Kamis, Januari 03, 2008
PUAN DALAM PAHAM SUKU BUNAQ
INDAHNYA RITUS REKONSILIASI SUKU BUNAQ AITOUN
Dalam kosa kata Suku Bunaq Aitoun, konflik disebut dengan satu kata SESU atau NA. Konflik antara dua belah pihak dikenal dengan istilah TEGE NA atau TEGE SESU O SARA.
Konflik antara sesama dalam suku Bunaq disebabkan oleh macam-macam hal. Konflik terjadi karena kata-kata yang dilontarkan dalam komunikasi menyakiti hati sesama. Kata-kata yang merendahkan sesama. Kata-kata yang diucapkan merendahkan sesama atau menganggap remeh sesama. Kadang rasa sakit hati itu langsung diungkapkan sehingga langsung tahu oleh sesama yang menyakiti maupun disakiti.
Tetapi ada yang tidak mengungkapkan rasa sakitnya secara terbuka atau bahkan secara diam-diam membangun konflik dengan pihak yang menyakiti, sehingga yang menyakiti hati sesama itu tidak menyadari bahwa sebetulnya dirinya yang menyakiti hati orang yang merasa disakiti.
Lalu kapan yang menyakiti hati itu akan sadar bahwa dirinya yang menyakiti sesama yang telah membangun konflik dengan dirinya?
Bisa saja sesama yang paling dekat atau teman curhat yang disakiti hatinya dapat menyampaikan kepada pihak yang menyakiti hatinya sehingga yang disebut sebagai pihak yang menyakiti sadar akan kekurangan dan kesalahannya.
Konflik yang didiamkan itu lama kelamaan akan terasa juga dalam relasi. Misalnya dalam perjumpaan, pihak yang tidak sadari bahwa dirinya yang menyakiti, menyapa pihak yang merasa disakiti, tetapi karena sakit hatinya terhadap pihak yang menyapa, tidak menanggapi sapaan persahabatan dan kekeluargaan.
Konflik-konflik itu keberadaannya tidak mengalami umur yang panjang. Ada saatnya untuk kembali rujuk antar pihak-pihak yang hidupnya konflik.
Dalam tata adat Suku Bunaq, ada saat yang tepat untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Saat itu adalah ketiga akan diadakan upacara adat yang melibatkan pihak-pihak yang konflik, dan mereka tidak dapat lari menjauh dari upacara adat itu.
Misalnya adat kematian salah seorang anggota suku yang sesuku dengan para pihak yang berkonflik, atau adat pernikahan seorang anggota suku yang sesuku dengan pihak-pihak yang sedang konflik, atau acara syukuran atas keberhasilan salah seorang anggota suku yang sesuku dengan pihak-pihak yang sedang konflik.
Itulah saat yang paling tepat untuk mengungkapkan akar masalah pokok mengapa terjadinya konflik. Masing-masing pribadi yang konflik, yang disakiti dan menyakiti mengungkapkan semua perasaannya kepada ketua suku dan disaksikan oleh semua anggota suku yang hadir dalam pertemuan adat tersebut. Kalau ketua suku juga terlibat dalam konflik maka ada pihak rumah suku "malu" yang dapat mendamaikan.
Setelah mengungkapkan semuanya itu, ketua suku mendamaikan kedua belah pihak yang sedang konflik untuk kembali hidup damai.
Konflik merusak relasi dengan Aku/diri sendiri, Anda/Sesama, Alam Semesta, Arwah Leluhur, Allah/Supranatural.
Caranya, siapkan segelas air putih jernih, lalu kedua pihak yang konflik dan bersedia damai, mendekati air itu lalu dengan ucapan mantra oleh pendamai, kepada roh supranatural, roh alam langit dan bumi, roh leluhur. Pendamai dalam hal ini ketua suku atau ketua rumah suku "malu"atau ketua adat, menyuruh kedua belah pihak yang telah konflik mencelupkan jari tangannya ke dalam air itu secara bersama-sama. Lalu mengoleskan bibir dengan air di jarinya karena bibir atau mulut yang mengekuarkan kata-kata yang menyakiti dan menciptakan konflik.
Saat itu pendamai menyebut para leluhur yang telah hidup bersatu dan berdamai dalam persekutuan di dunia seberang, agar merekalah yang menjadi saksi sekaligus meneguhkan perdamaian antara para pihak yang sedang konflik, lewat simbol mencelupkan tangan kedalam air putih yang telah disediakan dalam gelas itu. Lalu disusul dengan jabatan tangan, saling memeluk, mencium kedua pihak yang telah berdamai. Inilah ungkapan nyata bahwa sekarang mereka bukan lagi musuh tetapi menjadi teman, sahabat dalam relasi Suku.
Suasana damai, sekutu, bahagia seluruh anggota suku, menjadi satu suasana yang dirayakan dalam pesta adat yang pada hakekatnya menanamkan kembali nilai-nilai persekutuan dan perdamaian antara suku di dalam upacara adat yang sedang diselenggarakan. Adat Damai anggota rumah suku ini biasanya dilaksanakan pada adat kenduri bagi seanggota rumah suku yang meninggal. Fenomena ini mau menyatakan nomena bahwa konflik dimatikan dan dikubur sedangkan keharmonisan anggota dalam rumah suku dibangkitkan kembali.
Dengan keadaan yang demikian maka kebahagian dialami oleh seluruh anggota suku dalam perayaan adat yang sedang berlangsung karena semuanya dalam kebersamaan, kedamaian, dan kebahagiaan.
