Minggu, Maret 24, 2013

Homili Minggu Palma 24 Maret 2013


“RAJA DAMAI NAIK KELEDAI  PINJAMAN”

Homili Minggu Palma 24 Maret 2013
Luk 19 : 28 – 40
Yes 50 : 4 – 7
Mzm 22 : 8 – 9.17-18a.19-20.23-24
Flp 2 : 6 – 11
Luk 22 : 14 – 23: 56
(Singkat 23 : 1 – 49)


P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD  


Apa perbedaan antara pemimpin sipil dengan pemimpin spiritual? Perbedaannya sesungguhnya terletak di dalam penjelasan sebagai berikut. Pemimpin dunia ketika berjalan menuju tahkta kepemimpinan dengan meminjam harta kuasa suara rakyat  yang menjadi kendaraannya menuju istana kepemimpinan dan setelah tiba di menara istana menikmati harta kuasa suara rakyat yang dipinjamkannya itu lalu lupa mengembalikan harta kuasa suara rakyat itu kepada rakyat yang mengharapkan pemimpin memberikan keamanan, kedamaian, keadilan serta kesejahteraan.  Sedangkan Pemimpin Spiritual terpilih dengan meminjam harta suara domba-dombanya yang menjadi kendaraan pinjaman menuju istana kepemimpinan religius atau spiritual, dan setelah tiba di istana religius, mengembalikan pinjaman itu kepada umatnya yang mengharapkan pelayanan yang utuh yaitu kebaikan, kebenaran, kedamaian, kesejahteraan, serta keadilan bagi semua orang lintas batas.
Injil Lukas 19 : 28 – 40 hari ini berbicara tentang Keledai Pinjaman yang menjadi kendaraan Tuhan Yesus Raja Damai memasuki Yerusalem. Pemilik Keledai adalah seorang yang percaya dan beriman kepada Tuhan Yesus sebagai Raja Damai yang sederhana. Dia meminjamkan keledei milik kepunyaannya itu kepada Tuhan untuk digunakan. Dia tergolong umat yang dengan tulus dan ikhlas meminjamkan kendaraan itu kepada Raja Damai. Dia yakin bahwa  Raja Damai akan segera mengembalikan keledeainya setelah digunakan, sesuai kata-kata para murid yang disuruh Yesus untuk meminjam keledai itu. Yesus hanya sekali saja merayakan perarakan memasuki Yerusalem dengan menunggang keledai pinjaman. Sebuah peristiwa yang tidak pernah terlupakan di dalam sejarah keselamatan yang terjadi di dalam diri Tuhan Yesus. Sebuah peristiwa peminjaman keledai dari sebuah keluarga, sebagai kendaraan Yesus Raja Damai memasuki Yerusalem, dalam menjalankan misi keselamatan bagi seluruh dunia.
Peminjaman keledai dari sebuah keluarga untuk kendaraan Yesus masuk Yerusalem untuk melaksanakan Kisah SengsaraNya, kematianNya serta kebangkitanNya sebagai puncak keselamatan semua orang dan kemudian mengembalikan  Keledai itu kepada pemiliknya, memberikan makna yang sangat mendalam untuk sebuah renungan kita secara kontekstual. Yesus adalah Raja Damai yang sangat sederhana. KesederhanaanNya dibuktikan dengan meminjam Keledai sebagai kendaraan bagiNya dalam perarakan menuju Yerusalem. PerarakanNya itu disertai lambaian dedaunan palem yang hijau, simbol kesejukan dan kedamaian serta keamanan bagi banyak orang lintas batas. Warna liturgi merah yang mengiringi perarakan Minggu Palma adalah ungkapan arti keberanian Raja Damai yang membawa kebenaran bahwa Dia adalah Mesias yang membawa keselamatan bagi bangsa Israel yang sedang menantikan kedatanganNya. Warna merah liturgi Minggu Palma mau menyatakan bahwa demi kebenaran, kebaikan dan keselamatan semua orang, Yesus berani menderita, wafat dan bangkit dari alam maut.
Keledai Raja Damai yang mengantarNya menuju Yerusalem, dikembalikan kepada pemilik Keledai dalam nilai yang lain. Dalam sosiologi dikenal dengan teori pertukaran Sosial. Pemilik Keledai memberikan Keledainya kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus mengembalikan atau memberikan nilai yang paling luhur yaitu keledai keselatamatan universal yang terwujud dalam jembatan jalan salib Tuhan Yesus sebagai satu-satunya jalan, keselamatan dan kehidupan bagi semua orang lintas batas.
