Dalam bagian ini, penulis memaparkan tema-tema penting tentang kebudayaan Suku Bangsa Bunaq. Suku bangsa Bunaq mengungkapkan diri dalam budayanya. Kebudayaannya yang tersistematisasi kemudian membentuk pola lakunya. Sejauhmana kebudayaan mendukung kehidupan kemanusiaan manusia Bunaq, dapat mengetahuinya melalui kebudayaannya sebagaimana tercetus di dalam seluruh penguraian berikut.
1. Kebudayaan Suku Bunaq
Setiap manusia berbudaya. Manusia menciptakan budaya, dan kebudayaan hasil ciptaannya itu kemudian tersistematisasikan lantas sistem itu sebagai ketertaan yang menata keterarahan kehidupannya. Selanjutnya pada gilirannya manusia memperbaharui sistem kebudayaannya demi menghadirkan perikemanusiaan kepermukaan sistem kebudayaan dan kemanusiaan itu menjadi jantung sistem budaya yang mengatur tata kehidupan bersama. Ketika menusia menciptakan budaya, posisi manusia sebagai subyek atas budayanya. Sebaliknya ketika kebudayaannya membentuk Suku bangsa Bunaq, posisi kebudayaannya sebagai subyek. Hubungan dialektika antara kebudayaan dan manusia terarah pada kehidupan yang manusiawi. Dengan demikian budaya yang menjamin kehidupan yang manusiawi terpelihara dan dilestarikan, dan yang tidak baik dalam arti tidak manusiawi lagi ditransformasi untuk menjadikan budaya yang semakin insani. Artinya budaya menjamin bagi tindakan yang manusiawi, bukan mendungukan manusia dan tertindas oleh budayanya.
Manusia Bunaq adalah bagian dari manusia di dunia yang berbudaya. Suku Bangsa Bunaq menciptakan dan tercipta oleh budayanya. Paparan berikut adalah penyelaman ke dalam budaya suku Bunaq dengan tujuan untuk lebih mengenalnya dan sejauh mana kepedulian budaya suku bunaq akan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
2. Arti kata “Bunaq” dan Asal-Usul Suku Bunaq
Kata “bunaq” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku bangsa bunaq sendiri, untuk menyebut suku bangsa bunaq dan bahasa bunaq. Secara teritorial, suku bangsa Bunaq berdiam di Lamaknen, Aitoun, Makir dan Lamaksenulu.
Mereka ini menggunakan bahasa Bunaq dalam berkomunikasi. Bahasa Bunaq terbagi dalam dua jenis yaitu bahasa sehari-hari dan bahasa adat. Bahasa komunikasi sehari-hari bermakna eksplisit dan mudah dimengerti oleh semua pihak. Bahasa Adat sarat makna implisit dan simbolis, hanya dimengerti oleh tokoh-tokoh adat dan para ketua suku dan berlaku saat berlangsungnya upacara adat.
Contoh En Bunaq artinya orang bunaq. Bunaq giol berarti bahasa Bunaq. Kata “Marae” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku bangsa Tetum, untuk menyebut suku bangsa Bunaq dan Bahasa Bunaq. Contoh Ema Marae berarti orang Marae juga berarti orang Bunaq. Lia Marae berarti Bahasa Marae juga berarti bahasa Bunaq.
Kata “Tetum” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku Bunaq, untuk menyebut suku bangsa Tetum dan bahasa Tetum. Contoh Ema Tetum berarti orang Tetum, Lia Tetum berarti bahasa Tetum. Kata “Momut” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku Bunaq, untuk menyebut suku bangsa Tetum dan Bahasa Tetum. Contoh En Momut berarti orang Momut, orang Tetum. Momut giol berarti bahasa Momut, bahasa Tetum.
Orang Bunaq tidak memakai kata “Marae” untuk menyebut suku bangsa dan bahasa Bunaq. Orang Tetum tidak memakai kata “Momut” untuk menyebut suku bangsa dan bahasa Tetum.
3. Arti dan Asal Mula Nama Suku Bunaq.
Nama Bunaq sebagai nama asli dari suku bangsa ini baru saja diperkenalkan dan dilasimkan oleh bekas Raja Lamaknen A.A.Bere Tallo, sejak tahun 1950-an. Nama populernya ialah Marae. Bahasa Bunaq dipakai oleh Suku Bangsa Bunaq, yang mendiami bekas swapraja Lamaknen di wilayah Timor Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Juga banyak orang Bunaq yang mendiami wilayah-wilayah yang berbahasa Tetum seperti Kedesaan Aitoun, Litamali, Kamanasa, Suai, Kletek, Sukabinawa dan Babulu. Di samping itu suku bangsa Bunaq mendiami wilayah yang luas pula di Timor-Timur yakni Wilayah Daerah Tingkat II Bobonaro (bekas keliuraian Lolotoi, Lakus, Bobonaru, Aiasa, Memu, Maliana dan Hoololo). Di samping itu terdapat pula di Kecamatan Fatululi dalam wilayah Kabupaten Kobalima. Baik orang-orang Bunaq di Timor-Timur maupun Belu mempunyai leluhur yang sama dan hubungan darah langsung yaitu semuanya berasal dari Timor-Timur. Menurut Dr.Ormeling bahwa suku Marae adalah satu suku bangsa yang mendiami pegunungan Lamaknen dan sekitar jajaran bukit Lakus dan Nabilwa. Ia mempunyai banyak perbedaannya dengan suku Bangsa Belu yang berbatasan dengannya, dalam hal bahasa dan kebudayaannya. Mereka ini juga merupakan salah satu dari suku-suku bangsa yang tua yang lebih dahulu mendiami Pulau Timor. Menurut pendapat Nona Keers tahun 1948 mereka tidak termasuk di dalam kelompok bangsa-bangsa Melayu, karena tempurung tengkorak kepalanya yang lebih besar. Gopell tahun 1944 menyatakan bahwa bahasa Bunaq memperlihatkan segala ciri-ciri dari bahasa Irian. Demikian Dr.Ormeling (hal 71). Tetapi bila kita mengikuti tulisan dari Raja Lamaknen (A.A.Bere Tallo) di dalam bukunya “ Pandangan Umum Wilayah Belu Tahun 1957 hal. 4-5 di mana dikatakan bahwa Lamaknen terdiri dari 6 suku yaitu: Luta Rato Jopata; Lakulo Samoro; Sibiri Kailau, Roikun Robulan Oburo Maboro, Ton Ba Ton Way. Mereka bersama-sama mendiami Lamaknen setelah didesak penghuni asli yang disebut orang Melus atau Kenurawan.
Mengenai asal-usul dan masa kedatangan enam suku ini bermacam-macam. (1) Latu Rato Jopata dan (2) Roikun Robulan berasal dari Siawa Mugiwa (Hindia Muka?), Sina Mutin Malaka, Galelu Gowa, Lubu rato Salower (Selayar?) dan bergerak terus menuju pantai selatan lalu mendarat di Kamanasa Kolobila. Dari sana mereka berpindah menuju Luta Rato Jopata, akhirnya di Kewar. Sedangkan Roikun Robulan terus ke Amanuban dan kembali melalui Hatu Koba (Fatu Koba) Rai Tula, Weto Maubesi, terus melalui Mandeu-Sarabau menetap di Fulur. (3) Lakulo Samoro dan (4) Sibiri Kailau serta (5) Oburo Marobo berasal dari Kanua Maliana, Kukun Hitu Lamak Hitu, Lemel Netel Bolnetel lalu ke Lamaknen. (6) Ton Ba Ton Way berasal dari Sia Wa Mugi Wa Sia Wa Batola, Sina-Mutin-Malaka, Galelu Gowa, Laburato Salower dan berlayar terus menuju ke pantai selatan, di Kamanasa Kolobila lalu kemudian ke Lamaknen.