Mereka yang telah melewati adat ritus rekonsiliasi ini benar-benar mengalami betapa indahnya hidup rukun dan damai. DAME berarti DAMAI. Damai dengan Aku/diri, Anda/sesama, Alam, Arawah Leluhur, dan Allah/Supranatural. Inilah konsep Damai seutuhnya dalam Suku Bunaq Aitoun. Bahasa Agama Adat Aitoun tetap menjadi sebuah cara hidup memiliki tiga kriteria penting yaitu adanya konsep supranatural suci/Allah Maha Kudus yang gaib yang diterima oleh kelompok penganutnya, adanya buku suci/teks suci/teks lisan suci yang tampil dalam ceritera hidup manusia untuk menyatakan sang supranatural suci dan gaib dan adanya ritus gerak tubuh isyarat dalam merituskan sang supranatural/Allah sehingga sebuah sistem kepercayaan akan sang supranatural/Allah Kudus tetap eksis artinya ada bersama yang lain. ***
Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
ADAT TAIS HOTA – KABA MALU AIBA’A SUKU MONEWALU
Adat TAIS HOTA – KABA MALU AI dilaksanakan sebagai bagian adapt LAL HOON bagi orang yang telah meninggal, di samping acara inti kematian yaitu SI POR PAK sebagai puncak adat kematian, yaitu mengantar orang yang meninggal ke dalam persekutuan para leluhur yang mengalami kehidupan abadi di tempat lain, di dunia seberang setelah kehidupan di dunia ini.
Kematian mendatangkan peristiwa-peristiwa yang mendasar dalam kehidupan adat suku Bangsa Bunaq.
Pertama, kematian membuat sebuah suku kecil berduka karena satu orang anggota suku telah tiada/meninggalkan mereka.
Kedua, kematian mengharuskan anggota suku-suku yang ada, yang menjadi asal-asul suku yang berduka, untuk menciptakan perdamaian – persatuan – persaudaraan. Setiap anggota suku yang sakit hati, konflik, bertengkar, tidak sepaham, harus didamaikan dan mau berdamai kembali. Sebelum berdamai, setiap pihak yang konflik mengungkapkan semua perasaan sakit hatinya terhadap lawan maupun di depan publik anggota suku yang sedang berkumpul. Semua itu didengarkan oleh ketua suku yang memimpin suku yang sedang berduka maupun ketua-ketua suku-suku kecil yang menjadi asal-usul suku yang sedang berduka, yang hubungan antar suku tersebut tidak dapat ditiadakan melainkan tetap dijaga dan dikokohkan agar tetap eksis. Setelah mendengarkan semua perasaan itu, ketua suku yang menjadi moderator memberikan peneguhan dan menyatakan bahwa setelah setiap pihak yang konflik mengungkapkan perasaannya, ketua suku memuji mereka, memberikan apresiasi kepada mereka atas keterbukaan dan kerendahan hati mereka untuk saling mendengarkan dan mau berdamai. Lalu ketua suku mengajak mereka untuk mendekati air putih segelas yang disiapkan untuk mencelupkan tangan mereka ke dalam air putih jernih itu, membersihkan semua soal yang membuat mereka konflik, sebagai simbol mereka telah bersih, suci dan kini hidup harmonis kembali, bertobat dan diakhiri dengan jabatan tangan dan berciuman bahkan sampai meneteskan airmata pertobatan dalam jabatan tangan tersebut.
Ketiga, dia yang meninggal dan masuk dalam persukutuan para leluhur di dunia bahagia para leluhur, membawa berita perdamaian kepada para leluhur, yaitu menyampaikan khabar perdamaian – kerukunan – persatuan dan persaudaraan antar anggota sesuku di dunia.
AKEL GOON DALAM RELASI SUKU BUNAQ
Dalam relasi sosial suku Bangsa Bunaq, AKEL GOON sangat melekat dalam hati manusia Suku Bunaq. AKEL GOON ini diartikan, memberi untuk menerima. Pemberian dalam bentuk tenaga maupun materi dalam setiap peristiwa adat yang terjadi salam suku Bunaq.
Kebiasaan AKEL GOON ini dapat dianalisa secara kritis. Ditemukan bahwa berangkat dari kebiasaan AKEL GOON yang telah menyatu dengan insan suku Bunaq, setiap pembangunan relasi antara Suku Bunaq atau setiap bantuan dalam bentuk apapun yang terjadi dalam kehidupan relasional suku Bunaq, selalu ada pamrihnya. Mengapa tudak? Karena setiap bantuan seorang anggota suku Bunaq, telah diintip oleh kapan tiba pemberian balasan akan terlaksana.
HOT ESEN ADALAH WUJUD TERTINGGI DALAM PAHAM SUKU BANGSA BUNAQ
Selasa, Januari 01, 2008
MEMBANGUN KEMBALI HARGA DIRI SUKU BUNAQ
Hal kedua, yang sungguh menentukan pemberian penghargaan yang layak diterima oleh seseorang yaitu seorang harus mempunyai moralitas pribadi yang baik di mata publik. Seorang yang berkuasa, berharta, berpendidikan, akan lebih dihargai kalau moralitasnya sangat baik di mata publik suku Bunaq. Sebaliknya seorang yang berkuasa, berharta, berpendidikan tetapi moralitasnya bobrok maka orang itu akan ditolak, bahkan dijadikan sebagai buah bibir rakyat suku Bunaq dari golongan sederhana sampai kelas menengah ke atas. Oleh karena itu seorang akan menerima penghargaan yang sempurna kalau seseorang itu memiliki moralitas yang baik, berpendidikan, berkuasa, dan memiliki harta kekayaan yang memadai.
