*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Ada banyak rumah suku di Aitoun. Rumah setiap suku Bunaq Aitoun berbasiskan sistem kekerabatan matrilineal. Merasakan sistem kekerabatan matrilineal berarti menikmati harta warisan bergerak dan tidak bergerak dan terutama garis keturunan penerus keanggotaan rumah suku berdasarkan garis ibu atau mama atau perempuan. Setiap bayi yang lahir dari ibunya yang memiliki Rumah Suku Monewalu, misalnya, berarti anak-anak menjadi anggota runah suku Monewalu; demikian juga harta warisan bergerak dan tidak bergerak dalam keluarga adalah milik ibu dan akan diteruskan anak-anak perempuan. Sedangkan anak-anak setelah menikah tinggal di rumah isterinya yang mendapat harta bergerak maupun tidak bergerak dari orang-tuanya. Tetapi anak-anak laki-laki yang menikah dan tinggal di rumah isteri tetap terikat dengan rumah suku ibu kandungnya sendiri. Anak laki-laki yang menikah tidak masuk menjadi anggota rumah suku isterinya.
Ada banyak rumah suku di Aitoun. Rumah setiap suku Bunaq Aitoun berbasiskan sistem kekerabatan matrilineal. Merasakan sistem kekerabatan matrilineal berarti menikmati harta warisan bergerak dan tidak bergerak dan terutama garis keturunan penerus keanggotaan rumah suku berdasarkan garis ibu atau mama atau perempuan. Setiap bayi yang lahir dari ibunya yang memiliki Rumah Suku Monewalu, misalnya, berarti anak-anak menjadi anggota runah suku Monewalu; demikian juga harta warisan bergerak dan tidak bergerak dalam keluarga adalah milik ibu dan akan diteruskan anak-anak perempuan. Sedangkan anak-anak setelah menikah tinggal di rumah isterinya yang mendapat harta bergerak maupun tidak bergerak dari orang-tuanya. Tetapi anak-anak laki-laki yang menikah dan tinggal di rumah isteri tetap terikat dengan rumah suku ibu kandungnya sendiri. Anak laki-laki yang menikah tidak masuk menjadi anggota rumah suku isterinya.
Misalnya, rumah Suku Monewalu adalah rumah Suku Mama Saya, Oliva Lawa Koi. Rumah suku bapa saya Asutalin Leb. Maka dalam sistem matrilineal saya adalah anggota Rumah Suku Monewalu. Saya secara adat bukan menjadi anggota rumah suku Astalin, rumah suku Bapa saya, Gabriel Mali.
Berdasarkan bahasa Bunaq; Bunaq Aitoun mirip dengan Bunaq di kecamatan Lamaknen dan Lamaknen Selatan dan di negara Timor Leste. Secara administratif, suku Bunaq Aitoun masuk dalam kecamatan Raihat. Beberapa peneliti awal, di wilayah suku Bunaq tidak mencantumkan suku Bunaq Aitoun dalam penelitian ilmiah. Dengan demikian rumah-rumah suku di Bunaq Aitoun pun tidak dimasukan dalam tulisan ilmiah yang dipublikasikan.
Suku Bunaq di Indonesia ada di Pulau Timor Barat, termasuk di Desa Aitoun. Anggota Rumah suku Monewalu bukan langsung turun dari langit. Mereka dari beberapa rumah suku yang mendirikan keanggotaan rumah suku Monewalu. Ceritera asal-usul suku Monewalu secara lisan selalu dirasakan dan dialami di dalam ritus adat yang terjadi dari kelahiran anggota sampai kematiannya. Ceritera lisan tentang asal-usul setiap keanggotaan rumah suku paling jelas di dalam ritus adat kenduri. Tua adat pasti menguraikan sejarah asal-usul anggota yang kendurinya sedang dibuat. Ritus itu lahir dalam doa, korban darah daging, dan sejak leluhur sejak-awal mula terbentuknya rumah sudah dilakukan yang sama sehingga Tua adat tinggal meneruskan ceritera lisan asal-usul keanggotaan rumah suku. Tua adat ini bukan tanpa pengalaman. Sejak masa muda sudah mendampingi seniornya sehingga menjadi tua itu sudah terbentuk sejak masa muda. Sehingga kelak dapat melanjutkan semua yang telah dilakukan senior. Biasanya senior melihat kemampuan calon pengganti yang memiliki integritas yang baik dalam konteks adat suku Bunaq Aitoun secara keseluruhan dan Adat rumah adat setiap rumah suku. Senior tua adat biasanya memberikan catatan-catatan sejarah asal-usul setiap rumah adat yang ada di Aitoun selama menjadi pengikut yang sabar, tenang, dan rendah hati serta memiliki kebijaksanaan.
Rumah-rumah suku lain yang membangun dan menciptakan rumah suku baru, misalnya dalam hal ini rumah suku Monewalu disebut "malu". Apa artinya 'malu"? Malu berarti rumah-rumah suku lain yang mengutus anak perempuan dari rumah sukunya pergi membangun dan membentuk rumah suku yang baru. Misalnya rumah suku Monewalu. Rumah suku Laimea mengutus anak perempuannya menciptakan rumah suku Monewalu. Dalam hal ini, anggota Rumah Suku Laimea berstatus sebagai "malu". Sedangkan Rumah suku Monewalu dengan anggotanya memiliki status 'ai ba'a". Apa arti "ai ba'a?" Artinya rumah suku yang berasal dari rumah suku "malu". Itulah sejarah asal-usul setiap anggota rumah suku yang secara jelas terungkap dalam ritus adat kenduri dari setiap anggota rumah suku yang meninggal. Ikatan asal-usul anggota rumah suku dan relasi antara "malu" dengen "ai ba'a" ini selalu diikat secara kokoh dalam ritus-ritus adat yang terjadi di wilayah Bunaq Aitoun, secara istimewa dalam adat kenduri yang dalam bahasa setempat dikenal dengan sebutan "lal guju."
Ada sejumlah kelompok rumah suku yang mengutus anggotanya membentuk dan menjadi anggota rumah suku Monewalu. Dalam hal ini Rumah suku Monewalu adalah "ai ba'a" sedangkan rumah-rumah suku yang mengutus anggotanya membentuk rumah suku Monewalu disebut rumah-rumah suku "malu". Dengan demikian setiap anggota rumah suku Monewalu berasal dari ruma-rumah suku yang mengutus anggotanya menjadi anggota rumah suku Monewalu. Rumah-rumah Suku-suku yang mengutus anggotanya membentuk rumah suku Monewalu dalam waktu yang tidak bersamaan itu dapat diikuti dalam bagian-bagian seperti di bawah ini.