Dengan akal dan muslihatnya, Luta Rato Jopata berhasil diakui sebagai pemimpin di Lamaknen setelah melalui politik liciknya dan akal yang tinggi. Di atas puncak gunung Lakus Manulor dengan sebutan adat Turultuk Siolwa, di kecamatan Lolotoi bekas swapraja Lakus Kabupaten Bobonaro. Di tempat itulah dia mengumpulkan semua pengikutnya untuk mengadakan sumpah sebelum mereka mencari tempat tinggal masing-masing. Untuk bersumpah tiap suku mengambil 3 batu, yang kemudian dipakai sebagai batu tungku api, dan masing-masing duduk di atas batu mereka sendiri. Mereka semua menyayat bagian tubuh mereka, darah yang keluar diambil dan diminum bersama tuak (minuman setempat). Mereka bersepakat untuk tidak boleh berkelahi atau berperang satu sama lain. Setelah bersumpah mereka pergi mencari tempat tinggal mereka masing-masing. Bere Mau akhirnya tinggal di Kewar, Ho Mau di Honaru (Bobonaru), Ai Mau di Ai Asa, Oe Mau di Oe Leu, Sabu Mau dan Tei Mau di Sabu Lei (bagian dari Timor-Timur). Dua yang terakhir kemudian berpindah ke Belu Selatan lalu terus menuju Sabu. Sampai sekarang, sumpah tersebut di atas masih ditaati oleh Belu dan Sabu. Nama orang Sabu dan Belu (Lamaknen) banyak kesamaan. Beberapa contoh bisa kita kemukakan berikut:
Sabu: Lamaknen:
Doko Loko
Bire Bere
Talo Talo
Wila Mela
Kedua suku ini masih sangat mentaati sumpah tersebut di atas. Mereka tidak boleh berkelahi, berperang bahkan tidak boleh memarahi atau berbicara kasar. Pelanggaran terhadap sumpah tersebut akan mengakibatkan muntah darah, berak darah, dan malapetaka yang lain. Setelah tiba di pantai, mereka tidak mempunyai rumah, sehingga mereka membalik perahu mereka untuk menjadi tempat berteduh/tinggal. Hal ini bisa kita perhatikan kalau melihat rumah yang belum beratap. Contoh, rumah adat asli di Kewar. Bentuknya sangat mirip dengan perahu terbalik. Oleh kedatangan mereka, penduduk yang lama yaitu orang Melus terdesak ke bagian Barat.
Perlu diketahui bahwa pada tahun 1957-1959, seorang sarjana berkebangsaan Perancis, Louis Berthe, atas biaya “Pusat Dokumentasi dan Penelitian Tentang Asia Tenggara dan Dunia Indonesia” mengadakan penelitian di Bunaq dalam rangka menyusun suatu monografi penduduknya. Pada bulan Mei-Nopember 1966, sarjana tersebut kembali lagi ke Bunaq bersama isterinya, Claudina Berthe Friedberg. Setibanya di Perancis dia meninggal, namun pada bulan Mei 1969-1970 isterinya kembali ke Bunaq untuk melanjutkan usaha suaminya serta tugas khususnya sendiri di bidang etnobotani.
4. Jumlah Penduduk dan Penyebarannya
4.1. Populasi
Jumlah banyaknya suku bangsa Bunaq adalah sebagai berikut. Lamaknen: 12.706 jiwa. Makir: 1.653 jiwa, Lamaksenulu: 856 jiwa, Aitoun: 1.550 jiwa. Perhitungan ini berdasarkan sensus 1987.
Di samping itu, dalam propinsi Timor-Timur, kini Timor Leste masih terdapat pula suku bangsa Bunaq, sebagian di Kabupaten Bobonaro, sebagian di Kabupaten Kobalima, sebagian di Kabupaten Same, dan sebagian di Kabupaten Ainaro. Data mengenai jumlah populasinya belum diketahui.
4.2. Penyebaran
Keadaan tanah yang kurang subur, berlereng-lereng, kepadatan penduduk, jaminan keamanan, adalah faktor-faktor yang dominan, yang menyebabkan penyebaran suku Bunaq ke lain-lain wilayah. Penyebaran ini dimulai pada awal abat ke XX, semasa pergolakan politik di Timor- Timur. Khususnya ke wilayah Belu dan sesudah pergolakan di Timor-Timur, dan pengintegrasian Timor-Timur, juga ada penyebaran ke wilayah-wilayah di Timor-Timur.
Penyebaran dalam Kabupaten Belu, dapat dicatat sebagai berikut. Sebagian kecamatan Tasifeto Barat yaitu Desa Naitimu, Lidak, Jenilu. Sebagian Kecamatan Tasifeto Timur yakni desa Dafala, Manuleten, Umaklaran dan Takirin. Sebagian Kecamatan Malaka Timur, desa Mandeu, Babulu, Sanleo, Alas, Litamali, Lakekun. Sebagian Kecamatan Malaka Tengah, desa Kamanasa, Bolan, Kletek. Sebagian Kecamatan Malaka Barat, desa Umatoos, Weoe.
Penyebaran ke wilayah propinsi Timor-Timur, belum ada data yang lengkap. Dalam penulisan ini, hanya disinggung data dan informasi khusus mengenai suku Bangsa Bunaq di Lamaknen, di samping beberapa catatan tentang suku Bangsa Bunaq.
5. Pola Pemukiman
Pada umumnya dusun-dusun didirikan di atas puncak bukit demi kepentingan pertahanan. Dusun-dusun itu dikelilingi dengan pagar hidup yang kuat, umpamanya bambu dan duri atau batu. Sebagai contoh keadaan dusun Kewar, sebagai pusat kebudayaan Lamaknen. Rumah-rumah suku (“deu hoto”) didirikan melingkari dan menghadap “mot” yaitu lapangan berbentuk bulat dikelilingi dengan pagar batu. Di pinggir “mot” terdapat tempat persembahan (mezbah) disebut “bosok”. Di Kewar terdapat dua “mot” yaitu “mot pana” dan “mot mone”. Fungsi “mot pana” adalah sebagai berikut: Tempat duduk para tamu dari lain kerajaan pada salah satu upacara yang dilakukan di “mot”. Tempat melangsungkan upacara ”a tate” dalam rangka upacara “tubi lai” menjelang musim hujan. Tempat meletakkan jenazah selama pelangsungan upacara kematian bagi seorang yang gugur dalam medan pertempuran ataupun lain-lain kecelakaan. Tempat penguburan orang yang gugur dalam medan pertempuran dan lain-lain kecelakaan.
Fungsi “mot mone” adalah sebagai berikut: Sebagai tempat sidang pengadilan tertinggi. Tempat mengadakan keramaian umum (“teberai”) pada pelangsungan berbagai upacara, dan “tei” pada upacara rumah suku baru. Tempat upacara pembukaan “lal guju” (upacara kenduri) atau “lal belis” (upacara kegembiraan).
Berhadapan dengan “mot pana” dan “mot mone” terdapat “mot gol” yang berfungsi sebagai berikut. Tempat penyelenggaraan segala macam persoalan pertikaian, tingkat tinggi. Tempat penyaringan para tamu dari dalam dan dari luar Lamaknen.
Berhadapan dengan kampung di bagian depannya ada suatu lapangan dengan pohon-pohon beringin besar. Tempat ini berfungsi sebagai berikut. Tempat melaksanakan hukuman mati, atas keputusan sidang pengadilan tertinggi. Tempat menunggu pada sidang pengadilan tinggi dan tertinggi. Tempat melaksanakan keramaian umum. Tempat mendirikan tenda-tenda bagi tamu dari luar Kerajaan.
Rumah adat atau rumah suku disebut “deu hoto” berbentuk segi empat dengan atap alang-alang, rendah sampai di tanah dan didirikan di atas tiang-tiang. Kolong rumah dijadikan tempat tinggal hewan piaraan, tempat simpan kayu api dan tempat air dari bambu betung disebut “mapo”. Di atas kolong rumah, rumah adat terbagi atas 3 bagian yaitu “lakoq lor”, “deu mil”, “lakoq hoto”.
“Deu mil” terbagi pula atas dua ruangan tanpa dinding, hanya dibatasi dengan papan disebut “otan” dan dinamai “deu mil lor” dan “deu mil hoto”.
“Lakoq lor” berfungsi sebagai berikut. Tempat duduk dan tempat menerima tamu. Tempat tidur anggota suku pria yang belum berkeluarga.
“Deu mil lor” berfungsi sebagai berikut. Tempat tidur para gadis yang belum berkeluarga. Tempat melaksanakan upacara religius. Tempat meletakkan mayat, selama belum dikuburkan.
“Deu mil hoto” berfungsi sebagai berikut. Tempat memasak makanan (dapur). Tempat tidur para gadis, juga yang sudah berkeluarga, tempat menyimpan bahan makanan. “Lakoq hoto”, berfungsi sebagai tempat tinggal tuan rumah.
“Deu mil” dikelilingi dinding papan. Papan pada dinding yang berhadapan dengan “lakoq lor” dan “lakoq hoto”, biasanya diukir dengan bermacam-macam ukiran, berbagai jenis. Ukiran itu hanya terdiri dari satu garis dan tidak boleh terputus. Hal ini melambangkan kelestarian dan keabadian. Di atas ukiran terdapat buah dada perempuan sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran.
Di atas “lakoq lor” dan “lakoq hoto”, ada pula loteng yang disebut “toren” tempat menyimpan bahan makanan dan barang-barang lain.
Di atas “deu mil” tidak ada loteng. Di atasnya hanya diletakkan bambu atau kayu lurus untuk tempat gantung jagung yang masih berkulit, sebagai persediaan. Rumah adat memiliki dua tiang agung disebut “nulal”, satu disebut “nulal lor” dan yang lain disebut “nulal hoto”.
Di bawa dan di atas “nulal lor” tersimpan senjata dan lain benda yang dianggap keramat, peninggalan leluhur. Di bawah “nulal lor” terdapat pula mezbah untuk tempat persembahan pada segala macam upacara. Di samping dua tiang agung, rumah adat mempunyai 4 tiang sudut yang disebut “lirus”.