Konteks pemahaman umum Suku Bunaq yang demikian menjadi lahan yang perlu diolah, agar menjadi tanah yang subur untuk menanamkan nilai keselamatan yang dibawah oleh para misionaris SVD. Secara manusiawi prosedural para misionaris memurnikan penghargaan diri Suku Bunaq berdasarkan hal-hal lahiriah sementara, menuju satu penghargaan diri yang utuh, menjunjung tinggi nilai-nilai abadi yang dibutuhkan oleh semua manusia dari aneka suku Bangsa. Nilai itu adalah nilai moral yang berfondasikan ajaran iman Kristiani dan nilai kemanusiaan universal. Pemurnian yang demikian mengantar seorang Suku Bangsa Bunaq untuk menakar harga dirinya secara sehat. Orang merasa berharga karena memiliki harkat dan martabat kemanusiaan dan merasa memiliki citra Allah. Harta kekayaan, kuasa atau jabatan atau pangkat, serta pendidikan tinggi, hanyalah sebagai sarana untuk menampakkan jati diri pribadi manusia yang semakin beriman dan semakin menjunjung tinggi kemanusiaan, dalam relasi dengan Tuhan dan manusia. Inilah nilai yang dibawah dan ditanam dalam diri umat.
P. Beny Mali, SVD, Sebuah Refleksi atas Sharing ttg Pendekatan Para Misionaris SVD di Suku Bunaq – Lamaknen, dengan Guru Agama Lingkungan Asueman, di Asueman, Pada tanggal 20 Mei 2007
Senin, Desember 31, 2007
SI POR PAK RUMAH SUKU MONEWALU DI SUKU BUNAQ AITOUN
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Setiap ada kematian, harus diadakan adat kematian. Adat itu disebut SI POR PAK atau biasa disebut juga SI GIWITAR PAK. Adat SI POR PAK ini adalah inti seluruh adat Kematian. Inti Adat SI POR PAK atau SI GIWITAR PAK ini adalah perayaan adat untuk memasukkan seorang anggota yang meninggal dunia ke dalam persekutuan para leluhur suku yang telah meninggal dunia, yang hidup di dunia lain, dunia kehidupan dan persekutuan para leluhur. Ada tata urutan adat proses memasukkan anggota suku yang meninggal dunia ke dalam persekutuan kehidupan para leluhur. Setiap suku kecil dalam suku Bangsa Bunaq, memiliki tata adat SI POR PAK. Penulis adalah anggota Suku Monewalu. Maka penulis menuliskan tata adat SI POR PAK atau SI GIWITAR PAK yang dipraktekkan secara turun temurun dalam Suku Monewalu, khususnya di Dusun Asueman-Desa Aitoun-Kecamatan Raihat. Ada dua pokok penting yang perlu disampaikan dalam ADAT SI POR PAK yaitu perlunya pemahaman tentang Asal-usul Suku Monewalu dan proses tata adat SI POR PAK dalam praktek yang terus dipertahankan dari setiap generasi ke generasi berikutnya.
1. Perlu Pemahaman tentang Asal-usul Sejarah Suku Monewalu:Ada beberapa suku kecil yang merupakan asal-usul Suku Monewalu, seperti yang diuraikan dibawah ini:
1.1. METI MO.
METI MO adalah sebutan untuk suatu asal-usul sebuah suku yang tidak diketahui sejarahnya. Dalam hal ini METI MO ini adalah sebutan bagi asal asul Suku Monewalu yang tidak diketahui sejarahnya. Meskipun demikian, secara perayaan adat SI POR PAK atau SI GIWITAR PAK, METI MO ini juga ada bagian adatnya, yang tidak dilupakan. Harus ada bagian upacara adat untuk mempersembahkan secara adat kepada METI MO ini, sebagai awal asal-usul suku Monewalu yang sejarahnya tidak diketahui secara persis.
1.2. SA WA SA WAI.
SA WA SA WAI adalah sebutan bagi asal-usul sejarah sebuah suku, dalam hal ini asal-usul Suku Monewalu yang telah diketahui dalam pembicaraan adat tentang asal-usul Suku Monewalu. Asal-usul Suku Monewalu yang sudah diketahui itu dapat diuraikan di dalam penjelasan berikut:
1.2.1. Dari SA WA SA WAI, tiba di Suku DUA LASI.
Suku DUA LASI ini berdiam di sebuah tempat yang disebut HOL GOTOK. Dari Suku DUA LASI di HOL GOTOK, menurunkan suku kecil yang disebut Suku MASIN BUL HAK POR. Suku MASIN BUL HAK POR ini bertempat tinggal di HOL GOTOK. Kemudian dari Suku MASIN BUL HAK POR, berkembang lagi menjadi suku kecil MONESOGO. Suku MONESOGO menurunkan lagi SUKU HO KIIK, MALU MOT ALAN, HUKUN yang bertempat tinggal di FULUR. Dari suku itu terus berkembang dan menurunkan Suku LIANAIN SATU (1) dan LIANAIN DUA (2) yang berperan sebagai NOKAR dan suku LAIMEA sebagai BOLU. Selanjutnya ada tata adat yang disebut sebagai BEI GILAN GOINCIET; TA LA O GEWEN; O KO GOL MUN GIRAL LELEK, yang hanya dapat dimengerti dengan baik jika langsung terlibat dalam pelaksanaan ADAT SI POR PAK.
