Kamis, September 10, 2020

PROSES BERDIRINYA RUMAH SUKU MALU & AIBA'A SUKU BUNAQ DALAM WILAYAH KENAIAN AITOUN dari Perspektif Rumah Suku Monewalu Hoja Bul dalam Kenaian Aitoun

 *P.Benediktus Bere Mali,SVD*


Ada 34 Rumah Suku di Wilayah Suku Bunaq Kenaian Aitoun. Setiap anggota Rumah Suku memiliki hubungan Rumah Suku "Malu"(M) dengan Rumah Suku "Aiba'a"  (A) yang ketat dan renggang.  

Hubungan Rumah Suku "Malu"  (M) dengan Rumah Suku "Aiba'a" (A) ini dalam bahasa Tetun dikenal hubungan Rumah Suku "Fetosawa" dengan Rumah Suku "Umamane". Setiap Rumah suku memiliki anggota Rumah Suku A yang berasal dari satu atau dua atau berbagai macam atau beberapa macam Rumah Suku M. Rumah Suku M mengirim atau mengutus anggotanya dalam acara adat setempat dalam mendirikan Rumah Suku A dan atau Rumah Suku M mengutus anggotanya menjadi anggota Rumah Suku A.  Pertanyaannya, bagaimana prosedur atau proses Rumah Suku M mengutus anggotanya mendirikan Rumah Suku A di dalam sejarah adat perkawinan Suku Bunaq di dalam wilayah kenaian Aitoun? 


Sistem Perkawinan Patrilineal Sebagai Dasar Awal Berdirinya Rumah Suku 


Perutusan anggota Rumah Suku M menjadi anggota Rumah Suku A atau mendirikan Rumah Suku A memiliki arti tersendiri. Pembentukan Sebuah Rumah Suku A dapat terjadi atau lahir, muncul dari dan dalam sebuah adat perkawinan Suku Bunaq di dalam wilayah Kenaian Aitoun.  

Misalnya dalam hal ini, contoh sejarah awal Rumah Suku Monewalu Hoja Bul sebagai Rumah Suku Penulis. Awal mula berdirinya Rumah Suku Monewalu Hoja Bul ini bermula dari sebuah perkawinan Patrilineal antara Bei Mone/Kakek/Laki-laki/Pemuda/Suami dari Rumah Suku tertentu dengan isteri/Perempuan/Gadis/Bei Pana dari Rumah Suku Tertentu. 

Misalnya Bei Mone Mau Taek ini menyebut Rumah Suku Baru yang mau didirikan itu adalah Ruma Suku Monewalu Hoja Bul, menikah dengan Bei Pana dari Rumah Suku Mot Alan Fulur. Awalnya pernikahan Matrilineal tetapi karena Bei Mone ini mau mendirikan Rumah Suku Monewalu Hoja Bul maka perkawinan itu bersistem Perkawinan Patrilineal dalam sistem adat yang berlaku pada zamannya. Artinya Isteri dan anak-anaknya masuk dan mengikuti garis Keturunan Rumah Suku Ayah/Suami/Laki-laki/Bei Mone Mau Taek. Perkawinan Patrilineal ini sebagai awal berdirinya Rumah Suku Monewalu Hoja Bul. Selanjutnya Semua Anak-anak berkembang dalam sistem perkawinan Matrilineal. Generasi Bei Mone Mau Taek adalah Generasi Awal Rumah Suku Monewalu Hoja Bul.  Rumah Suku Mot Alan Fulur adalah Malu Bul. Rumah Suku Monewalu Hoja Bul adalah Aiba'a Bul.  Itulah Generasi Pertama  hubungan M dengan A dalam perspektif Monewalu Hoja Bul. 

Sistem perkawinan Matrilineal Artinya perkawinan yang memperhitungkan garis keturunan berdasarkan  garis Ibu/Mama/Gadis/Perempuan dalam Suku Bunaq di dalam kenaian Aitoun. Selama Anak Perempuan terus menurunkan keturunan Anak Perempuan maka keberadaan anggota Rumah Suku tetap berlanjut dalam sistem Kekerabatan Matrilineal. 

Tetapi ketika semua keturunan di dalam Rumah Suku tidak ada lagi anak perempuan, tetapi hanya anak laki-laki saja, maka perlu ada perkawinan Patrilineal generasi kedua untuk secara adat memasukan isteri dan anak-anak ke dalam Rumah Suku Suami, agar kelanjutan anggota Rumah Suku Suami tetap berlanjut dalam sistem kekerabatan Matrilineal. 

Dengan demikian, dari contoh di atas, terciptalah sejarah generasi Pertama dan kedua "Paen" atau "Faen" yang telah terjadi dalam adat perkawinan Patrilineal untuk kelanjutan Rumah Suku Monewalu Hoja Bul, misalnya. Contoh seperti ini dapat menampilkan 34 Rumah Suku yang ada di Suku Bunaq dalam Kenaian Aitoun, memiliki peluang untuk melaksanakan "Paen" atau "Faen" atau "sul suli dara" atau perkawinan Patrilineal sebagai awal atau kelanjutan anggota rumah suku yang ada, jika dari anggota rumah suku itu sudah sama sekali tidak mempunyai anak perempuan lagi untuk melanjutkan keberadaan Rumah Suku dalam sistem kekerabatan Matrilineal Suku Bunaq di dalam Kenaian Aitoun. Tetapi masih memiliki anak laki-laki dalam Rumah Suku. Anak-anak laki inilah akan melakukan perkawinan Patrilineal atau "Paen" atau "Faen" atau " Sul Suli Dara" untuk memasuk isteri dan anak ke dalam Rumah Suku Suami. 

Sistem Perkawinan Patrilineal ini dapat terjadi ditopang oleh harta warisan bergerak maupun tidak bergerak dari seorang suami yang melakukan "faen" atau "paen" atau "sul suli dara" atau perkawinan patrilineal. Menurut ceritera, Bei Mau Taek adalah "Soi Apa Luhan Gomo". Artinya Kaya akan kerbau dan sapi di Aitoun. Bei Mau Taek mengalami "Apa Taru" artinya Kerbau muncul secara mujizat. Bukti sejarah "Apa Taru" atau "Mujizat perbanyakan kerbau" ini adalah   "Bosok" artinya Mezbah Bei Mau Taek di Kaki Bukit Aitoun, tepatnya di Hulu Air Terjun Uluk Til.  Kekayaan Bei Mau Taek ini sangat mendukung Perkawinan "Sul Suli Dara" atau "Paen" atau "Faen" atau Perkawinan Patrilineal.

Perkawinan Patrilineal ini dikenal dalam bahasa adat Suku Bunaq  disebut "Paen" atau dalam bahasa Tetun, dikenal "Faen". Kata "Paen" atau "Faen" ini adalah terjadi hanya dalam cara Perkawinan seorang Gadis dengan laki-laki, dimana seorang gadis/isteri/mama bersama-anak-anaknya meninggalkan Rumah Sukunya lalu masuk ke dalam Rumah Suku Suami/Laki-laki/Bei Mone, berdasarkan keputusan tulus ikhlas secara adat dari semua anggota rumah suku isteri maupun seluruh rumah suku suami, berdasarkan sistem adat ketat "Paen" atau "Faen" atau "sul suli dara" atau perkawinan Patrilineal baik pada level relasi antara rumah suku bila terjadi dalam sedaerah atau sewilayah, maupun perkawinan patrilineal yang menciptakan Relasi (M) dengan (A) yang lebih luas pada level antara wilayah kerajaan secara timbal balik untuk menempati posisi setara masing-masing kerajaan sebagai pintu masuk mengurangi konflik dalam peperangan perebutan wilayah kekuasaan pada zaman dulu dengan menciptakan perkawinan Patrilineal dalam membangun hubungan (M) dengan (A) sebagai dasar penyelesaian persoalan-persoalan lain yang muncul setelah "Faen" atau "Paen"  dalam masing-masing Kerajaan. 

Adat ketat "Paen" atau "Faen" atau "sul suli dara" ini mengharuskan Rumah Suku Suami secara adat memberikan semua harta bergerak dan tak bergerak kepada pihak rumah suku isteri, dan pada saat yang sama juga, rumah suku suami memberikan hak sepenuhnya akan harta bergerak dan tidak bergerak kepada isteri dan anak-anak yang masuk dalam rumah suku suami. Proses penyerahan harta bergerak dan tidak bergerak kepada rumah suku isteri maupun kepada isteri dan anak-anak di rumah suku suami ini berdasarkan keputusan bersama secara adat baik dari pihak rumah suku isteri maupun dari pihak rumah suku suami. 

Penyerahan manusia, harta bergerak dan tak bergerak dalam adat "Faen" atau "Paen" seperti ini dilegalisir atau disahkan atau dimeteraikan dalam darah korban binatang sebagai pengikat perjanjian adat "Faen" atau "Paen" atau "sul suli dara" yang tidak boleh dilanggar oleh masing-masing anggota Rumah Suku M dan A dari adat kelahiran sampai kematian.   Dengan demikian semua persoalan antara keluarga besar Rumah Suku Isteri dan Rumah Suku Suami, yang muncul dalam hidup setelah adat "Faen" atau "Paen" atau "sul suli dara" ini, dapat diselesaikan melalui adat rekonsiliasi antara Rumah Suku Isteri sebagai Rumah Suku "Malu" (M) dengan Rumah Suku Suami sebagai Rumah Suku "Aiba'a" (A).  Pada umumnya konflik atau peperangan antara wilayah pun dapat diselesaikan melalui hubungan "Malu" (M) dengan "Aiba'a" (A). Perkawinan Patrilineal secara timbal balik antara dua wilayah Kerajaan atau beberapa Wilayah Kerajaan sehingga menciptakan hubungan "Malu" (M)  dengan "Aiba'a" (A) atau dalam bahasa Tetun membentuk hubungan Rumah Suku "Fetosawa" dengan Rumah Suku "Umamane" menjadi dasar atau fundamen untuk menghentikan perang atau konflik antara wilayah Kerajaan.  Perkawinan Patrilineal demikian berarti juga menjadi awal penciptaan/Pembentukan Rumah Suku (M) dengan (A) pada level hubungan antara kerajaan yang menjadi dasar hidup damai sekaligus sebagai media untuk solusi konflik antara wilayah Kerajaan. 

Demikian proses "Paen" atau "Faen" atau "sul suli dara" atau sistem perkawinan Patrilineal sebagai awal berdirinya Sebuah Rumah Suku M dengan A baik secara ketat maupun renggang. Secara Ketat relasi M dengan A kalau relasi garis lurus antara M dengan A. 

