Minggu, Februari 03, 2013

Homili Jumat Pertama 1 Februari 2013


KESELAMATAN MELANGGAR BATAS
Jumat, 1 Februari 2013
Ibr 10 : 32 – 39;  Mrk 4 : 26 -34
Homili Jumat Pertama
Dari Surabaya Untuk Dunia

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Setiap orang yang dalam keadaan kepanasan yang berasal dari matahari akan mencari suasana yang sejuk yang didapat di bawah naungan pohon yang rindang, bila sedang berada di alam yang  lapang.  Setiap orang yang datang kepada naungan pohon yang rindang itu tidak pernah menolak semua orang yang datang kepadanya.  Pohon yang rindang itu memberikan naungannya kepada para penikmatnya secara gratis.  

Demikian juga Biji sesawi yang paling kecil di antara semua benih yang bertumbuh dan berkembang menjadi Pohon yang paling besar  dan menjadi rumah tempat tinggal burung-burung bersarang di atasnya dalam naungannya. Kerajaaan Allah yang menjadi nyata di dalam Yesus Kristus diumpamakan dengan Pohon Sesawi.  Semua manusia diumpamakan dengan burung-burung yang membangun rumah sarangnya di atas naungan pohon sesawi.  Seperti pohon sesawi yang membuka naungan kepada setiap burung yang datang dan bersarang di atasnya di bawah naungannya demikian juga Kerajaan Allah yang menjadi nyata di dalam Yesus membuka pintu RumahNya seluas-luasnya bagi setiap orang yang berjalan menuju kepada Tuhan dan kemudian tinggal  di dalamNya.

Kerajaan Allah yang menjadi manusia di dalam diri Yesus membawa pembaruan di dalam kehidupan iman dan kepercayaan bangsa yahudi. Yesus adalah satu dari banyak orang Yahudi yang membawa sistem berpikir tentang keselamatan secara baru. Kalau mayoritas bangsa Yahudi berpikir sempit tentang keselamatan itu hanya milik mereka sebagai bangsa terpilih, maka Yesus datang membawa keselamatan universal bagi semua orang langgar batas.  Keselamatan universal tanpa pembedaan itu diumpamakan dengan Pohon yang terbuka memberikan naungan kepada setiap orang yang datang tanpa undangan untuk bernaung dibawahnya.

Kita ini sebaiknya bagaikan Pohon keselamatan Allah yang memberikan naungan kegembiraan, sukacita, damai dan keadilan bagi semua orang langgar batas tanpa pembedaan.  Keberadaan kita di dalam komunitas  ataupun di mana saja, sebaiknya memberikan warna kesejukan dan sukacita yang membangun rasa at home bagi semua yang datang dan tinggal di dalam komunitas kita. Aura kehidupan bersama di dalam komunitas itu membangkitkan semangat dalam melayani Tuhan dan sesama. Jiwa atau aura yang memikat itu lahir dari kekuatan doa kita dan komitmen kita tetap setia kepadaNya walaupun ada perubahan-perubahan zaman terus berlangsung dan berubah-ubah dari waktu ke waktu.

Homili Selasa 29 Januari 2013

DARI
“DUNIA PAROKI SVD”
 KE
“DUNIA MEDAN PASTORAL KATEGORIAL SVD”

Kotbah Pesta St. Yosef Freinademetz
Selasa 29 Januari 2013
Rm 15 : 13 – 19a. 20 - 21; Luk 10 : 1 – 9
Dari Soverdi Surabaya Untuk Dunia