1. Anggota Rumah Suku Laimea
Rumah Suku Laimea memiliki relasi erat dengan rumah suku Monewalu. Mama Oliva Lawa Koi memiliki suku Monewalu. Menurut sejarah asal-usul Mama Oliva Lawa Koi ini berasal, lahir dari perempuan yang berasal dari rumah suku Laimea yaitu suku pemberi perempuan kepada rumah suku Monewalu. Berdasarkan sejarah asal-usul itu maka suku Laimea sebagai rumah suku 'malu' di mata anggota rumah suku Monewalu. Rumah Suku 'malu' artinya pemberi perempuan kepada anggota rumah suku Monewalu. Relasi antara rumah suku Monewalu dengan rumah suku Laimea ini akan terlihat jelas dalam ritus adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu yang berasal dari keturunan mama Oliva Lawa Koi. Rumah Suku Leimea sendiri akan diulas dalam edisi-edisi berikut karena untuk saat ini penulis belum mendapatkan informasi yang memadai tentang rumah adat suku Laimea. Anggota Rumah Suku Monewalu dan Anggota Rumah Suku Laimea, dalam konteks salah seorang anggota, dalam hal ini Mama Oliva Lawa Koi, melihat Anggota Rumah Suku Laimea sebagai 'malu' sebagai asal-usulnya dan sebagai anggota rumah suku Monewalu atau Rumah Adat Suku Monewalu, sebagai 'ai ba'a' dalam relasi antara keduanya. Rumah suku Laimea atau Rumah Adat Laimea sebagai 'malu bul' atau sumber utama atau asli dari Mama Oliva Lawa Koi dan seluruh keturunan Mama Oliva dalam sistem matrilineal suku Bunaq Aitoun. Sedankan rumah-rumah suku lain yang mengutus anggotanya menjadi anggota rumah suku Monewalu dalam waktu yang berbeda, entah lebih dahulu atau kemudian dari Mama Oliva menjadi anggota rumah suku Monewalu, disebut juga sebagai 'malu' biasa 'malu bul'. Apa artinya 'malu bul'? Artinya adalah asal asli dari seorang anggota rumah suku Monewalu datang dan menjadi anggota rumah suku Monewalu dalam maktu yang berbeda-beda, ada yang datang lebih awal, ada yang datang kemudian menjadi anggota rumah suku Monewalu.
2. Anggota Rumah Suku Monesogo
Anggota Rumah Suku Monesogo adalah sebagai saudara dan saudari bagi anggota rumah suku Monewalu. Dalam sistem kawin mawin, anggota suku Monewalu tidak boleh kawin dengan anggota suku Monesogo karena posisi sejak awal berasal dari satu rumah suku 'malu' yang mengutus anggotanya membentuk dan mendirikan keanggotaan rumah suku Monesogo. Kecuali kemudian, ada anggota rumah suku Moensogo yang menjadi anggota rumah suku Monesogo berasal dari rumah suku yang berbeda sehingga asal-usulnya tidak berasal dari rumah suku 'malu' yang sama. Misalnya, semua anggota rumah suku Monesogo dan Rumah adat suku Monewalu yang berasal dari rumah Suku Laimea sebagai 'malu bul' bagi kedua rumah tersebut, tidak dijinkan adat untuk membangun hubungan persaudaraan sejati 'malu' dengan 'ai ba'a' untuk terlibat dalam kawin-mawin.
Perempuan adik-kakak dari rumah suku Laimea itulah yang satunya membentuk rumah suku Monewalu dan yang lainnya membangun rumah suku Monesogo yang berkembang pesat anggotanya sampai dewasa ini. Diceriterakan bahwa dari perempuan adik-kakak suku Laimea itu, kakaknya ke rumah suku Monewalu dan adiknya ke rumah suku Monesogo. Maka dalam relasi ini tidak pantas kedua suku itu menjalin hidup berkeluarga lewat perkawinan dalam suku bunaq. Kecuali keanggotaan kedua rumah suku itu berasal dari rumah suku yang berbeda-beda dan secara aturan adat dipantaskan untuk membangun kehidupan berkeluarga sebagai suami isteri.
Perempuan adik-kakak dari rumah suku Laimea itulah yang satunya membentuk rumah suku Monewalu dan yang lainnya membangun rumah suku Monesogo yang berkembang pesat anggotanya sampai dewasa ini. Diceriterakan bahwa dari perempuan adik-kakak suku Laimea itu, kakaknya ke rumah suku Monewalu dan adiknya ke rumah suku Monesogo. Maka dalam relasi ini tidak pantas kedua suku itu menjalin hidup berkeluarga lewat perkawinan dalam suku bunaq. Kecuali keanggotaan kedua rumah suku itu berasal dari rumah suku yang berbeda-beda dan secara aturan adat dipantaskan untuk membangun kehidupan berkeluarga sebagai suami isteri.
3. Anggota Rumah Suku Sigup
Anggota Rumah Suku Sigup ini adalah 'malu' bagi anggota rumah suku Monewalu. Anggota rumah Suku Sigup ini sebagai kelompok rumah suku yang memberi perempuan kepada rumah suku Monewalu dan lewat perempuan yang menjadi anggota rumah suku Monewalu itu menambah keanggotaan rumah suku Monewalu. Anggota rumah suku Monewalu yang berasal dari rumah suku Sigup ini akan dicari informasinya agar penulis mendapat data yang baik untuk mempublikasikan secara detail tentang rumah suku Sigup dan berapa jumlah anggota rumah suku Monewalu yang berasal dari suku Sigup. Relasi antara angota rumah suku Monewalu dengan anggota rumah suku Sigup akan tampak lebih jelas dalam adat kematian yang dialami oleh anggota rumah suku Monewalu atau sebaliknya, yang dirayakan dalam ritus kematian yang dipimpin oleh tua adat.
4. Anggota Rumah Adat Suku Liana'in
Anggota Rumah Adat Suku Liana'in adalah salah satu rumah suku yang memberi anggotanya menambah keanggotaan rumah suku Monewalu. Suku Liana'in disebut sebagai suku 'malu' dimata anggota rumah suku Monewalu. Asal-usul keanggotaan rumah suku Liana'in ini akan diuraikan secara panjang lebar setelah penulis mendapat informasi yang benar dan baik, dari sumber yang terpercaya, pada sesion tersendiri. Relasi antara anggota rumah suku Liana'in dengan anggota rumah suku Monewalu ini akan tampak jelas dalam proses urusan adat kematian seorang anggota suku Monewalu. Adat kenduri dari salah satu anggota kedua rumah suku tersebut secara gamplang menguraikan secara rinci asal-usul kedua keanggotaan rumah suku tersebut.