Bubungan rumah dibungkus dengan ijuk dan untuk menandai kedudukan suku, bubungan itu dihiasi dengan menyisipkan sembilu dari bambu, dimiringkan ke kiri dan ke kanan. Di ujung kiri kanan dan di tengah bubungan, dibentuk tanduk kerbau dari kayu dan ijuk, sebagai lambang kekuatan. Bubungan itu disebut “deu maten kes”.
Dewasa ini, rumah adat sudah hampir tidak ada lagi terkecuali rumah adat di Kewar dan di beberapa tempat di Lamaknen. Orang sudah mulai membangun rumah yang lebih memenuhi persyaratan hygienis, beratap seng, berdinding bebak, dengan pintu berjendela yang baik, malah ada pula yang sudah memiliki rumah dengan dinding setengah tembok atau tembok seluruhnya.
6. Bahasa dan Dialek
Seperti telah dijelaskan pada nomor satu, suku Bunaq mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Bunaq atau “Bunaq Giol”.
Dialek tidak ada, terkecuali beberapa perbedaan kata dan lagu pembicaraan, namun dapat pula dimengerti. Dari lagu pembicaraan mudah diketahui tempat asal yang berbicara.
Kata kerja dalam bahasa Bunaq berubah menurut dua jenis kata benda, katakanlah kata benda jantan dan kata benda betina. Susunan kalimat sebagai berikut: Pokok kalimat+Penderita+Kata kerja. Contoh: Neto hoja a artinya saya kelapa makan. Sebetulnya saya makan kelapa. Neto dila gia berarti saya pepaya makan. Arti sebenarnya adalah saya makan pepaya. Erenoq neto mar gene dik-hotel gia. Artinya kemarin saya kebun di ubi kayu makan , yang dimaksud adalah kemarin saya makan ubi kayu di kebun. Neto Atambua mal bu, eto man deu hotol naq. Artinya Saya Atambua pergi kalau, kau datang rumah jaga dulu. Arti sesungguhnya adalah kalau saya pergi Atambua, engkau datang jaga rumah dulu.
Kata-kata dengan akhiran suku kata hidup, diucapkan sebagai kata ta’ dalam bahasa Indonesia, agar tidak merancukan pengertian atau salah paham. Contoh: Niq taq yang berarti belum, jangan diucapkan ni ta yang berarti menembak saya. Bunaq tidak boleh diucapkan “Buna”.
7. Mata Pencaharian Utama dan Sampingan
Mata pencaharian yang utama dari suku Bunaq adalah bercocok tanam, di ladang yang berada di lereng-lereng bukit, di dalam tanah “naen” milik suku, yang terdapat dalam tanah perkebunan umum di sebut “matas momen”. Cara kerjanya sebagai berikut. Tebas rumput belukar dan rerumputan, sekitar bulan Juni dan Juli “Mar Se” yang berarti menebas rumput dan belukar. “Hotel pake” atau “hotel getetaq” yang berarti menebang kayu memotong ranting-ranting kayu sekitar bulan Juli. “ Mar ini” yang berarti membakar sekitar bulan Agustus. “Hoto koin” yang berarti membakar kayu sisa yang tidak terbakar, sekitar September. “Deu mar gie hoon” yang berarti membuat rumah kebun (gubuk), sekitar bulan Oktober. “Muk ere” yang berarti menanam, sekitar Nopember. “U tul” yang berarti membersihkan rumput tahap pertama, sekitar Desember dan Januari. “U tul” tahap kedua yang berarti membersihkan rumput tahap kedua , sekitar Pebruari. “Paol gureq” dan “ipi wit” yang berarti memanen, sekitar Maret dan April.
Cara kerja ini, hanya dengan alat sebatang besi gali selebar 3-4 cm, parang dan kapak, sangat berat dan hasilnya tidak seimbang dengan jeri payahnya. Ladang hanya dimanfaatkan dua tahun, tahun pertama ditanami padi, tahun kedua jagung dan kacang-kacangan, lalu dibiarkan selama 3-4 tahun, baru dibuka lagi, untuk diusahakan lagi selama dua tahun, dan seterusnya.
Di dataran, terlebih di Makir dan Lamaksenulu dan di Delta Sungai, diusahakan pula sawah, melalui perencahan dengan sapi, lalu padi dihambur, dan dibiarkan sampai berbuah dan dipetik hasilnya. Tentu saja, tidak seberapa hasilnya.
Dewasa ini, pemuda dan pemudi yang sudah kunjungi sekolah, apalagi yang sudah sampai ke tingkat SLTP dan SLTA, tidak tertarik sama sekali, kepada pekerjaan berat ini. Mereka lebih suka merantau tinggal di kota, menjadi pelayan toko atau kondektur mobil dan lain-lain, tanahnya dibiarkan ditumbuhi alang-alang.
Hal ini menimbulkan lagi problem baru, ialah inflasi gadis dusun-dusun, tidak ada cukup pemuda untuk menikahinya dan dibiarkan menjadi “perawan tua” atau jika tidak lekas ditangani pemerintah dan Gereja, ia mencari jalan keluar dengan melaksanakan peraktek prostitusi atau pelacuran umum.
Salah satu jalan keluar, mungkin dengan menggiatkan penanaman tanaman umur panjang, terutama kopi dan /atau kemiri, yang dapat menarik lagi para pemuda untuk datang ke daerah asal, untuk mengusahakan tanahnya.
Usaha sampingan, kelihatan beralih ke arah berdagang kecil-kecilan, dengan adanya pemunculan kios-kios mini di berbagai dusun.
8. Teknologi setempat yang dikembangkan
Di dataran, juga di lereng-lereng yang tidak berbatu, pemakaian pacul pengganti besi gali warisan leluhurnya, sudah mulai menjadi populer.
Alat produksi pertanian, alat rumah tangga dan lain-lain alat, dengan mudah didatangkan dari lain pulau, sehingga teknologi setempat tidak lagi dikembangkan.
9. Sistem kepemimpinan atau Pemerintahan dan stratifikasi sosial
9.1. Sistem Kepemimpinan atau Pemerintahan.
9.1.1. Masa asli, sebelum tibanya pemerintah Belanda.
Seperti telah dijelaskan di atas, yang dimaksudkan dengan suku bangsa Bunaq di Lamaknen, ialah penduduk Kecamatan Lamaknen, minus Desa Makir dan Lamaksenulu. Makir dan Lamaksenulu adalah kesatuan “autochthoon” yang berdiri sendiri dan tidak merupakan sebagian dari Kerajaan Lamaknen.
Figur tertinggi dalam Kerajaan Lamaknen, di sebut “Loro”’ yang diangkat dari seorang anggota suku Leogatal di Kewar dan berkedudukan di Kewar.
Loro Lamaknen memimpin 4 kepala wilayah, yang disebut “Bein Goniil” yaitu 4 yang agung, di samping 9 kepala wilayah yang disebut “Hol Gomo” yaitu penguasa batu dan seorang kepala pengairan, yang disebut “kanu hasan gomo” yaitu penguasa saluran air. Yang dimaksud dengan “Bein Goniil” adalah sebagai berikut. Kewar ( Kini: desa Kewar), Lakmaras ( Kini Desa Lakmaras), Henes (Kini Desa Henes) dan Nualain (kini Desa Nualain).Yang disebut 9 “Hol Gomo” adalah Fulur ( Kini desa Fulur), Leowalu (Kini desa Leowalu), Duarato (Kini Desa Duarato), Ekin ( Kini Desa Ekin), Abis ( Kini Dusun dari Lakmaras) , Loona ( Kini Desa Loonuna), Sasaq (Kini dusun dari desa Juldapil Kecamatan Lolotoi-Timor Leste), Mahui (Kini Dusun dari desa Makir), dan Dirun (Kini Desa Dirun). “Kanu Hasan Gomo” ialah Laimea, kini menjadi Dusun dari desa Dirun, Weluli.
Seperti fungsi adat yang lain, fungsi pemerintahan pun adalah milik suku tertentu dan bersifat turun temurun milik suku, bukan milik pribadi salah satu anggota suku. Demikian: Jabatan Loro-suku Leogatal/Ohoro Babulu, Kewar-Suku Tesgatal, Lakmaras-Suku Datogubul, Henes-suku Hollapit, Nualain-Suku Monesogo.
Hol gomo: Fulur–Suku Hakpor, Leowalu-Suku Mautepa, Duarato-Suku Purbelis, Ekin-Suku Monegoinciet, Abis-suku Purbelis, Loona-suku Maugonion, Sasaq-suku Motugatal, Mahui-suku Barutpor, Dirun-suku Monesogo, Laimea-Suku Monesogo dan Bonpor.
Loro memiliki staf pembantu, ialah rumah–rumah suku sekeliling “mot”, diketuai oleh suku Tesgatal, merangkap kepala wilayah Kewar.
Pengawasan tanah perkebunan dan isinya “matas momen”, dilakukan para “makleat” dari suku tertentu, yang juga bersifat turun temurun.