Sebaliknya dapat dikatakan renggang ketika  setiap anggota rumah suku yang memiliki M yang bukan secara langsung garis lurus menjadi sumber asal-usul A. Relasi ketat atau renggang antara M dengan A ini secara pasti diketahui oleh Setiap anggota rumah suku A. Setiap anggota Rumah Suku A pasti mengetahui asal-usul aslinya dari sebuah rumah suku M. Hal ini berlaku bagi anggota Rumah Suku A yang berasal dari atau melalui lebih dari satu kali "Faen" atau "Paen" atau "sul suli dara" dalam sejarah anggota Rumah Suku di masa lalu. Artinya pada zaman dahulu kala, sebuah Rumah Suku A memliki anggotanya dari beberapa rumah Suku M melalui perkawinan Patrilineal, untuk melanjutkan keturunan Rumah Suku maupun "Faen" atau "Paen" atau "sul suli dara" atau perkawinan Patrilineal karena alasan politis untuk mengikat hubungan M dengan A secara timbal balik pada level hubungan perdamaian dan rekonsiliasi antara wilayah Kerajaan dalam mengakhiri persoalan atau menyelesaikan konflik antara wilayah Kerajaan lewat dan dalam hubungan M dengan A secara timbalik balik dalam adat yang ketat yang telah disahkan atau dimeteraikan di dalam darah Kurban Binatang.  

Secara sederhana sebuah Rumah Suku A yang ada hingga pada hari ini terdiri dari keanggotaan yang memiliki asal rumah suku M yang berbeda-beda karena proses "paen" generasi pertama, generasi kedua, generasi ketiga, generasi keempat dan seterusnya. Setiap anggota dari setiap generasi "paen" mengenal relasi ketat, artinya hubungan asal garis lurus dari Rumah Suku M sesuai generasi "paen."  Relasi renggang, artinya anggota A berelasi dengan M yang bukan secara langsung garis lurus asal asli A. 

Misalnya dari bagan di atas Anggota A3 berasal dari M1 dan M2. Itu artinya Rumah Suku A3 memiliki dua kelompok keanggotaan yaitu ada yang berasal dari Rumah Suku M1 dan ada yang berasal dari M2. Relasi adat ketat dari kelahiran sampai kematian antara anggota A3 yang berasal dari M2 sedangkan anggota A3 yang berasal dari M1 memiliki relasi renggang dengan M2 dalam adat kelahiran sampai adat kematian. 

Bila sebuah wilayah Kerajaan menempati status M dan Kerajaan yang lainnya menempati posisi A dalam "faen" atau "Paen" atau "sul suli dara" atau perkawinan Patrilineal,  maka Permaisurinya/Isteri adalah berasal dari Rumah Suku M menerima harta warisan yang bergerak maupun tidak bergerak dari suami yang berasal dari Rumah Suku A, dan pada saat yang sama isteri berhak penuh atas harta kekayaan bergerak dan tidak bergerak di Rumah Suku Suami atau A. 

Sekali lagi proses penyerahan ini terjadi dalam adat hubungan "Malu"(M) dengan "Aiba'a" (A) yang dimeteraikan dalam darah Kurban Binatang adat sebagai ikatan perjanjian suci dan abadi. Dalam perjalanan waktu, setelah "faen" ada yang melanggar, maka ada denda atau hukuman adat yang telah berlaku dan disepakati bersama pada waktu "faen" atau "sul suli dara" bagi pihak M maupun A. 

Anggota rumah suku M dapat mengutus beberapa anggotanya pergi membentuk satu atau lebih anggota rumah Suku A. Dengan kata lain, sebuah M dapat melakukan adat "Paen" atau " Faen" atau Perkawinan Patrilineal dalam menciptakan relasi antara M dengan A yang lebih luas atau lebar dalam hidup peradatan Suku Bunaq di dalam kenaian Aitoun. Tentu hal itu bisa terjadi dalam waktu yang tidak bersamaan atau bisa juga terjadi dalam waktu berurutan atau berdekatan di masa lalu, dimana proses "faen"atau "Paen" atau perkawinan Patrilineal itu tidak tertulis, hanya secara lisan disampaikan secara turun-temurun dari generasi Rumah Suku kepada Generasi Rumah Suku berikut, melalui ritus adat lewat kurban binatang dalam rumah suku dalam hubungan "Malu" (M) dengan "Aiba'a" (A). 

Hubungan (M) dengan (A) ini secara visual diungkapkan di dalam adat "Si Por Pak" yaitu inti pokok membuka pintu bahagia "Surga" bagi anggota rumah suku yang meninggal dan adat "Si Por Pak" ini tampak jelas dalam adat kenduri Suku Bunaq di dalam Kenaian Aitoun sampai saat ini dan seterusnya. Sejarah hubungan M dengan A tidak hanya disampaikan secara lisan tetapi dihidupi dalam darah Kurban Binatang dan doa Tua Adat dalam ritus, praktek spiritual adat, Ritual "Si Por Pak" dalam adat kenduri Suku Bunaq di dalam wilayah Kenaian Aitoun. 

Untuk mengetahui secara pasti relasi M dengan A dari setiap Rumah Suku di wilayah Kenaian Aitoun, datang dan hadirilah adat ritual, ritus, praktek spiritual  "Si Por Pak" dalam adat kenduri bagi setiap anggota Rumah Suku yang meninggal.  

Sorang peneliti yang hendak menulis proses pembangunan relasi Rumah Suku M dengan Rumah Suku A dari 34 Rumah Suku yang ada di wilayah Kenaian Aitoun, hadirilah dan saksikan sendiri adat "Si Por Pak" sebagai tempat untuk mendapat data Primer, data aktual, data yang benar,  data yang asli, data yang tulus dari Tua Adat dan Tetua Adat Pendamping dalam adat Kenduri Suku Bunaq di dalam Kenaian Aitoun. Dan untuk lebih memperdalamnya, seorang peneliti melakukan interview mendalam dengan Para Tua Adat yang memimpin adat "Si Por Pak" dalam adat kenduri bagi setiap anggota Rumah Suku yang meninggal.  "Si Por Pak" adalah kata bahasa Bunaq. Sedang dalam bahasa Tetun disebut "Na'an Lulik." Kata "Si" artinya daging. Kata "Por" artinya suci, kudus, pemali. Kata "Pak" artinya Pembagian. Jadi "Si Por Pak" artinya pembagian darah-daging suci kepada Rumah Suku M yang menjadi asal-usul suci-benar-tepat-tulus dari seorang anggota yang meninggal dari Rumah Suku A.  

Seorang Peneliti ilmiah akan menemukan berbagai nilai di dalam adat "Si Por Pak" yang secara tulus menyampaikan Relasi M dengan A dalam sejarah hidup Rumah Suku M dengan A dalam ritus, praktek spritual, ritual adat kenduri. 


Kembali ke Bagan di Atas 


Bagan di atas tertulis "Aiba'a" selanjutnya disingkat A dan "Malu selanjutnya disingkat M.  Lantas selanjutnya disebut "Malu-Satu" yang selanjutnya disingkat M1 adalah Rumah Suku Laimea. Kemudian "Malu-Dua" selanjutnya disingkat M2.  

Bagan di atas  M1 membentuk rumah suku lebih dari Satu Rumah Suku A maka relasi antara M1 dengan A  dapat ditulis demikian: Misalnya  dari bagan di atas M1 membentuk Rumah Suku A1, A2, A3, A4, A5, A6. Penting dicatat bahwa Rumah Suku M1 membentuk atau mendirikan atau menjadi anggota Rumah A1, A2, A3, A4, A5, A6 dalam adat "Faen" atau "Paen" atau dalam perkawinan Patrilineal sebagai awal berdirinya Rumah Suku. 

Misalnya contoh konkret M1 (Rumah Suku  Laimea) sebagai rumah suku "Malu-satu" (M1) yang membentuk Rumah Suku A1 (Rumah Suku Monesogo), A2 (Rumah Suku Sigup), A3 (Rumah Suku Monewalu Hojabul), A4 (Rumah Suku Monewalu Rato), A5 (Rumah Suku Leo Kemak), A6 (Rumah Suku Liana'in). 

Dalam hal ini relasi M1 dengan A1, A2, A3, A4, A5, A6 adalah relasi ketat karena M1 adalah sumber asli garis lurus dengan A1, A2, A3, A4, A5, A6. Atau dengan kata lain A1, A2, A3, A4, A5, A6 berasal garis lurus dari Rumah Suku M1. 

M1 mengutus  enam (6) saudari atau anak perempuan membentuk A1, A2, A3, A4, A5, A6 dalam sistem perkawinan Patrilineal yang disebut sebagai "faen" atau "Paen" atau "Sul Suli dara."

Anak perempuan pertama (1) dari M1 membentuk Rumah Suku A1, Anak Perempuan kedua (2) dari Rumah Suku M1 membentuk rumah suku A2, Anak perempuan ketiga (3) dari M1 membentuk rumah suku A3, Anak Perempuan keempat (4) dari M1 membentuk Rumah Suku A4, Anak Perempuan kelima dari M1 membentuk Rumah Suku A5 dan Anak perempuan ke-6 dari M1 membentuk rumah suku A6. Awal berdirinya M membentuk A berdasarkan Perkawinan Patrilineal atau "Paen" atau " Faen" atau "Sul Suli Dara".  Adat "Sul Suli Dara" ini bertujuan untuk mendapat anak gadis untuk melanjutkan keturunan berdasarkan garis Keturunan Ibu/Perempuan dalam sistem kekerabatan Matrilineal.

Sistem kekerabatan Matrilineal berarti pola kekerabatan yang memperhitungkan garis keturunan dan harta warisan bergerak dan tidak bergerak berdasarkan jalur garis ibu, perempuan. Sedangkan Sistem kekerabatan Patrilineal adalah pola kekerabatan yang memperhitungkan garis keturunan dan harta warisan bergerak dan tidak bergerak berdasarkan jalur garis keturunan Bapak, laki-laki. 


Fokus pada Perspektif Rumah Suku Monewalu Hoja Bul


Perlu diperhatikan secara serius bahwa setiap anggota rumah Suku A, misalnya A3 (Rumah Suku Monewalu Hoja Bul) pada contoh bagan di atas, keanggotaan Rumah Suku Monewalu Hoja Bul berasal dari M1 dan M2. Dalam hal ini M1 (Rumah Suku Laimea) dan M2 ( Rumah Suku Hoki'ik).  Ini Artinya bahwa anggota Rumah Suku A3 (Rumah Suku Monewalu Hoja Bul) ini ada dan terbentuk berdasarkan seorang laki-laki/Suami/ Bei Mone Rumah Suku Monewalu Hoja Bul menikah dengan gadis/isteri/ Bei Pana dari Rumah Suku Laimea (M1), yang perkawinannya secara Patrilineal untuk melanjutkan keturunan Rumah Suku Hoja Bul (A3) yang berkembang terus sampai dewasa ini dalam sistem kekerabatan Matrilineal. 

Dan lalu kemudian juga Seorang Bei Mone/Suami/Laki dari Rumah Suku Monewalu Hoja Bul (A3) menikah dengan seorang anak gadis/isteri/Bei Pana dari Rumah suku Hoki'ik (M2) yang juga perkawinannya secara Patrilineal untuk melanjutkan keturunan dan keberadaan Rumah Suku Monewalu Hoja Bul (A3) yang terus berkembang hingga dewasa ini dalam sistem kekerabatan Matrilineal.  Bei Mone A3 bernama Bei Loi Malik menikah secara patrilineal dengan Bei Pana dari Rumah Suku Hoki'ik (M2).  Bei Loi Malik adalah generasi kedua "Faen" atau "Paen" atau "sul suli dara" atau perkawinan patrilineal.  