Penderitaan Salib Tuhan Yesus memiliki keunikan tersendiri, bila dibandingkan dengan aneka penderitaan yang manusia alami di dalam hidupnya. Penderitaan manusia tidak selamanya datang dari kesalahan dan dosa orang lain. Penderitaan manusia seringkali datangnya dari kesalahan dan dosa diri sendiri. Tetapi penderitaan Salib Tuhan Yesus senantiasa asalnya dari kesalahan dan dosa-dosa orang lain yaitu umat manusia, bukan datang dari diriNya sendiri.
Bacaan Pertama tentang penderitaan seorang Hamba YAHWE yang bukan karena kesalahannya tetapi kesalahan dan dosa yang lain. Hamba YAHWE itu terwujud di dalam diri Tuhan Yesus sendiri. Ramalan derita seorang Hamba YAHWE itu terlaksana dan terpenuhi di dalam diri Tuhan Yesus sendiri.
Mazmur tanggapan hari ini memuat tentang doa seseorang Hamba YAHWE yang menderita karena bukan kesalahan dan dosanya tetapi karena dosa dan kesalahan orang lain untuk keselamatan banyak orang lintas batas. Mazmur ini tentang doa permohonan akan kekuatan dan pertolongan Allah untuk tetap kuat dan teguh dalam menanggung penderitaan demi keselamatan banyak orang. Tuhan mendengarkan doa orang benar yang menderita demi kebenaran dan kebaikan serta keselamatan banyak orang. Tuhan mengabulkan doa orang yang menderita untuk menyelamatkan banyak orang lintas batas.
Kekuatan dalam derita untuk kebaikan, kebenaran dan keselamatan banyak orang, datangnya dari  berkat Allah dan upaya pribadi manusia yang menjalani pengosongan diri sehingga diri pribadi bukan dipenuhi dengan segala kekuatan diri pribadi manusiawi tetapi kekuatan itu berasal dari kekuatan Allah sendiri di dalam hati manusia. Pengosongan diri untuk Tuhan menyimpan kekuatanNya yang menyelamatkan semua orang lintas batas itulah yang memberikan kekuatan bagi orang baik dan benar yang menderita bagi keselamatan banyak orang. Bacaan kedua hari ini menekankan pengosongan diri bagi kekuatan Allah menetap di dalam diri dalam menanggung banyak penderitaan untuk kebaikan dan keselamatan banyak orang lintas batas.
Bacaan Injil Kisah Sengsara hari Minggu Palma ini mempertegas penderitaan yang unik antara penderitaan dua penjahat dengan penderitaan Tuhan Yesus.  Penjahat sendiri mengakui bahwa Yesus menderita di Salib bukan karena kesalahanNya dan dosaNya  sedangkan dua penjahat itu disalibkan karena dosa-dosanya dan kesalahannya sendiri.  Yesus menderita karena melakukan kebaikan dan kebenaran dalam Sabda dan MujizatNya yang menyelamatkan banyak orang lintas batas. Sedangkan dua penjahat itu menderita karena kesalahan dan dosanya secara pribadi.
Kita seringkali menggeneralisir penderitaan yang kita alami serupa derita Tuhan Yesus. Karena itu ketika kita terus hidup dalam kubangan derita yang lama dialami, seringkali kita bukan mencari solusi tetapi menyalahkan Tuhan. Kita perlu dengan budi yang jernih dan hati yang bening, membedah derita yang sedang kita alami. Dalam keadaan seperti itu kita barangkali menjadi orang yang kritis terhadap setiap penderitaan yang kita alami, bahwa ada penderitaan yang kita alami karena kesalahan kita dan kelalaian kita sendiri. Ada derita yang kita alami karena datangnya dari luar diri kita. Ada derita yang kita alami karena datangnya dari sesama kita. Ada derita yang semestinya kita alami dalam tugas dan karya perutusan serta panggilan kita dengan arah tujuan yang jelas yaitu untuk menyelamatkan banyak orang, untuk kebaikan dan kebenaran bersama. Derita yang terakhir inilah dapat kita identikan dengan Derita Yesus untuk keselamatan banyak orang lintas batas.