Upacara adat yang bersangkutan dengan bahan makanan, dilakukan “por gomo”. Pelaksanaan berbagai upacara yang lain , diserahkan pada “lal gomo” yaitu pandai adat, yang hanya dimiliki salah satu suku tertentu.
Delik adat ringan berat diselesaikan menurut prosedur tertentu. Tingkat orang tua, tingkat dato/tamukung, tingkat kepala wilayah, tingkat pengadilan tinggi di Kewar (Mot Gol), tingkat pengadilan tertinggi di Kewar (Mot Mone). Loro memiliki hak untuk membatalkan keputusan pengadilan tertinggi.
Jaminan keamanan ditanggungkan kepada semua suku, olehnya suku memiliki ajimat perang, yang disebut “kaluk”.
Organisasi pemerintahan dilakukan dengan mengilhami pembangunan rumah suku, memiliki 2 “nulal” (Bein pana, bein Mone) 4 lirus yaitu 4 Bein Kepala Wilayah, dan tiang penopang lain yaitu para hol gomo, rakyat yaitu kasau dan atap. Bein pana sebagai Bein Perempuan yaitu orang pertama, bein Mone sebagai Bein pria yaitu orang kedua.
Lamaknen berhasil memperluas wilayah dengan menaklukkan kerajaan Hatutui Holwa (dibawa-sebelah Utara dusun Kewar) dan Kerajaan Maudemu, yaitu desa Dirun, sebagian desa Nualain, Loonuna, Ekin, Lakmaras, sekarang dibawa pemerintahan Loro Laku Maliq (Loro ke IV). Untuk itu dibangun markas Ranu wa di Dirun.
9.1.2. Masa sesudah Tibanya Pemerintahan Belanda
Tahun 1862. Pemerintahan Belanda diwakili Gezaghebber Rogge, tiba di Atapupu. Lamaknen diakui sebagai satu kerajaan berdiri sendiri, di bawa Loro Bere Taeq (Loro IV), dari suku Leogatal/Ohoro Babulo.
Tahun 1909. Persetujuan batas wilayah Timor Belanda dan Timor Portugis antara Pemerintahan Belanda dan Pemerintahan Portugal, seperti yang ada sekarang. Timor Portugis disebut “Ewi Belis” yang berarti pendatang putih, Timor Belanda disebut “Ewi Guju” yang berarti pendatang hitam.
Tahun 1911. Pertempuram di Lakmaras antara Lamaknen melawan Pemerintah Belanda dan tentara Timor Portugis. Peristiwa ini disebut “Lolo Gonion Tal” yang berarti pertempuran tiga bukit. Pihak Lamaknen banyak yang gugur. Akibat peristiwa ini, maka seluruh Desa Dirun, sebagian Desa Nualian, sebagian Desa Loonuna, sebagian Desa Ekin, Sebagian Desa Lakmaras , dijadikan wilayah Timor Portugis. Pemerintah Belanda tempatkan pos tentaranya di Beredao, sedang Pemerintah Timor Portugis tempatkan Pos Tentaranya di Debululik. Beredao terletak di pinggir kali Beredao, wilayah Desa Nualain. Loro Bere Tae tidak mau juga menghadap pemerintah Belanda di Beredao akan tetapi hanya dikirim saja wakilnya, Siri Loko, Kepala Wilayah Kewar dari suku Tesgatal. Oleh Karena Siri Loko dibentak dan dimarahi Pembesar Belanda, ia serahkan jabatannya kepada Bau Liku (Wafat tahun 1947), akan tetapi Pembesar Belanda tunjuk Bere Bauq-suku Datogubul, kepala wilayah Lakmaras, sebagai wakil Loro Lamaknen.
Tahun 1916. Dengan surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 10 Mei 1916 No.22 (Staatsblad=Lembaran Negara No.372) Kerajaaan Lamaknen dihapuskan dan dijadikan distrik dari Kerajaan Belu-Tasifeto, dibawa Raja Don Josep da Costa, Raja Jenilu.Tahun 1916. Terhitung mulai tanggal 1-11-1916 persetujuan batas antara Belanda dan Portugis dinyatakan berlaku. Akibatnya, wilayah yang diambil dan dijadikan wilayah Timor Portugis, dikembalikan lagi kepada Lamaknen.
Tahun 1924. Kerajaan Belu-Tasifeto dihapuskan dan dibentuk Kerajaan Belu, dibawa seorang Raja bergelar Maromak Oan, Bria Nahak, yang meninggal dunia sebelum dilantik, lalu diganti oleh Seran Nahak. Distrik Lamaknen dihapuskan, sedang onderdistrik yang ada, dijadikan distrik dari Kerajaan Belu, yang memimpin dan memerintahkan 39 distrik. Di Lamaknen hanya ada 8 distrik gaya baru yaitu Kewar, Ekin, Fulur, Nualain, Lakmaras, Leowalu, Dirun, dan Loonuna. Mahui dijadikan kampung dari Distrik Makir, weluli dijadikan kampung dari distrik Dirun.
Tahun 1926. Kepala distrik Bauho (Loro Bauho) Atok Samara, memprotes pengangkatan Seran Nahak dan tidak menyetujui sistem gaya baru, dengan tidak menghadiri, upacara pelantikan Seran Nahak, sebagai Maromak Oan. Kepala distrik Kewar Bau Liku, juga mengambil sikap yang sama, dengan tidak mengizinkan rakyatnya mengusung Maromak Oan Seran Nahak sewaktu tiba di Perbatasan Makir dan Kewar, dalam kunjungannya ke Lamaknen.
Tahun 1928. Raja Insana, Kahalasi Taolin, mengambil sikap yang sama, dengan tidak mau mencium kaki Maromak Oan Seran Nahak, seperti para Raja yang lain, sewaktu bersama-sama ke Kupang untuk sesuatu urusan.
Tahun 1929. Maromak Oan Seran Nahak, ajukan surat permohonan berhenti tanggal 8/1/1929. Surat permohonan berhenti ini disusul lagi dengan surat tanggal 12/9/1929.
Tahun 1930. Dengan surat keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 8/4/1930 No.39 Maromak Oan Seran Nahak diperhentikan dengan hormat. Pemerintahan dijalankan sendiri oleh Liurai Seran Asit Fatin, yang juga meninggal dunia, tidak lama sesudah pengangkatannya. Dibentuk panitia pemerintahan Kerajaan Belu dengan 3 anggota yaitu Loro Waiwiku yaitu Bere Nahak, Loro Lakekun yaitu Benediktus Leki, Loro Bauho yaitu Atok Samara. Belu Utara termasuk Lamaknen, berada di bawa kekuasaan Loro Bauho Atok Samara.
Tahun 1942. Kedatangan Pemerintah Jepang. Loro Bauho Atok Samara meninggal Dunia, diganti sementara oleh Nikolas Manek, kemudian oleh H.B.S. da Costa.
Tahun 1945. 5 /8/ 1945, A.A.Bere Tallo dilantik menjadi Loro Lamaknen, Lamaknen diakui sebagai Kerajaan berdiri sendiri terlepas dari Bauho.
Tahun 1949. Dengan surat keputusan Residen Timor Archipel tanggal 31/3/1949 No.121, diperbaharui anggota panitia pemerintah Belu sebagai berikut: Loro Lakekun yaitu Benediktus Leki, menguasai Kerajaan Malaka. Loro Bauho yaitu H.B.S.da Costa, menguasai kerajaan Tasifeto. Loro Lamaknen yaitu A.A.Bere Tallo, menguasai Kerajaan Lamaknen.
Tahun 1958. Pembentukan Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dengan Undang-Undang No.64/1958. Pembentukan daerah sementara Tingkat II Belu (Kabupaten Belu) dengan undang-undang No.69/1958, dengan A.A.Bere Tallo sebagai Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Belu. G.A.Asy dijadikan wakil Loro Lamaknen.
Tahun 1962. Dengan surat keputusan Gubernur/Kepala Daerah Nusa Tenggara Timur tanggal 28/1/1962 No.Pem.66/1/2, dihapuskan Kerajaan Malaka, Tasifeto dan Lamaknen, dan dibentuk 5 Kecamatan. Malaka Barat ibukota Besikama dengan camatnya E.Teiseran. Malaka Timur ibukota Betun dengan camatnya Emanuel Laka. Tasifeto Barat ibu kota Atambua dengan camatnya adalah Blasius J.Manek. Tasifeto Timur ibu kota Nobelu dengan camatnya adalah A.R.Parera. Lamaknen ibu kota weluli dengan camatnya G.J.Asy.