1.2.2. Tata Adat SI POR PAK
Masing-Masing GUA SUKU MONEWALU atau sejarah asal Suku MONEWALU, baik yang belum diketahui maupun sudah diketahui asalnya, dalam tata adat SI POR PAK, ada bagian-bagiannya yang tidak boleh terlupakan atau terlewatkan yaitu : Si Gilan Uen, besi uen, roit gol uen, sesuai dengan adat yang disepakati dan berlaku turun-temurun sejak nenek moyang dulukala. Masing-masing bagian itu diambil atau diberikan atau diantar kepada anggota suku-suku kecil yang menjadi asal-usul sejarah Suku Monewalu, yang masih eksis/hidup sampai saat ini. Pemberian bagian adat, berupa uang dan daging adat SI POR PAK ini kepada setiap Suku Kecil yang menjadi asal-usul Suku Monewalu pelaksana ADAT SI POR PAK ini mau menunjukkan bahwa, anggota suku yang merayakan adat SI GIWITAR PAK atau SI POR PAK mengetahui asal-usul sukunya di dunia ini sejak awal sampai mengantar sesama yang meninggal atau memasukkan anggota suku yang telah meninggal ke dalam persekutuan kehidupan abadi para leluhur sesuku, yang ada di dunia seberang, di dunia lain setelah hidup sementara di dunia ini. Dengan demikian, Suku Monewalu sebagai pelaksana perayaan ADAT SI POR PAK itu, lewat adat SI POR PAK itu kembali menggemakan asal-usul sejarah panjang keturunannya mulai dari dunia ini sampai bersekutu dengan para leluhur sesuku yang mengalami hidup sukacita di dunia seberang, dunia setelah hidup sementara di dunia ini. Melalui ADAT SI POR PAK ini, tali persaudaraan dan ikatan kekeluargaan antara Suku-suku yang menjadi asal-usul Suku Monewalu, terus menerus disadari kembali dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Relasi kekeluargaan adat ini mengingatkan bahwa sebuah suku tidak berasal dari dirinya sendiri tetapi keturunannya berasal dari suku lain, dari orang lain. Dalam pola yang demikian ditemukan basis yang kuat bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial.
Sejenak memandang Asal – Usul Sejarah Suku Monewalu, saya melihatnya dengan kaca mata iman Kristiani. Ada tiga (3) pokok yang saya temukan sebagai berikut :
1. Manusia secara historis berasal dari yang lain. Dalam iman Katholik, manusia berasal dari Allah, diciptakan oleh Allah. Dalam Kitab Suci, Allah menciptakan Adam dan Hawa sebagai manusia pertama. Jadi dalam paham iman Katholik, asal-usul manusia itu jelas, yaitu dari Allah. Manusia adalah Anak Allah.
2. Allah menciptakan manusia dilengkapi dengan tata aturan yang bertujuan menyelamatkan ciptaanNya. Oleh karena itu, manusia ciptaanNya taat pada aturan Pencipta agar selamat. Aturan Allah itu sebagai pagar yang memberi benteng pengaman terhadap semua kekuatan penghancur. Hukum yang menyelamatkan itu adalah Cinta Kasih melintas batas, suku, agama, ras dan golongan. Cinta Kasih menjadi Roh yang menggerakkan setiap jalinan relasi dalam kehidupan bersama.
3. Kehidupan di dunia tidak berakhir dengan kematian. Kematian adalah awal kehidupan abadi. Adat Si Por Pak mengesahkan seorang anggota yang telah meninggal masuk ke dalam persekutan kehidupan kekal para leluhur, sebagai satu lahan subur yang baik untuk menanam dan menumbuhkan iman Kristiani tentang Kebangkitan Badan dan kehidupan kekal yang mengalami pemenuhannya dalam Kristus. Manusia berasal dari Allah dan kembali kepada Allah lewat kematian.
Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
Sabtu, Desember 29, 2007
TUBI LAI adalah Memberi makanan kepada Leluhur di Suku Bunaq Aiitoun
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Kosa kata TUBI LAI ini sangat akrab di telinga Suku Bangsa Bunaq, dikala seorang anggota suku Bunaq (khususnya di dusun Asueman, desa Aitoun, Paroki Santo Theodorus Weluli, Dekenat Belu Utara, Keuskupan Atambua) meninggal dunia.
Setelah meninggal dunia secara berturut-turut pada setiap malam dan saterusnya sampai malam 40 setelah meninggal dan juga dikuburkan, adat TUBI LAI di dalam rumah dan sepiring nasi dan lauk-pauk, disiapkan di atas meja makan untuk sama saudara yang meninggal dunia.
TUBI LAI dan sepiring nasi yang merupakan bagian yang meninggal itu juga secara teratur dibuat di atas kuburan orang yang telah meninggal, pada malam ketiga, ketuju, keseratus, satu tahun, seribu hari, sebagai symbol bahwa yang meninggal itu tetap hidup seperti kita hanya berada di dunia lain.
Dia yang meninggal dan hidup di dunia lain itu dapat melihat dan memperhatikan kita walaupun kita yang di dunia ini tidak melihatnya secara fisik. Dia yang telah meninggal dan hidup di dunia lain juga diyakini makan minum seperti kita di dunia ini.
Atas dasar keyakinan itulah maka Suku Bunaq, selalu memberikan makanan kepada orang yang telah meninggal. Makanan itu diberikan di atas kuburan yang bersangkutan maupun diberikan di rumah orang yang telah meninggal. Roh orang yang meninggal itu ada di rumahnya dan makamnya.
