresiasi dari senior kepada Yunior yang bekerja tekun dan menghasilkan karya pelayanan yang baik bagi banyak umat yang dilayaninya.
Pengalaman yang demikian membawa dampak pada kehidupan berkomunitas, dimana antara senior dengan yunior semakin berjalan jauh dari kekompakan di dalam karya pelayanan. Atau sebaliknya yang Yunior pun dalam kehidupan bersama mengandalkan sistem berpikir “merendahkan senior” karena usia dan kesehatan, dan memandangnya sebagai beban bagi yang yunior, sehingga konflik pun bisa semakin kelihatan. 
Solusi yang mau ditempuh adalah komunikasi dan evaluasi dari hati ke hati sebagai jembatan yang mendamaikan antara yang Yunior dengan Senior di dalam kehidupan bersama di Pastoran atau komunitas karya agar yang diutamakan adalah “Misi Allah” bukan “misi diri” masing-masing baik Yunior maupun senior. Untuk itu paradigma yang menjiwai hidup bersama adalah “kita (senior – Yunior) sama tahu untuk melaksanakan Kehendak Allah bukan kehendak pribadi.”
Yesus adalah Yunior dalam usia tetapi  pemikirannya penuh berbobot. Pembicaraannya sangat berbobot untuk keselamatan dunia itu  ditanggapi dengan penolakan dari orang-orang sedesanya atau sekampungnnya.
Mayoritas orang sekampung Yesus  bahkan para pemuka agama menolak Yesus si anak muda, yang selayaknya dijadikan harapan masa depan dari Kampung Nazaret.
Apakah penolakan itu membuat Yesus mundur dari perjuangannya memberikan yang terbaik dan terbenar bagi masyarakat setempat, agar mendapatkan rasa aman dan tanpa konflik di dalam komunitas Nazareth?
 
Sikap kritis Yesus semakin bergema di dalam situasi penolakan yang dialaminya. Bahkan Yesus menyampaikan sindiran yang mendalam terhadap BangsaNya sendiri, lewat mujizat yang terjadi atas orang non Israel: janda Sarfaat di saat kelaparan hebat dan Naaman yang sakit disembuhkan karena memiliki iman, harapan dan kasih kepadaNya.
Orang asing non Israel diselamatkan karena mereka yang dulunya dicap sebagai bukan bangsa terpilih kini bertobat menjadi bangsa terpilih oleh iman dan harapan dan kasih kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya orang Israel yang dulunya dikenal sebagai bangsa terpilih, tidak mengalami mujizat dari Tuhan karena kehilangan iman, harapan dan kasih. Dengan kata lain Orang Asing berjalan bersama Yesus sebaliknya Orang Israel berjalan bersama egoismenya.
 
Introduksi Perayaan Ekaristi :
 
Allah membentuk kita sejak dalam kandungan Ibu yang mengandung kita. Menjadi imam dan bruder  bahkan sebagai awam pun telah direncanakan Allah sejak dalam kandungan ibu yang dengan penuh cinta mengandung kita. Itulah Cinta Tuhan yang kita alami secara nyata di dalam kandungan orang tua kita.
 
Kini kita jaga dan pelihara serta merawat cinta itu di dalam perjalanan panggilan hidup kita. Artinya meskipun Allah telah membentuk kita sejak awal kekhidupan kita sesuai kehedaknya, kita bukanlah robot yang remote-nya dipegang oleh Allah yang mengarahkan kita kepada kehendakNya.
Tuhan memberikan kebebasan kepada kita sejak di awal kehidupan yang berasal dari Allah sendiri. Dengan kebebasan itulah kita menyetir kendaraan perjalan hidup kita, entah ke kiri atau ke kanan atau berjalan lurus sesuai dengan rambu-rambu Tuhan sendiri. Dengan dasar iman harap dan kasih, kita mengendarai kendaraan hidup kita berjalan pada kehendak Tuhan Yesus dalam suka maupun duka kita, bukan berdasarkan kesombongan yang menghilangkan iman harap dan kasih kepada Tuhan Yesus.

