Rabu, Agustus 11, 2010

MELAYANI DENGAN HATI: KETUA RUMAH-RUMAH SUKU DI AITOUN

-->
*P.BENEDIKTUS BERE MALI, SVD*

-->

Adat kematian suku Bunak sangat kompleks. Satu bagian adat kematian adalah “lasik wa”. Setiap anggota suku yang telah berkeluarga menerima dan melaksanakan adat “lasik wa” ini. Beberapa waktu lalu, ada adat kematian di dalam Suku Bunak di Desa Aitoun, Kecamatan Raihat. Ketua Suku menyampaikan kepada anggota sukunya yang berkeluarga untuk melaksanakan adat “lasik wa” ini. Ketua suku menetapkan jumlah uang yang dikumpulkan oleh setiap anggota suku Bunak yang telah berkeluarga untuk adat “lasik wa”. Ketua suku menetapkan jumlah uang yang dikumpulkan itu sekitar Rp.100.000.- per keluarga. Uang itu untuk membeli Babi yang akan dibunuh dan dimakan bersama anggota suku yang hadir, dalam adat kematian itu.
Secara sosial, anggota suku selalu menyetujui keputusan ketua suku untuk mengumpulkan jumlah uang yang telah ditetapkannya untuk pelaksanaan adat “lasik wa”. Secara psikologis, anggota suku juga melaksanakan itu agar tidak diberi label tidak terlibat di dalam adat “lasik wa” bahkan dijadikan buah bibir dalam kehidupan bersama suku Bunak. Sebaliknya ada cela terungkapnya penolakan dalam diri keluarga-keluarga terhadap besarnya jumlah uang yang harus dikumpulkan untuk adat “lasik wa”. Keluarga – keluarga yang masih yunior, kehidupan ekonomi yang pas-pasan, harus mengumpulkan sejumlah uang yang ditetapkan ketua suku, ada protes atau penolakan dalam hati. Keluarga yang ekonominya baik mengumpulkan uang sama jumlahnya dengan keluarga yang ekonomi kelas menengah ke bawah, adalah sebuah cela yang perlu diisi dengan makhluk keadilan dalam adat “lasik wa” dalam adat kematian suku Bunak.
Keadilan itu penting dilaksakanan oleh ketua suku bagi seluruh anggota keluarda dari suku Bunak, khususnya dalam menetapkan jumlah uang yang harus ditanggung oleh setiap keluarga dalam adat “lasik wa” dalam setiap adat kematian di dalam suku Bunak. Cara sederhana untuk menerapkan keadilan dalam melaksanakan adat “ lasik wa” adalah demikian. Ketua suku perlu mengenal setiap anggota keluarga dalam suku Bunak yang dipimpinnya. Mengenal itu meliputi beraneka aspek kehidupan anggota keluarga dalam suku yang dipimpinnya. Dalam gandengan dengan adat “lasik wa” dalam adat kematian yang tidak dapat dihindari setiap keluarga Suku Bunak ini, ketua suku perlu mengenal pendapatan setiap keluarga anggota sukunya, dengan data pendapatan keluarga dalam sukunya itu, menjadi pegangan atau alasan mendasar bagi ketua suku untuk menetapkan jumlah uang yang harus dikumpulkan setiap keluarga dalam sukunya untuk adat “lasikwa” dalam kematian salah seorang anggota sukunya. Mereka yang kaya menerima beban adat “lasik wa” lebih besar dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Keputusan ketua suku pada umumnya selalu diterima oleh anggota suku yang dipimpinnya. Dengan cara ini, ada cahaya keadilan bersinar dalam adat “lasik wa” sebagai satu bagian dari adat kematian dalam suku Bunak di desa Aitoun, Kecamatan Raihat.
Uang adat “lasik wa” itu biasanya tidak dibelanjakan semua. Masih ada sisi uang adat “lasik wa” dalam sebuah adat kematian dalam suku Bunak. Uang itu diketahui oleh ketua suku dan biasanya dipegang oleh bendahara suku. Laporan transparan atas Keuangan itu kepada anggota suku, dalam “lasik wa” dalam adat kematian itu mempertajam saling percaya di antara anggota suku Bunak. Uang sisa itu dapat disimpan atau ditabung dalam tabungan suku misalnya. Tinggal rencana ketua suku dan bendara dan seluruh anggota suku untuk memanfaatkan uang sisa itu bagi kemajuan dan kesejahteraan seluruh anggota suku Bunak. Sebuah Manajemen hati ketua suku untuk kesejahteraan semua keluarga dalam suku Bunak sangat berarti. ***


Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

Selasa, Juli 27, 2010

KEMBALI KE AKAR BUDAYA "AREMA"

Rm. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD





Saya menyampaikan beberapa hal yang mendorong saya untuk menulis buku KEMBALI KE AKAR. Saya pada kesempatan ini memberi tulisan atas buku Pertama " Kembali ke Akar" dengan manambah kata Budaya "AREMA" (Arek-arek Marae), dengan beebrapa alasan mendasar. Pertama, saya termotivasi menulis tentang Budaya asal saya karena sepanjang saya belajar di pendidikan formal dari SD sampai Seminari Tinggi saya belajar tentang budaya orang lain dan saya tidak pernah belajar tentang budaya asal saya. Saya memberanikan diri memulai sesuatu yang baru. Memulai sesuatu yang baru seperti seorang petani yang membuka lahan baru dengan sebuah perjuangan yang luar biasa, untuk mendapat sebuah hasil yang baik bagi diri dan tentu secara sosial bagi anak-cucu. Hanya lewat menulis, anak cucu sesudah kita tahu tentang adat dan budaya kita sendiri. Kita sendiri harus menulis tentang diri sendiri dan kita sendiri harus tahu tentang diri kita sendiri agar orang luar tidak menipu kita dengan pandangan mereka.




