*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Seseorang suku Bunaq meninggal ada tata adatnya sendiri. Dalam tulisan sederhana ini penulis mengolah tata urutan acara adat kematian dan maknanya. Informasi ini diterima dari Sumber Utama LAL GOMO yaitu tua adat di Asueman-via telephone pada malam ini Sabtu 19 Januari 2008, dari Jam 20.30-22.30 Waktu Surabaya. Penulis langsung telephone dengan Bapak Gabriel Mali-Tokoh Adat Suku Bunaq di Asueman-Guru Agama senior yang telah banyak makan asam garam dalam agama Katholik dan adat Suku Bunaq, khususnya adat yang berlaku di Desa Aitoun-Kecamatan Raihat-Kabupaten Dati II Belu. Urutan adat kematian itu sebagai berikut :
Pertama dan utama adalah ketua suku mendamaikan anggota rumah suku yang konflik. Kalau ketua suku juga terlibat dalam konflik maka ketua suku dari rumah suku "MALU" akan mendamaikan pihak-pihak yang konflik. Pendamai mendamaikan dengan ritus adat Rekonsiliasi yang berlaku di Suku Bunaq Aitoun. Video ritus adat rekonsilasi Suku Bunaq Aitoun ini dari Bapak Marianus Luan. Beliau merekam ritus rekonsiliasi yang berlangsung di Asueman-Malate-Aitoun. Voice asli dihapus oleh penulis dan diganti dengan musik dan lagu dari Mazmur 133 yang merangkum ritus rekonsiliasi anggota rumah suku yang mengalami rekonsiliasi "Betapa indahnya hidup rukun dan damai sebagai saudara."
Sesudah semua anggota rumah suku hidup rukun dan damai maka tahap-tahap adat kenduri dapat dilaksanakan. Catatan penting untuk pembaca bahwa ritus adat kenduri ini adalah sebuah contoh adat kenduri dari seorang anggota rumah suku Monewalu dan anggota rumah suku Monewalu memiliki MALU BUL dari rumah suku Laimea. Jadi pembaca fokus pada relasi Rumah Suku Monewalu dengan Rumah Suku Laimea dalam uraian contoh ritus adat kenduri di bawah ini. Mengapa karena setiap anggota sebuah rumah suku memiliki MALU BUL yang berbeda-beda. MALU BUL artinya rumah suku yang mengutus anggotanya masuk ke dalam rumah suku yang lain. Misalnya dalam hubungan Rumah Suku Monewalu dengan Rumah Suku Laimea dalam contoh ini. Secara historis dalam kaitannya dengan anggota rumah suku Monewalu yang adat kendurinya dilaksanakan dalam uraian ini. Rumah Suku Laimea secara historis memberikan anggotanya mendirikan rumah suku Monewalu atau menjadi anggota rumah suku Monewalu. Maka Rumah Suku Laimea adalah MALU BUL bagi seorang anggota rumah suku Monewalu yang sedang dibuat adat kenduri dalam pembahasan ini. Anggota rumah suku Monewalu yang lain berasal dari rumah suku yang lain dan itu tidak diuraikan dalam tulisan ini.
Video ini dari Bapak Marianus Luan
Beliau hadir langsung dalam proses adat rekonsiliasi anggota rumah suku Monewalu
Suku Bunaq Aitoun
Sesudah semua anggota rumah suku hidup rukun dan damai maka tahap-tahap adat kenduri dapat dilaksanakan. Catatan penting untuk pembaca bahwa ritus adat kenduri ini adalah sebuah contoh adat kenduri dari seorang anggota rumah suku Monewalu dan anggota rumah suku Monewalu memiliki MALU BUL dari rumah suku Laimea. Jadi pembaca fokus pada relasi Rumah Suku Monewalu dengan Rumah Suku Laimea dalam uraian contoh ritus adat kenduri di bawah ini. Mengapa karena setiap anggota sebuah rumah suku memiliki MALU BUL yang berbeda-beda. MALU BUL artinya rumah suku yang mengutus anggotanya masuk ke dalam rumah suku yang lain. Misalnya dalam hubungan Rumah Suku Monewalu dengan Rumah Suku Laimea dalam contoh ini. Secara historis dalam kaitannya dengan anggota rumah suku Monewalu yang adat kendurinya dilaksanakan dalam uraian ini. Rumah Suku Laimea secara historis memberikan anggotanya mendirikan rumah suku Monewalu atau menjadi anggota rumah suku Monewalu. Maka Rumah Suku Laimea adalah MALU BUL bagi seorang anggota rumah suku Monewalu yang sedang dibuat adat kenduri dalam pembahasan ini. Anggota rumah suku Monewalu yang lain berasal dari rumah suku yang lain dan itu tidak diuraikan dalam tulisan ini.