M3 bisa muncul lagi di masa depan atau pada masa yang akan datang kalau anggota A3 dari M1 dan M2 ini sudah tidak memiliki lagi anak perempuan yang bisa melahirkan anak perempuan lagi dan hanya memiliki anak laki-laki saja. Maka anak laki-laki dari Rumah Suku Monewalu Hoja Bul menikah secara Patrilineal atau "Paen" atau "Faen" atau "Sul Suli Dara" untuk mendapatkan keturunan anak perempuan dalam rumah suku. 

Dengan demikian  sampai pada hari ini anggota A3 (Rumah Suku Monewalu Hojabul), memiliki dua sumber utama yaitu ada anggota yang berasal  dari sumber utamanya secara ketat dari M1 (Rumah Suku Laimea) dan ada anggota yang berasal dari sumber utamanya secara ketat dari M2 (Rumah Suku Hoki'ik). 

Hubungan komunikasi adat antara M dengan A yang ada di dalam setiap Rumah Suku seperti ini dapat membentuk relasi adat setiap anggota Rumah Suku dari kelahiran sampai kematian. 

Relasi M dengan A ini menjadi aturan adat bagi setiap anggota M dengan A mulai dari adat kelahiran sampai dengan adat kematian, termasuk apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang atau pantangan dalam hidup relasi antara M dengan A di dalam kehidupan nyata sehari-hari. 

Pantangan yang dimaksud adalah termasuk  semua anggota Rumah Suku A1, A2, A3, A4, A5, A6 yang memiliki relasi langsung secara garis lurus bersumber dari M1 dalam bagan di atas adalah sebagai sama saudara dan sama saudari, tidak diijinkan untuk saling berpacaran, tidak mengambil satu sama lain untuk menikah dan hidup berkeluarga. 

Secara lebih fokus, misalnya anggota rumah suku A3 (Monewalu Hojabul) yang berasal langsung secara garis lurus dengan M1 (Rumah Suku Laimea) adalah sama saudara dan sama saudari dengan A1 (Anggota Rumah Suku Monesogo), A2 (Anggota Rumah Suku Sigup), A4 (Anggota Rumah Suku Monewalu Rato), A5 (Anggota Rumah Suku Leokemak), A6 (Anggota Rumah Suku Liana'in), yang sama-sama berasal secara garis lurus dari M1 (Rumah Suku Laimea). 

Catatan penting yang perlu diperhatikan juga bahwa anggota rumah suku A1, A2, A4, A5, dan A6, tidak hanya berasal dari M1 saja.  Tetapi dari rumah suku yang lain juga, yang tidak dibahas dalam tulisan kecil ini. Tulisan ini hanya fokus pada A3  (keanggotaan rumah suku Monewalu Hojabul) karena langsung berkaitan dengan rumah suku Penulis sendiri.  

Dengan kata lain, tulisan ini hanya fokus pada Proses berdirinya Rumah Suku M dengan A secara spesifik dari perspektif Rumah Suku Monewalu Hoja Bul di dalam kenaian Aitoun. Penulis juga tidak menulis  secara panjang lebar tentang Rumah Suku M1 dan M2 karena Penulis tidak mempunyai pemahaman yang pasti tentang keanggotaan Rumah Suku M1 dan M2.  Penulis hanya menulis tentang Relasi antara A3 dengan M1 dan M2 karena A3 adalah Rumah Suku Penulis sendiri. Dan hingga saat ini keanggotaan Rumah Suku A3 hanya berasal dari M1 dan M2 dalam Perspektif A3.  

Catatan Penting yang harus disadari juga bahwa jika Proses Pembentukan M dengan A dari perpesktif M1 maka M1 kembali menempati posisi A karena M1 juga terbentuk berdasarkan sistem "faen". Demikian M2. Tetapi sekali lagi Penulis tidak membahas itu dalam tulisan ini. Sekali lagi Tulisan ini hanya fokus membahas Proses Terjadinya M dengan A dari perspektif A3. Pembaca dapat klik disini untuk lebih dalam mengenal Sejarah Besar Suku Monewalu dalam Kenaian Aitoun dalam gandengannya dengan Sejarah Loro Lasiolat-Fehalaran-Bauho: dulu-kini-akan datang sampai selamanya.


Dari sini pembaça dapat merasakan Kehadiran dan keberadaan Leluhur Suku Bunaq di dalam Kenaian Aitoun secara cerdas membentuk sebuah sistem relasi yang sangat kaya dalam hidup bersama antara M (anggota rumah suku "Malu" sebagai pendiri rumah suku A ) dengan A (Anggota Rumah Suku "Aiba'a" yang berasal dari M).  

Ketika Relasi M dengan A generasi pertama akan hilang atau telah hilang karena tidak mempunyai anak perempuan dalam Rumah Suku A yang dapat meneruskan keturunan Rumah Suku A secara sistem kekerabatan Matrilineal Suku Bunaq dalam kenaian Aitoun, maka untuk kembali mempertahankan kelanjutan anggota keberadaan Rumah Suku A, perlu dilaksanakan "Faen" atau " Paen" atau "sul suli dara" atau Perkawinan Patrilineal sebagai awal atau kelanjutan Anggota Rumah Suku A dalam sistem kekerabatan Matrilineal Suku Bunaq dalam Kenaian Aitoun. Dengan demikian relasi "Malu-Aiba'a"  (M-A) semakin berkembang. Semakin banyak "Faen" atau "Paen" atau "sul suli dara" dari generasi pertama dan kedua dalam rumah suku Monewalu Hoja Bul maka semakin banyak jumlah M dalam berelasi dengan A.

Dalam bahasa komunikasi adat Suku Bunaq di dalam kenaian Aitoun dalam wilayah keloroan Lasiolat-Fealaran-Bauho, para tokoh adat berbicara dari perspektif "Feto Sawa Uma Mane" dalam bahasa Tetun atau dalam bahasa Bunaq "Malu Gol - Aiba'a Gol".  

Ada dua perspektif komunikasi adat, yang tampaknya tidak rumit bagi pembicara dan pendengar yang tahu jalurnya sebagai  "Malu Gol - Aiba'a Gol" atau "Feto Sawa Uma Mane".  Gampangnya bahwa pembicaraan dalam komunikasi adat berdasarkan "Perkawinan Patrilineal" sebagai awal berdirinya Rumah Suku, maka pendiri Rumah Suku menempati posisi status "Malu" dalam hal ini Rumah Suku yang mengutus anggotanya menjadi anggota Rumah Suku Aiba'a. Sedangkan anggota Rumah Suku yang diutus menempati posisi "Aiba'a Gol" dalam seluruh relasi adat dari lahir sampai kematian.  

Jadi Hubungan sistem Kekerabatan Matrilineal dengan sistem kekerabatan Patrilineal itu seperti hubungan antara ayam dengan telur, mana yang lebih dahulu antara telur dan ayam? sebuah perdebatan yang tidak pernah akan memberi jawaban tuntas memuaskan, selain menerima keduanya sebagai satu kesatuan dalam proses pembentukan ayam dan telur. 


Harapan Rumah Suku Monewalu Hoja Bul


Demikianlah proses relasi adat - darah - keturunan  "Malu" (M) dengan "Aiba'a" (A) yang terbuka untuk dilihat dari Sistem kekerabatan Patrilineal sebagai awal terciptanya sebuah Rumah Suku Monewalu Hoja Bul, yang kemudian dilaksanakan di dalam kehidupan Rumah Suku Monewalu Hoja Bul secara sistem kekerabatan Matrilineal,  yang terus dilaksanakan selama Anak Perempuan melahirkan anak perempuan sebagai penjaga dan memelihara Rumah Suku Monewalu Hoja Bul dengan segala harta bergerak dan tidak bergerak. 

Jika pada suatu saat hanya ada anak laki-laki dalam rumah Suku dan tidak ada lagi anak perempuan yang meneruskan keturunan dalam sistem kekerabatan Matrilineal maka seorang atau beberapa orang anak-anak laki-laki yang ada dari Rumah Suku Monewalu Hoja Bul menikah dengan gadis dari rumah suku lain, lalu melakukan perkawinan patrilineal atau "Faen" atau "Paen" atau "Sul Suli Dara" yaitu isterinya tinggalkan rumah sukunya dan masuk ke dalam rumah suku suami dengan anak-anak perempuan dan anak laki-lakinya, secara adat, dan secara ikhlas sepakat dari kedua rumah suku Suami maupun Rumah Suku isteri, dengan tujuan untuk melanjutkan keturunan di rumah suku suami agar Rumah Suku Suami memiliki keanggotaannya yang tetap lestari. 

Selama sebuah Rumah Suku Memiliki Berlimpah Harta Warisan baik harta bergerak maupun tidak bergerak sebagai modal dasar untuk terlaksananya "Paen" atau "Faen" atau "Sul Suli Dara" atau perkawinan Patrilineal, maka keberadaan Rumah Suku Tetap Eksis untuk selamanya. Atau selama Sebuah Rumah Suku Masih memiliki Keturunan Anak Perempuan dalam Sistem kekerabatan Matrilineal Maka Sebuah Rumah Suku Masih tetap terjaga dan terpelihara. 

Penggandaan harta warisan dalam Rumah Suku itu datang dari setiap anggota Rumah Suku yang bekerja rajin, bekerja gesit, bekerja cerdas dan bekerja secara profesional sesuai konteks zaman dalam mempertahankan kelanjutan keberadaan Rumah Suku baik dalam sistem kekerabatan Matrilineal maupun dalam sistem kekerabatan  Patrilineal. Bei Mau Taek Soi Apa Luahan Gomo pada zamannya mendirikan Rumah Suku Monewalu Hoja Bul melalui Perkawinan Patrilineal dan pada saat itulah mulai ada Rumah Suku M dengan A dalam perspektif  Monewalu Hoja Bul. Bei Loi Malik generasi kedua melakukan "Faen" atau perkawinan Patrilineal menambah Rumah Suku M dan dalam bagan disebut M2. Seorang Bei Mone melakukan "Paen"  atau perkawinan patrilineal menambah Rumah Suku M  dan dalam bagan disebut M2. Hal itu terjadi karena Bei Mau Taek adalah  seorang pendiri Rumah Suku Monewalu dengan harta kekayaan "Soi apa luhan gomo." Dengan demikian ada tiga generasi M dalam Rumah Suku Monewalu Hoja Bul yaitu Rumah Suku Mot Alam Fulur (M), Rumah Suku Laimea (M1) dan Rumah Suku Hoki'ik (M2). M3 dan selanjutnya tetap berpeluang karena masa depan terbuka untuk kemungkinan itu demi tetap eksisnya Rumah Suku Monewalu Hoja Bul dan barangkali bisa jadi M3 dan M4 dan seterusnya bisa terjadi karena alasaan politis yang bisa saja dapat terjadi di masa yang akan datang.  *****


*****

Metro Manila-Philippine, 

Kamis 10 September 2020

P. Benediktus Bere Mali, SVD

*****



Daftar Pustaka 


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..