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Ketika Kaul Kekal dan ditahbiskan sebagai imam SVD  kemudian tiba acara pengumuman benuming atau penempatan pertama para misionaris di utus ke seluruh dunia, ke segala bangsa, disambut dengan tepukan tangan yang sangat meriah dari umat. Peristiwa ini sadar atau tidak, lahir dari sebuah prinsip misi SVD yang memproklamasikan bahwa sesungguhnya “DUNIA ADALAH PAROKI KITA (SVD)”. Tepukan tangan itu bisa lahir dari sebuah kejutan yang lahir dari kebanggaan umat atas seorang misionaris SVD dari Indonesia ke seluruh dunia untuk menjadi pelayan di Paroki-paroki yang tersebar di seluruh dunia, di segala bangsa, dan suku serta bahasa. Seorang misionaris pun merasa bangga bahagia atas penempatan ke luar negeri karena saat itu ditempatkan sebagai misionaris produk lokal  dalam negeri untuk konsumsi internasional.   

Tetapi ketika uskup-uskup mulai mengambil paroki – paroki dari SVD, bukan lagi tepukan tangan meriah dari SVD, tetapi SVD menyerahkan paroki-paroki yang sebelumnya ditangani oleh SVD kepada Keuskupan, sesuai Hukum Gereja dan Konstitusi Serikat Sabda Allah, SVD menundukkan kepala dan mengheningkan cipta, serta mengangkat wajah menatapi masa depan SVD yang sedang berjalan di atas medan misi, dengan sebuah kepastian menggeser paradigma misi masa lalu “DUNIA ADALAH PAROKI KITA (SVD)” kepada paradigma misi masa kini dan akan datang yang kontekstual “DUNIA ADALAH MEDAN PASTORAL KATEGORIAL KITA (SVD)”.  Pergeseran paradigma misi ini sebuah tawaran yang sesegera mungkin direalisasikan dalam perjalanan SVD ke masa depan.

Kesegeraan itu ditampakkan di dalam pembangunan manusia menuju profesionalisme dalam segala bidang ilmu sosial dan ilmu pasti sebagai pintu masuk kepada misi kategorial SVD di atas  planet ini.  Nilai-nilai  iman Kristiani dialirkan ke dalam bidang-bidang karya setiap konfrater SVD, yang dimainkan secara profesional.  Profesionalisme setiap anggota dalam ilmu sosial, humaniora, ilmu pasti, teologi dan Filsafat adalah keutamaan yang menjadi jantung yang menggerakkan seluruh perjalanan hidup matinya pastoral kategorial SVD. Para pengambil kebijakan dan keputusan sesegera mungkin memberikan porsi yang lebih untuk pastoral kategorial SVD baik di tingkat distrik, rumah-rumah karya, provinsi maupun secara internasional.

Pembangunan profesionalisme Sumber Daya Manusia SVD dalam segala bidang kehidupan sekular maupun spiritual membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Investasi sumber daya manusia  diberi tempat pertama dan utama, dan sekiranya dana pembangunan fisik diminimalisir bahkan diberhentikan. Karena wajah dunia bisa diperbarui secara cepat dan berbobot melewati dunia pendidikan. Hal ini sangat ditekankan oleh seorang tokoh terkenal yaitu Nelson Mandela. Ia berkata : “Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang dapat  digunakan untuk mengubah wajah dunia” (Kompas, sabtu, 26 Januari 2013, hal. 7 ).

Profesionalisme dalam bidang karya yang diakui legal secara intrenasional baik dalam ilmu sosial, humaniora, ilmu-ilmu pasti, teologi dan filsafat, adalah pintu yeng terbuka lebar bagi SVD untuk pergi ke seluruh dunia mewartakan Khabar Gembira kepada semua orang yang dilayani. Profesionalisme dalam bidang karya yang diakui secara legal pada tingkat internasional, memudahkan SVD masuk Negara-negara yang menutupi pintunya bagi misionaris asing untuk bermisi dengan gaya misi Katolik di dalam negaranya. Misalnya Negara India menutupi pintu bagi misionaris luar India masuk ke Negara India. Tetapi dengan visa sebgai dosen professional diperkenankan untuk mengajar di Universitas di India. Indonesia menutupi pintu bagi misionaris asing masuk ke Indonesia untuk menyebarkan Injil. Tetapi pintu Indonesia terbuka bagi seorang pendidik atau dosen professional untuk mengajar di universitas di Indonesia. China menutupi pintu bagi para misonaris masuk ke China untuk tujuan mewartakan Injil dan menyebarkan agama Katolik. Tetapi pintu terbuka lebar bagi seorang dosen yang professional dalam bidangnya untuk mengajar di suatu universitas yang ada di China. Pintu yang tertutup dibuka dengan pendidikan yang professional. Pendidikan mengubah wajah dunia melintas batas.  