Hal kedua yang mendorong saya untuk menulis KEMBALI KE AKAR adalah agar saya yang pastor ini mati dikenang karena sebuah hasil karya. Pastor tidak punya isteri dan tidak punya anak. Mati akan tidak dikenang kalau tidak mempunyai hasil karya BUKU yang resmi. Banyak penulis besar, filsuf, antropolog, seperti Louis Berthe dan Claudine Friedberg dikenanang generasa suku Bunak Sepanjang Masa karena hanya satu hal " MENULIS DAN MENULIS". Terutama MENULIS tentang SUKU BUNAK. Mereka tidak mati. Mereka Selalu HIDUP dalam Tulisannya. Saya dengan Buku KEMBALI KE AKAR telah menempatkan diri dan ditempatkan selevel dengan mereka yang selalu hidup karena MENULIS BUKU.



Hal ketiga yang membuat saya terdorong untuk untuk menulis tentang budaya saya adalah anak-anak muda yang kuliah di Jawa mengalami krisis identitas. Budaya asalnya tidak berakar dan budaya Jawa pun tahu setengah-setengah akhirnya mereka hidup terbawa arus zaman yang tidak tahu tujuannya kemana. ****

UNTUNG ADA YANG TULIS TENTANG ADAT SUKU BUNAK : EN GUA dan A GUA

RM. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD


Siapa yang menjadi penemu Suku Bunak? Secara formal ilmiah penemu suku Bunak adalah LOUIS BERTHE bersama isterinya Dr. Claudine Friedberg.


Louis Berthe menekankan "EN GUA" artinya asal manusia suku Bunak dari Wujud Tertinggi dalam mytos suku Bunak. Sebuah mitos memiliki keunikannya tersendiri. "Dalam mitos, keyakinan atas yang ideal itu umumnya melampaui batas nalar. Hal terpenting dalam mitos memang bukan benar atau salah, logis atau tidak, melainkan yakin atau tidak". (Lihat ACEP IWAN SAIDI : Dosen FSRD ITB, Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB. ACEP sebagai perensesi Buku yang berjudul JANTUNG LEBAH RATU, HIMPUNAN PUISI, KARYA NIRWAN DEWANTO. Resensi bukunya itu termuat dalam KOMPAS, Minggu 14 Desember 2008, halaman 11. JUDUL RESENSI: MITOS BARA BIRU NIRWAN DEWANTO).



Mitos ini digali dari keyakinan Suku Bunak oleh anropolog suku Bunak, LOUIS BERTHE. Suku Bunak yakin bahwa manusia suku Bunak berasal dari Wujud Tertinggi. Keyakinan yang sudah berakar dalam diri manusia suku Bunak itu yang terungkap dalam Karya Monumental LOUIS BERTHE : BEI GUA artinya perjalnan leluhur suku Bunak dalam mitos. Mitos itu dirangkai dalam kata sastra yang diceriterakan lisan dalam upacara adat resmi bukan ditulis dan dibacakan. Mitos lisan itulah yang beralih menuju mitos tertulis sehingga tidak hilang oleh antropolog LOUIS BERTHE yang menemukan kembali mitos yang hampir hilang. Sumbangan dan kerja keras Louis Berthe sangat berarti dan harus diberi apresiasi yang lebih. Unsur lebih itu harus terungkap dalam budaya menulis oleh orang Bunak Sendiri.


Saya secara pribadi sebagai darah daging leluhur suku Bunak, lebih setuju kalau judul itu diberi EN GUA, artinya asal-usul manusia. En artinya manusia. Gua artinya jejak, sejarah, asal-usul. En mengandung arti manusia laki-laki dan perempuan sekaligus. Meskipun saya apresiasi yang luar biasa kepada Louis Berthe.