Sabtu, September 05, 2020

Konsep dewasa dalam Pandangan Suku Bunaq Aitoun


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*


Seseorang dapat digolongkan ke dalam kategori dewasa dapat dilihat dari berbagai segi atau sudut  pandang. Misalnya seorang Freud melihat seorang yang dewasa dalam kenyataan bila ego nya dengan mantap dan tenang    mengatur tuntutan prinsip kenikmatan ID yang membabi buta dari dalam diri pribadi dan paksaan  superego dari luar diri yang lebih cenderung tanpa kompromi bahkan tidak berperikemanusiaan. 
 Pribadi EGO real Yang tenang dapat mendamaikan dorongan internal ID & paksaan eksternal SUPER EGO  sebagai bukti yang menunjukan kedewasaan pribadi dalam kehidupan real setiap hari. 


Dalam pandangan Freud seorang yang memiliki Ego Yang dewasa adalah seorang Yang mengatur ID Yang memiliki dua sisi yaitu sisi Eros Yang menghidupan dan sisi Thanatos Yang merusak dan mematikan. 

  Ego dengan penuh kesadaran mengistirahatkan Thanatos dalam diri dan memberi kesempatan kepada Eros Yang menghidupkan dalam diri yang terekspresi keluar dalam aksi nyata sehari-hari. 

Ego dengan penuh kesadaran mengatur tuntutan eksternal Super Ego yang juga sering tidak realistis agar aksi Ego sesuai realitas real yang lebih berperikemanusiaan. 


Dewasa dalam perspectif Freud ini bertemu  pandangan Dewasa dari Suku Bunaq Aitoun. Dewasa dalam bahasa Bunaq adalah MATAS. Mantap Anda Tenang Atasi Aneka Soal. Seorang yang disebut MATAS dalam level kehidupan sosial adalah pribadi yang menjadi penyelesai persoalan hidup bersama dengan pikiran, rasa dan tindakan atau gerak tubuh tenang, damai dan menyejukan.**

Senin, Agustus 17, 2020

"Hanya ada Surga Tidak Ada Neraka" dalam Adat Kenduri Suku Bunaq Aitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*






Di sana,  di Surga tempat terminal perjumpaan semua kita tanpa kecuali. 


Trimakasih kaka Alo (kakak Kamilus Tai Bere). Trimakasih. Trimakasih kebaikan dan jasa kaka Alo untuk kami adik-adik, ponakan, cucu dan anak serta seluruh keluarga. 

Kaka lebih dahulu ke Surga. Ke sana kami susul. Kita jumpa di sana. Cerita tentang kami di dunia utk keluarga "Malu ai" di sana, di Surga. Doakan kami. Kita berdoa bersama. Doa mendekatkan kita bersama. Salam dan berkat utk kaka dan keluarga di sana, di Surga. Alirkan berkat kak bersama leluhur dari sana,  dari Surga untuk kami di bumi. Trimakasih kaka. Terimakasih kaka. Trimakasih kaka Alo. 



Kakak Alo dalam keadaan yang tiada tanda-tanda perpisahan dengan keluarga. 
Tepat hari Minggu 16 Agustus 2020, kakak Alo berpisah pergi ke Surga dari dunia- 
 Atambua-Timor-NTT-Indonesia. 

Pada hari ini, tepatnya menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75, 
kaka Alo pergi ke Surga merayakan kemerdekaan abadi di Surga. 

Kaka Alo sudah tidak memiliki lagi beban penderitaan fisikal tubuh. 

Kini kaka Alo hanya memiliki sukacita abadi di Surga. 

Benar sekali bahwa dalam budaya Kakak Alo, budaya Suku Bunaq Aitoun, rumah suku Monewalu, khusus dalam adat kenduri bagi kakak Alo, tidak ada kosa kata "Neraka".  

Orientasi hidup manusia di  dunia adalah pasti menuju "Surga". Adat kenduri khususnya adat Ritus "Si Por Pak" adalah adat inti mengantar jiwa orang yang meninggal dunia,  masuk ke dalam kebahagiaan abadi di Surga. 
Dalam bahasa suku Bunaq, Surga dikenal "Mot Tama" melalui adat kenduri " Si Por Pak."

Adat "Si Por Pak"  ini memiliki dua sisi. 

Pertama, mendamaikan anggota keluaga "malu-ai" suku Bunaq di dunia, khususnya keluarga "malu-ai" yang langsung berhubungan langsung dengan seorang yang meninggal,  khususnya dalam hal ini Kakak Alo.  Damai anggota keluarga Kaka Alo di bumi dapat memproduksi keiklasan hati semua anggota keluarga di bumi, mengantar kakak Alo  menuju Surga. Untuk itu Adat Kenduri ini di laksanakan dalam kedamaian anggota keluarga. Rekonsiliasi dilakukan bagi anggota-anggota keluarga yang konflik. Rekonsiliasi itu membangun kembali relasi 5A secara harmonis; yang terdiri dari relasi harmonis dengan diri sendiri (Aku), dengan (Alam) semesta, dengan Arwah leluhur, dan dengan Allah /Supranatural. Konflik membuat relasi 5A itu labil. Adat rekonsiliasi seperti dalam video di bawah ini kembali menstabilkan kembali relasi harmonis 5A suku Bunaq Aitoun. Video ini suara rekaman aslinya dihapus dan diganti dengan lagu dan musik Mazmur 133 yang menarik rasa " Betapa indahnya hidup rukun dan damai sebagai saudara" yang merangkum makna mendalam rekonsiliasi dalam adat Suku Bunaq Aitoun seperti dalam gerakan proses rekonsiliasi ritus adat damai anggota rumah suku Monewalu yang konflik. 

 Video Rekonsiliasi konflik anggota Rumah Suku Monewalu di Asueman-Malate- Kedesaan Aitoun. Rekonsiliasi ini dalam adat Kenduri. 

Video ini dari 
Bapak Marianus Luan
Saksi langsung Adat Rekonsiliasi
Suku Bunaq Aitoun.



Kedua, adat "Si Por Pak" memberikan kedamaian abadi bagi Kakak Alo di Surga.


Berikut adalah contoh adat "Si Por Pak" bagi seorang anggota keluarga yang telah meninggal beberapa tahun lalu. Contoh  adat seperti ini juga akan dibuat untuk kakak Alo masuk Surga atau "Mot Tama."


Video ini adalah dokumen pribadi  Penulis. 

Adat "Si Por Pak"  dalam kenduri ini
 Menciptakan Surga bagi anggota
Suku Bunaq, yang meninggal. 

Dengan demikian 
Adat "Si Por pak" ini tidak mengenal kosa kata 
"Neraka" dalam suku Bunaq Aitoun.

Adat "Si Por Pak" ini intinya membangun relasi harmonis dengan diri sendiri (Aku), dengan sesama (Anda), (Alam) Semesta, (Arwah) leluhur dan (Allah) /Supranatural. 

Relasi Harmonis di Bumi dan di Surga. 
Tentang rekonsiliasi suku Bunaq Aitoun, khususnya rumah suku Monewalu,  klik di sini.
dan
Tentang Adat Kenduri Rumah suku Monewalu, Suku Bunaq Aitoun di kedesaan Aitoun, dapat klik di sini


Trimakasih kakak Alo. Doa dan berkat untuk kaka Alo dan semua keluarga "Malu-ai" atau "Feto sawa -Uma mane" di Surga. Alirkanlah berkat Kaka Alo bersama keluarga "Malu-Ai" atau "Feto Sawa -Uma Mane" dari dalam surga untuk kami semua "Malu-Ai"di Bumi. Terima kasih Kaka Alo. 
Kita satu dalam berdoa.


-***-

Rabu, Agustus 05, 2020

Nilai Perpetual dari Temporal Foto







*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Wajah kakek kandung penulis. Beliau adalah guru agama di Stasi Wilain, Tohe Leten pada zamannya.  Tepat penulis lahir pada Rabu 4 April 1973, beliau kembali ke Rumah Bapa di Surga bergabung bersama para kudus yang setia menjadi pendoa bagi semua orang yang sedang berziarah di atas bumi ini. 

Foto ini ketika tiba di depan mata dalam inbox wa penulis, menjadi begitu luarbiasa maknanya bagi penulis. Bapak Marianus Luan, kepala Desa Aitoun mendapat dari seorang keluarga yang menyimpan di albumnya dan memberi keterangan bahwa foto ini adalah kakek kandung penulis. Penulis lalu konfirmasi kepada Om kandung penulis Om Salamon Mau. Beliau menyatakan bahwa benar foto ini adalah kakek kandung penulis. Betapa menyentuh rasa menjumpai kakek kandung penulis setelah 47 tahun seusia penulis beliau pergi ke surga dan inilah pertemuan pertama kakek Vitalis Koi dalam dan lewat foto ini. 

Ceritera dulu tentang kakek terangkum jawabannya dalam selembar fofo kakek Vitalis Koi. 
Kakek adalah Guru Agama. Penulis adalah cucu kandungnya adalah seorang pastor Serikat Sabda Allah. 
Karya Guru Agama kakek berbuah pada cucuknya menjadi pastor Serikat Sabda Allah. Kakek bekerja secara tulus ikhlas melayani umat bersama para misionaris Serikat Sabda Allah yang bekerja pada zamannya. Medan pada waktu itu sangat berat dan kendaraan satu-satunya kuda selain jalan kaki dalam melayani umat pada zamannya. 
Buah baik tidak jauh dari pohonnya yang baik. 
Buah kebaikan kakek telah jatuh dalam diri cucunya yang menjadi imam SVD. 
Melayani Tuhan dengan tulus ikhlas pasti direkam CCTV  dan diputar kembali kebaikan itu pada waktu dan tempat serta jaman yang tepat. 
Kelahiran Penulis di dunia bertemu pada kelahiran baru kakek di Surga.
Pertemuan itu dirangkum di dalam selembar foto kakekku tercinta. 
Selamat jumpa kakek
 Selamat bernahagia di Surga. Selalu mendoakan kami anak cucu cicitmu yang tersebar di seluruh nusantara Indonesia dan dunia. 
Terimakasih.
Terima berkat cucumu pastor SVD
Berkati cucumu
dari dalam surga Abadi
Tujuan hidup kita bersama.

Pesan Metafisikal Selembar Foto Temporal




*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Wajah kakek kandung penulis. Beliau adalah guru agama di Stasi Wilain, Tohe Leten pada zamannya.  Tepat penulis lahir pada Rabu 4 April 1973, beliau kembali ke Rumah Bapa di Surga bergabung bersama para kudus yang setia menjadi pendoa bagi semua orang yang sedang berziarah di atas bumi ini. 

Foto ini ketika tiba di depan mata dalam inbox wa penulis, menjadi begitu luarbiasa maknanya bagi penulis. Bapak Marianus Luan, kepala Desa Aitoun mendapat dari seorang keluarga yang menyimpan di albumnya dan memberi keterangan bahwa foto ini adalah kakek kandung penulis. Penulis lalu konfirmasi kepada Om kandung penulis Om Salamon Mau. Beliau menyatakan bahwa benar foto ini adalah kakek kandung penulis. Betapa menyentuh rasa menjumpai kakek kandung penulis setelah 47 tahun seusia penulis beliau pergi ke surga dan inilah pertemuan pertama kakek Vitalis Koi dalam dan lewat foto ini. 