Sabtu, Maret 23, 2013

Homili Sabtu 23 Maret 2013



“DEMI KUASA ABADI”

Homili Sabtu 23 Maret 2013
Yeh 37 : 21 – 28
Mzm 31 : 10.11-12ab.13
Yoh 11 : 45 – 56

P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD

 Kompas Jumat 22 Maret 2013 menurunkan sebuah tulisan yang berisi tentang  penguasa  yang tetap mengabadikan kekuasaannya. Ada dua pendapat yang berbeda menampilkan upaya mempertahankan kekuasaan yang dijalani.  Tokoh Al-Ghazali menampilkan  pendapatnya bahwa untuk mengabadikan kekuasaan, seseorang yang berkuasa semestinya menempuh “jalan kenabian” yang mengutamakan  “ yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah”, untuk kebaikan dan kebenaran serta kepentingan bersama lintas batas. Sebaliknya  Nicollo Machiavelli mengatakan bahwa seseorang dapat mengabadikan kekuasaannya dengan mengutamakan menghalalkan segala cara, termasuk  cara yang tidak  berjalan di atas “jalan moral” hanya untuk kepentingan egoisme kekuasaannya.
Injil hari ini berbicara tentang Kayafas mengabadikan kuasanya. Kehadiran Mujizat Yesus menarik banyak orang Yahudi menjadi percaya kepadaNya dan menjadi pengikutNya. Keberadaan Mujizat Yesus menjadi ancaman terhadap kekuasaan dan kedudukan serta wibawah Kayafas dan orang-orang Farisi serta imam-imam kepala yang tergabung di dalam kelompok Sanhedrin yang dikepalai Imam Besar Kayafas. Demi kuasa mereka tetap eksis tidak tersaingi maka mereka duduk berkumpul mengambil keputusan menyingkir Yesus dengan membunuhNya. Kayafas mengambil keputusan untuk membunuh Tuhan Yesus : “Lebih baik satu orang mati dari pada seluruh bangsa mati”. Keputusan ini tertulis di dalam Yoh 11 : 56. Hal ini memperjelas kisah sengsara yang akan kita ikuti dalam Minggu Palma dan Jumat Agung. Dalam Kisah Sengsara itu, tidak ada lagi proses pengadilan untuk membunuh Yesus karena sudah diputuskan dalam rapat Sanhedrin seperti tertulis dalam  Yoh 11 : 56.  Keputusan itu adalah sebuah keputusan yang mematikan kebaikan dan kebenaran untuk keselamatan bersama, hanya demi kuasa duniawi senantiasa berlangsung, di atas korban dan penderitaan orang lain.
Keputusan itu didengar Tuhan Yesus bersama para muridNya. Mereka menyepi ke Kota Efraim menyiapkan diri menanggung konsekuensi sebuah pilihan hidup berjalan di atas “jalan kenabian” dari awal misi hingga akhir hidupNya.
Kita dalam kehidupan bersama mengalami kebersamaan yang memiliki pimpinan dan yang dipimpin. Bawahan atau anggota sebuah kelompok atau komunitas, bisa saja mengalirkan peran “kenabiannya” di dalam karya pelayanannya melalui pengembangan bakat-bakat atau talenta di dalam komunitas maupun di dalam kehidupan bermasyarakat. Pilihan hidup berjalan di atas “jalan kenabian” senantiasa mengalami benturan dengan penguasa atau atasan sipil maupun religius. Benturan itu bisa saja membangun penolakan terhadap pribadi yang mematikan karakter pribadi atau penolakan itu bisa saja menjadi ujian pelayanan kenabian. Semakin emas pelayanan kenabian dibakar dengan api tantangan dan penolakan bahkan ancaman pembunuhan, semakin murni pelayanan kenabian berjalan atas  jalan kenabian yang berani menyuarakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah,demi kebaikan dan kebenaran serta keselamatan bersama lintas batas.