Sementara itu Claudine friedberg isteri Louis Berthe, menemukan suku Bunak dalam ilmu etnobotani. Kalau Louis Berteh menulis tentang BEI GUA artinya asal-asul manusia suku Bunak dalam Mitos yang sangat diyakini oleh suku bunak yang hidup religius, sedangkan Claudine Friedberg menulis tentang Suku Bunak dengan fokusnya A GUA artinya asal manusia digali dari biologi Suku Bunak, yaitu dari tumbuhan dan hewan dalam pola pemahaman suku Bunak yang diangkat ke taraf ilmiah. Claudine Friedberg ini sekarang menjadi profesor emeritus tinggal di litbangnya di Paris- Prancis. Mereka berdua patut diberi apresiasi yang tinggi, karena mengangkat identitas manusia suku Bunak dari budaya lisan kepada budaya tulisan. Dengan tulisan mereka mengabadikan identitas alamiah suku Bunak. Suku Bunak kembali ke Asalnya lewat pintu lebar yang telah dibuka oleh kedua Bapa dan Mama penemu suku Bunak ini.***

Mengarak Budaya Lisan "AREMA" Kembali ke Akar Budaya Tulisan

Rm. BENDIKTUS BERE MALI, SVD


Saya melihat Bapa Louis Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai gembala yang mencari dan menemukan Budaya Lisan "AREMA" (arek-arek Marae, anak-anak Marae)yang hilang dan membawanya kembali ke Akar budaya tulisan. Nilai-nilai budaya yang diungkapkan secara lisan dalam mitos dan telah nyaris hilang dicari dan ditemukan serta dibawa kembali ke kandang mitos yang tertulis dalam karya monumental mereka sehingga setiap generasi muda suku Bunak yang sedang berada di persimpangan jalan, mana jalan suku Bunak mana jalan kemanusiaan mana jalan religius dapat menemukan kembali jalannya menuju hakekat pribadi sebagai suku Bunak karena ada rambu-rambu peringatan tertulis secara ilmiah dari Bapa Lous Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai orang tua yang melahirkan kembali Nilai suku Bunak untuk kedua kalinya. Nilai-nilai budaya telah lahir dari rahim leluhur suku Bunak dalam mistos dan lahir kedua dalam mitos yang ditulis dalam karya monumental mereka dalam kandungan bahasa Prancis dan kini bagi para generasi suku Bunak untuk membawa kembali ke rahim suku bunak dalam bahasa ibu Pertiwi Suku Bunak dan ibu pertiwi Indonesia agar nilai-nilai itu kembali akrab dengan suku Bunak. Kelahiran ketiga ini dinanti-nantikan oleh semua manusia suku bangsa bunak. Suku Bunak merasa yakin kelahiran dan kedatangan ketiga ini pasti terjadi berkat atau lewat tulisan - tulisan suku Bunak sendiri.



Yes You Can. Kata-kata ini akan bergema di hati nurani suku Bunak untuk mulai merasa diri yakin untuk menulis tentang budayanya sendiri dengan berguru pada Bapa Louis Berthe dengan mama Claudine friedberg. Kamu mau kamu bisa. "Arema" harus menukik lebih dalam dalamnya lautan adat Suku Bunak dengan satu tujuan mulia, anak muda suku Bunak membangun dari dalam Suku Bunak melalui tulisan. Tulisan awal barangkali sederhana, dan pasti sebagai pembuka pintu yang tertutup bagi generasi suku Bunak sepanjang masa untuk menyempurnakannya. Yang sederhana, yang menyusul diharap lebih menyempurnakannya.****

VOKAL DALAM BAHASA MARAE DAN ARTINYA

RM. BENEDIKTUS BERE MALI, SVD


Dalam bahasa Bunak ditemukan arti dari setiap huruf vokal yang terdiri dari huruf-huruf A, I, U, E, O. Huruf A mempunyai arti makan. Huruf vokal I berarti kita dan arti kedua atau arti lain dari vokal I adalah menggigit. Huruf vokal U berarti rumput atau arti lain hidup. Huruf vokal E berart garam. Vokal O artinya udang. Gabungan huruf dua huruf vokal juga mempunya arti tersendiri. Misalnya AI artinya tanta. AU artinya bambu. AE artinya memberi makan kepada. AO artinya memanah. IA artinya memakan Anda. IU artinya berulat. IE artinya milikmu. IO artinya kotoranmu atau tahimu. UA artinya jejakmu. UI artinya ulat. UE artinya memukul. EA artinya memberi makan kepadamu. EI artinya mereka. OE artinya rotan. Inilah keunikan bahasa BUNAK menarik pembaca khususnya "AREMA", arek-arek Marae, putera puteri Marae untuk terus mendalami bahasa ibu ini. Kembali ke Akar "AREMA"

Selasa, Juli 20, 2010

MENATA MUTIARA " AREMA" YANG TERCECER

Di Soverdi ST. ARNOLDUS SURABAYA, Minggu Pesta Keluarga Kudus dari Nazareth 28 Desember 2008 Pukul 17.30 – 20.00 WIB, P. Benediktus Bere Mali, SVD merekam Penjelasan Isi Ringkas Buku Buku BEI GUA yang ditulis oleh Louis Berthe. Hasil ringkasan isi buku itu disampaikan oleh P. PIENIAZEK Josef SVD secara lisan, setelah beliau membaca Buku BEI GUA berbahasa Prancis selama dua Minggu. Hasil ringkasan itu kemudian direkam dan ditulis kemudian diedit oleh P. PIENIAZEK Josef SVD, lalu menghasilkan Ringkasan Final sebagai berikut.



Menata Mutiara Arema yang tercecer merupakan tugas dan tanggungjawab setiap putera dan puteri "AREMA" arek-arek Marae", anak-anak Suku Bunak. Isi Buku ini sebagai titik berangkat bagi setiap "AREMA" menata Kekayaan Budaya yang tercecer.