5. Anggota Rumah Suku Hoki'ik
Anggota Rumah Suku Hoki'ik ini adalah pemberi anggota rumah sukunya kepada rumah suku Monewalu dan menjadi anggota rumah suku Monewalu dalam maktu yang tertentu dibanding dengen anggota rumah suku Monewalu yang berasal dari rumah suku yang lain. Rumah adat Suku Hoki'ik disebut sebagai anggota rumah suku 'Malu' (pemberi perempuan), di mata anggota rumah adat suku Monewalu. Rumah Suku Monewalu sendiri disebut sebagai anggota rumah suku 'aiba’a' (penerima perempuan) di mata anggota rumah suku Monewalu dan anggota rumah suku Hoki'ik. Relasi adat kedua rumah suku itu akan tampak lebih jelas di dalam proses adat kematian seorang anggota suku Monewalu maupun anggota rumah suku Hoki'ik.
Keunikan rumah suku Monewalu dalam berelasi dengan kelompok suku-suku pemberi perempuan tersebut di atas dapat ditelusuri lewat sejumlah adat yang berlaku dalam rumah adat suku Monewalu di Asueman pada khususnya dan di Aitoun pada umumnya.
Adat yang menguak identitas suku Bunaq Aitoun (penyebutan suku di sini berdasarkan Bahasa Bunaq) secara lebih terbuka adalah proses ritus adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu. Perayaan ritus adat kematian menguraikan semua keunikan anggota rumah suku Monewalu dalam konteks perspektif budaya setempat. Seseorang suku Bunaq Aitoun (sebutan ini berdasarkan bahasa Bunaq sebagai bahasa setempat) meninggal ada tata adatnya sendiri.
Adat yang menguak identitas suku Bunaq Aitoun (penyebutan suku di sini berdasarkan Bahasa Bunaq) secara lebih terbuka adalah proses ritus adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu. Perayaan ritus adat kematian menguraikan semua keunikan anggota rumah suku Monewalu dalam konteks perspektif budaya setempat. Seseorang suku Bunaq Aitoun (sebutan ini berdasarkan bahasa Bunaq sebagai bahasa setempat) meninggal ada tata adatnya sendiri.
Informasi ini berdasarkan interview Bapak Gabriel Mali, sebagai sumber utama pada tanggal 29 Maret 2008. Beliau adalah seorang tua adat di dalam wilayah suku Bunaq Aitoun. Beliau juga adalah tokoh agama, sebagai Guru Agama senior di Lingkungan Asueman.
Beliau memiliki pengalaman dalam hal urusan adat di masyarakat Suku Bunaq Aitoun dari adat kelahiran sampai kematian di wilayah suku Bunaq Aitoun. Menurut penulis, Bapa Gabriel memiliki pengalaman yang istimewa di Aiotun khususnya dalam urusan agama Katolik sebagai Guru Agama Senior dan dalam urusan Adat Suku Bunaq Aitoun beliau adalah tua adat senior yang mengkaderkan orang muda untuk menjadi tua adat . Selain itu Bapa Gabriel memiliki kematangan psikologis dan kecerdasan sosial yang sangat matang.
Salah satu bagian penting dari interview itu adalah tentang adat kematian suku Bunaq Aitoun yang diciptakan leluhur, yang mana adat yang dicipta itu kemudian membentuk cara berpikir, berperasaan dan berperilaku dalam kehidupan pemilik adat sebagai seorang anggota Suku Bunaq Aitoun.
Ritus adat kematian dengan tahap-tahapnya yang direkam dari wawancara itu seperti yang tertulis di bawah ini sebagai penegasan untuk memperjelas relasi adat Rumah Suku 'Malu" dengan Rumah Suku 'Aiba'a' yang menjadi basis relasi anggota-anggota dalam hidup beradat di dalam Suku Bunaq Aitoun. Ritus adat kematian dapat dilaksanakan dalam keadaan anggota rumah suku yang merayakan adat kenduri harus hidup rukun dan damai. Dengan demikian Ritus Rekonsiliasi bagi pihak-pihak yang konflik dalam rumah suku bunaq Aitoun harus dilaksanakan pada awal ritus adat kenduri. Intinya adalah anggota rumah suku menenun kembali kerukunan dan damai telah retak dan hidup rukun dan damai itu dibangkitkan lagi sedangkan konflik dikuburkan atau dimatikan. Dengan demikian anggota yang meninggal pergi ke Surga dengan damai karena anggota yang masih hidup secara tulus ikhlas dan damai melepaspergikannya ke surga.
1. Adat "Tel Taba"
"Tel Taba" artinya menggali kuburan. Orang pertama yang menggali kuburan adalah 'malu', khususnya dari salah seorang anggota rumah Suku Laimea, pemberi perempuan kepada rumah suku Monewalu-nya Oliva Lawa Koi. Sesudah itu suku malu yang lain (bukan suku Laimea) menggali kuburan selanjutnya. Mengapa seorang anggota rumah Suku Laimea sebagai "malu bul" yang pertama menancapkan tajak ke tanah untuk membuka penggalian khubur? Karena Anggota Rumah Suku Laimea adalah asal-usul anggota rumah suku Monewalu. Seorang anggota rumah suku Monewalu-nya Oliva Lawa Koi ini berasal dari keturunan seorang perempuan yang diberikan oleh rumah suku Laimea untuk mendirikan dan menjadi anggota serta menumbuhkembangkan keanggotaan rumah suku Monewalu. Seorang anggota rumah suku Monewalu-nya Oliva Lawa Koi ini, meninggal, berarti yang berhak pertama menggali kubur adalah seorang anggota rumah suku Laimea atas perintah ketua anggota rumah suku Laimea, bukan atas kehendak pribadi seorang anggota suku Laimea. Suku Laimea sebagai pemberi hidup kepada anggota rumah suku Monewalu (Rumah Suku Laimea sebagai pemberi perempuan) dan Rumah suku Laimea juga yang kembalikan hidup itu kepada wujud tertinggi, “Hot Essen” lewat kuburan itu. Kecuali ketua Rumah suku Laimea berhalangan, dan anggota Rumah suku Laimea tidak dapat dihubungi karena alasan tempat, jarak dan sebagainya. Maka ketua Rumah suku Laimea dapat mendelegasikan tugas pertama penancapan tajak sebelum gali kubur itu kepada suku 'malu' yang lain, yang bukan dari rumah suku Laimea, dalam berelasi dengan rumah suku Monewalu yang sedang berduka karena seorang anggota rumah sukunya telah meninggal dunia. Sekali lagi bahwa rumah suku 'malu' lain boleh menancapkan tajak pertama sebelum gali khubur, tetapi harus mendapat mandat dari Ketua rumah Suku Laimea.