Ceritera dulu tentang kakek terangkum jawabannya dalam selembar fofo kakek Vitalis Koi. 
Kakek adalah Guru Agama. Penulis adalah cucu kandungnya adalah seorang pastor Serikat Sabda Allah. 
Karya Guru Agama kakek berbuah pada cucuknya menjadi pastor Serikat Sabda Allah. Kakek bekerja secara tulus ikhlas melayani umat bersama para misionaris Serikat Sabda Allah yang bekerja pada zamannya. Medan pada waktu itu sangat berat dan kendaraan satu-satunya kuda selain jalan kaki dalam melayani umat pada zamannya. 
Buah baik tidak jauh dari pohonnya yang baik. 
Buah kebaikan kakek telah jatuh dalam diri cucunya yang menjadi imam SVD. 
Melayani Tuhan dengan tulus ikhlas pasti direkam CCTV  dan diputar kembali kebaikan itu pada waktu dan tempat serta jaman yang tepat. 
Kelahiran Penulis di dunia bertemu pada kelahiran baru kakek di Surga.
Pertemuan itu dirangkum di dalam selembar foto kakekku tercinta. 
Selamat jumpa kakek
 Selamat bernahagia di Surga. Selalu mendoakan kami anak cucu cicitmu yang tersebar di seluruh nusantara Indonesia dan dunia. 
Terimakasih.
Terima berkat cucumu pastor SVD
Berkati cucumu
dari dalam surga Abadi
Tujuan hidup kita bersama.


Jumat, Juli 03, 2020

MENILIK KECERDASAN MAJEMUK SUKU BUNAQ AITOUN





dalam perspektif Howard Gardner

*P. Benediktus Bere Mali, SVD*



Generasi milenial lebih suka melihat sebuah permasalahan  dari berbagai sudut pandang daripada hanya melihat dari satu sisi yang membosankan” (cetusan cerdas majemuk generasi milenial). 

Aneka sudut pandang yang lahir dari seorang pribadi dalam melihat satu persoalan merupakan ungkapan kecerdasan majemuk yang ada di dalam diri seorang manusia. Tetapi dua pengalaman berikut masih jauh menuju kecerdasan majemuk.  

Pengalaman pertama, seorang anak mengalami gangguan emosi datang ke ruang bimbingan konseling karena orang tua mencap dirinya bodoh sedangkan kakak dan adiknya dipandang cerdas hanya berdasarkan hasil nilai dari sekolah. Olokan-olokan orang tua dan saudara dan saudarinya terhadap dirinya meningkatkan emosi negatifnya pada orang tua bersama kakak dan adiknya. Cara orang tua dan adik-kakak menilai negatif padanya membuat dirinya tidak dapat mengembangkan talenta lain yang ada dalam dirinya. Proses penyembuhannya bisa tercapai kalau melibatkan orang tua dan saudara dan saudarinya di ruang konseling. Ketika orang tua dan adik-kakaknya berhenti memberi energi negatif dan kembali fokus memberi energi positif  kepadanya secara perlahan dan pasti  anak itu kembali bangkit mengembangkan talentanya. 

Pengalaman kedua,  penulis menyaksikan sendiri seorang anak yang sangat hebat dalam seni tari di sekolah mengangkat nama sekolahnya. Ia cerdas dalam seni tari. Tetapi  cerdas emosinya runtuh berantakan karena olokan teman-temanya setelah ia gagal dalam satu buah mata pelajaran. Guru yang mengajarnya  mencap dirinya sebagai orang bodoh. Olokan-olokan teman dan cap bodoh itu meningkatkan emosi negatif pada mereka. Puncak emosi negatif itu meletus dalam aksinya memukul gurunya sampai tumbang. Pada hari itu juga ia pamit meninggalkan sekolah yang telah ia harumkan namanya dalam bidang seni tari.   

Dua pengalaman di atas memberikan banyak sekali pesan dan di antara sekian banyak pesan hanya ada satu yang menjadi fokus dalam tulisan ini yaitu menilai orang cerdas dan tidak cerdas hanya dari satu sudut pandang yang dapat membawa akibat fatal bagi orang yang dinilai dan yang menilai. Pengalaman pertama hanya menilai orang cerdas dan bodoh berdasarkan nilai di sekolah. Sedangkan pengalaman yang kedua menilai orang cerdas dan bodoh hanya berdasarkan tidak lulus sebuah mata pelajaran. 

Kedua pengalaman tersebut merupakan contoh dari orang yang tidak menggunakan kecerdasan majemuk yang ada dalam dirinya dalam menilai orang lain. Penilai belum menyadari bahwa orang yang dinilai itu juga memiliki kecerdasan majemuk yang sedang bertumbuh dan berkembang di dalam  dirinya. 

Seharusnya setiap orang yang memiliki kecerdasan majemuk tercetus dalam menilai orang dari berbagai sudut pandang. Kecerdasan majemuk yang dimaksud bukan hanya dua tetapi ada sembilan macam kecerdasan majemuk dalam diri setiap manusia yang lahir sehat dan normal tanpa cacat saraf-saraf setiap kecerdasan di dalam otak setiap manusia. Orang dapat memaksimalkan keaktifan sembilan saraf kecerdasan itu dalam menilai orang lain sebagai pribadi maupun secara sosial kemasyarakatan. 

Howard Gardner menemukan bahwa ada sembilan kecerdasan dalam diri manusia dari setiap manusia yang berasal dari budaya, suku dan tempat di dunia ini. Pemahaman ini membantu penulis untuk lebih mendalam mengembangkan judul tulisan ini ”Menilik Kecerdasan Majemuk Suku Bunaq Aitoun"  dengan alur model persoalannya sebagai berikut. Apa batasan kata “suku” yang ditempelkan dalam Suku Bunaq Aitoun sebagai lokus dalam tulisan ini? Apa yang dimaksudkan dengan kata menilik? Kemudian apa artinya kecerdasan menurut Howard Gardner? Ada tiga point penting yang menjadi intisari dari pertanyaan-pertanyaan di atas yaitu: Menilik,  Suku, dan  Kecerdasan menurut Howard Gardner. 


Perkataan menilik adalah sebuah kata kerja yang berasal dari kata dasar tilik yang berarti penglihatan yang teliti, terutama penglihatan dengan mata bathin.  Dengan demikian menilik berarti melihat sesuatu dengan teliti (KBBI). Sesuatu yang dilihat secara teliti dalam tulisan ini adalah kecerdasan Suku Bunaq Aitoun sebagai lokus dari tulisan sederhana ini.  Untuk melihat dengan teliti kecerdasan majemuk suku Bunaq Aitoun, perlu sedikit menjelaskan batasan kata suku agar pembaca dapat memahaminya dengan lebih baik. 


Kata suku dalam konteks Suku Bunaq Aitoun, memiliki batasannya. Sebutan suku di sini berdasarkan Bahasa Bunaq yang dipakai oleh orang-orang Aitoun sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, baik oleh orang-orang yang tinggal di wilayah Aitoun maupun orang dari Aitoun yang tinggal di luar wilayah Aitoun, yang hidupnya berbasiskan budaya suku Bunaq Aitoun. Kata Aitoun memiliki arti yang sangat mendalam.  Kata Aitoun berasal dari kata bahasa Tetun,  bukan berasal dari bahasa Bunaq. Aitoun terbentuk dari kata Ai, artinya pohon dan Toun, artinya kokoh, kuat, tangguh. Secara denotatif kata Aitoun berarti pohon yang kokoh, kuat, tangguh, tak tergoyahkan oleh apapun. Makna konotatifnya orang Aitoun memiliki prinsip hidup yang kokoh dalam meraih cita-citanya setinggi bintang di langit untuk memiliki kecerdasan ganda di dalam hidupnya.

Kecerdasan Majemuk

Menulis tentang kecerdasan kali ini adalah tulisan yang sudah kesekian kalinya.  Sebelum tulisan ini diturunkan di hadapan pembaca sudah ada begitu banyak ahli yang menulis tentang kecerdasan dengan penjelasan yang Panjang lebar. Untuk itu perlu ada batasannya. Penulis memilih Howard Gardner (1993) yang secara menarik berbicara tentang kecerdasan majemuk yang ada di dalam diri setiap orang yang berasal dari tempat, suku, dan budaya yang berbeda-beda. 

Mengapa di antara sekian banyak ahli atau tokoh yang berbicara tentang kecerdasan hanya memilih Gardner? Karena Gardner menawarkan sembilan kecerdasan yang unik yang ditawarkan kepada pembaca di seluruh dunia. 

Keunikan yang dimaksud adalah bahwa sembilan kecerdasan majemuk itu ada di dalam diri setiap insan manusia. Sembilan kecerdasan majemuk itu bukan berada di luar diri setiap pribadi manusia. Kesembilan multi-smart itu sedang bertumbuh dan berkembang di dalam diri setiap insan. 

Penulis-penulis sebelumnya,  berbicara secara partial tentang kecerdasan manusia dan dengan gampang membedakan orang cerdas dengan orang bodoh berdasarkan pemahaman yang satu segi atau dua segi saja. Tetapi Gardner tidak membedakan orang cerdas dengan tidak cerdas atau bodoh karena setiap pribadi manusia yang ada di bumi ini memiliki kecerdasan majemuk yang sedang bertumbuh dan berkembang di dalam dirinya. 

Proses pertumbuhan kecerdasan majemuk di dalam setiap diri bervariasi antara satu orang dengan orang yang lainnya. Ada orang yang menonjol dalam kecerdasan tertentu, misalnya cerdas musik dan lagu,di samping kecerdasan lain yang bertumbuh lambat di dalam dirinya. Ada orang yang memiliki berbagai kecerdasan yang sama sama bertumbuh dan berkembang menonjol di dalam dirinya. 

Gardner berujar lebih lanjut bahwa kecerdasan majemuk dapat bertumbuh baik dalam diri manusia melalui latihan yang tekun, sabar dan disiplin. Tepat sekali kata pepata "ala bisa karena biasa". Misalnya, kecerdasan verbal-linguistik (cerdas kata, tulis) dapat diasah terus-menerus dengan tekun membaca dan menulis sampai menjadi penulis dan wartawan sebagai sebuah pekerjaan dan sumber penghasilan.  Seorang yang memiliki badan yang sehat dan kuat dapat mengikuti latihan secara tekun, sabar dan disiplin sebuah cabang olahraga, misalnya bulu tangkis sampai suatu ketika menjadi pemain lokal, regional dan nasional bahkan dunia sehingga permainan bulu tangkis menjadi sumber pekerjaan dan pendapatan hidup. 

Selain itu,  Gardner juga menawarkan dua hal penting dari kecerdasan majemuk yaitu  definisi kecerdasan dan sembilan kecerdasan majemuk yang ada di dalam setiap orang. 