Jumat, Maret 22, 2013

Homili Jumat 22 Maret 2013



KEMBALI  KE SUNGAI YORDAN

Homili Jumat 22 Maret 2013
Yer 20 : 10 -13
Mzm 18 : 2 – 3a.3bc-7
Yoh 10 : 31 – 42

P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD


Yesus setelah mengalami penolakan dari mayoritas orang-orang Yahudi, bukan pergi ke tempat yang lain tetapi ke Sungai Yordan. Mengapa? Karena  di tempat itulah Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis.  Pembaptisan itu adalah awal karya  misi Yesus di depan publik.  Pembaptisan itu disaksikan oleh Allah Bapa yang bersabda : “Inilah Anak yang kukasihi dengarkanlah Dia. “ Pembaptisan itu juga disaksikan oleh Roh Kudus yang turun atas  Tuhan Yesus di dalam  rupa burung Merpati.  Dengan kata lain Pembaptisan Yesus di Sungai Yordan adalah proklamasi Misi Allah Tritunggal Maha Kudus meyelamatkan semua orang melintas batas.
Karya misi Allah berjalan di atas jalan yang beraneka. Ada jalan mulus yang dilaluiNya menuju hati manusia yang menerima pewartaanNya dan percaya serta beriman kepadaNya.  Ada jalan yang dihalangi oleh  bebatuan kesombongan dan egoisme hati dan budi manusia, yang menolak pewartaan Yesus bahkan pribadi Yesus sendiri ditolak, diancam dibunuh.  Pengalaman penolakan itu dilaluiNya dan kemudian Yesus pergi ke Sungai Yordan untuk napak tilas pembaptisanNya di sana dan melihat kembali misi awalNya untuk menyelamatkan semua orang. Penolakan itu membuat Yesus tidak mundur dari misiNya itu. Tetapi Yesus ke Sungai Yordan untuk membangun kembali komitmenNya pada misi Allah Tritunggal,  di tengah aneka ragam penolakan yang harus dilalui dan dialamiNya.
Kita dalam hidup dan karya pelayanan, juga mengalami penerimaan dan penolakan dari sesama. Penolakan itu karena kata-kata kita atau perbuatan kita atau karena kata sekaligus perbuatan yang tidak sesuai dengan harapan sesama atau kehendak Tuhan. Atau penolakan itu kita alami karena kasalahan kita. Atau bisa jadi penolakan itu terjadi karena kita mewartakan kebenaran dan kebaikan umum yang mengganggu kesalahan kelompok mayoritas yang menolak kebenaran dan kebaikan kata dan perbuatan kita.
Psikologi Sosial menyampaikan bahwa ketika seseorang berada di dalam sebuah komunitas yang mayoritas dari  suku tertentu, atau profesi tertentu, dia semestinya hidup berdasarkan kesukaan mayoritas suku atau profesi tersebut sehingga dia dapat diterima dan dia sendiri tidak merasa asing. Persoalannya adalah bagaimana seorang Nabi hadir di antara mayoritas koruptor, apakah dia semestinya menyesuaikan diri dengan mereka sehingga dapat diterima di dalam lingkungan koruptor?  Seorang Nabi harus berani menolak koruptor dan mewartakan kebenaran dalam tugas perutusan Tuhan yang diterimanya untuk mewartakan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebaikan, kebenaran, keadilan dan perdamaian bagi semua orang lintas batas.  Yesus seorang diri ketika berada di antara mayoritas orang Yahudi yang menolak diriNya dan pekerjaanNya serta PewartaanNya yang baik dan benar untuk menyelamatkan semua orang. Yesus tidak menyesuikan diri dengan prinsip orang Yahudi yang sesat menyesatkan banyak orang. Yesus tetap  berdiri kokoh dan berjalan di atas jalan kebenaran dan kebaikan di tengah berbagai ancaman penolakan dan pembunuhan yang datang secara bertubi-tubi atas diriNya.