Kalau suku "malu" lain mendahului menggali kubur atau menancapkan tajak sebelum penggalian kubur selanjutnya, maka suku "malu" lain akan berkomentar bahwa itu tidak benar dan tidak sah secara adat-istiadat yang telah berabad-abad berlaku dalam adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu, dalam relasi antara rumah suku pemberi perempuan dengan rumah suku penerima perempuan.
Untuk menarik kembali ketiksahan secara adat itu maka harus dipulihkan dengan memberi sejumlah uang kepada rumah Suku Laimea dalam pembicaraan adat damai, dalam istilah suku bunak, adat Dame, artinya berdamai kembali.
2. Adat "Gon Tolo"
"Gon Tolo" artinya, meletakkan tangan atau memindahkan tangan seorang anggota rumah suku Monewalu sebagai aiba’a yang telah meninggal, dari posisi belum di atas dada, kemudian ke atas dadanya, seperti sikap doa. Peletakan tangan yang meninggal ke atas dadanya itu dilakukan oleh para angota suku pemberi perempuan atau "Malu". Pemindahan tangan ke atas dada si meninggal oleh para malu, dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan nama atau sebutan: "Gon Tolo" artinya "Malu gini en heser gon ba giwitar no Tula".
Para "Malu" yang memindahkan tangan seorang yang meninggal ke atas dadanya itu dibayar dengan sejumlah uang sesuai permintaan para "Malu" yang mengangkat tangan yang meninggal ke atas dadanya". Pada umunya harga adat "Gon Tolo" itu mulai dari Rp.50.000 sampai dengan Rp.100.000.-
Tata adat ini diwariskan para leluhur secara turun temurun. Sampai dewasa ini pun mesih tetap dijalankan oleh suku Bunaq di desa Aitoun-Kecamatan Raihat - Kabupaten Dati II Belu - Propinsi Nusa Tenggara Timur - Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses adat “Gon Tolo” ini disaksikan sendiri oleh penulis pada tanggal 18 Mei 2007, ketika Bapak Simon Tes meninggal dunia. Bapak Simon Tes ini adalah seorang anggota rumah suku Monewalu.
3. Adat "Gawak".
"Gawak" berarti mengarak peti jenasah ke kuburan yang telah disiapkan. Peti Jenasah ini ditutup dengan Kain Adat. Kain adat itu diambil oleh para "Malu" itu. Pada dasarnya para "Malu" berebutan, siapa yang cepat dia yang dapat kain adat penutup Peti Jenasah itu. Rebutan itu terjadi di kuburan sebelum peti jenasah diturunkan ke dalam kubur. Pemikul peti jenasah itu adalah para "malu" bersama para pemuda yang memiliki tenaga yang cukup agar perjalanan menuju tempat penguburan berjalan tanpa hambatan. Selama perjalanan para pengiring itu mengadakan lagu-lagu ratapan khas suku Bunaq. Inti lagu adat ratapan itu adalah merasa kehilangan secara fisik, tetapi tetap hidup semua contoh dan teladan hidupnya yang baik dan benar. Semua yang baik akan selalu dikenang dalam pikiran. Sebuah kenangan yang dirayakan dalam hidup konkret oleh keluarga yang ditinggalkannya.
4. Adat "Il Hesik".
"Il Hesik" berarti pemercikan air putih yang telah didoakan dan diberkati secara adat oleh para lal gomo atau tua adat dengan perantaraan para leluhur dan wujud tertinggi yang diimani yaitu “Hot Essen. Para "Malu" percikkan air berkat itu ke atas para "aiba’a" yang sedang berduka, di depan rumah duka, setelah pulang dari kuburan.
Percikan air berkat ini bertujuan supaya keluarga yang berduka itu dengan hati yang bersih masuk dalam rumah duka. Makna pemercikan ini adalah pembersihan, penyucian "aiba’a" yang berduka, agar hati mereka kembali dikuatkan oleh rahmat pembersihan dan penyucian yang diberikan oleh para "Malu" sebagai pemilik rahmat penyucian itu. Rahmat itu mereka terima dari para leluhur sebagai perantara wujud tertinggi yaitu “Hot Essen” yang mereka imani dalam adat suku Bunak. Rahmat itu disalurkan oleh para “malu” kepada keluarga “aiba’a” yang sedang berduka, percikan air berkat di depan rumah duka.
5. Adat "En Gawa Gini".
"En Gawa Gini" artinya memberi makan minum kepada semua "malu gol" dan "Aiba'a gol" yang datang di rumah duka. Acara makan minum ini berlangsung setelah pulang dari acara penguburan, khususnya setelah keluarga berduka menerima berkat lewat percikan air berkat itu. Persiapan makan minum bagi para “malu” sungguh istimewa karena mereka ditempatkan sebagai raja dalam menikmati pelayanan para “aiba’a”. Mereka ditempatkan seperti itu karena para “malu” sebagai asal hidupnya anggota rumah suku Monewalu yang sedang berduka. Suku Monewalu harus merendah di hadapan suku pemberi perempuan. Kerendahan hati suku Monewalu itu terungkap lewat kata-kata, sikap hidup dan perbuatan sopan di dalam membangun relasi dengan para “malu”. Pelayanan yang kurang ideal, akan dikomentari bernuansa negatif terhadap suku Monewalu. Karena itu, suku Monewalu berupaya melayani secara maksimal kepada para “malu” yang diposisikan seabagai raja tamu agung dalam seluruh relasi proses adat kematian yang terjadi dan berlangsung.
6. Adat "Lasik Wa"
"Lasik Wa" ini berlangsung selama makan minum bersama setelah para malu dilayani secara istimewa. "Lasik Wa" ini hanya oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo" anggota rumah adat suku "aiba’a" yang anggotanya meninggal dunia. "Lasik Wa" ini berarti ketua rumah suku bersama para om dalam rumah Suku Monewalu, menentukan suatu keputusan bersama tentang berapa jumlah uang yang akan dikumpulkan oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo". Jumlah uang yang ditentukan itu jumlanya sama, yang harus ditanggung atau dikumpulkan oleh setiap "Mane Pou" atau nyadu atau kela yaitu suami para perempuan sebagai anggota Rumah Suku Monewalu yang sedang berduka dan "Deu Gomo" yaitu semua laki-laki yang disebut sebagai "aiba’a” (Anggota Rumah Suku Monewalu).