RM.BENEDIKTUS BERE MALI SVD




Louis Berthe Mengadakan penelitian dua tahap.Tahap pertama 1957 –1959, kurang lebih 14 bulan. Tahap kedua 1966. Buku BEI GUA ini diterbitkan pada 1972. Claudine Friedberg, Isteri Louis Berthe yang menerbitkannya. Menurut catatan kritis Claudine Friedberg, isteri Louis Berthe ini, teks yang dikumpulkan dalam BUKU BEI GUA itu tidak lengkap. Nyanyian-nyanyian tentang asal-usul suku Bunak itu dilagukan atau didaraskan oleh penyanyi khusus dalam Suku Bunak yang dilaksanakan pada pesta-pesta besar yaitu penguburan atau kematian dan pada pesta panen. Ada banyak cerita mitos dalam Buku BEI GUA ini yang tidak dikenal atau belum dimengerti kecuali oleh sumber asli yaitu orang-orang tua yang saat ini masih mengenal baik ceritera-ceritera mitos asal-asul nenek moyang. Sementara ini Claudine Friedberg mengakui bahwa teks yang dikumpulkan dalam buku BEI GUA ini belum lengkap.




Judul Perjalanan mengandung dua arti pertama, perjalanan satu angkatan ke angkatan yang berikut atau lain. Kedua, perjalanan nenek moyang dari satu tempat ke tempat yang lain. Ada tiga cerita tentang sejarah asal-usul nenek moyang atau suku-suku atau keluarga-keluarga dalam suku Bunak yaitu pertama, Oburu. Kedua, Sibiri. Ketiga, Luta. Selain itu ada empat tempat penting yang menjadi sorotan dalam cerita atau sejarah nenek moyang itu adalah pertama, Henes. Kedua Nualain. Ketiga, Gewal. Keempat, Lakmaras.



Nyanyian atau puisi Bunak dalam buku BEI GUA membenarkan situasi sosial yang ada sekarang, situasi sosial politik yang ada sekarang. Bukan untuk menjelaskan asal-usul suku. Ada tiga kelompok atau kelas atau semacam kasta dalam suku Bunak yaitu kelompok bangsawan, kelompok biasa dan kelompok budak. Kelompok Oburu dipandang sebagai yang turun dari Surga atau dari atas.


Nyanyian ini dinyanyikan pada kesempatan tertentu dan oleh orang tertentu yang ahli. Khusus tentang penciptaan duniawi sebagai sesuatu yang tidak dinyanyikan karena rahasia. Itu hanya diturunkan kepada generasi berikut pada saat dia hendak meninggal. Penurunan itu hanya kepada orang tertentu saja.



Dalam Buku BEI GUA ini, melukiskan kekuasaan atau otoritas atau hak-hak dan sebagainya tidak bergantung pada material tanah atau luasnya wilayah geografis. Tetapi otoritas dan kewibawaan itu berdasarkan sumber berupa tanda otoritas yaitu LAMBANG atau SIMBOL khusus yaitu bisa Patung atau gambar atau emas dan senjata atau KALUK atau kekuatan magis yang berharga dalam dirinya sendiri. Lambang itu tersembunyi dan dapat dibawa ke tempat lain. Lambang itu memberi kekuatan dan kewibawaan bagi seseorang yang berkuasa atau memimpin suku Bunak. Lambang atau symbol itu menjadi kekuatan magis yang memberi kekuasaan dan kewibaan seorang penguasa dalam suku Bunak.



Perjalanan nenek moyang itu terungkap dalam judul buku karena diceriterakan dari satu tempat yang khusus ke tempat yang lain yang berbeda-beda. Dengan kata lain Buku Bei Gua ini berisi cerita menyangkut orang-orang yang hidupnya nomaden. Ceritera itu ada yang terputus-putus dan tidak logis atau ada lobangnya, ada berbagai variasi cerita tentang perjalanan nenek moyang dalam menjelaskan tentang satu pokok peristiwa. Tergantung orang mau menekankan atau membatasi analisa yang terbatas pada satu variasi dari sudut pandang disiplin ilmu tertentu untuk mengenal manusia suku Bunak yang multidimensi.



Dalam buku BEI GUA, melukiskan tentang tiga macam manusia yaitu pertama, berasal dari surga atau dari atas. Manusia berasal dari atas adalah Luta. Kedua, berasal dari bawah dari dalam tanah yang dikenal berasal dari tanaman yang tumbuh di atas tanah yaitu secara khusus Jeruk. Ketiga, manusia yang ada sekarang yang konkret.


Mengenai penciptaan manusia; ada tiga tingkatan yaitu OBURU, LUTA, SIBIRI.


Cerita mengenai mengambil wanita dari suku yang lain. Pengambilan wanita dari suku lain menjadi anggota suku yang baru terfokus pada persaudaraan Malu dengan Aiba’a atau disingkat hubungan relasi adat Malu-Ai. Relasa adat malu-ai ini terus berkembang dalam kehidupan adat suku Bunak dewasa ini.