Gardner mendefiniskan bahwa kecerdasan adalah kemampuan tajam manusia untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan tajam menghasilkan permasalahan baru untuk diselesaikan, dan kemampuan tajam untuk menciptakan sesuatu yang baru  dan menarik yang dapat berguna bagi banyak orang yang  dapat mendatangkan penghargaan dalam budaya seseorang.  

Pengertian kecerdasan tersebut mengandung beberapa point penting yaitu manusia yang memiliki kecerdasan tampil dalam kemampuannya sebagai penyelesai persoalan  (Problem-Solution); pembuat persoalan (Problem-maker) sekaligus penyelesai persoalan (Problem-Solution) yang diciptanya; pencipta (Creator) yang menciptakan hal-hal baru (Inovator) yang dapat berguna bagi sesama sehingga dapat mendatangkan penghargaan dari orang lain atau institusi dalam konteks budayanya. 


Pemahaman yang mendalam akan kecerdasan itu muncul dalam setiap bagian atau macam-macam kecerdasan majemuk yang Gardner tawarkan. Ada sembilan macam kecerdasan majemuk Gardner yang dimiliki oleh setiap orang dari segala suku dan bangsa di atas planet bumi ini. 

Kesembilan kecerdasan majemuk itu meliputi kecerdasan verbal-linguistik (cerdas kata), kecerdasan logis-matematis (cerdas angka), kecerdasan musikal (cerdas musik-lagu), kecerdasan visual-spasial (cerdas gambar-warna), kecerdasan kinestetik (cerdas gerak), kecerdasan interpersonal (cerdas sosial), kecerdasan intrapersonal (cerdas diri), kecerdasan naturalis (cerdas alam), dan kecerdasan eksistensial (cerdas hakikat/cerdas memaknai setiap hal dalam hidup). 

Kecerdasan majemuk yang ada dalam diri setiap orang dapat ditentukan melalui observasi multi-smart yang tampil di dalam perilaku, tindakan, kecenderungan bertindak, kepekaan orang terhadap sesuatu, kemampuan yang menonjol, reaksi spontan, sikap, kesenangan. Ringkasnya sembilan kecerdasan majemuk dalam setiap individu dapat dikenal lewat observasi cara berpikir, cara  berperasaan dan  cara bertindak dari  pribadi yang sedang diobservasi. Atau dalam dunia pendidikan, kecerdasan majemuk siswa diketahui melalui observasi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dari siswa yang sedang diobservasi observer. Pertama dan utama observer mengobservasi ekspresi aksinya yang dapat ditangkap indera observer dalam menentukan kecerdasan majemuk siswa. Dari aksinya yang mengekspresikan kecerdasan majemuk dapat memandu observer menentukan siswa memiliki cara berpikir dan berperasaannya memiliki kecerdasan majemuk.

Setelah observasi, mendeskripsikan multi-smart yang ada dalam diri pribadi manusia. Pendeskripsian multi-smart dalam diri pribadi dapat menjadi sumber data sepihak dari observer tetapi sebagai bahan dasar  untuk dialog dengan pribadi yang diobservasi untuk mendapat multi-smart dari pribadi yang diobservasi. Kedua data multi-smart dari observer dan yang diobservasi itu kemudian disatukan sehingga membentuk multi-smart pribadi secara utuh dalam proses tumbuh-kembangkan multi-smart dalam diri sehingga dengan demikian multi-smartnya dapat menonjol ke permukaan bagi kemajuan diri.

Penulis merasa sangat tersentuh cara menilik kecerdasan majemuk setiap pribadi melalui observasi prilaku, deskripsikan, lalu bertemu dengan pribadi yang diobservasi untuk dapat versinya tentang multi-smartnya lalu keduanya disatukan menjadi multi-smart  yang utuh dari pribadi manusia itu untuk kemajuan dirinya.  

Metode dalam menilik multi-smart setiap individu demikian bagi penulis sabagai satu perspektif tajam yang dapat digunakan dalam menilik multi-smart individu-individu Suku Bunaq Aitoun secara lebih dalam tentang bagaimana cara berpikir, cara berperasaan dan cara bertindak dari Suku Bunaq Aitoun.

Tilikan seperti itu dalam penerapannya, pertama-tama penulis mengobservasi kecerdasan majemuk di dalam tubuh budaya suku Bunaq Aitoun. Penulis pertama dan utama observasi multi-smart dalam cara bertindak individu-individu Suku Bunaq dalam hidupnya sehari-hari. 

Mengapa hal pertama dan utama dalam observasi multi-smart Suku Bunaq Aitoun melalui cara bertindaknya? Karena smart dalam cara bertindak dapat dilihat dan diamati oleh indera observer. Dari smart bertindak itu observer dapat menentukan smart perasaan dan smart pikiran individu-individu dalam kehidupan sosial budaya Suku Bunaq Aitoun.  Observasi ini berbasiskan peneliti  terdahulu yang menggunakan kacamata antropologis dalam mendeskripsikan kebudayaan Suku Bunaq Timor Tengah, termasuk Suku Bunaq Aitoun (A.A.Bere Tallo, 1978).  

Setelah observer dapat mengobservasi  multi-cerdas individu-individu Suku Bunaq Aitoun dalam perspektif kecerdasan majemuk Howard Gardner, kemudian tahap kedua adalah mendeskripsikan kecerdasan majemuk yang ada dalam tubuh Budaya Suku Bunaq. 

Kacamata kecerdasan majemuk Gardner adalah alur yang memudahkan pembaca memahami akan siapa dan bagaimana  sesungguhnya orang-orang Bunaq Aitoun itu menyatakan kecerdasan majemuknya dalam cara bertindak, cara berperasaan, dan cara berpikir kepada pembaca global.  

Mendeskripsikan Budaya Suku Bunaq Aitoun dalam perspektif Gardner ini fokus pada sembilan kecerdasan yang ada di dalam tubuh-Badan-Jiwa-Spirit-psikologi-sosiologi-budaya Suku Bunaq Aitoun. Kesembilan kecerdasan majemuk dalam tubuh Budaya Suku Bunaq Aitoun itu dimunculkan dalam contoh-contoh konkret yang ada dalam tubuh budaya Suku Bunaq Aitoun. Kesembilan kecerdasan majemuk itu sebagai satu kesatuan saling berkaitan tak terpisahkan dalam tubuh sosial budaya suku bunaq Aitoun.

Contoh konkret sembilan macam kecerdasan majemuk dalam tubuh budaya suku Bunaq Aitoun itu sebetulnya sangat membantu pembaca untuk mengerti lebih baik tentang bagaimana sembilan kecerdasan majemuk Gardner itu sedang bertumbuh dan berkembang di dalam tubuh sosial budaya Suku Bunaq Aitoun hingga dewasa ini. Saraf-saraf masing-masing kecerdasan majemuk Gardner itu ada dalam saraf-saraf setiap kecerdasan majemuk tubuh budaya suku Bunaq Aitoun.


Menilik Kecerdasan Majemuk Suku Bunaq Aitoun

Penulis menyadari bahwa Kecerdasan Majemuk Gardner dalam diri setiap manusia lebih menekankan aspek psikologis setiap individu di dalam kehidupan bersama. 

Ketika Kecerdasan Majemuk Gardner diterapkan pada kehidupan sosial orang-orang berbahasa Bunaq di Aitoun sebagai lokus tulisan ini, penulis sadar bahwa alur kecerdasan majemuk itu mengalami penekanan pergantian subyek dari aspek psikologis yang lebih menekankan sisi personal atau setiap pribadi atau individu itu beralih kepada subyek dari aspek sosiologis yang lebih menekankan individu-individu atau massal atau komunal dari semua orang yang menyebut dirinya sebagai masyarakat Suku Bunaq Aitoun. 

Dengan kata lain ada pergeseran dari cara menilik kecerdasan majemuk individu secara personal kepada cara menilik individu--individu atau orang--orang dalam kehidupan sosial budaya. Ringkas kata Gardner menilik kecerdasan majemuk di level psikologis manusia sedangkan penulis dalam tulisan ini mengangkatnya ke level sosiologis manusia-manusia.  Kemudian keduanya bertemu wajah di titik pertemuan psikologi sosial Suku Bunaq Aitoun.  Artinya bahwa dalam lokus menilik Kecerdasan majemuk Suku Bunaq Aitoun,  Gardner menilik kecerdasan satu orang pribadi dari Suku Bunaq Aitoun sedangkan penulis menilik kecerdasan majemuk orang-orang dari Suku Bunaq Aitoun.


Penulis sadar bahwa Sembilan Kecerdasan Majemuk Gardner tersebut sungguh “make sense” untuk digunakan menilik kehidupan sosial budaya Suku Bunaq Aitoun. Pengalaman penulis hidup di dalam Budaya Suku Bunaq Aitoun memastikan penulis untuk menyatakan bahwa di dalam tubuh  psikologi sosial budaya Suku Bunaq mengandung kesembilan kecerdasan majemuk Gardner yang mencakup kecerdasan verbal-linguistik (cerdas kata), kecerdasan logis-matematis (cerdas angka), kecerdasan musikal (cerdas music-lagu), kecerdasan kinestetik (cerdas gerak), kecerdasan interpersonal (cerdas sosial), kecerdasan intrapersonal (cerdas diri), kecerdasan naturalis (cerdas alam), kecerdasan eksistensial (cerdas hakikat/memaknai).  

Kecerdasan majemuk yang dimiliki Suku Bunaq Aitoun itu dapat dipahami dalam contoh-contoh dari setiap bagian kecerdasan majemuk Gardner yang ada dalam tubuh-psikologi-sosial-budaya Suku Bunaq Aitoun. 

Contoh kecerdasan verbal-linguistik (cerdas kata)

Tokoh-tokoh adat Suku Bunaq Aitoun memiliki kecerdasan bahasa lisan adat yang bagus. 

Sejarah hidup setiap anggota Suku Bunaq Aitoun dapat diuraikan oleh seorang tua adat secara detail ketika seorang anggota meninggal dalam ritus adat kenduri yang biasanya berlangsung tiga sampai empat hari dalam wilayah suku Bunaq Aitoun. Video berikut adalah contoh tokoh adat menguraikan sejarah hidup seorang anggota rumah suku yang meninggal dalam doa tua adat. Doa itu dimeteraikan dalam korban darah daging dilengkapi dengan material lainnya yang leluhur wariskan kepada generasi suku bunaq hingga dewasa ini. Ritus ini adalah intisari dari kebahagiaan seorang anggota yang meninggal. Lewat adat seperti dalam video ini, seorang anggota yang telah meninggal masuk ke dalam kebahagiaan abadi bersama para leluhur. Tanpa adat ini seorang yang meninggal tidak dapat masuk ke dalam persekutuan bahagia bersama di kediaman para leluhur.  Dari perspektif Suku Bunaq Aitoun dalam ritus ini jelas bahwa lewat ritus adat seperti dalam video ini suku bunaq hanya mengenal surga dan dengan demikian tidak ada konsep neraka dalam perspektif adat ini. Adat ini adalah adat "si por pak" . 