Berdasarkan pengalaman, para Om dari Rumah Suku Monewalu bersama Ketua Rumah Suku Monewalu memutuskan secara bersama-sama tentang sejumlah uang yang akan dikumpulkan sesuai kebutuhan pelaksanaan ritus adat sejumlah Rp.50.000 sampai dengan Rp.100.000 / orang baik sebagai "Mane Pou" maupun sebagai "Deu Gomo". Uang yang dikumpulkan itu disebut dengan istilah dalam suku Bunaq yang berbahasa Bunaq sebagai "Lasik Wa".
Uang yang dikumpulkan itu untuk apa? Uang itu akan digunakan untuk pelaksanaan adat "Si Por Pak " atau "Si Giwitar Pak" yaitu proses pembunuhan seekor babi paling besar dalam perayaan ritus adat sebagai inti utama dari adat kematian seorang anggota rumah suku karena adat ini sebagai proses membuka pintu bagi jiwa anggota suku yang meninggal ke dalam persekutuan bahagia dengan jiwa-jiwa leluhur.
Tempat tinggal para leluhur atau rumah suku leluhur itu disebut dengan istilah bahasa Bunaq “Mot”. Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam Rumah Adat Para leluhur itu dalam bahasa Bunaq disebut dengan istilah “Mot Tama”.
Selain itu uang yang dikumpulkan itu atau uang hasil “Lasik wa” itu digunakan untuk membeli beras; membeli Babi untuk lauk makan minum selama proses urusan adat kenduri.
Uang yang dikumpulkan itu juga untuk adat "Kaba" yaitu pemberian berkat oleh "Malu" kepada "Aiba'a" sebagai satu bagian utama dan penting yang tidak terpisahkan dalam seluruh rangkaian adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu.
Uang dari "Lasik Wa" itu juga untuk "Tais Hota"; uang itu juga untuk stipendium bagi "Lal Gomo" yaitu dia yang tahu sejarah asal-usul suku "Aiba'a" dan mendoakan jiwa suku "Aiba'a" yang telah meninggal untuk memasukkan jiwanya ke dalam persekutuan bahagia abadi para leluhurnya di dunia seberang, sebagai acara puncak dari adat "Si Por Pak".
"Tel Taba" artinya menggali kuburan. Orang pertama yang menggali kuburan adalah 'malu', khususnya dari salah seorang anggota rumah Suku Laimea, pemberi perempuan kepada rumah suku Monewalu-nya Oliva Lawa Koi. Sesudah itu suku malu yang lain (bukan suku Laimea) menggali kuburan selanjutnya. Mengapa seorang anggota rumah Suku Laimea sebagai "malu bul" yang pertama menancapkan tajak ke tanah untuk membuka penggalian khubur? Karena Anggota Rumah Suku Laimea adalah asal-usul anggota rumah suku Monewalu. Seorang anggota rumah suku Monewalu-nya Oliva Lawa Koi ini berasal dari keturunan seorang perempuan yang diberikan oleh rumah suku Laimea untuk mendirikan dan menjadi anggota serta menumbuhkembangkan keanggotaan rumah suku Monewalu. Seorang anggota rumah suku Monewalu-nya Oliva Lawa Koi ini, meninggal, berarti yang berhak pertama menggali kubur adalah seorang anggota rumah suku Laimea atas perintah ketua anggota rumah suku Laimea, bukan atas kehendak pribadi seorang anggota suku Laimea. Suku Laimea sebagai pemberi hidup kepada anggota rumah suku Monewalu (Rumah Suku Laimea sebagai pemberi perempuan) dan Rumah suku Laimea juga yang kembalikan hidup itu kepada wujud tertinggi, “Hot Essen” lewat kuburan itu. Kecuali ketua Rumah suku Laimea berhalangan, dan anggota Rumah suku Laimea tidak dapat dihubungi karena alasan tempat, jarak dan sebagainya. Maka ketua Rumah suku Laimea dapat mendelegasikan tugas pertama penancapan tajak sebelum gali kubur itu kepada suku 'malu' yang lain, yang bukan dari rumah suku Laimea, dalam berelasi dengan rumah suku Monewalu yang sedang berduka karena seorang anggota rumah sukunya telah meninggal dunia. Sekali lagi bahwa rumah suku 'malu' lain boleh menancapkan tajak pertama sebelum gali khubur, tetapi harus mendapat mandat dari Ketua rumah Suku Laimea.
Kalau suku "malu" lain mendahului menggali kubur atau menancapkan tajak sebelum penggalian kubur selanjutnya, maka suku "malu" lain akan berkomentar bahwa itu tidak benar dan tidak sah secara adat-istiadat yang telah berabad-abad berlaku dalam adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu, dalam relasi antara rumah suku pemberi perempuan dengan rumah suku penerima perempuan.
Untuk menarik kembali ketiksahan secara adat itu maka harus dipulihkan dengan memberi sejumlah uang kepada rumah Suku Laimea dalam pembicaraan adat damai, dalam istilah suku bunak, adat Dame, artinya berdamai kembali.
2. Adat "Gon Tolo"
"Gon Tolo" artinya, meletakkan tangan atau memindahkan tangan seorang anggota rumah suku Monewalu sebagai aiba’a yang telah meninggal, dari posisi belum di atas dada, kemudian ke atas dadanya, seperti sikap doa. Peletakan tangan yang meninggal ke atas dadanya itu dilakukan oleh para angota suku pemberi perempuan atau "Malu". Pemindahan tangan ke atas dada si meninggal oleh para malu, dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan nama atau sebutan: "Gon Tolo" artinya "Malu gini en heser gon ba giwitar no Tula".
Para "Malu" yang memindahkan tangan seorang yang meninggal ke atas dadanya itu dibayar dengan sejumlah uang sesuai permintaan para "Malu" yang mengangkat tangan yang meninggal ke atas dadanya". Pada umunya harga adat "Gon Tolo" itu mulai dari Rp.50.000 sampai dengan Rp.100.000.-
Tata adat ini diwariskan para leluhur secara turun temurun. Sampai dewasa ini pun mesih tetap dijalankan oleh suku Bunaq di desa Aitoun-Kecamatan Raihat - Kabupaten Dati II Belu - Propinsi Nusa Tenggara Timur - Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses adat “Gon Tolo” ini disaksikan sendiri oleh penulis pada tanggal 18 Mei 2007, ketika Bapak Simon Tes meninggal dunia. Bapak Simon Tes ini adalah seorang anggota rumah suku Monewalu.