Wujud Tertinggi : SATU MATA, SATU TANGAN, SATU TELINGA, SATU KAKI, TIDAK MENGANDUNG, TIDAK MELAHIRKAN. Wujud Tertinggi dari langit ke tujuh, dari satu rumah adat, dari satu mesbah yang pertama dan utama.



Dari yang tertinggi ini turunlah ANA LIURAI dengan pasangan hidupnya yang melahirkan atau menciptakan Bulan dan Matahari. Kelahiran generasi selanjutnya lihat nama-nama dalam teks dalam Buku BEI GUA, bagian Cosmogoni.

OBURU:


Isteri mereka atau wanita dari babi hutan dan Jeruk. Isteri itu tidak dibeli tetapi hasil memburu babi hutan yang berubah menjadi manusia – isteri. Kemudian mereka melihat atau menemukan Jeruk dan dari jeruk ini berubah menjadi manusia. Isteri dari Jeruk yang berubah menjadi manusia.



SIBIRI :


Wanita yang pertama dari IKAN yang berubah menjadi manusia. Pengalaman ini waktu menangkap ikan.


LUTA :


Wanita itu dari hasil inces antara saudara dengan saudari, dan antara anak dengan ibunya.


Jaringan – hubungan antara masyarakat terjadi perkawinan dalam suku dan melalui suku luar melalui persekutuan, perjanjian dan sumpah dan sebagainya.



Ada dua (2) jalan yaitu Pertama, Dingin yaitu melalui persetujuan dan menjadi hubungan keluarga. Kedua, Melalui jalan panas yaitu melalui jalan perang antara satu suku dengan suku yang lainnya.


Ada dua (2) Jalan nenek moyang yaitu pertama, penduduk asli dan kedua, pendatang – tapi tidak diketahui dari mana asalnya.



Ketua penyanyi itu mempunyai kesulitan tersendiri. Setiap ketua penyanyi dari tempat yang satu berbeda versinya dari ketua penyanyi dari tempat yang berbeda.



BUNAK :


Pertama, Secara struktur dipandang sebagai satu negara. Kedua, secara pembentukan ritus-ritus yang paling kaya memiliki obyek organisasi sosial yang melarang inces. Ketiga, hubungan perkawinan dalam keluarga-keluarga dalam relasi malu-ai.

Pada suku Bunak itu hubungan malu-ai itu dibentuk secara kontinyu dalam mengarungi waktu.


Beri tanda – sumber lambang – lambang kekuasaan itu dari dunia di atas.


Cerita tentang MAU IPI GULOQ:


Buruh babi hutan. Babi berubah menjadi dua wanita. Satu cantik sekali. Dua saudara rebut yang paling cantik. Mereka ribut dan akhirnya mereka saling membunuh. Lalu wanita yang cantik itu datang dan membangkitkan MAU IPI GULOQ itu, dengan menggunakan air khusus. Akhirnya Mau IPI GULOQ mendapat dua isteri itu dan menjadi Raja. Dua isteri itu dari babi hutan yang diburu yang telah berubah menjadi manusia, dan wanita itu berasal dari buah jeruk yang ditemukan di hutan dalam perburuan babi hutan. Jeruk itu berubah menjadi manusia, wanita yang sangat cantik sekali. Asa Paran merasa iri terhadap Mau IPI GULOQ. Maka Asa Paran menyuruh Mau Ipi GULOQ naik pohon lantas Asa Paran menumbangkan pohon itu dan MAU IPI GULOQ mati. Isterinya tidak tahu. Lantas dua anjing diutus pergi tempat kematian MAU IPI GULOQ karena kejahatan Asa Paran. Menemukan mayat MAU IPI GULOQ sudah berulat, tetapi dia dibangkitkan kembali oleh isterinya. Kemudian dia bangun dan normal sebagai manusia. Anjing itu menjadi dua wanita yang cantik. Kedua wanita dari kedua anjing yang berubah menjadi manusia itu menggunakan minyak itu membuat badan itu menjadi utuh kembali – sehat kembali. Asa Paran heran sekali ketika melihat MAU IPI GULOQ hidup dan sehat.



Kerangka ringkas Buku BEI GUA:




I. Penciptaan Manusia



II. Keluarga Oburu – Marobo __________ di sini ada cerita tentang MAU IPI GULOQ memiliki 2 isteri yang awalnya dari babi hutan dan jeruk yang menjadi manusia – wanita yang menjadi isteri MAU IPI GULOQ. Kemudian dua isteri berikut dari dua ekor anjing yang menjadi manusia –wanita yang membangkitkan Mau IPI GULOQ dan menjadi isteri MAU IPI GULOQ yang menjadi Raja.