Ada tiga makna eksistensial di dalam adat "si por pak" ini. Pertama, adat ini resmi masukan orang yang meninggal ke dalam persekutuan bahagia bersama leluhur. Tanpa adat ini seorang anggota yang meninggal tidak masuk surga bersama para leluhur. Surga dalam bahasa bunaq Aitoun adalah "Mot Tama".
Kedua, bagi anggota keluarga yang masih di dunia hidup dalam damai sebagai saudara dan saudari abadi. Doa tua adat dalam ritus ini intinya adalah ceritera lisan asal-usul anggota keluarga yang meninggal sampai masuk surga  atau "mot tama" dan di akhir doanya itu mengajak semua anggota keluarga yang masih hidup di dunia untuk menjauhkan saling sungut-sungutan dan permusuhan serta irihati. Tetapi semua anggota keluarga yang masih hidup di dunia diajak untuk selalu mengeluarkan kata-kata yang saling menyejukkan hati dan budi untuk selalu mendukung dan kerjasama di dalam hidup sehari-hari.  

Ketiga, doa sejarah hidup orang yang meninggal dari lahir sampai masuk surga atau "mot tama" dan hidup persaudaraan abadi bagi anggota rumah suku yang ditinggalkannya itu disahkan-dimeteraikan dalam korban darah-daging seperti di dalam video ini. Darah daging itu dimakan oleh setiap anggota rumah suku sesuai bagiannya berdasarkan asal-usul sejarah dalam doa tua adat dan ditentukan tua adat seperti di dalam video ini. Korban darah daging itu mengesahkan sekaligus menjadi sumber kehidupan bagi yang meninggal maupun bagi yang masih hidup di dunia. Sejarah asal usul rumah suku dari orang yang meninggal dan yang masih hidup, tetap hidup dalam doa tua adat dan hidup dalan darah daging korban yang dimakan sesuai bagian sejarah asal usulnya. Sejarah rumah suku itu benar selalu hidup dalam darah. 

Video ini direkam langsung
Oleh penulis
Adat ini adalah adat "si por pak"
Dalam adat kenduri 
Mama Maria Bete Asa 
Di Fatubenao-Atambua


Ibu-ibu pun mengungkapkan syair-syair ratapan secara spontan dan bersahut-sahutan dalam meratapi seorang anggota yang telah meninggal terbaring di dalam peti jenazah sebelum pemakaman selama berada di rumah duka. 


Syair-syair sambut raja atau tokoh agama  atau tokoh pemerintahan disampaikan secara rapi oleh tua adat dalam menyapa kedatangannya  di wilayah Suku Bunaq Aitoun. Contoh sambutan tokoh agama "welcome" di wilayah Suku Bunaq Aitoun seperti di dalam video di bawah ini. Video ini juga sangat kaya memuat Smart (cerdas) Suku Bunaq Aitoun. Cakupan video ini meliputi word smart (cerdas kata) dalam syair sapaan "welcome" kepada tokoh agama di wilayah suku Bunaq Aitoun, body smart (cerdas gerak tubuh) dalam tarian likurai sebagai simbol kemenangan melawan musuh dalam suatu peperangan. Kemenangan di sini juga berarti keberhasilan dalam pekerjaan sebagai menang atas kemalasan. Makna tarian teberaiq atau tarian likurai ini merupakan ungkapan dari existential smart (cerdas hakikat/cerdas memaknai) dalam video ini. Selain itu Video ini juga menampilkan picture smart (cerdas gambar dan warna) tampak dalam kain adat beseq Suku Bunaq Aitoun berwarna merah dan kuning yang dikenakan tokoh agama dan penari serta tua adat. Warna kain merah dan kuning motif beseq Aitoun berbentuk atau bermotif S berkesinambungan tak terpisahkan. Huruf S ini singkatan dari Sahabat-Saudara-Sejati-setia-selalu-sampai-selamanya. Dengan makna yang mendalam dari motif kain adat beseq Suku Bunaq Aitoun yang demikian telah memuat existential smart (kecerdasan hakikat/memaknai) itu sendiri. Selain itu video ini memuat logic smart (cerdas angka) dalam kelompok penari lewat gerakan kaki seragam ke arah kiri dan kanan berdasarkan pukulan gendang kecil, penari laki-laki di depan barisan berjumlah dua orang, penari wanita yang memukul gendang kecil atau gendang yang ditabuh wanita sambil menari, menurut irama penabuhan, dilakukan oleh 10-20  wanita, biasanya berbentuk lingkaran, tetapi dalam video ini dalam bentuk barisan menyambut tokoh agama dan mengarak tokoh agama memasuki wilayah Suku Bunaq Aitoun sesudah sapaan tua adat "welcome" kepada tokoh agama seperti dalam video ini. Dalam tarian likurai  atau teberaiq ini selain logic smart (cerdas angka) yang tampil dalam gerakan  yang jatuh pada hitungan tertentu arah ke kiri dan kanan dengan irama seragam, juga video ini mengandung self smart (cerdas  atur diri)  dimana dalam tarian likurai atau teberaiq setiap pribadi mendisiplinkan diri dalam aturan seni tari teberaiq atau likurai dalam kelompok tari. Dalam tarian yang melibatkan kerja sama yang baik di antara anggota kelompok tari dapat melahirkan seni tari yang indah dinikmati publik dan terutama tamu Agung yang disambut ini juga sangat mengandung  people smart (cerdas sosial). Dan semua perlengkapan baik itu berupa pakaian adat hutus beseq, gendang, gong, dan perhiasan lainnya yang dikenakan Tamu Agung yang disambut penari maupun tua adat itu berasal dari alam. Itu berarti video ini juga secara jelas memuat nature smart (cerdas alam). Dan lagu yang indah di dengar hadirin dari syair sapaan adat dan bunyi gendang dan gong yang indah adalah cetusan dari music smart (cerdas musik) menyentuh rasa seni semua orang yang merasakan dan menikmatinya dalam sambut tokoh agama dan mengaraknya memasuki wilayah suku Bunaq Aitoun.  

Jadi video ini merangkum sembilan kecerdasan Gardner yaitu existential smart (cerdas-memaknai) setiap bagian dari video ini, word smart (cerdas kata), people smart (cerdas sosial), self smart (cerdas diri), logic smart (cerdas angka), nature smart (cerdas alam), picture smart (cerdas gambar dan warna), music smart (cerdas musik- lagu),  dan body smart (cerdas gerak tubuh) dalam tarian likurai.
                                         

Selain itu Tua Adat juga memiliki kata-kata khusus dalam mendoakan orang-orang

Rabu, Juli 01, 2020

"RASA AIR TERJUN ULUK TIL ADALAH TEMPAT MANDI PARA LELUHUR"







*P.Benediktus Berkat, SVD*


Sedang viral di media sosial, tempat wisata baru, surga yang bersembunyi  di kaki bukit   Aitoun , namanya Air Terjun Uluk Til. Generasi milenial yang pertama kali menulis kata-kata ini bersama foto-foto few yang terbaik  posting di dunia media sosial telah menarik lautan manusia yang beramai-ramai datang menjamah merasakan kemurnian Air Terjun Uluk Til. 

Air terjun Uluk Til ini, pemiliknya adalah Suku Bunaq Aitoun. Menurut mereka, lebih familiar jika Air Terjun Uluk Til ini disebut dengan sebuah nama il hao’.  Kata il berarti air. Kata hao’ artinya semprotan airnya super-super kencang. Jadi il hao’ berarti air yang semprotannya super kencang. 

Postingan foto-foto terbaik di media sosial menghipnotis orang datang melewati tebing curam sebagai jalan satu-satunya untuk tiba di air terjun, sebuah tempat surga yang bersembunyi di kaki bukit Aitoun. Mereka yang terhipnotis dari berbagai tempat pergi berduyun-duyun  mengunjungi si cantik Air Terjun Uluk Til. Si cantik Uluk Til pun membuka pintu hati bagi visitor dengan senyum manis sejuknya yang menyegarkan jiwa.  

Liburan di musim covid-19 orang-orang pada terhipnotis meninggalkan saat stay at home dan lebih sejuk stay at Uluk Til waterfall

Air Terjun Uluk Til menyimpan cerita mistis para pendahulu. Menurut cerita kakek nenek dari Suku Bunaq Aitoun, tempat alam air terjun ini adalah tempat yang sakral. Air Terjun Il Hao' ini merupakan tempat mandi leluhur Aitoun di jaman dulu. Ada pengalaman mistik orang-orang tua yang pernah tiba di tempat ini di jaman dulu. Di antara mereka  itu masih ada beberapa yang terus cerita pengalaman mistisnya di Il Hao’ kepada anak cucu. 

Mereka menyampaikan keyakinannya bahwa Il Hao’ adalah tempat mandi roh-roh leluhur. Di sana ada tiga kolam renang tempat mandi roh-roh leluhur, kolam renang di hulu, tengah dan hilir. Apakah arti angka 3 kolam renang ini dalam dunia mistik?

Orang Bunaq Aitoun menyebut tempat mandi leluhur dalam nama “'mugen gie wer golo'.  Orang -orang berbahasa Tetum menyebutnya 'matebian nian haris fatin', artinya tempat mandi roh-roh leluhur. 

Orang-orang tua dulu yang  tiba di tempat surga yang tersembunyi ini, bercerita kepada anak-cucunya bahwa mereka menemukan sisa-sisa sabun atau alat mandi tradisional berupa daun-daun khusus dan 'naka' (tanah) khusus yang digunakan sebagai sampho  dan sabun di sekitaran tepi air kolam Il Hao' baik di sekitaran kolam renang hulu, kolam renang tengah maupun kolam renang hilir. Selain sabun dan sampho tradisional, mereka juga menemukan sisa rambut perempuan di sekitaran tepi ketiga kolam renang alamiah Il Hao’.

Di sekitaran lingkungan Air Terjun Il Hao' ini ada juga sejumlah 'mezbah'  dari rumah-rumah suku Bunaq Aitoun. Mezbah ini berbentuk susunan bebatuan rapi ada yang berbentuk bundar ada juga yang berbentuk bersegi empat. Dalam Bahasa Bunaq Aitoun mezbah ini disebut “bosok” atau disebut sumber air pemali. Berikut sebuah "bosok" dari rumah Suku Penulis tepat di sekitaran Air Terjun Il Hao'. Foto adalah Om Kandung Penulis bernama Simon Kali sedang menjalankan ritus di atas Mezbah rumah Suku Monewalu bersama anggota rumah suku Monewalu. Ini adalah satu contoh dari 32 rumah suku di wiayah suku Bunaq Aitoun. Tentang 32 rumah suku itu Anda dapat kunjung situs berikut. Setiap rumah suku dari 32 rumah suku yang ada di Aitoun memiliki sejarah lisan rumah suku dan mezbah tersendiri Foto di bawah ini diambil dari Face book Benta. Kaka Benta adalah anggota rumah suku Monewalu hadir dalam ritus adat di Mezbah ini. 

                                     
Bapak Simon Kali
Sedang berdoa di atas 
Mezbah Rumah Suku Monewalu Aitoun
Lokasi di tepi hulu Air Terjun Uluk Til


Pendiri Mezbah ini adalah leluhur dengan maksud sebagai peringatan akan pengalamannya mengalami mujizat atau tanda heran dari sang supranatural.  Di atas mezbah ini anggota rumah suku melakukan ritus adat dengan intensi meminta berkat dari leluhur dan kekuatan supranatural. Semakin disiplin anggota rumah suku melaksanakan  ritus adat dengan maksud minta berkat di atas mezbah itu, semakin lancar pula aliran berkatnya kepada pelaksana ritus. 