3. Adat "Gawak".
"Gawak" berarti mengarak peti jenasah ke kuburan yang telah disiapkan. Peti Jenasah ini ditutup dengan Kain Adat. Kain adat itu diambil oleh para "Malu" itu. Pada dasarnya para "Malu" berebutan, siapa yang cepat dia yang dapat kain adat penutup Peti Jenasah itu. Rebutan itu terjadi di kuburan sebelum peti jenasah diturunkan ke dalam kubur. Pemikul peti jenasah itu adalah para "malu" bersama para pemuda yang memiliki tenaga yang cukup agar perjalanan menuju tempat penguburan berjalan tanpa hambatan. Selama perjalanan para pengiring itu mengadakan lagu-lagu ratapan khas suku Bunaq. Inti lagu adat ratapan itu adalah merasa kehilangan secara fisik, tetapi tetap hidup semua contoh dan teladan hidupnya yang baik dan benar. Semua yang baik akan selalu dikenang dalam pikiran. Sebuah kenangan yang dirayakan dalam hidup konkret oleh keluarga yang ditinggalkannya.
4. Adat "Il Hesik".
"Il Hesik" berarti pemercikan air putih yang telah didoakan dan diberkati secara adat oleh para lal gomo atau tua adat dengan perantaraan para leluhur dan wujud tertinggi yang diimani yaitu “Hot Essen. Para "Malu" percikkan air berkat itu ke atas para "aiba’a" yang sedang berduka, di depan rumah duka, setelah pulang dari kuburan.
Percikan air berkat ini bertujuan supaya keluarga yang berduka itu dengan hati yang bersih masuk dalam rumah duka. Makna pemercikan ini adalah pembersihan, penyucian "aiba’a" yang berduka, agar hati mereka kembali dikuatkan oleh rahmat pembersihan dan penyucian yang diberikan oleh para "Malu" sebagai pemilik rahmat penyucian itu. Rahmat itu mereka terima dari para leluhur sebagai perantara wujud tertinggi yaitu “Hot Essen” yang mereka imani dalam adat suku Bunak. Rahmat itu disalurkan oleh para “malu” kepada keluarga “aiba’a” yang sedang berduka, percikan air berkat di depan rumah duka.
5. Adat "En Gawa Gini".
"En Gawa Gini" artinya memberi makan minum kepada semua "malu gol" dan "Aiba'a gol" yang datang di rumah duka. Acara makan minum ini berlangsung setelah pulang dari acara penguburan, khususnya setelah keluarga berduka menerima berkat lewat percikan air berkat itu. Persiapan makan minum bagi para “malu” sungguh istimewa karena mereka ditempatkan sebagai raja dalam menikmati pelayanan para “aiba’a”. Mereka ditempatkan seperti itu karena para “malu” sebagai asal hidupnya anggota rumah suku Monewalu yang sedang berduka. Suku Monewalu harus merendah di hadapan suku pemberi perempuan. Kerendahan hati suku Monewalu itu terungkap lewat kata-kata, sikap hidup dan perbuatan sopan di dalam membangun relasi dengan para “malu”. Pelayanan yang kurang ideal, akan dikomentari bernuansa negatif terhadap suku Monewalu. Karena itu, suku Monewalu berupaya melayani secara maksimal kepada para “malu” yang diposisikan seabagai raja tamu agung dalam seluruh relasi proses adat kematian yang terjadi dan berlangsung.
6. Adat "Lasik Wa"
"Lasik Wa" ini berlangsung selama makan minum bersama setelah para malu dilayani secara istimewa. "Lasik Wa" ini hanya oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo" anggota rumah adat suku "aiba’a" yang anggotanya meninggal dunia. "Lasik Wa" ini berarti ketua rumah suku bersama para om dalam rumah Suku Monewalu, menentukan suatu keputusan bersama tentang berapa jumlah uang yang akan dikumpulkan oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo". Jumlah uang yang ditentukan itu jumlanya sama, yang harus ditanggung atau dikumpulkan oleh setiap "Mane Pou" atau nyadu atau kela yaitu suami para perempuan sebagai anggota Rumah Suku Monewalu yang sedang berduka dan "Deu Gomo" yaitu semua laki-laki yang disebut sebagai "aiba’a” (Anggota Rumah Suku Monewalu).
Berdasarkan pengalaman, para Om dari Rumah Suku Monewalu bersama Ketua Rumah Suku Monewalu memutuskan secara bersama-sama tentang sejumlah uang yang akan dikumpulkan sesuai kebutuhan pelaksanaan ritus adat sejumlah Rp.50.000 sampai dengan Rp.100.000 / orang baik sebagai "Mane Pou" maupun sebagai "Deu Gomo". Uang yang dikumpulkan itu disebut dengan istilah dalam suku Bunaq yang berbahasa Bunaq sebagai "Lasik Wa".
Uang yang dikumpulkan itu untuk apa? Uang itu akan digunakan untuk pelaksanaan adat "Si Por Pak " atau "Si Giwitar Pak" yaitu proses pembunuhan seekor babi paling besar dalam perayaan ritus adat sebagai inti utama dari adat kematian seorang anggota rumah suku karena adat ini sebagai proses membuka pintu bagi jiwa anggota suku yang meninggal ke dalam persekutuan bahagia dengan jiwa-jiwa leluhur.
Tempat tinggal para leluhur atau rumah suku leluhur itu disebut dengan istilah bahasa Bunaq “Mot”. Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam Rumah Adat Para leluhur itu dalam bahasa Bunaq disebut dengan istilah “Mot Tama”.
Selain itu uang yang dikumpulkan itu atau uang hasil “Lasik wa” itu digunakan untuk membeli beras; membeli Babi untuk lauk makan minum selama proses urusan adat kenduri.
Uang yang dikumpulkan itu juga untuk adat "Kaba" yaitu pemberian berkat oleh "Malu" kepada "Aiba'a" sebagai satu bagian utama dan penting yang tidak terpisahkan dalam seluruh rangkaian adat kematian seorang anggota rumah suku Monewalu.
Uang dari "Lasik Wa" itu juga untuk "Tais Hota"; uang itu juga untuk stipendium bagi "Lal Gomo" yaitu dia yang tahu sejarah asal-usul suku "Aiba'a" dan mendoakan jiwa suku "Aiba'a" yang telah meninggal untuk memasukkan jiwanya ke dalam persekutuan bahagia abadi para leluhurnya di dunia seberang, sebagai acara puncak dari adat "Si Por Pak".