Peristiwa ini membuka pintu hati SVD yang  tertutup rapat oleh kebingungan yang mendalam karena semua paroki SVD diambil alih oleh keuskupan sesuai hukum Gereja dan konstitusi Serikat Sabda Allah. Pintu dunia selalu terbuka lebar bagi misi SVD. Pastoral kategorial sebuah keharusan. Pastoral Parokial ditinggalkan. Paradigma “DUNIA ADALAH PAROKI KITA” mulai perlahan gugur karena hampir semua paroki diserahkan kepada keuskupan. Inilah saatnya bagi pertumbuhan Paradigma misi SVD: “DUNIA ADALAH MEDAN PASTORAL KATEGORIAL”.

Kita memerlukan penafsiran baru atas Paulus dan Para Murid  diutus kepada bangsa-bangsa untuk mewartakan Injil seperti dalam bacaan pertama dan bacaan Injil pada pesta St. Yosef Freinademetz ini, dalam konteks dan zaman serta moment kita saat ini. Saat kita sekarang bukan pembangunan Fisik yang utama tetapi profesionalisme para agen misi dalam hal ini misionaris.

Pada saat  P. Yosef Freinademetz SVD terpilih sebagai provincial China pada tahun 1900, 113 tahun yang lalu, dia memberikan sambutannya dalam kalimat emas ini : “Kemajuan Misionaris adalah Kemajuan Misi.”  P. Yosef Freinademetz SVD  merealisasikan pemikiran atau prinsip misinya di China dengan menciptakan peluang-pelung emas bagi para misionaris SVD. 

Gaya kepemimpinannya sungguh terpuji karena sebagai pemimpin membuka peluang yang luas bagi para konfrater dan bruder misionaris mengasah dan mempertajam bidang keahlihannya secara professional. Peluang-peluang yang tercipta bagi kemajuan misionaris kemajuan misi adalah dalam bidang spiritualitas dan dalam bidang sekular sebagai lahan misi misionaris. 

 Konfrater misionaris diberi peluang untuk menata kehidupan rohani dengan retret tertata secara professional. Perpustakaan sebagai jendela dunia bagi misi Allah. Kursus-kursus keahlihan untuk kemajuan misionaris kemajuan misi. Pendidikan formal setiap misionaris untuk menjadi seorang misionaris yang profesional di dalam bidang karya misi.  Peluang-peluang yang tercipta itu dimanfaatkan untuk kemajuan misionaris kemajuan misi di China.

Misi SVD Jawa didominasi misi parokial. Beberapa Paroki sudah diserahkan kepada Keuskupan. Paroki St. Petrus Batam tepat tanggal 13 Januari 2013, SVD serahkan kepada Keuskupan Pangkal Pinang. Sementara Pastoral Kategorial masih dilihat sebelah mata hati. Kapitel General terakhir 2012, mengarahkan anggota SVD dunia kepada pastoral Kategorial. Sosialisasi Hasil Kapitel itu kepada konfrater sudah dilaksanakan. Arah dasar Provinsi pun sudah dibuat berdasarkan hasil sosialisasi kapitel General. Perlu sosialisasi kepada para Uskup tempat SVD berkarya agar bisa  sepaham dengan Gereja Lokal dalam pelaksanaan pastoral Kategorial yang dijalankan SVD di dalam wilayah teritorial keuskupan.  Dialog dan komunikasi dari SVD dengan keuskupan adalah jembatan menuju pelaksanaan pastoral kategorial berdasarkan amanat Kapitel General SVD tahun 2012.