III. LUTA – DATO ZOPATA



IV. SIBIRI – KAILAUQ



V. A TURUL TUK – SIOL WA ______ Pertemuan 3 suku yaitu Oburu, Sibiri dan Luta



VI. Tinggal Tetap dan Misi Dewa Kera yang berfungsi sebagai perantara.



VII. Sumpah Ikatan antara HULO – LEP ____ Dua bambu yang magis dan keluarga – keluarga atau suku –suku.



VIII. Rumah- rumah atau keluarga-keluarga yang sekarang tinggal di HENES PAQEL – HOL SOSEK _________ Ada dua bagian penting dalam hal ini yaitu terdiri dari :Pertama, Pendasaran keluarga-keluarga di HENES PAQEL – HOL SESUK. Kedua, Asal-usul dari tiga (3) rumah atau keluarga bangsawan yaitu : Pertama , IU GEWEN – HOL LAPIT; kedua, LIANAIN BEIN MONE; HAU POR.



***

Kamis, Mei 07, 2009

VOKAL DALAM BAHASA BUNAK

Dalam bahasa Bunak ditemukan arti dari setiap huruf vokal yang terdiri dari huruf-huruf A, I, U, E, O. Huruf A mempunyai arti makan. Huruf vokal I berarti kita dan arti kedua atau arti lain dari vokal I adalah menggigit. Huruf vokal U berarti rumput atau arti lain hidup. Huruf vokal E berart garam. Vokal O artinya udang. Gabungan huruf dua huruf vokal juga mempunya arti tersendiri. Misalnya AI artinya tanta. AU artinya bambu. AE artinya memberi makan kepada. AO artinya memanah. IA artinya memakan Anda. IU artinya berulat. IE artinya milikmu. IO artinya kotoranmu atau tahimu. UA artinya jejakmu. UI artinya ulat. UE artinya memukul. EA artinya memberi makan kepadamu. EI artinya mereka. OE artinya rotan. Inilah keunikan bahasa BUNAK.

Jumat, Februari 27, 2009

ANEKA MANUSIA BUNAK BERARAK MENUJU PUSAT KEMANUSIAAN

Penduduk suku Bunak itu beraneka. Satu keanekaan yang nyata muncul adalah penduduk suku Bunak itu terbagi dalam suku-suku kecil yang tersebar di seluruh Kecamatan Lamaknen dan Kecamatan Raihat, khususnya di desa Aitoun. Desa Aitoun sendiri memiliki kurang lebih tiga puluh suku kecil. Keanekaan ini merupakan sebuah kekayaan budaya. Tetapi juga tidak menutup pintu terhadap potensi konflik. Supaya potensi perpecahan tidak terjadi perlu dibangun persamaan pola pikir suku Bunak. Pola pikir itu adalah sederhana. Perjalanan setiap suku menuju satu koridor yang benar. Jalan itu adalah jalan menuju satu tujuan yaitu menuju kemanusiaan. Maka semua isme dalam suku-suku kecil harus dijernihkan dalam pencerahan lewat berbagai cara agar orang yang masih merasa suram matanya dalam melihat terang kemanusiaan sebagai pusat dapat disembuhkan. Untuk itu semua pihak dilibatkan dan merasa diri terlibat dalam perjalanan menuju TERANG KEMANUSIAAN yang menjadi pusat hidup kita semua manusia suku Bunak yang sedang berjalan menuju tujuan yang satu dan sama itu. Kita bisa. Kalau mau. ***

Banyak Manusia Satu Kemanusiaan

Perjalanan hisdupku sangat berfariasi. Selama menuntut ilmu di bangku sekolah dasar saya menempati dua sekolah dasar dengan bahasa ibu yang berbeda-bede. Di SDI Wehasan Kecamatan Lasiolat pada saat ini, berbahasa Tetum. Saya sendiri bukan orang Wehasan dan bukan berbahasa ibu Tetum. Saya berbahasa ibu Bunak atau Marae. Waktu itu tahun 1982 dan 1983. Teman-teman di daerah setempat melihat saya sebagai orang pendatang dan selalu menempatkan diri saya sebagai kelas dua. Saya memang merasakan itu dan saya merasa agak terasing dengan keberadan penempatn diri saya sebagai orang yang berada di kelas dua. Saya menerima itu walau agak sakit hati menghadapi keadaan itu. Namun saya tidak putus harapan. Saya dalam keadaan sosial menempatan diri saya berada pada kelas dua seperti itu saya membangun satu strategi yang lebih positif yaitu saya berjuang menempatkan diri pada yang pertama lewat jalur yang lain. Jalur lain itu adalah belajar keras dan tekun serta disiplin sehingga nilai selalu baik dan saya mendapat rengking yang pertama. Strategi ini mengurangi bahkan membangun rasa sungkan dalam diri sesama untuk terus-menerus menempatkan diri saya pada posisi kelas dua. Dalam bidang pendidikan formal, saya sangat diandalkan. Saat itu saya semakin termotivasi untuk menjadi yang pertama dalam bidang pendidikan. Caranya adalah rajin ke sekolah. Rajin mendengarkan penjelasan guru di kelas dan mencatatnya. Pendidikan yang maju mengurangi tekanan sosial yang cenderung primordial.