Kalau uang yang dikumpulkan itu masih ada atau lebih atau masih tersisa, maka pada zaman dahulu, kelebihan uang itu dimasukan ke dalam kantong ketua rumah suku. Tetapi pada zaman sekarang ini sudah mulai terkontrol oleh sekretaris yang menulis jumlah uang yang dikumpulkan itu dan setelah pengeluaran dalam seluruh urusan adat kematian itu, berapa besar pengeluaran itu diumumkan kepada seluruh anggota rumah suku Monewalu dalam ruangan terbuka dengan segala bukti pengeluaran, dan uang sisa/saldonya diumumkan juga kepada anggota rumah suku "Aiba'a" yang telah mengumpulkan itu sehingga dewasa ini lebih transparan -jujur dibandingkan dulu-dulu. Sisa uang itu biasanya tidak dikembalikan kepada para pengumpul, tetapi uang itu dapat ditabung untuk urusan adat kematian berikutnya.
7. Adat "Si Por Pak".
Adat Si Por Pak" ini dipimpin oleh "Lal Gomo" yaitu tua adat yang tahu tentang asal usul sejarah suku "Aiba’a" yang telah meninggal, dan juga anggota suku "Aiba’a" yang masih hidup, yang sedang berduka. "Lal Gomo" itu didampingi oleh para Om suku "Aiba'a" (Rumah Suku Monewalu) dan ketua rumah suku Monewalu juga dari rumah suku "Malu". Setiap suku yang menjadi asal-usul rumah suku "Aiba,a", yaitu suku-suku "Malu" yang disebut sebagai asal-ausul sejarah suku "Aiba'a" itu punya bagian adatnya.
Bagian adat setiap suku "Malu" itu terdiri dari satu ikat daging dengan jumlah uang sekitar Rp.50.000 sampai Rp.200.000.- Bagian-bagian itu ditentukan oleh "Lal Gomo" dan disatukan dalam doa "Lal Gomo" yang intinya memasukkan jiwa anggota suku "Aiba'a" yang telah meninggal ke dalam rumah suku para leluhurnya yang hidup bahagia di dunia seberang, setelah hidup di dunia ini. Penjelasan dan doa "Lal Gomo" ini dberi stipendium sekitar Rp.250.000 - Rp. 500.000.- Peran "Lal Gomo"itu sangat penting dalam memberi penjelasan yang tepat dan benar tentang asal-usul anggota suku orang yang meninggal dan memasukkan jiwanya ke dalam rumah suku para leluhur. Kesalahan penjelasan akan diberi hukuman atau kutukan oleh para leluhur. Pola ini sudah berakar dan berkembang dalam mentalitas suku bunak, dalam hal ini dalam pribadi Suku Monewalu.
8. Adat "Mot Tama".
"Mot Tama", berarti jiwa orang yang meninggal itu telah masuk ke dalam persekutuan dalam rumah suku para leluhur di dunia seberang, yang hidup tiada akhir, bahagia untuk selamanya. "Mot Tama" itu tercapai oleh jiwa orang yang meninggal setelah adat "Si Por Pak" yang telah dilaksanakan secara sempurna. Tanpa adat “Si Por Pak”, maka diyakini secara adat, jiwa orang yang meninggal itu belum masuk dalam rumah adat para leluhur atau “Mot Tama” atau masuk surga.
9. Adat "Tais Hota".
"Tais Hota", berarti "Suku-suku Malu" membawa kain adat dan anggota suku "Aiba'a" membawa uang untuk membeli kain itu. Harga kain adat itu ditentukan "Malu" sebagai penjual barangnya kepada "Aiba'a". Para "Malu" tentukan harga kain itu kepada pembeli yaitu "Aiba'a" dan para "Aiba'a" harus membeli kain itu.
Kalau "Aiba'a" tidak mau membeli maka akan muncul masalah baru yaitu para "malu" merasa tersinggung, tidak dihargai. Dan itu akan diungkapkan pada adat kematian berikutnya, dan bayarannya atau pemulihan kembali rasa tersinggung itu tetap akan dilakukan yaitu pihak "aiba'a" memberi uang kepada " malu " yang tidak dihargai itu sebagai rujuk-rukun kembali secara adat. Ada sedikit unsur bisnis dalam adat "tais hota" ini.
10. Adat "Kaba"
"Kaba" berarti pemberian berkat oleh suku-suku "Malu" kepada suku "Aiba,a". Suku monewalu di-"kaba"-kan oleh "Malu" yang bersuku Laimea. Suku-suku "malu" yang lain juga memberi kaba kepada suku "Aiba'a" tetapi caranya berbeda.
Bahan yang disiapkan unntuk "Kaba". Suku "Aiba'a" menyediakan 5 (lima) buah "Taka Giral" tempat sirih pinang dan uang stipendium atau derma kepada para suku "Malu". Angka 5 (lima) "Taka Giral" itu sesuai jumlah suku "Malu" dalam kacamata suku Monewalu sebagai suku "Aiba'a". Dapat disebutkan bahwa 5 (lima) "Taka Giral" sama dengan 5 (lima) suku "Malu" yaitu suku Laimea, suku Mone Sogo, Suku Si Gup, Suku Lianain, suku Hokiik bagi Suku Monewalu sebagai suku "Aiba;a".
Proses "kaba" yaitu pemberian berkat oleh "malu" kepada "aiba'a". Pertama-tama para wakil suku-suku Malu itu mendoakan bersama di atas sirih-pinang dan uang yang ada dalam "Taka Giral" di depan masing-masing suku "malu" itu. Doa para malu atas sirih - pinang - uang dalam "Taka Giral" itu dikenal dalam bahasa bunaq dengan istilah "Molo Guhu" .Setelah acara doa atas "Taka Giral", atau "Molo Guhu", disusul dengan Wakil Suku Laimea memberi berkat tanda salib di dahi setiap anggota suku "aiba'a" (Suku Monewalunya Oliva Lawa Koi), dan disusul oleh wakil suku-suku "malu" yang lain dengan cara: anggota "aiba'a" setelah terima "kaba" tanda salib dengan sirih pinang yang dimakan-dikunya mulut suku Laimea, anggota "aiba'a" itu pindah kepada wakil suku "malu yang berikut dengan menyerahkan atau mengulurkan tangannya dan wakil suku malu yang lain meniupkan ujung kedua tangan anggota suku "aiba'a". Semua suku "malu" makan sirih pinang yang telah disiapkan dalam "Taka Giral" tadi. Suku Laimea memberi "Kaba" dengan mengambil ampas siri-pinang dari mulutnya dan membuat tanda salib di dahi setiang anggota suku "aiba'a" yang di-"kaba"-kan.