Rabu, Januari 30, 2013

PARADIGMA BARU MISI SVD SERATUS TAHUN KE DEPAN



DARI
“DUNIA PAROKI SVD”
 KE
“DUNIA MEDAN PASTORAL KATEGORIAL SVD”

Kotbah Pesta St. Yosef Freinademetz
Selasa 29 Januari 2013
Rm 15 : 13 – 19a. 20 - 21; Luk 10 : 1 – 9
Dari Soverdi Surabaya Untuk Dunia

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Ketika Kaul Kekal dan ditahbiskan sebagai imam SVD  kemudian tiba acara pengumuman benuming atau penempatan pertama para misionaris di utus ke seluruh dunia, ke segala bangsa, disambut dengan tepukan tangan yang sangat meriah dari umat. Peristiwa ini sadar atau tidak, lahir dari sebuah prinsip misi SVD yang memproklamasikan bahwa sesungguhnya “DUNIA ADALAH PAROKI KITA (SVD)”. Tepukan tangan itu bisa lahir dari sebuah kejutan yang lahir dari kebanggaan umat atas seorang misionaris SVD dari Indonesia ke seluruh dunia untuk menjadi pelayan di Paroki-paroki yang tersebar di seluruh dunia, di segala bangsa, dan suku serta bahasa. Seorang misionaris pun merasa bangga bahagia atas penempatan ke luar negeri karena saat itu ditempatkan sebagai misionaris produk lokal  dalam negeri untuk konsumsi internasional.   

Tetapi ketika uskup-uskup mulai mengambil paroki – paroki dari SVD, bukan lagi tepukan tangan meriah dari SVD, tetapi SVD menyerahkan paroki-paroki yang sebelumnya ditangani oleh SVD kepada Keuskupan, sesuai Hukum Gereja dan Konstitusi Serikat Sabda Allah, SVD menundukkan kepala dan mengheningkan cipta, serta mengangkat wajah menatapi masa depan SVD yang sedang berjalan di atas medan misi, dengan sebuah kepastian menggeser paradigma misi masa lalu “DUNIA ADALAH PAROKI KITA (SVD)” kepada paradigma misi masa kini dan akan datang yang kontekstual “DUNIA ADALAH MEDAN PASTORAL KATEGORIAL KITA (SVD)”.  Pergeseran paradigma misi ini sebuah tawaran yang sesegera mungkin direalisasikan dalam perjalanan SVD ke masa depan.

Kesegeraan itu ditampakkan di dalam pembangunan manusia menuju profesionalisme dalam segala bidang ilmu sosial dan ilmu pasti sebagai pintu masuk kepada misi kategorial SVD di atas  planet ini.  Nilai-nilai  iman Kristiani dialirkan ke dalam bidang-bidang karya setiap konfrater SVD, yang dimainkan secara profesional.  Profesionalisme setiap anggota dalam ilmu sosial, humaniora, ilmu pasti, teologi dan Filsafat adalah keutamaan yang menjadi jantung yang menggerakkan seluruh perjalanan hidup matinya pastoral kategorial SVD. Para pengambil kebijakan dan keputusan sesegera mungkin memberikan porsi yang lebih untuk pastoral kategorial SVD baik di tingkat distrik, rumah-rumah karya, provinsi maupun secara internasional.

Pembangunan profesionalisme Sumber Daya Manusia SVD dalam segala bidang kehidupan sekular maupun spiritual membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Investasi sumber daya manusia  diberi tempat pertama dan utama, dan sekiranya dana pembangunan fisik diminimalisir bahkan diberhentikan. Karena wajah dunia bisa diperbarui secara cepat dan berbobot melewati dunia pendidikan. Hal ini sangat ditekankan oleh seorang tokoh terkenal yaitu Nelson Mandela. Ia berkata : “Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang dapat  digunakan untuk mengubah wajah dunia” (Kompas, sabtu, 26 Januari 2013, hal. 7 ).

Profesionalisme dalam bidang karya yang diakui legal secara intrenasional baik dalam ilmu sosial, humaniora, ilmu-ilmu pasti, teologi dan filsafat, adalah pintu yeng terbuka lebar bagi SVD untuk pergi ke seluruh dunia mewartakan Khabar Gembira kepada semua orang yang dilayani. Profesionalisme dalam bidang karya yang diakui secara legal pada tingkat internasional, memudahkan SVD masuk Negara-negara yang menutupi pintunya bagi misionaris asing untuk bermisi dengan gaya misi Katolik di dalam negaranya. Misalnya Negara India menutupi pintu bagi misionaris luar India masuk ke Negara India. Tetapi dengan visa sebgai dosen professional diperkenankan untuk mengajar di Universitas di India. Indonesia menutupi pintu bagi misionaris asing masuk ke Indonesia untuk menyebarkan Injil. Tetapi pintu Indonesia terbuka bagi seorang pendidik atau dosen professional untuk mengajar di universitas di Indonesia. China menutupi pintu bagi para misonaris masuk ke China untuk tujuan mewartakan Injil dan menyebarkan agama Katolik. Tetapi pintu terbuka lebar bagi seorang dosen yang professional dalam bidangnya untuk mengajar di suatu universitas yang ada di China. Pintu yang tertutup dibuka dengan pendidikan yang professional. Pendidikan mengubah wajah dunia melintas batas.  