Tahun 1966. Dengan surat keputusan Bupati kepala Daerah tingkat II Belu tanggal 31 Maret 1966 No.Pem.6/1966, seluruh kenaian di Belu ditiadakan dan dibentuk Desa-Desa di seluruh Belu. Lamaknen terdiri dari 12 Desa, ialah:
1. Kewar dengan kepala desanya Matheus Bere
2. Lakmaras dengan kepala desanya Johanes Mau
3. Fulur dengan kepala desanya Lambert Ati
4. Duarato dengan kepala desanya Nikolas Nahak
5. Loonuna dengan kepala desanya Gabriel Oes
6. Makir dengan kepala desanya (lowong)
7. Nualain dengan kepala desanya M.Asa Tuan
8. Henes dengan kepala desanya Pius Dasi
9. Leowalu dengan kepala desanya Arnol Boko
10. Ekin dengan kepala desanya P.Bere Bakurai
11. Dirun dengan kepala desanya Gaspar Lesu
12. Lamaksenulu dengan kepala desanya Bene Bere Mau
9.2. Stratifikasi Sosial
Menurut mitos, yang diceriterakan oleh para “Lalgomo”, suku bangsa Bunaq yang ada di Lamaknen, Makir, Lamaksenulu, Aitoun, berasal dari 10 kelompok leluhur yang datang dari seberang lautan, 20 generasi yang lalu dan yang disebut:
1. Lutarato Jopata = Luta
2. Lakuloq Samoro = Lakuloq
3. Oburo Marobo = Oburo
4. Sibiri Kailau = Sibiri
5. Lakan Roman
6. Ro Ikun Ro Wulan = Ro Ikun
7. Siataq Mauhaleq = Siataq
8. Tonbaq Tonwai = Ton
9. Gotoqpor Gawalpor = Gotok
10. Dilubaraq Hakbaraq = Dilu
Setiap kelompok terdiri hanya dari beberapa orang, tidak sampai duapuluh orang. Setiba di Loborgoloq Cialeru (Timor Timur) sewaktu akan berpisah, atas prakarsa dua berkakak adik Bele Mau dan Sabu Mau dari kelompok Oburu, anjurkan agar diadakan sumpah, sebelum berpisah. Diambil bambu suling, diiris, dipotong lidah dan belakang lutut tiap-tiap orang, darahnya dicampur dengan bambu suling, dicampur lagi dengan tuak, diminum bersama, lalu berpisah. Setiap anak yang lahir, dipotong tali pusatnya dengan bambu suling, sebagai tanda keterlibatan pada sumpah leluhur itu, yang berlaku turun temurun.
Demikianlah terjadi hubungan “Hulo Lep” atau hubungan persahabatan yang abadi. Kemudian terjadilah kawin-kawin, terbentuklah suku dan hubungan perkawinan yang juga bersifat abadi yang disebut hubungan “Malu Ai”. Sesudah manusia berbiak, maka perlu diatur, maka terjadilah hubungan “dasaq rak” yang berarti hubungan pemerintahan, yang juga bersifat abadi.
Demikianlah masyarakat suku bangsa Bunaq, terdiri dari suku atau klan atau “deu” dalam bahasa Bunaq. Deu ini bersifat exogam, unilateral, tradisional.
Dalam hubungan “hulo lep” semua “deu” (dengan anggotanya) berkedudukan sama dan sederajat.
Dalam hubunga “malu ai”, “deu malu” (deu pemberi perempuan) berkedudukan lebih tinggi daripada “deu aibaa” (deu penerima perempuan).
Dalam hubungan “dasaq rak” , deu yang ditetapkan menjabat susuatu fungsi adat (Loro, Nai, Holgomo, Rato, Tamukun, Makleat) terpandang dalam masyarakat, terlebih dalam upacara-upacara adat.
Akan tetapi posisi dalam hubungan “dasaq rak”, tidak mempengaruhi posisi dalam hubungan “malu ai”.
Contoh; “Deu” Loegatal adalah memiliki fungsi sebagai Loro (dalam hubungan “dasaq rak”.) “Deu Leogebu, memiliki fungsi adat yang lebih rendah dari “deu” Loegatal. Dalam hubungan “malu ai” anggota “deu” Loegatal, sekalipun berkedudukan Loro, harus tunduk kepada “deu” Leogebu dan anggotanya. Yang memiliki posisi, berupa fungsi adat, adalah “deu” atau “suku”, bukan pribadi-pribadi anggota suku. Demikian, seorang anggota suku “malu” dialihkan dan tanggalkan keanggotaan suku “malu” dan terima keanggotaan suku “aibaa”, ia harus konsekuen, memegang posisi yang dimiliki “deu” yang kini, ia menjadi anggotanya.
Dahulu kala ada hamba sahaya, yang disebut “jala losan” atau “losan” atau “mila” yang berarti hamba. Hamba sahaya diperoleh melalui:
1. Ditawan dalam medan perang atau diculik
2. Ditebus karena tidak dapat bayar denda, sesuai putusan pengadilan.
3. Dibeli
Tawanan perang dan hasil culikan, langsung diupacarakan dan dijadikan anggota suku. Hal ini untuk menghargai kesaktian “kaluk”. Hamba yang ditebus atau dibeli, masih dilihat perilakunya, kemudian juga dijadikan anggota suku.
Kesimpulannya, tidak ada oknum, yang menjadi anggota sesuatu “deu”. Ketiga hubungan tersebut di atas, merupakan mata rantai seperti jala, yang saling berhubungan, mempersatukan suku bangsa Bunaq, keluar suku dan ke dalam suku.
Akibat pendidikan sekolah dan ekonomi, maka dewasa ini, telah timbul sesuatu lapisan baru, terdiri dari pegawai, pedagang, rohaniwan, dan para jebolan sekolah Tinggi, tergolong dalam lapisan Sosial yang baru itu.
Dengan demikian prinsip-prinsip stratifikasi sosial yang bersifat nasional, mulai mempengaruhi stratifikasi sosial di daerah, termasuk juga Lamaknen.
10. Sistem Kekerabatan, kelompok kekerabatan, prinsip kekerabatan.
10.1. Sistem dan Prinsip Kekerabatan
Perkawinan “sul dara” yaitu bentuk perkawinan patrilineal. Dianggap sangat ideal, jikalau seorang pemuda menikahi gadis, yang berasal dari suku “malu” yaitu suku pemberi perempuan. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan, menikahi gadis dari suku lain yang bukan “malu”. Suku lain itu, disebut “leolegul”.
Dengan menikahi gadis suku “Leolegul”, dengan bentuk perkawinan “sul dara”, maka terjadilah pula hubungan “malu-ai” antara suku pemuda dan suku isterinya itu, yang tidak lagi berstatus “leolegul” tetapi “ malu” dari suku suaminya. Uang mahar pada perkawinan “sul dara” pada dasarnya sama, sesuai dengan prinsip bahwa dalam hubungan “malu ai” semua suku pada dasarnya sederajat sama, terkecuali suku “malu” yang dianggap lebih tinggi posisinya dari suku “aibaa”. Dengan demikian, derajat suku menurut hubungan “dasaq rak” yaitu hubungan pemerintahan, tidak berpengaruh atas jumlah uang mahar yang harus dibayar. Uang mahar itu pun, pada dasarnya sama, sekalipun di sana sini, terdapat perbedaan jenis, penyebutan, jumlah dan urut-urutan uang mahar, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sigal saen. Tanggung pihal suami/“aibaa”: 1 emas dan 1 perak. Isteri/”malu”: steri/”malu”: 1-2 Selimut Timor
1. Bora pil Jewen. Suami : 1 perak. Isteri :1 selimut.
2. Taq O Turiq. Suami: 1 emas, 1 perak. Isteri: ---
3. Bei gotin. Suami: 7 perak. Isteri: ---
4. Napo tesi, watan lotuq. Suami: 1 emas, 1 perak. Isteri:---
5. Bokan O Nalas. Suami: 1 emas, 1 perak. Isteri :---
6. Su mamal, su soat. Suami: 1 kerbau dengan anak. Isteri: ---
7. Gubul O Geweel. Suami: I mas, 1 perak. Isteri: ---
8. Lor wa, lor bul. Suami: 1 mas 1 perak. Isteri: ---
9. Tajuq lor, Tajuq hoto. Aibaa: 1 mas, 1 perak. Malu:---
10. Sul O Suliq. Aibaa: 1 mas, 1 perak. Malu:---
11. Loeq masak, loeq gol. Aibaa: 7+5 perak. Malu: 7+5 selimut
12. Tel Wese. Aibaa: 2 perak. Malu: 1 selimut, 1 ekor babi.
13. Saki O jiq. Aibaa: 1 tahin. Malu: 1 selimut, 1 ekor babi.
14. Piral Noq Topol. (disesuaikan dengan banyaknya anggota suku “malu”).
15. Ope ganal tol. Aibaa: 2 tahin. Malu:---
16. Sael Ope. Aibaa: 1 ekor kerbau. Malu: 1 ekor babi
17. Peq naran, peq tiluq. Aibaa:--- Malu: 2 utas peq
18. Depal gie naran, depal gie tiluq. Aibaa:--- Malu: 2 pasang giwang (kouq) mas
19. Sawe Sepak. Aibaa: --- Malu: 1 sisir emas.
20. Kira O Bian. Aibaa: --- Malu: 2 mas
21. Jap nokar, cie nokar. Aibaa: --- Malu: 1 ekor anjing, 1 ekor ayam (bibit)
22. Palu pae goloq. Aibaa: -- Malu: 1 kebun
23. Opa tutul gie, rene pin gie. Aibaa: --- Malu: 1 orang hamba.
Penjelasan:
1 mas = 1 plat (piring) dari emas. 1 perak = 1 plat (piring) dari perak. 1 peq = 1 utas manik-manik dari tanah = Tetum: Morten. Jumlah tanggungan pria : 8 emas, 33 perak, 2 ekor kerbau dengan 1 anak kerbau. Jumlah tanggungan perempuan: 17 selimut, 2 utas peq, 2 emas, 1 sisir emas, 2 pasang anting-anting (kouq) dari emas, 3 ekor babi, 1 kebun, seorang hamba, 1 ekor anjing (bibit), 1 ekor ayam (bibit).