Acara TUBI LAI ini kemudian dirayakan secara masal seragam oleh Suku Bunaq, di kuburan umum Halekel, Dusun Asueman, Desa Aitoun dan dikukuhkan oleh Gereja Katolik dalam menyebarkan nilai-nilai iman akan kehidupan kekal dan kebangkitan badan seperti yang diproklamasikan dalam CREDO atau DOA AKU PERCAYA, dan itu yang dirayakan dalam PERAYAAN EKARISTI di Kuburan Umum setiap tanggal 2 November di dalam kalender liturgi Gereja Katolik. "Misionaris Sabda Allah dibaptis dengan tenggelamkan diri di dalam Yordan Suku Bunaq Aitoun dan belajar adat budaya Suku Bunaq Aitoun, dan melahirkan sebuah teologi rasa suku Bunaq Aitoun." Demikian kata Aloysius Pieris teolog rasa Asia dan implikasinya dalam konteks budaya Suku Bunaq Aitoun.
Adat TUBI LAI ini telah ada sejak dulu kala sebelum agama masuk ke daerah Suku Bangsa Bunaq. Acara adat TUBI LAI ini mengungkapkan bahwa Suku Bangsa Bunaq sudah sejak dulukala mengakui dan meyakini bahwa kematian itu bukan akhir dari segala-galanya. Kematian adalah akhir dari segala beban hidup di dunia, dan awal dari hidup kekal tanpa beban di dalam persekutuan dengan para leluhur.
(Baca juga tema tentang SI POR PAK : sebagai adat pengesahan pemasukkan seorang anggota yang telah meninggal ke dalam persekutuan kehidupan abadi para leluhur di dunia seberang atau Surga. Suku Bunaq sudah memiliki konsep Surga yang dirayakan dalam ritus adat SI POR PAK yang menutup pintu neraka bagi setiap anggota suku Bunaq).
Pesan mendalam lain yang mau ditampilkan dalam acara TUBI LAI ini adalah bahwa relasi manusia itu tidak dibatasi oleh unsur fisik yang kelihatan, tetapi lewat ADAT TUBI LAI ini, relasi manusia itu melintas batas.
Relasi yang demikian hanya dapat dibangun di atas dasar cinta rohani yang sejati. Cinta yang sejati dalam relasi adalah sebuah relasi yang dapat diungkapkan dalam doa.
Berdoa merupakan satu komunikasi bathin yang membuat yang telah tiada atau meninggal selalu dekat dan hadir di dalam lingkungan sekitar rumah, tempai pendoa yang sedang membangun komunikasi bathin dalam doanya bagi yang meninggal. Suku Bunaq membangun komunikasi dengan Arwah Leluhur dalam kata-doa-ritus dan aksi TUBI LAI memberi makanan real di atas makam dan di rumah orang yang telah meninggal. Pertama dan utama memberi makan yang paling baik kepada orang yang meninggal sambil berdoa dan berkomunikasi bathin dengan arwah leluhur selama kurang lebih satu sampai dua jam. Lalu seluruh anggota keluarga yang hadir mengambil makanan itu dan makan bersama di sekitar makam kalau TUBI LAI di kuburan dan di rumah kalau TUBI LAI dilaksanakan di rumahnya. ***
Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
FENOMENA RITUS DI "UMON" MELAHIRKAN GAYA BERPIKIR SUKU BUNAQ AITOUN
*P. Benediktus Bere Mali, SVD*
Di Atas Umon pembaca merasakan pola pikir Suku Bunaq Aitoun. Pola Pikir Suku Bunaq Aitoun dalam ritus adat di UMON (Mezbah) di tengah kebun atau ladang atau sawah di dalam bagan (A, B, C) berikut.
Bicara dalam bahasa Petani, kosa kata UMON pasti mereka langsung mengerti. UMON ini adalah semacam altar-tugu- atau lebih tepatnya mezbah yang disusun atau dibentuk dari batu-batu, dan altar ini diletakkan atau ditempatkan tepat di pertengahan kebun atau ladang atau sawah yang sedang dibuka atau diolah untuk menanam jagung, padi, atau kacang-kacangan atau bawang. Nezbah ini biasanya sudah ada sejak luluhur pertama yang membuka lahan atau ladang atau sawah sebagai tempat perayaan ritus di kebun.
Setelah lahan sudah dibersihkan, dan akan siap untuk memulai menanam benih yang telah disiapkan, diawali dengan upacara adat.
Adat itu sebagai berikut: seekor ayam jantan, atau babi, atau kambing, atau anjing dikorbankan di atas UMON itu oleh pemilik kebun.
Darah korban binatang itu dipercikkan di atas UMON itu, juga dipercikan diatas segenggam beras, sirih pinang, kapur yang telah disediakan atau disimpan di sebuah wadah anyaman berupa TAKA GOL, yang juga disimpan di atas UMON, sambil mengucapkan mantra-mantra sakti adat. Inti mantra sakti itu adalah bahwa korban darah yang dipercikkan itu menunjukkan pemberian jatah atau bagian kepada kekutan-kekuatan jahat yang dipandang akan menjadi hama atau perusak tanaman yang akan ditanam.
Kekuatan-kekuatan jahat itu diperintahkan pemantra adat dan menyuruh pergi kekuatan jahat dari kebun itu agar yang ada di kebun itu hanyalah kekutan yang baik, yang memberi kesuburan bagi tanaman dan memberikan hasil yang baik dan berlimpah.
Saat pengucapan mantra sakti itu, disusul pemantra menghamburkan beras dari UMON tersebut ke empat sudut kebun sesuai arah mata angin sebagai bukti memberikan makanan yang menjadi bagian dari kekuatan jahat yang akan menjadi hama, dan sekaligus menyuruh pergi dari kebun itu dengan bekalnya yaitu beras yang telah dihamburkan ke empat sudut mata angin tersebut.