1. "TEL TABA"
"Tel Taba" artinya menggali kuburan. Orang pertama yang menggali kuburan adalah MALU khususnya LAIMEA. Sesudah itu malu yang lain (bukan suku LAIMEA )menggali kuburan selanjutnya. Mengapa Suku Laimea sebagai "malu" yang pertama menancapkan tajak ke tanah untuk membuka penggalian khubur? Karena Suku Laimea adalah asal asli suku Monewalu. Suku Malu lain boleh menancapkan tajak pertma sebelum gali khubur, tetapi harus mendapat mandat dari Suku Laimea. Kalau suku "malu" lain mendahului, maka suku "malu" lain akan berkomentar bahwa itu tidak benar secara adat. Harus dipulihkan dengan memberi sejumlah uang kepada Suku Laimea.
2. "GON TOLO"
"Gon Tolo" artinya, meletakkan tangan seorang AIBA'A yang meninggal di atas dadanya. Peletak tangan seorang yang meninggal itu di atas dadanya itu dilakukan oleh para "Malu". Dalam istilah bahasa Bunaq : " Gon Tolo" artinya "Malu gini en heser gon ba giwitar no Tula". Para "Malu" yang memindahkan tangan seorang yang meninggal ke atas dadanya itu dibayar dengan sejumlah uang sesuai permintaan "para Malu" yang mengangkat tangan yang meninggal ke atas dadanya". Pada umunya harga adat "Gon Tolo" itu mulai dari Rp.10.000 sampai dengan Rp.100.000.- Tata adat ini diwariskan para leluhur secara turun temurun. Sampai dewasa ini tetap dijalankan oleh suku Bunaq di desa Aitoun-Kecamatan Raihat - Kabupaten Dati II Belu - Propinsi Nusa Tenggara Timur - Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. "Gawak".
"Gawak" berarti mengarak peti jenasah ke Kuburan yang telah disiapkan. Peti Jenasah ini ditutup dengan Kain Adat. Kain adat itu diambil oleh para "Malu" itu. Pada dasarnya para "Malu" berebutan, siapa yang cepat dia yang dapat kain adat penutup Peti Jenasah itu. Rebutan itu terjadi di kuburan sebelum peti jenasah diturunkan ke dalam kubur. Pemikul peti jenasah itu adalah para "malu" bersama para pemuda.
4. "IL HESIK".
"Il Hesik" berarti pemercikan air putih oleh Para "Malu", ke atas para "AI BA'A" di depan rumah duka, setelah pulang dari kuburan, agar dengan hati yang bersih masuk dalam rumah duka. Makna pemercikan ini adalah pembersihan, penyucian "AI BA'A" yang berduka, agar hati mereka kembali dikuatkan oleh rahmat pembersihan dan penyucian yang diberikan oleh para "Malu" sebagai pemilik rahmat penyucian itu.
5. "En Gawa Gini".
"En Gawa Gini" artinya memberi makan minum kepada semua "malu gol" dan "Aiba'a gol" yang datang di rumah duka. Acara makan minum ini berlangsung setelah pulang dari acara penguburan.
6. "Lasik Wa"
"Lasik Wa" ini berlangsung selama makan minum bersama setelah pulang pulang dari adat penguburan. "Lasik Wa" ini hanya oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo" suku "AIBA'A" yang anggotanya meninggal dunia. "Lasik Wa" ini berarti ketua suku atau "Presiden Suku" bersama para OM sebagai elite adat suku, menentukan keputusan berapa jumlah uang yang akan dikumpulkan oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo". Jumlah uang yang ditentukan itu jumlanya sama yang harus ditanggung oleh "Mane Pou" yaitu suami para perempuan ("AIBA'A" yaitu suku keluarga yang berduka) dan "Deu Gomo" yaitu semua laki-laki yang disebut sebagai "AIBA'A. Berdasarkan pengalaman, para Om bersama Ketua Suku atau Presiden Suku memutuskan jumlah besarnya uang yang akan dikumpulkan itu berkisar Rp.20.000 / "Mane Pou" dan "Deu Gomo" sampai Rp.100.000. Uang yang dikumpulkan itu disebut "LASIK WA".