Homili Senin 28 Januari 2013


KETIKA
API PENGGODA MEMBAKAR
 EMAS PANGGILAN CALON IMAM
Pesta St. Thomas Aquino
Senin 28 Januari 2013
Ibr 9:15.24-28; Mrk 3 : 22 – 30
Dari Surabaya Untuk Dunia


*P. Benediktus Bere Mali,SVD*


Apa yang akan seorang calon imam atau imam akan rasakan ketika  keluarganya atau umatnya yang kekurangan imam, mengirim seorang perempuan penggoda kepada calon imam dan atau seorang imam yang sangat setia pada panggilannya? Dapat dibayangkan perasaan calon imam atau imam itu bahwa sesungguhnya merasa kehilangan dukungan dari orang-orang yang paling dekat dengannya dalam perjalanan panggilan hidupnya. Memang dalam kekerabatan dan hubungan darah calon imam merasakan kehilangan kekuatan, tetapi secara spiritual, inilah api ujian yang membakar emas panggilan calon imam dan imam yang menerima penggoda yang didatangkan oleh keluarganya sendiri.  Emas panggilan semakin dibakar api penggoda semakin kokoh keemasannya. Sumber kekuatan keemasan panggilan mengalir dari Rahmat Allah yang maha kasih bagi setiap orang yang mencintaiNya.


Kesulitan  paling berat dalam Panggilan datangnya bukan dari jauh tetapi dari orang yang paling dekat dengan kita. Thomas Aquino dalam panggilan awal untuk menjadi imam Dominikan menghadapi penghalang terbesar dari kedua orang tuanya dengan mengirim perempuan penggoda kepadanya untuk menggagalkan panggilannya menjadi imam Dominikan.

 Ini betul betul kuasa beelzebul menjadi nyata dalam diri kedua orang tua Thomas Aquino. Tantangan dari kuasa Beelzebul dalam diri kedua orang tuanya itu dihadapi Thomas Aquino bukan dengan senjata atau rudal atau kekuatan fisik lainnya, melainkan Kuasa Beelzebul itu dihadapi dengan kuasa Allah. Thomas Aquino mengandalkan Kuasa Allah dalam Doa Adorasi di depan Sakramen Maha Kudus.

Tuhan mengabulkan Doanya. Terbukti orang tuanya bertobat. Dulunya menolak panggilan  Thomas untuk menjadi imam Dominikan dengan mengirimkan perempuan penggoda kepada anaknya. Tetapi kini kembali berjalan di jalan Tuhan yang memanggil Thomas Aquino untuk menjadi imam Dominikan.

Dukungan orang tua itu menjadikan Thomas berjalan semakin kokoh di jalan panggilan menjadi imam Dominikan dan kemudian Thomas menjadi filsuf dan teolog sepanjang zaman bagi segala generasi. Thomas Aquino adalah pendoa, suci, kudus, cerdas dan rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama. Semoga teladannya hidup dan bertumbuh berkembang di dalam diri kita semua yang merayakan pestanya pada hari ini. St. Thomas Aquino alirkanlah Roh Kepintaranmu, Roh Kerendahan Hatimu dan Roh Kekudusanmu ke dalam hati kami dan hati semua manusia. Amin.