Perspektif Psikologi Sosial : Individu dalam Kelompok



KEMBALI  KE SUNGAI YORDAN

Homili Jumat 22 Maret 2013
Yer 20 : 10 -13
Mzm 18 : 2 – 3a.3bc-7
Yoh 10 : 31 – 42

P. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD


Yesus setelah mengalami penolakan dari mayoritas orang-orang Yahudi, bukan pergi ke tempat yang lain tetapi ke Sungai Yordan. Mengapa? Karena  di tempat itulah Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis.  Pembaptisan itu adalah awal karya  misi Yesus di depan publik.  Pembaptisan itu disaksikan oleh Allah Bapa yang bersabda : “Inilah Anak yang kukasihi dengarkanlah Dia. “ Pembaptisan itu juga disaksikan oleh Roh Kudus yang turun atas  Tuhan Yesus di dalam  rupa burung Merpati.  Dengan kata lain Pembaptisan Yesus di Sungai Yordan adalah proklamasi Misi Allah Tritunggal Maha Kudus meyelamatkan semua orang melintas batas.
Karya misi Allah berjalan di atas jalan yang beraneka. Ada jalan mulus yang dilaluiNya menuju hati manusia yang menerima pewartaanNya dan percaya serta beriman kepadaNya.  Ada jalan yang dihalangi oleh  bebatuan kesombongan dan egoisme hati dan budi manusia, yang menolak pewartaan Yesus bahkan pribadi Yesus sendiri ditolak, diancam dibunuh.  Pengalaman penolakan itu dilaluiNya dan kemudian Yesus pergi ke Sungai Yordan untuk napak tilas pembaptisanNya di sana dan melihat kembali misi awalNya untuk menyelamatkan semua orang. Penolakan itu membuat Yesus tidak mundur dari misiNya itu. Tetapi Yesus ke Sungai Yordan untuk membangun kembali komitmenNya pada misi Allah Tritunggal,  di tengah aneka ragam penolakan yang harus dilalui dan dialamiNya.
Kita dalam hidup dan karya pelayanan, juga mengalami penerimaan dan penolakan dari sesama. Penolakan itu karena kata-kata kita atau perbuatan kita atau karena kata sekaligus perbuatan yang tidak sesuai dengan harapan sesama atau kehendak Tuhan. Atau penolakan itu kita alami karena kasalahan kita. Atau bisa jadi penolakan itu terjadi karena kita mewartakan kebenaran dan kebaikan umum yang mengganggu kesalahan kelompok mayoritas yang menolak kebenaran dan kebaikan kata dan perbuatan kita.
Psikologi Sosial menyampaikan bahwa ketika seseorang berada di dalam sebuah komunitas yang mayoritas dari  suku tertentu, atau profesi tertentu, dia semestinya hidup berdasarkan kesukaan mayoritas suku atau profesi tersebut sehingga dia dapat diterima dan dia sendiri tidak merasa asing. Persoalannya adalah bagaimana seorang Nabi hadir di antara mayoritas koruptor, apakah dia semestinya menyesuaikan diri dengan mereka sehingga dapat diterima di dalam lingkungan koruptor?  Seorang Nabi harus berani menolak koruptor dan mewartakan kebenaran dalam tugas perutusan Tuhan yang diterimanya untuk mewartakan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebaikan, kebenaran, keadilan dan perdamaian bagi semua orang lintas batas.  Yesus seorang diri ketika berada di antara mayoritas orang Yahudi yang menolak diriNya dan pekerjaanNya serta PewartaanNya yang baik dan benar untuk menyelamatkan semua orang. Yesus tidak menyesuikan diri dengan prinsip orang Yahudi yang sesat menyesatkan banyak orang. Yesus tetap  berdiri kokoh dan berjalan di atas jalan kebenaran dan kebaikan di tengah berbagai ancaman penolakan dan pembunuhan yang datang secara bertubi-tubi atas diriNya.