Uang yang dikumpulkan itu untuk apa? Uang itu akan digunakan untuk pelaksanaan adat "SI GIWITAR PAK" atau "SI POR PAK" yaitu adat memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam Rumah Suku Para Leluhur yang hidup bahagia tan akhir di dunia seberang; Beli Beras; Beli Babi untuk adat "SI POR PAK"; Uang yang dikumpulkan itu juga untuk adat "KABA" yaitu pemberian berkat oleh "Malu" kepada "Aiba'a"; uang dari "Lasik Wa" itu juga untuk "TAIS HOTA"; uang itu juga untuk stipendium bagi "Lal Gomo" yaitu dia yang tahu sejarah asal-usul suku "Aiba'a" dan mendoakan jiwa suku "Aiba'a" yang telah meninggal untuk memasukkan jiwanya ke dalam persekutuan bahagia abadi para leluhurnya di dunia seberang, sebagai acara puncak "Si Por Pak"; Kalau uang yang dikumpulkan itu masih ada lebih, maka kelebihan uang itu masuk kantong ketua suku atau presiden suku (pada zaman dulu) tetapi pada zaman sekarang ini terkontrol oleh sekretaris yang menulis jumlah uang yang dikumpulkan itu dan setelah pengualaran uang dan sisa saldonya diumumkan kepada anggota suku "Aiba'a" yang telah mengumpulkan itu sehingga dewasa ini lebih transparan jujur dibandingkan dulu-dulu.
7. "Si Por Pak".
Adat Si Por Pak" ini dipimpin oleh "Lal Gomo" yaitu dia yang tahu tentang asal usul sejarah suku "AIBA'A" yang telah meninggal, dan juga anggota suku "AIBA'A" yang masih hidup, yang sedang berduka. "Lal Gomo" itu didampingi oleh para Om suku "Aiba'a" dan presiden suku. Setiap suku yang menjadi asal-usul suku "AIBA'A", yaitu suku-suku "Malu" yang disebut sebagai asal-ausl sejarah suku "Aiba'a" itu punya bagian adatnya. Bagian adat setiap suku "Malu" itu terdiri dari satu ikat daging dengan jumlah uang sekitar Rp.50.000 sampai Rp.200.000.- Bagian-bagian itu ditentukan oleh "Lal Gomo" dan disatukan dalam doa "Lal Gomo" yang intinya memasukkan jiwa anggota suku "Aiba'a" yang telah meninggal ke dalam rumah suku para lelujurnya yang hidup bahgia di dunia seberang, setelah hidup di dunia ini. Penjelasan dan Doa "Lal Gomo" ini dberi stipendium sekitar Rp.250.000 - Rp. 500.000.- Peran "Lal Gomo"itu sangat penting dalam memberi penjelasan yang tepat dan benar tentang asal-usul suku orang yang meninggal dan memasukkan jiwanya ke dalam rumah suku para leluhur. Kesalahan penjelasan akan diberi hukuman atau kutukan oleh para leluhur.
8. "Mot Tama".
"Mot Tama", berarti jiwa orang yang meninggal itu telah masuk ke dalam persekutuan dalam rumah suku para leluhur di dunia seberang, yang hidup tiada akhir, bahagia untuk selamanya. "Mot Tama" itu tercapai oleh jiwa orang yang meninggal setelah adat "Si Por Pak" dilaksanakan secara sempurna. Video berikut merupakan intisari adat kenduri. Adat "si por pak" adalah syarat utama anggota yang meninggal masuk ke dalam Surga tempat kebahagiaan abadi. Surga dalam bahasa bunaq Aitoun adalah "Mot Tama" yaitu tempat sukacita abadi leluhur. Adat ini yang membuka pintu surga bagi orang yang meninggal. Adat ini menutup pintu neraka. Adat suku Bunaq tidak mengenal neraka bagi manusia yang meninggal. Taat adat ini surga terbuka lebar.
Video ini direkam oleh penulis.
Adat Kenduri
MAMA MARIA BETE ASA
RUMAH SUKU LAIMEA AITOUN
LOKASI
FATUBENAO-ATAMBUA
9. "Tai Hota".