Homili Minggu 3 Februari 2013



 “BUKAN SIAPA  TETAPI  APA “

Yer 1 : 4 - 5; 17 -19;
1Kor 13 : 4 - 13;
 Luk  4 : 21 – 30

Homili Minggu 3 Februari 2013
Dari Surabaya Untuk Dunia


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*


Kalau diminta memilih antara undangan Seminar dari seorang anak muda yang belum punya nama dengan seorang senior yang sudah terkenal, pasti kebanyakan di antara yang menerima undangan akan lebih tertarik pada pembicara yang lebih senior dan mempunyai nama daripada anak muda yang tidak terkenal. Walapun barangkali anak muda itu lebih kreatif dalam membawakan makalahnya. Mengapa demikian? Karena para undangan terpola dengan sistem berpikir yang dijiwai oleh “bukan apa yang dikatakan tetapi siapa yang mengatakan.”
Demikian juga seorang anak muda yang berbicara meyakinkan, penuh kuasa serta penuh dengan sikap kritis  di dalam sebuah kampung di hadapan  mayoritas para tetua dan para sesepuh, belum tentu semua orang sekampung itu menerima pembicaraannya. Sejumlah dari mereka yang tergolong sesepuh bisa jadi merasa bangga dengan kehadiran anak muda itu dan bisasanya datangnya dari keluarga dekat si pembicara atau yang berprinsip “bukan orangnya tetapi kualitas pembicaraannya.”  Tetapi sesepuh yang lain bisa jadi melihat dengan kacamata iri hati pada si anak muda itu bahkan secara terang-terangan dengan kata maupun sikap ataupun dengan perbuatan menyangkal kehadirannya.
Salah satu tema yang dijadikan bahan diskusi dalam kapitel terakhir adalah kesenjangan antara senior dengan yang yunior dalam hidup berkomunitas. Dalam kehidupan bersama, yang senior seringkali bahkan banyak kali memandang yunior dengan paradigma “ kau baru lahir kemarin belum tahu apa-apa”. Sistem berpikir seperti ini melahirkan tanpa apresiasi dari senior kepada Yunior yang bekerja tekun dan menghasilkan karya pelayanan yang baik bagi banyak umat yang dilayaninya.
Pengalaman yang demikian membawa dampak pada kehidupan berkomunitas, dimana antara senior dengan yunior semakin berjalan jauh dari kekompakan di dalam karya pelayanan. Atau sebaliknya yang Yunior pun dalam kehidupan bersama mengandalkan sistem berpikir “merendahkan senior” karena usia dan kesehatan, dan memandangnya sebagai beban bagi yang yunior, sehingga konflik pun bisa semakin kelihatan. 
Solusi yang mau ditempuh adalah komunikasi dan evaluasi dari hati ke hati sebagai jembatan yang mendamaikan antara yang Yunior dengan Senior di dalam kehidupan bersama di Pastoran atau komunitas karya agar yang diutamakan adalah “Misi Allah” bukan “misi diri” masing-masing baik Yunior maupun senior. Untuk itu paradigma yang menjiwai hidup bersama adalah “kita (senior – Yunior) sama tahu untuk melaksanakan Kehendak Allah bukan kehendak pribadi.”
Yesus adalah Yunior dalam usia tetapi  pemikirannya penuh berbobot. Pembicaraannya sangat berbobot untuk keselamatan dunia itu  ditanggapi dengan penolakan dari orang-orang sedesanya atau sekampungnnya.
Mayoritas orang sekampung Yesus  bahkan para pemuka agama menolak Yesus si anak muda, yang selayaknya dijadikan harapan masa depan dari Kampung Nazaret.
Apakah penolakan itu membuat Yesus mundur dari perjuangannya memberikan yang terbaik dan terbenar bagi masyarakat setempat, agar mendapatkan rasa aman dan tanpa konflik di dalam komunitas Nazareth?

Sikap kritis Yesus semakin bergema di dalam situasi penolakan yang dialaminya. Bahkan Yesus menyampaikan sindiran yang mendalam terhadap BangsaNya sendiri, lewat mujizat yang terjadi atas orang non Israel: janda Sarfaat di saat kelaparan hebat dan Naaman yang sakit disembuhkan karena memiliki iman, harapan dan kasih kepadaNya.
Orang asing non Israel diselamatkan karena mereka yang dulunya dicap sebagai bukan bangsa terpilih kini bertobat menjadi bangsa terpilih oleh iman dan harapan dan kasih kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya orang Israel yang dulunya dikenal sebagai bangsa terpilih, tidak mengalami mujizat dari Tuhan karena kehilangan iman, harapan dan kasih. Dengan kata lain Orang Asing berjalan bersama Yesus sebaliknya Orang Israel berjalan bersama egoismenya.