Setelah mantra itu, korban binatang itu dimasak, dan satu piring nasi dengan daging yang telah masak itu disimpan di atas UMON itu sebagai bagian dari kekuatan jahat. Peletakan makanan dan daging di atas UMON itu adalah makanan dan daging yang terbaik untuk kekuatan jahat. Mereka diberi makanan terbaik agar mereka makan kenyang lalu dipindahkan pergi ke kediamannya dalam keadaan perut yang tidak lapar lagi. Dengan demikian dia tidak akan memakan tanaman di kebun tersebut.
Sedangkan makanan dan daging yang lainnya akan dimakan oleh pemilik kebun itu serta anggota keluarganya itu merupakan bagian roh yang baik yang akan memberikan hasil yang baik.
Namun menaruk juga bahwa makanan terbaik di atas UMON juga akan diambil dan dimakan oleh hadirin dalam ritus adat tersebut.
Perasaan syukur itu pertama-tama lewat mempersembahkan hasil unggul sulung yang diserahkan atau dipersembahkan kembali kepada Wujud Tertinggi, HOT ESEN, di atas UMON-ALTAR itu.
Hasil unggul itu dipersembahkan kepada wujud tertinggi, bersama daging ayam, atau babi atau kambing, yang dikorbankan dan dipercikkan darahnya di atas UMON tersebut.
Daging yang ditempatkan itu adalah bagian daging yang paling baik. Daging yang lainnya dimakan oleh pemilik kebun dan anggota keluarganya.
Setelah itu dimulailah panen seluruh hasil di kebun tersebut. Para pemanen akan bersukacita selama memanen karena hasilnya yang berlimpah, yang membuat mereka tidak kelaparan.
Peristiwa adat ini telah bersatu erat dengan masyarakat petani Suku Bunaq. Penulis sejak kecil, sebagai anak petani, sudah mengalami dan merasakan adat di atas UMON bersama orang tua, sebagai petani di tanah kelahiran Dusun Asueman, Desa Aitoun.
Pengalaman itu memberi masukkan bahwa Suku Bangsa Bunaq sejak nenek moyang dulu kala telah mengakui dan menerima kekuatan jahat dan kekuatan yang baik dalam konteks dunia pertanian.
Kekuatan jahat itu dilihat dalam perusak tanaman atau hama. Sebaliknya kekuatan baik itu adalah pemelihara tanaman, pemberi kesuburan kepada tanaman sehingga memberi hasil yang maksimal.
Suku Bunaq Aitoun mengakui kedua kekuatan itu lewat upacara adat yang dilaksanakan di kebun di atas UMON. Dari adat itu, ditampilkan bahwa pada dasarnya Suku Bunaq Aitoun mengutamakan kekuatan baik daripada kekuatan jahat.
Ritus Adat kepada kekuatan jahat di awal musim tanam. Ritus adat kepada kekuatan baik di saat sebelum memulai memanen hasil. Hasil terbaik dipersembahkan kepada sang sumber kebaikan, wujud tertinggi suku Bunaq Aitoun, HOT EZEN. Di sinilah ditemukan titik pertemuan fenomena fisikal UMON dengan nomena-metafisikal sang wujud tertinggi, HOT EZEN suku Bunaq Aiitoun.
Harmony dalam konsep suku Bunaq Aitiun bukan berarti hanya mengutamakan atau menerima semua yang baik-positif saja seperti pola pikir Agama Katolik, dengan menolak secara ketat semua yang jahat-negatif.
Tetapi ada rasa istimewa harmoni dalam konsep suku Bunaq Aitoun, berilah porsinya kepada roh jahat-negatif dan roh baik-positif secara proporsional agar dengan demikian masing-masing berada pada tempat dan jalurnya masing-masing dengan perut yang kenyang, tidak lapar, sehingga tidak saling mengganggu satu sama lain, tidak berkelahi, tidak terjadi kaos, tidak terjadi konflik.
Itulah rasa harmoni suku Bunaq Aitoun yang lahir dalam ritus adat di atas UMON di kebun. Konsep ini selalu terbuka untuk menentukan pola pikir suku Bunaq Aitoun secara utuh menyeluruh. Memang asyik sekali merasakan Pola Pikir Suku Bunaq Aitoun dari atas UMON di tengah kebun atau ladang atau sawah bukan di bangku kuliah. ***
Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
Minggu, Desember 23, 2007
"LAL NA TEPEL, TEPEL BAA NA HONE, LAL NA BELEK, BELEK BAA NA SASI" (Mat 5 : 37 )
Homili
P. Lazarus Mau SVD
Pada Misa Syukur
P. Benediktus Bere Mali, SVD
Asueman-Malate, Selasa 5 Oktober 2004
Baa gie ba Yesus lolo gol wa uen gene mit so, en ganorin. Lal goq bais halai gege , hini guni gene, hini guel gene. Gini mak loi, gini tara loi. Ata hua gene pagaq gie, hua gene hoon gie.
Lal go ginat bare goet.. Sorti masak eina susar, eina memel, eina soat, eina kiak, eina en ege sok sawa tan no piar, tan Maromak giol jal. Pan Esen ei ie. Huagene bare goet teni . Ei hotu-hotu na nua gene, ei E muk wa gie. Bai a, si uor hini mami. Ei mos guel mukwa gie. Ei mesti barut cia goet, lantera leno goet. Homona en hotu-hotu himo ate rein gene ie hoon loi, ie hoon koen ba hajal, terel Ama esen gaqmen gasae gie. Yesus halai gubul gael no toek noq masak bare lai teni… Lal na tepel tepel baa na hone. Lal na belek, belek baa na sasi. Kalau agar no tepel, belek na sasi, baa diabu go gene man, kukun gene na sai. Baa goet on, late ata na mal, kukun ata na pagaq. Ei hani baa goet. Nego na loi, loi, nego na late, late. Nego na belis, belis, nego na guju, guju. Bare mesti hini irak-irak, hini doloq-doloq gene…
Serani Loi ginil.