7. Adat "Si Por Pak".
Adat Si Por Pak" ini dipimpin oleh "Lal Gomo" yaitu tua adat yang tahu tentang asal usul sejarah suku "Aiba’a" yang telah meninggal, dan juga anggota suku "Aiba’a" yang masih hidup, yang sedang berduka. "Lal Gomo" itu didampingi oleh para Om suku "Aiba'a" (Rumah Suku Monewalu) dan ketua rumah suku Monewalu juga dari rumah suku "Malu". Setiap suku yang menjadi asal-usul rumah suku "Aiba,a", yaitu suku-suku "Malu" yang disebut sebagai asal-ausul sejarah suku "Aiba'a" itu punya bagian adatnya.
Bagian adat setiap suku "Malu" itu terdiri dari satu ikat daging dengan jumlah uang sekitar Rp.50.000 sampai Rp.200.000.- Bagian-bagian itu ditentukan oleh "Lal Gomo" dan disatukan dalam doa "Lal Gomo" yang intinya memasukkan jiwa anggota suku "Aiba'a" yang telah meninggal ke dalam rumah suku para leluhurnya yang hidup bahagia di dunia seberang, setelah hidup di dunia ini. Penjelasan dan doa "Lal Gomo" ini dberi stipendium sekitar Rp.250.000 - Rp. 500.000.- Peran "Lal Gomo"itu sangat penting dalam memberi penjelasan yang tepat dan benar tentang asal-usul anggota suku orang yang meninggal dan memasukkan jiwanya ke dalam rumah suku para leluhur. Kesalahan penjelasan akan diberi hukuman atau kutukan oleh para leluhur. Pola ini sudah berakar dan berkembang dalam mentalitas suku bunak, dalam hal ini dalam pribadi Suku Monewalu.
8. Adat "Mot Tama".
"Mot Tama", berarti jiwa orang yang meninggal itu telah masuk ke dalam persekutuan dalam rumah suku para leluhur di dunia seberang, yang hidup tiada akhir, bahagia untuk selamanya. "Mot Tama" itu tercapai oleh jiwa orang yang meninggal setelah adat "Si Por Pak" yang telah dilaksanakan secara sempurna. Tanpa adat “Si Por Pak”, maka diyakini secara adat, jiwa orang yang meninggal itu belum masuk dalam rumah adat para leluhur atau “Mot Tama” atau masuk surga.
9. Adat "Tais Hota".
"Tais Hota", berarti "Suku-suku Malu" membawa kain adat dan anggota suku "Aiba'a" membawa uang untuk membeli kain itu. Harga kain adat itu ditentukan "Malu" sebagai penjual barangnya kepada "Aiba'a". Para "Malu" tentukan harga kain itu kepada pembeli yaitu "Aiba'a" dan para "Aiba'a" harus membeli kain itu.
Kalau "Aiba'a" tidak mau membeli maka akan muncul masalah baru yaitu para "malu" merasa tersinggung, tidak dihargai. Dan itu akan diungkapkan pada adat kematian berikutnya, dan bayarannya atau pemulihan kembali rasa tersinggung itu tetap akan dilakukan yaitu pihak "aiba'a" memberi uang kepada " malu " yang tidak dihargai itu sebagai rujuk-rukun kembali secara adat. Ada sedikit unsur bisnis dalam adat "tais hota" ini.
10. Adat "Kaba"
"Kaba" berarti pemberian berkat oleh suku-suku "Malu" kepada suku "Aiba,a". Suku monewalu di-"kaba"-kan oleh "Malu" yang bersuku Laimea. Suku-suku "malu" yang lain juga memberi kaba kepada suku "Aiba'a" tetapi caranya berbeda.
Bahan yang disiapkan unntuk "Kaba". Suku "Aiba'a" menyediakan 5 (lima) buah "Taka Giral" tempat sirih pinang dan uang stipendium atau derma kepada para suku "Malu". Angka 5 (lima) "Taka Giral" itu sesuai jumlah suku "Malu" dalam kacamata suku Monewalu sebagai suku "Aiba'a". Dapat disebutkan bahwa 5 (lima) "Taka Giral" sama dengan 5 (lima) suku "Malu" yaitu suku Laimea, suku Mone Sogo, Suku Si Gup, Suku Lianain, suku Hokiik bagi Suku Monewalu sebagai suku "Aiba;a".
Proses "kaba" yaitu pemberian berkat oleh "malu" kepada "aiba'a". Pertama-tama para wakil suku-suku Malu itu mendoakan bersama di atas sirih-pinang dan uang yang ada dalam "Taka Giral" di depan masing-masing suku "malu" itu. Doa para malu atas sirih - pinang - uang dalam "Taka Giral" itu dikenal dalam bahasa bunaq dengan istilah "Molo Guhu" .Setelah acara doa atas "Taka Giral", atau "Molo Guhu", disusul dengan Wakil Suku Laimea memberi berkat tanda salib di dahi setiap anggota suku "aiba'a" (Suku Monewalunya Oliva Lawa Koi), dan disusul oleh wakil suku-suku "malu" yang lain dengan cara: anggota "aiba'a" setelah terima "kaba" tanda salib dengan sirih pinang yang dimakan-dikunya mulut suku Laimea, anggota "aiba'a" itu pindah kepada wakil suku "malu yang berikut dengan menyerahkan atau mengulurkan tangannya dan wakil suku malu yang lain meniupkan ujung kedua tangan anggota suku "aiba'a". Semua suku "malu" makan sirih pinang yang telah disiapkan dalam "Taka Giral" tadi. Suku Laimea memberi "Kaba" dengan mengambil ampas siri-pinang dari mulutnya dan membuat tanda salib di dahi setiang anggota suku "aiba'a" yang di-"kaba"-kan.
Empat (4) suku "malu" lainnya memberi "kaba" dengan meniupkan ujung tangan setiap anggota "aiba'a" setelah terima tanda salib -kaba- dari suku Laimea. Mengapa suku Laimea memberi "kaba" tanda salib di dahi suku Monewalu sebagai "aiba'a"? Karena Suku Monewalunya Oliva lawa Koi berasal dari suku Laimea. Setelah Adat "kaba" usai, maka semua adat kematian belum selesai.
11.Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu
Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.
Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.
Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.
Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.
Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.
Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.
Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.
Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.
Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.
Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.
Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.
Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.
Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti dan terbukti bahwa: "jika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."***
11.Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu
Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.
Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.
Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.
Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.
Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.
Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.
Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.
Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.
Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.
Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.
Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.
Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.
Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti dan terbukti bahwa: "jika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."***
Daftar Pustaka
A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978
(2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
(2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..