"Tais Hota", berarti "Suku-suku Malu" membawa kain adat dan anggota suku "Aiba'a" membawa uang untuk membeli kain itu. Harga kain adat itu ditentukan "Malu" sebagai penjual barangnya kepada "Aiba'a". Para "Malu" tentukan harga kain itu kepada pembeli yaitu "Aiba'a" dan para "Aiba'a" harus membeli kain itu. Kalau "Aiba'a" tidak mau membeli maka akan muncul masalah baru yaitu para "malu" merasa tersinggung, tidak dihargai. Dan itu akan diungkapkan pada adat kematian berikutnya, dan bayrannya tetap yaitu pihak "aba'a" memberi uang kepada " malu " yang tidak dihargai itu sebagai rujuk-rukun kembali secara adat. Ada sedikit unsur bisnis dalam adat "tais hota" ini.
10. "KABA"
"Kaba" berarti pemberian berkat oleh suku-suku "Malu" kepada suku "Aiba,a". Suku monewalu di-"kaba"-kan oleh "Malu" yang bersuku Laimea. Suku-suku "malu" yang lain juga memberi kaba kepada suku "Aiba'a" tetapi caranya berbeda.
Bahan yang disiapkan unntuk "Kaba". Suku "Aiba'a" menyediakan 5 (lima) buah "Taka Giral" tempat siri pinang dan uang stipendiuam atau derma kepada para suku "Malu". Angka 5 (lima) "Taka Giral" itu sesuai jumlah suku "Malu" dalam kacamata suku Monewalu sebagai suku "Aiba'a". Dapat disebutkan bahwa 5 (lima) "Taka Giral" sama dengan 5 (lima) suku "Malu" yaitu suku Laimea, suku Mone Sogo, Suku Si Gup, Suku Lianain, suku Hokiik bagi Suku Monewalu sebagai suku "Aiba;a".
Proses "kaba" pemberian berkat oleh "malu" kepada "aiba'a". Pertama-tama para wakil suku-suku Malu itu mendoakan bersama di atas siri-pinang dan uang yang ada dalam "Taka Giral" depan masing-masing suku "malu" itu. Doa para malu atas siri - pinang - uang dalam "Taka Giral" itu dikenal dalam bahasa bunaq dengan istilah "Molo Guhu" .
Setelah acara doa atas "Taka Giral", atau "Molo Guhu", disususl dengan Wakil Suku Laimea memberi berkat tanda salib di dahi setiap anggota suku "aiba'a", dan disusul oleh wakil suku-suku "malu" yang lain dengan cara anggota "aiba'a" setelah terima "kaba" tanda salib dengan sirih pinang yang dimakan dari suku Laimea, anggota "aiba'a" itu pindah ke pada wakil suku "malu yang berikut dengan menyerahkan atau mengulurkan tangannya dan wakil suku 'malu yang lain meniupkan ujung kedua tangan anggota "aiba'a". semua suku "malu" makan siri pinang yang telah disiapkan dalam "Taka Giral" tadi. Suku Laimea memberi "Kaba" dengan mengmbil ampas siri-pinang dari mulutnya dan membuat tanda salib di dahi setiang anggota suku "aiba'a" yang di-"kaba"-kan. Empat (4) suku "malu" lainnya memberi "kaba" dengan meniupkan ujung tangan anggota "aiba'a" seteleh terima tanda salib -kaba- dari suku Laimea. Mengapa suku Laimea memberi "kaba" tanda salib di dahi suku Monewalu sebagai "aiba'a"? Karena Suku Monewalu berasal dari suku Laimea. Setelah Adat "kaba" usai, maka semua adat kematian juga belum selesai.
11. Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu
Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.
Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.
Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.
Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.
Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.
Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.
Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.
Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.
Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.
Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.
Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.
Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.
Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti dan terbukti bahwa: "ketika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."
Dari semua uraian di atas ditemukan tiga rasa cara pikir-rasa-aksi Suku Bunaq Aitoun seperti di dalam tiga bagan berikut.***
(2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
11. Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu
Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.
Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.
Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.
Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.
Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.
Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.
Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.
Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.
Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.
Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.
Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.
Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.
Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti dan terbukti bahwa: "ketika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."
Dari semua uraian di atas ditemukan tiga rasa cara pikir-rasa-aksi Suku Bunaq Aitoun seperti di dalam tiga bagan berikut.***
Daftar Pustaka
A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978(2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..