Jikalau I emas dinilai Rp. 100.000.- 1 perak dinilai Rp. 2.000,- 1 selimut dinilai Rp.20.000,- 1 ekor Kerbau dinilai Rp. 150.000,- 1 anak kerbau dinilai Rp. 50.000,- 1 ekor babi Rp.50.000,- 1 peq dinilai Rp. 250.000,- 1 pasang anting-anting (keuq) dinilai Rp.250.000,- 1 sisir emas 10 uang mas sukuan= Rp. 1.000.0000,- 1 kebun dinilai Rp. 5.000.000,- 1 ekor anjing dinilai Rp. 5.000,- 1 ekor ayam dinilai Rp. 2.000,- maka hasilnya sebagai berikut:
Tanggungan pria = Rp. 1.216.000,-
Ditambah no 16. “Piral Noq Topol “ = Rp. 200.000,-
Rp. 1.416.000,-
Tanggungan pihak perempuan Rp. 6.697.000,- + 1 orang hamba.
Jelas bahwa dalam perkawinan bentuk “sul dara” tanggungan dan antaran pihak “malu” jauh lebih banyak dari pada tanggungan “aibaa”, dan yang terutama ialah , kedua pasangan baru ini dapat memulai membentuk rumah tangga dalam posisi “Plus” tidak “nol” apalagi “minus”. Dan pula, pada pembayaran uang mahar tidak ditekankan kepada unsur tubuh perempuan akan tetapi martabat perempuan, sedang perempuan pun,dengan antaran yang demikian menyatakan tegas, bahwa pihaknya tahu pula akan harga dirinya.
Penjelasan istilah:
1. sigal saen = hotel por sigal saen = gantung daun-daun larangan = menandakan bahwa gadis itu sudah dilamar orang, istilah tepatnya: uang pertunangan.
2. Bora pil jewen = membentang tikar = tamu yang datang harus dipersilahkan duduk di atas tikar.
3. Taq O Turiq = kapak dan parang = pernyataaan kesanggupan pria untuk memelihara isteri dengan berkebun.
4. Bei gotin = membangunkan nenek moyang (leluhur). Pemberitahuan kepada leluhur tentang peristiwa yang dihadapi.
5. Mapo tesi, watan tetuq = potong bambu untuk timba air dan potong kayu untuk membuat api di dapur agar isteri dapat berpanggang api sesudah melahirkan, atau jelasnya : kecapaian ayah.
6. Bokan O nalas = periuk besar tempat masak air panas = untuk memandikan ibu setelah melahirkan, tepatnya: Kecapaian ibu.
7. Gubul O Geweel = kepala dan dagu dari si gadis = ganti rugi si gadis.
8. Su mamal su soat = air susu lembek, air susu keras = pemeliharaan gadis sejak bayi sampai dewasa.
9. Lor wa, lor bul = tempat persembahan alam rumah atas dan bawa = pemisahan dengan tempat persembahan dalam rumah suku.
10. Tajuq lor, tajuq hoto = pintu sebelah lor dan sebelah hoto = perpisahan dengan rumah suku.
11. Sul O Suliq = tombak dan keris = perpisahan dengan senjata keramat rumah.
12. Loeq masak, loeq gol = sawah besar, sawah kecil = perpisahan dengan kebun-kebun rumah suku
13. Tel wese = memisahkan pekuburan = si gadis dikuburkan di pekuburan deu aibaa, tidak lagi di kuburan suku asalnya.
14. Saki O jiq = membelah dan menggaris = penegasan penanggalan keanggotaan suku asal si gadis.
15. Ope ganal = tangkai buah labu = si gadis sudah terpetik, sehingga sudah terlepas dari tangkai buah = penanggalan keanggotaan suku asal si gadis.
16. Piral noq topol = Butir beras terjatuh = pemberitahuan kepada seluruh anggota suku asal si gadis tentang peristiwa ini, dengan sejumlah uang.
17. Sael ope = babi labuh = daging untuk disantap bersama, sewaktu di rumah si gadis, upacara pesta di rumah gadis.
18. Peq naran, peq tiluq = Peq penanda, peq tersimpan = peq yang menandakan kedudukan gadis dalam masyarakat.
19. Depal gie naran, depal gie tiluq = Anting-anting penanda, anting-anting tersimpan = maksudnya sama no. 18.
20. Sawe sepak = sisir emas = maksudnya sama no. 18.
21. Kira O Bian = alat pemintal benang dengan piring kecil = maksudnya sama no. 18
22. Jap nokar, cie nokar = anjing di pintu, ayam di pintu = melambangkan bibit hewan piaraan, anjing sebagai pengawal rumah, ayam sebagai penanda tibanya waktu siang.
23. Palu pae goloq = tempat memetik = kebun untuk mengusahakan hasil, agar dapat dipungut atau dipetik hasilnya.
24. Opa tutul gie, rene pin gie = untuk membawa tempat sirih, membawa keranjang tempat sirih = pembantu rumah tangga untuk disuruh membantu pekerjaan rumah tangga.
Akibat perkawinan “sul dara” :
1. Isteri menerima keanggotaan suku suami, dan dipandang sebagai perempuan utama dalam suku, dan digelar sebagai “deu gomo” – tuan rumah atau “momen pana” = perempuan tua, suami pun digelar “momen mone” = laki-laki tua.
2. Ayah berhak penuh atas isteri dan anak-anaknya.
3. Anak-anak seluruhnya menjadi anggota suku ayahnya, dan mendapat hak utama atas warisan atau salah satu fungsi adat dari rumah suku ayahnya.
4. Hubungan “malu ai” abadi antara suku asal isteri dan suku suami.
5. Poligami tidak diperkenankan, dan tidak ada perceraian.
6. Berzinah dihukum mati dipancung kepala.
Di samping itu ada pula hubungan “malu ai” timbal balik disebut “sutaq noq” jika pihak suku “malu” mengawini gadis “aibaa” secara “sul dara”.
Perkawinan bentuk “ton terel” yaitu perkawinan matrilineal:
Pria dapat mengawini seorang gadis dari suku “malu” atau “ aibaa” atau “leolegul”. Uang mahar ditanggung pria:
1. Sigal saen = 1 mas, 1 perak, 10 rupiah perak Belanda, dibalas dengan 1 selimut oleh gadis.
2. Molo pu tomak = sirih pinang penuh = uang harga kegadisan. Uang ini berbeda-beda menurut derajat suku si gadis besarnya dari: 3 mas-3 perak-30 rupiah Belanda sampai 9 mas-9 perak-90 rupiah Belanda dengan 3-9 ekor kerbau. Tidak ada balasan dari pihak perempuan.
3. Tajuq lor, tajuq hoto = pintu lor, pintu hoto= laki-laki dapat leluasa masuk keluar rumah suku isterinya: 1 emas-1 perak-10 rupiah Belanda untuk semua tingkatan. Tidak ada balasan dari pihak perempuan.
4. Peq liti neq = membagi peq dan loyang = pemberian uang kepada semua anggota suku, sebagai tanda pemberitahuan. Ada balasan, jika diberi mas atau kerbau.
Pada suku berderajat Loro, dan kepala wilayah di samping ini ada lagi: Bigil obuk, nokar gon = Daun pohon pisang hutan dan kayu palang pintu = maksudnya pemberitahuan kepada para Rato/Temukung, sebesar: 2 perak dan 20 rupiah Belanda.
Akibat perkawinan “ton terel”:
1. Suami dan isteri masing-masing pertahankan keanggotaan suku, tetapi laki-laki harus datang berdiam di rumah suku isteri (uxorilokal)
2. Ayah tidak berhak penuh atas anak-anak dan isteri sendiri serta harta warisan keluarga. Ahli waris adalah anak perempuan. Anak laki-laki bukan ahli waris
3. Anak-anak seluruhnya mendapat keanggotaan suku ibu, terkecuali ayah menghendaki agar salah seorang anak, mendapat keanggotaan suku ayah, melalui upacara pemindahan keanggotaan suku, disebut “gie ama gita ruhuat” = berarti berdiri di samping ayah, dengan mebayar kompensasi.