I bare waen dimil pir niq gie wen. To mil uen hiloon mil bare no guru agama gol hiloo sai nai lulik oa. Romo Yustus, guru agama Tahon, Matas Kobus gol. ( O Romo Yustus bi gubul koun goet be, obi matas Kobus gol on nai, hani gini gie kauq on ).
Pater Bene, guru agama Asueman gol, Bapak Gabriel na I ewen no mit bari.Nai lulik hone gie ata hou haal baa no Pater Bene dege Hot giol, dege Hul Giol uen hukat, hini dawas no gie-hini dimil no gie, baa hone dele, bare jati dele die serbisu nailulik gie huagene hoon gie. Sasi bare goet .. Lal na tepel tepel baa na hone, lal na late late baa na sasi. Kalau eto hou haal oa, hou hini liol. Hani dagar belek, hani diol belek hoon toil. Kalo eto puluk, hani tebe dojul a.
Ota muk Lamaknen bare no, hue muk Asueman Aitoun mil bare no, Nakalolo, Telolo, en na guru agama, matas Kobus o bapak Gabriel halai bari goet, neto rimil gagal soat gie wen oa (sama seperti yang dikatakan orang .. pria jujur sulit dicari, atau wanita yang u.u. sulit didapat).
Pan lele, muk lele, en iskola masak, en matenek hotu, gini katekis, gini pegawai serbisu kantor na sagal, kansera masak na wau. Dini mele tara niq oa, dini kura sae loi ni oa. Bis na sae gie, ojek na sae gie. Esen Gereja Nualain hini ate mo iti gene goet, Gereja Fulur hini ate Lakaan wa gene goet. Hini ate oa dilek tuek oa.Pagaq gie go loi niq oa, mal gie go tuek oa. Pada hal lain tutu gene I hotu-hotu bare baagene dini kereq dini uen. Ate hini ate niq, koleq dini koleq niq. Inel hini inel niq, naka hini naka niq.
Memang le le muk maju oa en sasi gie na baa gin. Balu dewen mal, balu dun mal. Mais en na guru agama, baagie ba, to’o mete hot mil serbisu Maromak gie hone, ate tara niq, koleq tara niq. Kalau jumat niat, halai hotu-hotu Paroki gene Rekoleksi hoon. Lei gie mel misa haal, halai minak muk botil uen-uen hosok (die botil jal gimen, botil gagar dio a – dio a bun, botil gar – gar bun ), bako jun gol uen, molo pu gol uen baa na hosok ai. Hosu neto hajal ni. (Arine lele bare Rekoleksi baagoet hati e niq neto tara niq oa. Tekil gie hoon hosu on oa. Lele bare Nailulik halai guru agama gege tumel gon uen gon no e niq ba’a mos neto tara niq oa). Mete ba’a haal so halai die tas ata tebe, die serbisu hone hoon diemien. En halai na bari taq. Derel go sura.Hot mil uen gie matas guru agama uen dol mone go sura bare goet .. apa e,... leigie bare hot mil nego, tanggal tuen-tuen.... gol mone himo go hosok bare goet.. hae ama, ... eto bare ene tanggal le tanggal, kansera bun hosok gie ka? ( Hele Pater Bene bari na die ama go hosok baa goet? Ini aen gie ka? Memang gol ginil tara pisi ama kansera a niq. Halai mos gagar giol hobel, Tekil lele serbisu ba’a goet on bu an meren na hosok gie nai. Hala’i dimil los ai, jonal gene man pan esen gene na hosok. Memang hala’i serbisu los ai. Ota ba sura, bare sura hobel. Gagar giol hobel, sesuk lesik nor gamak niq, sok sawa apalagi, die serbisu Maromak gie ata na gon giri libu.
Memang toek noq hini moto ba’a hala’i hoon niq apalagi jiq koen-koen honal bare goet. Lele bare kalo en uen kawen, tenda mil gene e, kamar pengantin mil gene e, I tulisan hajal: Dua hati satu napas, dua napas satu jantung..... Satu kubur kita berdua.... Ya oik-oik.... matas mil giol no be.... o bare toek e rale.... Jonal gene man tepel e niq I ata hajal.
Guru agama ginil dimil bais niq. Halai dimil los ai : Hot gie serbisu na ba’a, Hot giol tepel na baa, ata hou haal, hini topol niq, hini muk no niq. Hosok haal oa-hepu haal oa, baa dele mele, baa dele mal, tas-tas lolo, deu-deu lolo. Hot giol baa en gini mak gie, en gini hua gene gie. Halai ata matas na baa, ata touq na baa. Ewi giol no be “halai YA, ya baa ai” gubuq-gubuq, goq-goq hobel.
Serani loi ginil.
Bul nego ata na mete bare, neto dale guru agama gie na dale hanesan kaset uen goet I ege gapal, hini tebe mak, hini tebe tara teni? Nego na loi tentu en hotu-hotu mobel. Nego na Maromak giol gutu terel mele niq I mos o roon toil gie.
Mais neto mos Pater Bene go sura, nego on na, eto moto bare dege poi dege hukat? Sasi : “Lal na tepel, tepel baa na hone... Neto dimil, ho ama gie, kaluk ama gie, lal ama gie na ita leleq o pir na baa. Ama ege hik sen, ama ege ua sen, ini gere-gere, ini gua gene gie. Giri gua na baa, gon gua na baa. Ini hone gie, ini huagene gie. Bare lal tuek bun. I hue gene tepel – tepel gie ka niq? I hoon heta gie ka niq. Hani diol hini na ro lesin, hoon gene hesik sa niq, hik hosu na hone, sorun hosu na mal.