Pengalaman pendatang berhadapan dengan penduduk setempat terus menggema dalam perjalanan hidup. Pada tahun 1995 sampai saat ini saya bukan hidup di tanah kelahiran saya sendiri. Saya hidup sebagai pendatang di Pulau Jawa. Keberadaan saya di tempat lain sebagai pendatang, ketika berhadapan dengan penduduk setempat, selalau secara spontan atau secara terencana sadar, penduduk setempat kerap menempatkan pendatang sebagai orang berada pada orang lemah yang belum sempurna seperti pendidik setempat. Pada sebuah acara santai makan bersama di sebuah rumah makan sederhana, seorang penduduk setempat memandang dan menilai bahwa seorang pendatang dengan penampilan yang berbeda, sebagi orang yang kurang mampu dibndingkan dengan dirinya sebagai penduduk setempat. Mendengar itu saya tertawa dalam hati dan memmakai topeng menjawabinya dengan apa yang diingini penduduk setempat sebagai penilai agar tidak menimbulkan sebuah persoalan yang baru.



Saya merenung bahwa penilai itu pada dasarnya masih tertinggal satu langkah tentang pemahaman atau pola pikirnya. Saya menilai bahwa penilai itu orang yang sombong dan merasa superior dalam arti secata sosial sebagai tuan tanah atau penduduk setempat. Saya sendiri merasa bersyukur bahwa pada hakekatnya semua manusi berbeda penampilan lahiriah itu memiliki satu kemanusiaan yang sama. Setiap manusia diberi kemampuan untuk maju dalam waktu yang diberikan oleh sang pencipta. waktu sama dan kemampuan diberikan sang pencipta. Siapa yang rajin dan tekun memakai kemampuan dan mempertajam kemampuan dalam waktu itu pasti akan berkembang maju. Jadi bukan soal pendatang atau penduduk setempat yang menentukan orang itu maju atau mundur. ***

Minggu, Desember 14, 2008

PENEMU BUDAYA YANG HILANG

Saya melihat Bapa Louis Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai gembala yang mencari dan menemukan Budaya Lisan yang hilang dan membawanya kembali ke kandang budaya tulisan. Nilai-nilai budaya yang diungkapkan secara lisan dalam mitos dan telah nyaris hilang dicari dan ditemukan serta dibawa kembali ke kandang mitos yang tertulis dalam karya monumental mereka sehingga setiap generasi muda suku Bunak yang sedang berada di persimpangan jalan, mana jalan suku Bunak mana jalan kemanusiaan mana jalan religius dapat menemukan kembali jalannya menuju hakekat pribadi sebagai suku Bunak karena ada rambu-rambu peringatan tertulis secara ilmiah dari Bapa Lousi Berthe dan Mama Claudine Friedberg sebagai orang tua yang melahirkan kembali Nilai suku Bunak untuk kedua kalinya. Nilai-nilai budaya telah lahir dari rahim leluhur suku Bunak dalam mistos dan lahir kedua dalam mitos yang ditulis dalam karya monumental mereka dalam kandungan bahasa Prancis dan kini bagi para generasi suku Bunak untuk membawa kembali ke rahim suku bunak dalam bahasa ibu Pertiwi Suku Bunak dan ibu pertiwi Indonesia agar nilai-nilai itu kembali akrab dengan suku Bunak. Kelahrian ketiga ini dinanti-nantikan oleh semua manusia suku bangsa bunak. Suku Bunak merasa yakin kelahiran dan kedatangan ketiga ini pasti terjadi berkat atau lewat tulisan - tulisan suku Bunak sendiri.


Yes You Can. Kata-kata ini akan bergema di hati nurani suku Bunak untuk mulai merasa diri yakin untuk menulis tentang budayanya sendiri dengan berguru pada Bapa Louis Berthe dengan mama Claudine friedberg. Kamu mau kamu bisa.

Penemu Suku Bunak

Siapa yang menjadi penemu Suku Bunak? Secara formal ilmiah penemu suku Bunak adalah LOUIS BERTHE bersama isterinya Dr. Claudine Friedberg. Keduanya menulis tentang Bunak dari sudut Antropologi Budaya dan Bioantropologi. Louis Berthe menekankan "EN GUA" artinya asal manusia suku Bunak dari Wujud Tertinggi dalam mytos suku Bunak. Sebuah mitos memiliki keunikannya tersendiri. "Dalam mitos, keyakinan atas yang ideal itu umumnya melampaui batas nalar. Hal terpenting dalam mitos memang bukan benar atau salah, logis atau tidak, melainkan yakin atau tidak". (Lihat ACEP IWAN SAIDI : Dosen FSRD ITB, Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB. ACEP sebagai perensesi Buku yang berjudul JANTUNG LEBAH RATU, HIMPUNAN PUISI, KARYA NIRWAN DEWANTO. Resensi bukunya itu termuat dalam KOMPAS, Minggu 14 Desember 2008, halaman 11. JUDUL RESENSI: MITOS BARA BIRU NIRWAN DEWANTO). . Mitos ini digali dari keyakinan Suku Bunak oleh anropolog suku Bunak, LOUIS BERTHE. Suku Bunak yakin bahwa manusia suku Bunak berasal dari Wujud Tertinggi. Keyakinan yang sudah berakar dalam diri manusia suku Bunak itu yang terungkap dalam Karya Monumental LOUIS BERTHE : BEI GUA artinya perjalnan leluhur suku Bunak dalam mitos. Mitos itu dirangkai dalam kata sastra yang diceriterakan lisan dalam upacara adat resmi bukan ditulis dan dibacakan. Mitos lisan itulah yang beralih menuju mitos tertulis sehingga tidak hilang oleh antropolog LOUIS BERTHE yang menemukan kembali mitos yang hampir hilang. Sumbangan dan kerja keras Louis Berthe sangat berarti dan harus diberi apresiasi yang lebih. Unsur lebih itu harus terungkap dalam budaya menulis oleh orang Bunak Sendiri.