4. Tidak ada hubungan “malu ai” antara kedua suku suami dan isteri.
5. Poligami dan perzinahan diizinkan dengan membayar sejumlah uang kepada suku isteri.
6. Perceraian dibolehkan dengan membayar uang “ukon lai” pada isteri (sukunya).
7. Jika ayah meninggal dunia, jenazahnya harus diangkat ke rumah suku ayah, dan dikuburkan di pekuburan sukunya sendiri, sebab tidak boleh dikuburkan di pekuburan suku isteri.
Jikalau pembayaran uang mahar pada perkawinan “sul dara” dipersahajakan, maka perkawinan “sul dara” inilah yang sangat ideal dan sangat dianjurkan.
Mempersahajakan pembayaran uang mahar dapat dilakukan umpamanya, pihak suku suami dan isteri bersepakat membuat rumah atau membeli alat rumah tangga yang baik bagi keduanya, dan rumah dan alat-alat inilah dianggap sebagai uang mahar tanggungan pihak suami dan isteri. Lalu keduanya dapat membentuk suku sendiri dan tidak taat lagi atau terlepas dari suku asal isteri dan suami. Yang menjadi suku malu, adalah suku asal suami dan asal isteri, yang masing-masing menjadi malu pertama (“mone gomo”) dan malu kedua (“pana gomo”) bagi suku keduanya yang baru dibentuk. Untuk bertindak ke arah modernisasi masyarakat dalam rangka membasmi pemborosan dana, waktu dan kecapaian, cara ini benar-benar dapat dianjurkan.
10.2. Kelompok Kekerabatan
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah suku, atau suku rumah, atau klen, dan bukan rumah tangga, yang hanya menjadi anggota suku, yang harus taat kepada ketua sukunya. Di samping itu dengan cara perkawinan “ton terel” yang kini sudah menjadi tradisi, maka anggota suatu suku akan makin membengkak jumlahnya, sehingga tidak mungkin dibatasi pemborosan harta , waktu dan kecapaian. Seorang bapa keluarga tidak dapat membantah keputusan ketua suku, setiap kali dibebankan dengan uang, hewan pada setiap peristiwa kematian, uang mahar, uang delik, uang studi salah satu anggota kerabat isteri dan lain-lain. Demikian, bapa keluarga tidak mungkin menentukan sendiri kebijaksanaan pengendalian rumah tangganya sendiri.
Seperti diuraikan di atas, keanggotaan suku diperoleh dari :
1. Kepindahan suku, akibat perkawinan “sul dara”
2. Kelahiran menurut garis ayah atau ibu, sesuai bentuk perkawinan.
3. Kepindahan suku, untuk dijadikan anggota suatu suku yang sudah putus keturunan.
4. Kepindahan suku, dengan cara memelihara anak dari adik perempuan, “dapuq wese su ul” = membagi pangkuan dan membebaskan dari air susu ibu.
5. Kepindahan suku, karena keinginan ayah, agar seorang anak jadi anggota sukunya (“ama gita ruhuat”)
6. Pemberian keanggotaan suku, kepada para tawanan dan tebusan atau hamba yang dibeli.
Ketua suku berkewajiban:
1. Menjaga keseimbangan antara anggota sukunya ke dalam dan keluar suku.
2. Menjaga keseimbangan para anggota sukunya dengan alam gaib.
3. Memimpin dan menyelenggarakan upacara adat yang harus dilakukan sekitar suku
4. Menjaga dan mengawasi segala milik suku, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Seluruh suku di bawa pimpinan ketua suku, sama-sama menanggung beban suku dan sama-sama bertanggungjawab atas penyelewengan seseorang anggota suku. Lain-lain hal mengenai suku atau “deu” telah disinggung pada nomor-nomor yang lalu.
11. Sistem Religi, Upacara dan kelompok upacara.
Pada masa sekarang dapat dikatakan , 100 % suku bangsa Bunaq di Lamaknen telah memeluk agama Katolik Roma. Namun demikian , para pemeluk agama katolik itu, pada hakekatnya belum melepaskan konsep-konsep dan adat istiadat keagamaan yang berasal dari religi asli tersebut.
Unsur penting dalam religi asli itu adalah:
Adanya kepercayaan bahwa ada satu keadaan yang Tertinggi, disebut “Hot” atau “Hot Esen”. Dalam syair mitologis Hot Esen disebut : “ Masaq Giral Kereq, Boal Gepal Uen” = Yang Agung bermata tunggal dan bertelinga tunggal = Yang Agung Maha Sempurna. Pada pembukaan dan penutupan setiap doa, pada segala macam upacara, selalu disebut terlebih dahulu Hot Esen dengan perkataan berikut: “ Hot, Ligi O Le Esen, Tiu O Mugi As, Bekaq O Nolaq Esen” = Demi Hot Yang Maha Tahu, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung.
Kemudian baru disapa, arwah leluhurnya, yang sudah berada di samping Hot, untuk menyampaikan segala macam permohonan kepada Hot Esen.
Kepercayaan yang lain ialah menurut syair itu bahwa:
Hot Esen berdiam di Esen Hitu, As Hitu = Pada Tujuh Ketinggian. Kegelapan meliputi seluruh alam raya. Untuk menghalau kegelapan, Hot ciptakan bintang, bulan dan Matahari. Ternyata di bawa Esen Hitu, As Hitu, hanya ada air tidak terbatas. Hot menjatuhkan satu gumpalan tanah, ternyata hanya menjadi air. Gumpalan 3 buah dijatuhkan lagi, hanya kelihatan, binatang bergerak dalam air. 5 Gumpalan tanah dijatuhkan, terpisahlah daratan dengan air, tetapi tanah rata saja, tidak bergunung dan berbukit, dan hanya penuh ditumbuhi rumput “tese” dan “sibil”. Dijatuhkan lagi 7 gumpalan, bermunculanlah pegunungan dan pebukitan, tetapi masih bergoyangan di atas air. Dengan menurunkan pohon “ge”, mantaplah tanah daratan ciptaan itu. Untuk menggilas rumput “tese” dan “sibil” diturunkan kambing, babi, kerbau maka tergilaslah rerumputan itu. Diturunkan lagi kera untuk menghuni hutan, serta burung gagak dan burung “koak” untuk memberi tanda tibanya siang dan malam. Bumi disebut ligi hitu nual hitu yang berarti tujuh yang di bawa. Kemudian ternyata bintang, bulan dan matahari melahirkan manusia. Inilah sebabnya manusia disebut “Hot Gol”-“Hul Gol” yang berarti anak matahari dan bulan. Di samping itu bintang-bintang melahirkan pula roh-roh jahat pembawa malapetaka bagi manusia dan roh baik membawa kemakmuran, keberanian, kepandaian bagi manusia. Manusia ini berdiam di Esen Hitu, As Hitu akan tetapi sejak kecil nakal, suka berkelahi, sesudah dewasa, juga mulai mencuri, merusakkan barang milik orang, lalu Hot perintahkan mereka itu, untuk mendiami bumi. Lalu turunlah mereka itu dari Esen Hitu, As Hitu dan mendiami bumi. Dari mereka inilah, antara lain, 10 kelompok akhirnya tiba dan mendiami Lamaknen, seperti telah disinggung terlebih dahulu, yang mendiami seluruh Timor dan juga sampai ke Pulau Sabu dan Rote.
Pada setiap upacara pada setiap kesempatan, terlebih dahulu, diatur “ taka gol” yang diisi sirih dan pinang. Lalu “lal gomo” mengucapkan doa, dengan permohonan yang diperlukan dan dibarengi dengan permintaan, agar diberikan tanda dalam usus babi atau ayam, yang menyatakan pendirian para leluhur, apakah permohonannya diterima atau ditolak. Sesudah itu hewan (ayam atau babi) disembelih, dan diteliti ususnya. Sesudah makanan masak, ditaruh juga dalam “taka gol”, sambil mengundang leluhur untuk turut pula bersantap. Sesudah dipersilahkan , "taka gol" dibagi-bagi kepada hadirin, sebagai makanan sisa leluhur, untuk dimakan bersama oleh hadirin. Sisa makanan orang-orang tua pun tidak boleh diberikan kepada binatang atau dibuang akan tetapi harus dimakan oleh yang lebih muda. Jika ternyata ada tanda yang tidak baik dalam usus babi atau ayam, maka dicari tahu lagi dengan jalan “hik sagal”, dan dibuat lagi upacara semacam ini, sampai ada tanda yang baik, dalam usus babi atau ayam.
Demikianlah suku bangsa Bunaq, melakukan upacara berbagai ragam pada:
Kesempatan kelahiran, perkawinan (sul dara), sakit dan kematian. Pada kematian, dibuatkan peti, berbentuk kapal/perahu, agar yang mati, dapat berlayar kembali ke tanah leluhur, sampai tiba kembali di Esen Hitu, As Hitu. Pesta kenduri dimaksudkan untuk membekali yang mati, agar jangan nanti berkekurangan di Esen Hitu, As Hitu.