Hot mil uen gie Nailulik Projo uen SVD halai gotol diol wa bare goet. Halai na kaul hoon, mais nei na hua gene hoon. Mereka berkaul, kami menghayati. Neto rimil waen tepel goet ba.... Mais I irak-irak.
Ba’a gie na serani loi ginil mos nei nita hamulak. Hani pesta haal o si nei ret nile’e los. Mete nei na rahul, jonal gene man nei notol sagu-sagui na hoon, dagar hini sae rebel-sae rebel hanesan sie gebu goet. Nego na tepel baa hone tama, nego na belek, belek ba’a hini irak-irak. Kalau I kahul, bare diabu I alak tama, late ata na I ajati gie. En na gepal hati ilek mal, en ciona gimil hati hadomi mal.
PASTOR LAZARUS MAU, SVD Berkotbah tentang Moto Tahbisan P. Benediktus Bere Mali SVD: LAL NA TEPEL, TEPEL BAA NA HONE, LAL NA BELEK, BELEK BAA NA SASI (Mat 5 : 37 ) dalam Misa perdana P. Bene pada hari selasa 5 Oktober 2004, di TELOLO, MALATE, Lingkungan Asueman - Paroki St. Theodorus Weluli – KEUSKUPAN ATAMBUA-Timor Barat - Indonesia.
Kamis, Desember 20, 2007
PAEN TOL SUKU BUNAQ
Penerima anggota suku akan menerima pendatang baru dan memberi mereka posisi penting dalam seluruh urusan adat suku penerima. Ini adalah satu penghargaan dan pemuliaan penerima suku kepada pendatang sebagai anggota penuh suku penerima yang telah disahkan dalam adat PAEN TOL sebagai anggota resmi dan sah, tetap bahkan dijadikan sebagai anggota pribumi dalam suku yang dimasukinya sebagai kediaman baru sekaligus kediaman tetap. Pendatang ini mendapat posisi sebagai pemimpin suku atau lebih dikenal sebagai ketua suku. Ini menunjukkan bahwa anggota suku baru itu adalah tanggungjawab penuh bagi anggota baru suku yang nyaris punah.
Dari sisi relasi sosial adat,. PAEN TOL diciptakan untuk membangun relasi kekeluargaan adat yang lebih luas yang diikat oleh adat PAEN sekaligus tanggungjawab kedua anggota suku, baik penerima maupun pemberi, sama-sama mentaati dan melaksanakan aturan main adat yang dibangun bersama, demi relasi adat yang baik menurut pola adat suku setempat.
Penerima anggota suku dari pemberi, selain memberi kedudukan sebagai ketua suku, jabatan tertinggi adat dalam suku penerima, juga memberi harta warisan suku untuk diolah dan dilestarikan bagi anggota suku dan keluarganya. Anggota suku yang baru dapat menjadi pemilik atas suku yang dimasukinya dan pemilik segala yang menjadi harta warisan suku itu.
Kehadiran pendatang baru sebagai pemilik suku Baru itu mengikatnya sampai mati. Dia telah meninggalkan suku awalnya dan dia telah dibaptis masuk suku yang baru. Dia tinggal di situ, dan dikuburkan juga di situ . Rumah adat suku itu mengikatnya selama hidup sampai mati pun dia dikuburkan di tempat suku yang baru. Dia tidak diambil kembali oleh keluarga dekat atau pun keluarga jauh suku asalnya. Keputusan PAEN berlaku dari awal masuk anggota suku baru sampai mati pun, dia dikuburkan di kuburan adat suku yang dimasukinya. Adat PAEN TOL memisahkan piring, sendok, kebun, rumah, kubur, dengan keluarga suku asal, suku yang ditinggalkannya. Memang secara fisik dipisahkan oleh PAEN tetapi secara rohani, relasi adat kekeluargaan, justru adat Paen Tol, akan tetap abadi, selama generasi kedua suku pemberi maupun penerima masih tetap ada, dan tidak akan hilang musnah karena perkawinanan adat PAEN TOL akan tetap menjadi pintu untuk tetap melestarikan nama sebuah suku.
Saya lalu merefleksikan PAEN TOL ini dalam perjalanan ziarah rohani saya. Saya telah meninggalkan orang tua, kakak, adik, keluarga dekat-keluarga jauh, anggota suku, rumah suku asal kelahrian saya menuju Rumah Suku SVD, bukan lewat adat PAEN TOL tetapi dalam KAUL KEKAL, sebagai jembatan yang memisahkan pengikrar kaul kekal dalam Serikat Sabda Allah dengan Rumah Adat Sukunya dan memasuki Rumah adat Suku SOCIETAS VERBI DIVINI. Dengan demikian pengikrar kaul kekal memiliki SVD, memiliki ketua suku SVD, taat pada aturan Suku SVD, selama hidupnya dalam SVD sampai mati pun dikuburkan di kuburan SVD. Meskipun demikian Relasi Cinta Rohani tetap menyatukan SVD dengan keluarga yang ditinggalkan, sebagai wujud Allah adalah MAHA KASIH. Relasi kasih sejati tidak dibatasi oleh fisik, tetapi melintas fisik. Relasi yang demikian terungkap dalam saling mendoakan antara SVD dengan keluarga, mendoakan musuh. Cinta sejati yang demikian dimiliki dan dihidupi oleh Tuhan Yesus. Setiap pengikut Yesus meneladaniNya dengan menghidupi Kasih SejatiNya dalam hidup.