Peristiwa ini membuka pintu hati SVD yang  tertutup rapat oleh kebingungan yang mendalam karena semua paroki SVD diambil alih oleh keuskupan sesuai hukum Gereja dan konstitusi Serikat Sabda Allah. Pintu dunia selalu terbuka lebar bagi misi SVD. Pastoral kategorial sebuah keharusan. Pastoral Parokial ditinggalkan. Paradigma “DUNIA ADALAH PAROKI KITA” mulai perlahan gugur karena hampir semua paroki diserahkan kepada keuskupan. Inilah saatnya bagi pertumbuhan Paradigma misi SVD: “DUNIA ADALAH MEDAN PASTORAL KATEGORIAL”.

Kita memerlukan penafsiran baru atas Paulus dan Para Murid  diutus kepada bangsa-bangsa untuk mewartakan Injil seperti dalam bacaan pertama dan bacaan Injil pada pesta St. Yosef Freinademetz ini, dalam konteks dan zaman serta moment kita saat ini. Saat kita sekarang bukan pembangunan Fisik yang utama tetapi profesionalisme para agen misi dalam hal ini misionaris.

Pada saat  P. Yosef Freinademetz SVD terpilih sebagai provincial China pada tahun 1900, 113 tahun yang lalu, dia memberikan sambutannya dalam kalimat emas ini : “Kemajuan Misionaris adalah Kemajuan Misi.”  P. Yosef Freinademetz SVD  merealisasikan pemikiran atau prinsip misinya di China dengan menciptakan peluang-pelung emas bagi para misionaris SVD. 

Gaya kepemimpinannya sungguh terpuji karena sebagai pemimpin membuka peluang yang luas bagi para konfrater dan bruder misionaris mengasah dan mempertajam bidang keahlihannya secara professional. Peluang-peluang yang tercipta bagi kemajuan misionaris kemajuan misi adalah dalam bidang spiritualitas dan dalam bidang sekular sebagai lahan misi misionaris. 

 Konfrater misionaris diberi peluang untuk menata kehidupan rohani dengan retret tertata secara professional. Perpustakaan sebagai jendela dunia bagi misi Allah. Kursus-kursus keahlihan untuk kemajuan misionaris kemajuan misi. Pendidikan formal setiap misionaris untuk menjadi seorang misionaris yang profesional di dalam bidang karya misi.  Peluang-peluang yang tercipta itu dimanfaatkan untuk kemajuan misionaris kemajuan misi di China.

Misi SVD Jawa didominasi misi parokial. Beberapa Paroki sudah diserahkan kepada Keuskupan. Paroki St. Petrus Batam tepat tanggal 13 Januari 2013, SVD serahkan kepada Keuskupan Pangkal Pinang. Sementara Pastoral Kategorial masih dilihat sebelah mata hati. Kapitel General terakhir 2012, mengarahkan anggota SVD dunia kepada pastoral Kategorial. Sosialisasi Hasil Kapitel itu kepada konfrater sudah dilaksanakan. Arah dasar Provinsi pun sudah dibuat berdasarkan hasil sosialisasi kapitel General. Perlu sosialisasi kepada para Uskup tempat SVD berkarya agar bisa  sepaham dengan Gereja Lokal dalam pelaksanaan pastoral Kategorial yang dijalankan SVD di dalam wilayah teritorial keuskupan.  Dialog dan komunikasi dari SVD dengan keuskupan adalah jembatan menuju pelaksanaan pastoral kategorial berdasarkan amanat Kapitel General SVD tahun 2012.

Minggu, Januari 20, 2013

Homili Sabtu 19 Januari 2013




“MENELANJANGI DIRI
DI HADAPAN TUHAN”

Sabtu 19 Januari 2013
Ibr 4 : 12 –  16 Mrk  2:13-17
Homili Misa di Biara St.Maria
Jl. Dharmo – Surabaya