Kesempatan membangun rumah suku baru atau rumah adat baru. Hal ini untuk memulihkan kembali keseimbangan antara para anggota suku yang membuat rumah dengan makhluk kayu, rumputan dan lain-lain ramuan yang dipakai untuk membangun rumah, berdasarkan pemikiran, bahwa kayu dan lain-lain itu pun adalah sesama makhluk yang sama dan sederajat dengan manusia, jadi harus diadakan perdamaian kembali dengan mereka.
Upacara mengenai bahan makanan, kayu cendana dan lilin (lebah). Hal ini berdasarkan syair mitologis, bahwa bahan makanan, kayu cendana dan lebah adalah kasil penjelmaan seorang putera dan puteri bernama Dasi Bau Maliq dan Dasi Bui Maliq. Dasi Bui Maliq menjadi lebah dan Dasi Bau Maliq menjelma menjadi bahan makanan dan kayu cendana.
Darah, daging, gemuk menjelma menjadi padi-padian. Giginya menjadi jagung, lidahnya menjadi tebu, biji matanya menjadi kacang-kacangan, perutnya menjadi labuh, pantatnya menjadi ubi “me” = “maek” – Tetum, jari-jarinya menjadi ubi-ubian, tulangnya menjadi kayu cendana.
Berdasarkan kepercayaan itu, maka ada berbagai macam upacara yang dilakukan, yang bersangkutan dengan bahan makanan, dengan tujuan untuk: Elakkan gangguan perusak tanaman bahan makanan, Hindarkan bencana alam, pemusnah bahan makanan, Melancarkan curah hujan dan elakkan kekeringan, Menambah kesuburan tanah, Memperlipatgandakan hasil kebun, Mengucapkan syukur atas semua kebaikan.
Upacara ini dapat disebut sebagai berikut:
September/Oktober : Tuat Paul atau Bei Dubul Kouq atau An Gene oleh Makir dan Lamaksenulu. Tubi lai oleh Lamaknen, dilakukan setiap wilayah melalui ketentuan Por Gomo Masing-masing. Nopember: Hotel Gawa gemen oleh Kewar. Desember: Koul Uku, salan hatama oleh Makir dan Lamaksenulu. Januari: Il suq oleh Makir dan Lamaksenulu. Bu Nolaq, Naka Olu oleh Makir dan Lamaksenulu. Paol tuu oleh Kewar. Maret/April : Paol Sau oleh Kewar dan Lamaknen, sesuai keadaan dalam tiap wilayah. Juni: Tir dujuk oleh Lamaknen. Juli/Agustus: Jobel a atau Natal rasa atau porat hatama oleh Makir dan Lamaksenulu. Hohon a oleh Lamaknen.
Penjelasan:
Tuat paul (belah ketupat) bei dubul kouq (nenek gundulkan rambut) dan an gene berarti berada di rerumputan yaitu berburu, menghalaukan binatang liar perusak tanaman. 3-7 hari. Tubi lai berarti ubi rambat dikeringkan, dijadikan tepung, dibuatkan kue. Hal ini untuk menjaga keseimbangan dengan hewan liar perusak. Lamanya upacara 3-7 hari. Hotel gawa gemen = menegakkan kembali kayu, yang ditebang sewaktu membuka kebun. Memulihkan kembali keseimbangan dengan kayu rumputan yang ditebas dan untuk mohon curah hujan. Koul uku = menutup tempurung kelapa, salan hatama = memasuki musim hujan. Tujuannya untuk memperlancar curah hujan. Il suq = menggali air, juga untuk melancarkan curah hujan. Bu Nolaq, Naka Olu = membersihkan lumpur (dari kaki kerbau) sesudah dipakai merencah sawah. Pao tuu = menumbuk kacang, semacam kacang disebut “ pao cinoq “ atau “pao busa”. Sesudah upacara ini dilaksanakan, maka para ketua suku Loegatal dan lain-lain suku yang berhubungan, baru boleh memakan sayur labuh di kebun sendiri. Paol sau = memakan hasil jagung baru. Sebelum upacara ini dilakukan tidak diperbolehkan memakan jagung muda dan merusakkan batang pohon jagung. Hal ini untuk menghargai “HOT”. Jikalau dipetik jagung muda, maka tangkainya tidak boleh dirusakan, sedang jagung muda yang dibawa, harus dilindungi dengan daun kayu, juga sebagai penghargaan kepada “HOT”, karena sebelum dilakukan upacara ini, tidak boleh makan jagung muda. Pelaksanaan upacara ini, didahului dengan pengambilan kulit pohon “ge”, yang dengannya baru dapat dilakukan upacara, agar bahan makanan ini jangan sampai punah, dan tetap tinggal mantap, sebagai Hot memantapkan dunia dengan pohon “ge”. Tir dujuk = makanan hasil kacang “tir “ yang baru. Dilakukan tiap-tiap rumah tangga. Jobel a = makanan yang muda, natal rasa = membersihkan natal (tempat tumbuh pohon tuak), porat hatama = memasuki masa musim panas. Sebelum upacara ini, tidak boleh makan halia, tebu, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Hohon a = memakan hasil padi baru.
Di samping upacara-upacara ini, ada lagi berbagai upacara pengambilan lilin lebah/ madu, penanaman padi ladang , pemungutan hasil padi ladang, pada waktu panen jagung, yang dilakukan oleh setiap rumah tangga.
Upacara –upacara ini yang dilaksanakan setiap tahun, dapat meyakinkan kita tentang keadaan hubungan, keamanan zaman dahulu, sehingga orang takut akan ketiadaan bahan makanan, lalu punahlah manusia.
12. Sistem Pengetahuan yang Dikembangkan
Yang dikembangkan dan terus dilatih, sekalipun tidak merata, ialah pengetahuan tentang adat istiadat yang bersangkutan dengan berbagai upacara, silsilah leluhur, yaitu kelompok yang turun dari Esen Hitu, As Hitu dan mendiami desa atau dusunnya masing-masing.
13. Jenis Kesenian
i. Seni tari = Teberai dan Biru
ii. Seni ukir= Beseq lias = mengukir papan dinding / pintu rumah, hau lias = mengukir tempat kapur sirih.
iii. Seni pahat = aitos goon = membentuk arca.
iv. Seni suara = tei, ligi, olek, holon, kawen, magaliaq, bai toan.
Dari kesemuanya, seni ukir dan seni pahat yang mulai ditinggalkan.
14. Unsur Kebudayaan yang Menonjol
Lapisan sosial baru, seperti yang telah diuraikan dalam stratifikasi sosial, lebih menyukai adopsi kebudayaan Barat umpamanya dansa. Pada hakekatnya, adat kebiasaan suku Bunaq, tidak membenarkan seorang pemuda memegang / memeluk anak gadis orang, yang bukan isterinya, hal mana dahulu kala, dikenakan pembayaran kompensasi disebut “giwi hini por” = memperkeramatkan kembali tubuhnya.
15. Arti dan Asal Mula Nama Tempat
Kewar, yang sebenarnya adalah Gewal atau Geal atau Gial = membawa serta. Gomoq baq mal gial = kawanan gadis untuk dibawa serta = kawanan gadis untuk dibawa serta untuk dinikahi. Pada hakekatnya Kewar, selain pusat kebudayaan, suku-suku yang ada di Kewar adalah suku “malu” (pemberi perempuan) pada kebanyakan suku di Lamaknen.
Bandingkan: (dalam bahasa Tetum). Natarmeli bauho = natar meli ba ho = arti dan maksudnya sama seperti di atas. Atambua (Tetum) sebenarnya : Ata == hamba, buan = suangi. Atambua Maudeku = tempat memukul mati hamba yang suangi. Besikama (Tetum) sebenarnya : Besik Ama = Ayah si Besik (nama orang). Halilulik (Tetum) = beringin keramat.
16. Nama Panggilan Anak Secara Adat
16.1. Panggilan Anak Laki-laki
Apa’ untuk memanggil anak sulung. Pou untuk anak kedua. Uju untuk anak ketiga. Uka untuk anak bungsu. Kalau anak laki-laki berjumlah lebih dari empat maka anak kelima disebut apa’. Anak keenam disebut pou. Anak ketujuh disebut uju. Anak ke delapan disebut uka dan seterusnya.
16.2. Panggilan anak Perempuan
Anak sulung dipanggil Aiba’. Anak kedua dipanggil pou. Anak ketiga dipanggil uju. Anak keempat dipanggil uka. Anak kelima dipanggil aiba’ dan sterusnya sama dengan panggilan anak laki-laki.
Dari panggilan anak laki-laki dan perempuan di atas dapat disimpulkan bahwa panggilan anak sulung pria dan perempuan berbeda sedangkan panggilan anak kedua dan seterusnya sama.
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
Weluli, 22 Januari 1987
Juru Pemelihara Megalitik/Rumah Adat Kewar
Laurens Bere
Mengetahui Kepala Adat Lamaknen
A.A.Bere Tallo
**********************************************************************************************************
Daftar Pustaka
A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978
Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..