Berkat itu berupa hasil kebunnya yang berlimpah. Peliharaan ternak yang terus berkembang baik dan jumlahnya bertambah banyak. Usaha berdagang dan berbisnis yang memajukan kesejahteraan keluarga.  Pendidikan anak-anak berhasil. Kerjanya rajin menghasilkan panenan berlimpah. 

Selain itu, anggota rumah suku yang memiliki mezbah itu, melakukan adat syukur atas kesembuhan dari sakit penyakit dan meminta perlindungan dan kesehatan yang baik pada roh kebaikan yang mendiami mezbah itu. Roh kebaikan yang mendiami mezbah itu disebut "por gomo".  Adat syukur atas kesembuhan ini disebut "bula ho'on" /syukur atas kesembuhan dan minta "por gomo" setia melindungi. Adat "bula ho'on" ini di atas mezbah di sekitar Air Terjun Uluk Til, tepatnya berlokasi di puncak bukit Aitoun Tas. Ritusnya seperti dalam video berikut. 

Adat ritus syukur atas kesembuhan 
dan mohon kesehatan yang baik.
Lokasi Aitoun Tas- Saburaka-Kaisahe
Di kaki gunung ini terdapat Tempat Wisata 
Air Terjun Uluk Til

Video ini dari Bapak Marianus Luan
Yang hadir dan saksikan
Ritus adat "Bula ho'on"  ini.



Karena itu sekitaran Air Terjun Uluk Till dikenal sebagai tempat istimewa atau tempat tinggal roh-roh leluhur maka Il Hao’ ini hanya dapat dijamah oleh orang-orang yang pantas. Dahulu orang tua suku Bunaq Aitoun tidak mengijinkan anak-anak untuk ke daerah ini. Barangsiapa yang hendak pergi ke tempat ini sebaiknya minta restu lewat doa perlindungan dari para leluhur melalui doa restu dari tua adat setempat sebelum berangkat. Sebelum memasuki area istimewa air terjun ini pun pertama-tama, visitor meminta permisi, meminta ijin pada leluhur agar bisa menerima ijin atau mendapat tiket spiritual untuk boleh menikmati alam mistik sejuknya si cantik alamiah Il Hao’.  

Cerita kakek nenek dan orang tua zaman dulu itu masih selalu terekam dan tersimpan rapi di dalam memori sebagian Suku Bunaq Aitoun, termasuk di dalam ingatan penulis. 

Keyakinan ini menjadi kompas bagi visitor untuk harus membuat diri pantas agar leluhur dan alam serta kekuatan supranatural pantaskan setiap visitor memasuki wilayahnya yang penuh dengan pengalaman mistik ini. 

Visitor yang pantas  ke tempat ini, pertama, visitor harus memiliki kekuatan fisik yang prima untuk melewati jalan di tebing curam yang menguras energi fisik untuk tiba di titik sentral air terjun yang masih perawan belum dijamah. 

Kedua, selain kekuatan fisik, visitor harus memiliki kekuatan psikologis, tidak fobia ketinggian ekstrim. Juga orang tidak takut berada diapit tebing kiri-kanan ketika berada di titik sentral Il Hao yang posisinya diapit tebing tinggi dengan resiko yang sangat tinggi pula.  

Bahwa ada kemungkinan tertimpa batu, gumpalan tanah dan kayu kering terguling meluncur dari tebing kiri kanan ke arah tempat dimana Anda asyik menikmati segarnya keperawanan si cantik  il Hao’.  

Dan yang ketiga, visitor harus memiliki kematangan dalam relasi spiritual.  Kedalaman relasi spiritual itu terungkap dalam harmoni berelasi dengan roh alam, roh leluhur, dan kekuatan supranatural dari pemilik, penjaga dan pemelihara Il Hao’ dan alam sekitarnya. 

Setelah Anda tiba di titik sentral Air Terjun, Pandanglah secara vertikal dari Air Terjun Il Hao' menuju Puncak Bukit Aitoun. Di puncak bukit Aitoun Tas itulah para leluhur Aitoun tinggal di jaman dulukala. 

Tempat itu sangat strategis untuk tinggal aman, jauh dari ancaman musuh. Tempat itu adalah area untuk mengintai musuh-musuh yang berkeliaran di sekitar kaki bukit Aitoun Tas untuk datang hendak menyerang.  Tempat itu menjadi tempat paling strategis bagi leluhur suku Bunaq Aitoun  menyusun  teknik dan taktik melumpuhkan musuh-musuh dalam peperangan antara wilayah pada zaman dulukala. Usai mengintai musuh dari bukit Aitoun Tas maka musuh yang berani mendekat mudah dilumpuhkan dengan serangan balik dari segala arah yang mematikan langkah serangan lawan. Tanyakanlah pada orang-tua-tua maka mereka akan menceriterakannya secara detil kepadamu dan kepada anak cucumu.  

Kehadiran Anda di sekitaran  Air Terjun Il Hao'  berarti anda dikelilingi oleh Bukit Aitoun Tas serta sejumlah Mezbah tempat kudus rumah-rumah suku Bunaq Aitoun. 

Il Hao' bagaikan seorang gadis cantik yang baru membuka pintu bagi setiap tamu pengunjung dan menyambutnya dengan senyuman cantiknya yang menyegarkan jiwa. Menara bukit Aitoun Tas bagaikan CCTV yang merekam setiap gerak laku visitor yang sedang asyik bertemu ria dengan Gadis Cantik Il Hao. Mezbah dengan kekuatan supranaturalnya mengetahui persis setiap niat baik visitor sejak berangkat dari rumah sampai tiba di Il Hao’ dan pulang kembali ke rumahnya.  Demikian personifikasi  tiga tempat istimewa wisata budaya yang sedang menghipnotis visitor global.

Aitoun Tas menyimpan segudang cerita sejarah leluhur Suku Bunaq Aitoun yang masih terekam rapi dalam memori para orang tua dan orang tua-tua selalu ceritera turun-temurun kepada anak cucu cicit sehingga sejarah Suku Bunaq Aitoun selalu hidup dan terus hidup di dalam hidup dan kehidupan Suku Bunaq Aitoun sepanjang masa. Mezbah adalah tempat peringatan terjadinya mujizat antara leluhur rumah suku dengan kekuatan supranatural, yang menyimpan cerita pengalaman mistis leluhur dengan kekuatan supranatural bagi anggota rumah suku sepanjang zaman. Air Terjun Il Hao' adalah tempat mandi kudus leluhur yang menyimpan segudang cerita pengalaman mistis dari leluhur, kakek, nenek kapada Suku Bunaq Aitoun sepanjang masa. 

Cerita pengalaman mistik tentang Air Terjun Il Hao’ semestinya tidak melemahkan kecerdasan-alam Anda. Tetapi justru seharusnya mempertajam kecerdasan-alam Anda ketika Anda sedang berada di titik spot dan lingkungan sekitar Air terjun Uluk Till. 

Anda semestinya cerdas melihat secara tajam bahwa benar Air Terjun Il Hao’ ini sedang diapit ketat oleh dua tebing kiri-kanan bagaikan dua satpam yang setia mengamankan si cantik gadis perawan Il Hao’ yang sedang menerima visitor dari berbagai asal tempat dan budaya.  

Video berikut memberikan gambaran tentang situasi alam murni Air Terjun Il Hao'. 


Tebing kiri dan kanan itu mulai dari hulunya sempit sekali, terus ke arah tengahnya agak melebar lalu sampai hilirnya sempit sekali dan tidak ada akses jalan masuk dari hulu dan hilir untuk mengalami sejuknya si cantik Il Hao’.  Satu-satunya akses jalan masuk adalah melalui tebing dan turun di bagian tengah tebing Il Hao’ dengan lumayan tinggi resikonya. 

Karena posisinya demikian maka leluhur memberi nama “Il Hao”. Artinya bagian hulunya sempit diapit ketat oleh tebing tajam, bagian tengahnya sedikit melebar tetap masih diapit oleh tebing yang tajam dan  selanjutnya bagian hilir menyempit mirip hulunya sehingga akses jalan masuk dari hilir buntu atau tidak ada akses jalan masuk dari hilir maupun dari hulunya. 

Tebing kiri-kanannya sangat curam dan di sepanjang tebing terletak tanah, batu-batu kecil-sedang-besar juga kayu kering kecil-sedang besar yang bisa saja setiap detik terguling meluncur dari atas ke bawah ke arah titik sentral keberadaan Anda yang lagi asyik menikmati segar cantiknya Il Hao’. 

Ketika anda sedang asik menikmati cantiknya air terjun Uluk Til yang sedang setia melayani Anda, pada saat yang sama Anda juga sedang berada di titik sentral resiko super tinggi. Karena Anda tidak tahu ada makluk lain yang sedang lalu-lalang di tebing menggulingkan batu atau kayu atau gumpalan tanah ke titik pusat di mana Anda sedang asyik berada bersama si cantik Il Hao’.  

Anda juga tidak tahu apakah di sepanjang tebing itu ada mahkluk lain seperti ular, kera, kucing, anjing, ayam hutan yang menginjak batu yang rapuh sehingga segera terguling ke titik dimana Anda sedang menikmati sejuknya air terjun Uluk Till. 

Anda juga tidak tahu kapan terjadinya angin badai dan gempa bumi yang bisa saja menggoyangkan alam sehingga batu tanah dan kayu bisa terguling menuju titik dimana Anda berada sedang menikmati segarnya air terjun Il Hao’. 

Pada saat Anda Sedang menikmati rasa Alam Indah Wisata Uluk Till  di titik sentralnya nikmatilah rasa cantiknya Il Hao’ seadanya. Jangan berlama-lama, cukup lima sampai sepuluh menit berada di titik resiko tinggi.  

Segera  beralih ke tempat yang aman bagi Anda dari segala ancaman alam sambil mengambil foto pemandangan si cantik Il Hao.  Saat Anda merasa aman dan pantas jauh dari ancaman alam yang tidak dapat diantisipasi, maka Anda sudah berhasil berusaha menyelamatkan diri yang dapat Anda atur dan kontrol sendiri. 

Lebih aman Anda berdiri dan mengambil gambar ber-selfi-ria dengan latar pemandangan yang indah Il Hao' daripada mandi lama-lama di Il Hao’ dengan resiko yang sangat super tinggi.  






 Asah-lah kecerdasan-diri dan kecerdasan-alam Anda. Melalui cerdas-alam-Anda menempatkan diri di posisi aman maka alam pun memberikan keamanan Anda di sekitaran si cantik Il Hao’. Anda memberi restu diri Anda sendiri adalah kewajiban Anda sambil dengan tahu adat sopan santun meminta restu alam, leluhur, dan sang supranatural untuk selamatmu di surganya Il Hao’.
***
Welcome to Uluk Till Waterfall.
$$$


Daftar Pustaka

A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..