Introduksi Perayaan Ekaristi :

Allah membentuk kita sejak dalam kandungan Ibu yang mengandung kita. Menjadi imam dan bruder  bahkan sebagai awam pun telah direncanakan Allah sejak dalam kandungan ibu yang dengan penuh cinta mengandung kita. Itulah Cinta Tuhan yang kita alami secara nyata di dalam kandungan orang tua kita.

Kini kita jaga dan pelihara serta merawat cinta itu di dalam perjalanan panggilan hidup kita. Artinya meskipun Allah telah membentuk kita sejak awal kekhidupan kita sesuai kehedaknya, kita bukanlah robot yang remote-nya dipegang oleh Allah yang mengarahkan kita kepada kehendakNya.
Tuhan memberikan kebebasan kepada kita sejak di awal kehidupan yang berasal dari Allah sendiri. Dengan kebebasan itulah kita menyetir kendaraan perjalan hidup kita, entah ke kiri atau ke kanan atau berjalan lurus sesuai dengan rambu-rambu Tuhan sendiri. Dengan dasar iman harap dan kasih, kita mengendarai kendaraan hidup kita berjalan pada kehendak Tuhan Yesus dalam suka maupun duka kita, bukan berdasarkan kesombongan yang menghilangkan iman harap dan kasih kepada Tuhan Yesus.

“BUKAN SIAPA TETAPI APA “

“BUKAN SIAPA  TETAPI  APA “

Yer 1 : 4 - 5; 17 -19; 1Kor 13 : 4 - 13; Luk  4 : 21 – 30
Dari Surabaya Untuk Dunia

*P. Benediktus Bere Mali, SVD*


Kalau diminta memilih antara undangan Seminar dari seorang anak muda yang belum punya nama dengan seorang senior yang sudah terkenal, pasti kebanyakan di antara yang menerima undangan akan lebih tertarik pada pembicara yang lebih senior dan mempunyai nama daripada anak muda yang tidak terkenal. Walapun barangkali anak muda itu lebih kreatif dalam membawakan makalahnya. Mengapa demikian? Karena para undangan terpola dengan sistem berpikir yang dijiwai oleh “bukan apa yang dikatakan tetapi siapa yang mengatakan.”
Demikian juga seorang anak muda yang berbicara meyakinkan, penuh kuasa serta penuh dengan sikap kritis  di dalam sebuah kampung di hadapan  mayoritas para tetua dan para sesepuh, belum tentu semua orang sekampung itu menerima pembicaraannya. Sejumlah dari mereka yang tergolong sesepuh bisa jadi merasa bangga dengan kehadiran anak muda itu dan bisasanya datangnya dari keluarga dekat si pembicara atau yang berprinsip “bukan orangnya tetapi kualitas pembicaraannya.”  Tetapi sesepuh yang lain bisa jadi melihat dengan kacamata iri hati pada si anak muda itu bahkan secara terang-terangan dengan kata maupun sikap ataupun dengan perbuatan menyangkal kehadirannya.
Salah satu tema yang dijadikan bahan diskusi dalam kapitel terakhir adalah kesenjangan antara senior dengan yang yunior dalam hidup berkomunitas. Dalam kehidupan bersama, yang senior seringkali bahkan banyak kali memandang yunior dengan paradigma “ kau baru lahir kemarin belum tahu apa-apa”. Sistem berpikir seperti ini melahirkan tanpa apresiasi dari senior kepada Yunior yang bekerja tekun dan menghasilkan karya pelayanan yang baik bagi banyak umat yang dilayaninya.
Pengalaman yang demikian membawa dampak pada kehidupan berkomunitas, dimana antara senior dengan yunior semakin berjalan jauh dari kekompakan di dalam karya pelayanan. Atau sebaliknya yang Yunior pun dalam kehidupan bersama mengandalkan sistem berpikir “merendahkan senior” karena usia dan kesehatan, dan memandangnya sebagai beban bagi yang yunior, sehingga konflik pun bisa semakin kelihatan. 
Solusi yang mau ditempuh adalah komunikasi dan evaluasi dari hati ke hati sebagai jembatan yang mendamaikan antara yang Yunior dengan Senior di dalam kehidupan bersama di Pastoran atau komunitas karya agar yang diutamakan adalah “Misi Allah” bukan “misi diri” masing-masing baik Yunior maupun senior. Untuk itu paradigma yang menjiwai hidup bersama adalah “kita (senior – Yunior) sama tahu untuk melaksanakan Kehendak Allah bukan kehendak pribadi.”
Yesus adalah Yunior dalam usia tetapi  pemikirannya penuh berbobot. Pembicaraannya sangat berbobot untuk keselamatan dunia itu  ditanggapi dengan penolakan dari orang-orang sedesanya atau sekampungnnya.
Mayoritas orang sekampung Yesus  bahkan para pemuka agama menolak Yesus si anak muda, yang selayaknya dijadikan harapan masa depan dari Kampung Nazaret.
Apakah penolakan itu membuat Yesus mundur dari perjuangannya memberikan yang terbaik dan terbenar bagi masyarakat setempat, agar mendapatkan rasa aman dan tanpa konflik di dalam komunitas Nazareth?
 