P. Benediktus Bere Mali, SVD


Setiap wilayah yang berada dalam kekacauan karena peperangan pasti mengundang pihak keamanan untuk memelihara keamanan dan kedamaian di tempat tersebut. Sebaliknya kalau sebuah daerah sudah damai dan masing-masing orang sadar menegakkan kedamaian di dalam hidupnya maka kebutuhan akan pihak kemanan dari luar tidak dibutuhkan lagi. Masing-masing orang dalam masyarakat adalah penjaga kemanan bagi diri dan sesamanya.
Dengan kata lain antara konflik sosial dengan pihak kemanan berlaku prinsip ini. Semakin tinggi kekacauan semakin tinggi kebutuhan akan kehadiran pihak keamanan di daerah konflik. Sebaliknya semakin aman atau semakin rendah tingkat konflik sosial atau semakin damai sebuah wilayah semakin kurang atau semakin kecil atau semakin tidak ada kebutuhan akan pihak keamanan dari luar.
Persoalannya adalah apakah dengan tidak ada konflik, kesejahteraan pihak keamanan yang kembali ke barak itu selalu terjamin dan atau apa pekerjaan alternatif bagi mereka sebagai mahkluk yang memiliki martabat sebagai makhluk bekerja? Kalau tidak ada lapangan pekerjaan alternatif yang mendukung kesejahteraan keluarga, pimpinan tidak memperhatikan kesejahteraan mereka, apakah tidak ada di dalam benak mereka dengan rancangan yang sistematis untuk menciptakan konflik agar nilai pihak keamanan tetap dibutuhkan dan pekerjaan mereka tetap ada dengan harga material yang baik untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebuah arahan menuju pemahaman yang global untuk menciptakan keamanan dan kedamaian universal dalam kehidupan bersama. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebuah tuntunan yang mengantar manusia pada umumnya dan pihak kemanan untuk mengadakan pembaharuan diri dalam membangun keamanan dan kedamaian bersama melintas batas.
Sama seperti pihak keamanan membutuhkan konflik sosial, dalam memainkan perannya memelihara keamanan dan kedamaian bersama, dan seorang dokter membutuhkan orang sakit, dalam memainkan perannya menyehatkan kembali yang sakit, demikian juga Yesus datang untuk menyelamatkan orang berdosa. Yesus membutuhkan orang berdosadalam memainkan peranNya sebagai Adam Baru yang menuntun orang berdosa yang telah meninggalkan Firdaus pertama yang dihilangkan oleh Adam Lama dengan dosanya, kembali ke Firdaus Baru yang telah di temukan di dalam Yesus sendiri.
Yesus makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Yesus memangil Lewi si pemungut cukai itu menjadi muridNya. Jawaban Lewi si pendosa mengikuti Yesus menunjukkan bahwa Lewi bertobat dari cara hidup yang lama dan menempuh cara hidup yang baru. Kalau pada masa lalu Lewi memainkan perannya sebagai pemungut pajak dengan pungutan yang memeras dan mencari keuntungan untuk diri sendiri, kini dengan jawaban atas panggilan Yesus dan menjadi MuridNya, berarti dia telah meninggalkan kerja lama yang membuat dia berjalan semakin jauh dari Tuhan, dan kini dia berjalan kembali di jalan menuju jejak Yesus yang menyelamatkan. Lewi sadar akan dosanya dan kini bertobat. Lewi menelanjangi diri di hadapan Tuhan Yesus sebagai orang berdosa yang telah bertobat.
Sebaliknya Ahli Taurat yang setiap hari cukup dekat dan akrap dengan kehidupan keagamaan, membeda-bedakan sesama manusia ciptaan Tuhan, dalam relasinya. Prinsip pembedaan Ahli Taurat adalah boleh bergaul dengan orang yang tidak berdosa, tidak boleh bergaul dengan orang yang berdosa. Bagi Ahli Taurat Yesus adalah seorang yang tidak berdosa. Maka aneh, kalau Yesus itu duduk bersama orang berdosa dan makan bersama Lewi dan kawan-kawannya yang digolongkan sebagai orang berdosa.  Di sini kita menemukan bahwa Ahli Taurat itu menganggap diri mereka orang yang baik dan benar. Mereka menentukan siapa yang berdosa dan tidak berdosa. Mereka membatasi orang dalam berelasi. Orang yang berdosa hanya berelasi dengan orang yang berdosa. Orang yang berdosa tidak boleh berelasi dengan orang yang tidak berdosa. Orang yang tidak berdosa bergaul dengan orang yang tidak berdosa.

Yesus datang ke dunia untuk membongkar tembok rohani ciptaan Ahli Taurat yang sangat diskriminatif itu. Tirai pembedaan itu harus diruntuhkan. Yesus meruntuhkannya bukan dengan kekerasan. Tetapi dengan teladan dan kata. Ketika Yesus duduk makan bersama orang berdosa dan ditegur Ahli Taurat, Yesus menelanjangi pemahaman mereka yang sangat diskriminatif itu dengan berkata : “ Seorang dokter membutuhkan orang sakit. Aku datang membutuhkan orang yang berdosa, bukan orang benar.” Artinya, Yesus tidak membutuhkan orang yang menganggap diri benar seperti Ahli Taurat. Yesus membutuhkan orang yang berdosa seperti Lewi yang bertobat dengan mengikuti jalan yang dilalui Yesus yaitu jalan yang menyelamatkan, bukan menyesatkan.

Sabda Allah menelanjangi diri Lewi, Ahli Taurat dan kita para beriman, karena di hadapan Sabda Allah semuanya telanjang. (Bdk. Ibr 4 : 12 -13).