Sikap kritis Yesus semakin bergema di dalam situasi penolakan yang dialaminya. Bahkan Yesus menyampaikan sindiran yang mendalam terhadap BangsaNya sendiri, lewat mujizat yang terjadi atas orang non Israel: janda Sarfaat di saat kelaparan hebat dan Naaman yang sakit disembuhkan karena memiliki iman, harapan dan kasih kepadaNya.
Orang asing non Israel diselamatkan karena mereka yang dulunya dicap sebagai bukan bangsa terpilih kini bertobat menjadi bangsa terpilih oleh iman dan harapan dan kasih kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya orang Israel yang dulunya dikenal sebagai bangsa terpilih, tidak mengalami mujizat dari Tuhan karena kehilangan iman, harapan dan kasih. Dengan kata lain Orang Asing berjalan bersama Yesus sebaliknya Orang Israel berjalan bersama egoismenya.
 
Introduksi Perayaan Ekaristi :
 
Allah membentuk kita sejak dalam kandungan Ibu yang mengandung kita. Menjadi imam dan bruder  bahkan sebagai awam pun telah direncanakan Allah sejak dalam kandungan ibu yang dengan penuh cinta mengandung kita. Itulah Cinta Tuhan yang kita alami secara nyata di dalam kandungan orang tua kita.
 
Kini kita jaga dan pelihara serta merawat cinta itu di dalam perjalanan panggilan hidup kita. Artinya meskipun Allah telah membentuk kita sejak awal kekhidupan kita sesuai kehedaknya, kita bukanlah robot yang remote-nya dipegang oleh Allah yang mengarahkan kita kepada kehendakNya.
Tuhan memberikan kebebasan kepada kita sejak di awal kehidupan yang berasal dari Allah sendiri. Dengan kebebasan itulah kita menyetir kendaraan perjalan hidup kita, entah ke kiri atau ke kanan atau berjalan lurus sesuai dengan rambu-rambu Tuhan sendiri. Dengan dasar iman harap dan kasih, kita mengendarai kendaraan hidup kita berjalan pada kehendak Tuhan Yesus dalam suka maupun duka kita, bukan berdasarkan kesombongan yang menghilangkan iman harap dan kasih kepada Tuhan Yesus.