Sementara itu Claudine friedberg isteri Louis Berthe, menemukan suku Bunak dalam ilmu bioantropologinya. Kalau Louis Berteh menulis tentang BEI GUA artinya asal-asal manusia suku Bunak dalam Mitos yang sangat diyakini oleh suku bunak yang hidup religius, sedangkan Claudine Friedberg menulis tentang Suku Bunak dengan fokusnya A GUA artinya asal manusia digali dari biologi Suku Bunak, yaitu dari tumbuhan dan hewan dalam pola pemahaman suku Bunak yang diangkat ke taraf ilmiah. Claudine Friedberg ini sekarang menjadi profesor emeritus tinggal di litbangnya di Paris. Mereka berdua patut diberi apresiasi yang tinggi, karena mengangkat identitas manusia suku Bunak dari budaya lisan kepada budaya tulisan. Dengan tulisan mereka mengabadikan identitas alamiah suku Bunak. Suku Bunak kembali ke Asalnya lewat pintu lebar yang telah dibuka oleh kedua Bapa dan Mama penemu suku Bunak ini.***

ALASAN MENULIS BUKU KEMBALI KE AKAR

Saya menyampaikan beberapa hal yang mendorong saya untuk menulis buku KEMBALI KE AKAR. Pertama, saya termotivasi menulis tentang Budaya asal saya karena sepanjang saya belajar di pendidikan formal dari SD sampai Seminari Tinggi saya belajar tentang budaya orang lain dan saya tidak pernah belajar tentang budaya asal saya. Saya memberanikan diri memulai sesuatu yang baru. Memulai sesuatu yang baru seperti seorang petani yang membuka lahan baru dengan sebuah perjuangan yang luar biasa, untuk mendapat sebuah hasil yang baik bagi diri dan tentu secara sosial bagi anak-cucu. Hanya lewat menulis, anak cucu sesudah kita tahu tentang adat dan budaya kita sendiri. Kita sendiri harus menulis tentang diri sendiri dan kita sendiri harus tahu tentang diri kita sendiri agar orang luar tidak menipu kita dengan pandangan mereka.

Hal kedua yang mendorong saya untuk menulis KEMBALI KE AKAR adalah agar saya yang pastor ini mati dikenang karena sebuah hasil karya. Pastor tidak punya isteri dan tidak punya anak. Mati akan tidak dikenang kalau tidak mempunyai hasil karya BUKU yang resmi.

Hal ketiga yang membuat saya terdorong untuk untuk menulis tentang budaya saya adalah anak-anak muda yang kuliah di Jawa mengalami krisis identitas. Budaya asalnya tidak berakar dan budaya Jawa pun tahu setengah-setengah akhirnya mereka hidup terbawa arus zaman yang tidak tahu tujuannya kemana.

Rabu, Desember 10, 2008

"AGAN BULA HO'ON"

Suku Bunak merayakan adat syukuran setelah seorang Suku Bunak sembuh dari sakitnya. Penyakit itu bukan karena soal medis seratus persen. Suku Bunak merasa yakin bahwa sakit itu datang dari kemarahan leluhur pertama yang orang Bunak menyebutnya dalam bahasa "POR GOMO" dan juga sakit itu datang dari kemarahan jiwa anggota suku yang telah meninggal dunia terhadap seorang anggota suku yang sedang sakit.

Keyakinan itu menjadi kepercayaan publiki suku Bunak. Pelegitimasi adalah para dukun kampung yang menebak sumber penyakit dia yang sedang sakit. Semua anggota suku mengakui dukun kampung di dalam geografis suku Bunak. Pengakuan itu muncul dari pemimpin suku atau ketua suku sampai dengan anggota suku pada umumnya. Pengakuan ini membuat gerak dukun dalam menebak sumber penyakit si sakit secara leluasa tanpa ada partai oposisi terhadap dukun.

Pengamatan penulis selama mengikuti sang dukun penebak sumber sakit itu meliputi tiga hal ini. Pertama, dukun menebak sumber penyakit itu dari para suanggi yang ada di suku Bunak dan selalu berelasi dengan si sakit. Orang yang suanggi dalam suku Bunak dikenal dalam sebutan "PUAN" artinya suanggi yang memberi kekuatan jahat kepada orang yang sakit. Mengapa kekuatan jahat puan itu ditanggung oleh orang yang sakit itu? Karena orang yang sakit itu dalam hidup berelasi dengan orang yang "PUAN" itu pernah membuat orang yang "PUAN" itu sakit hati karena kata-katanya kasar dan permintaannya tidak si sakit menerima atau mengabulkannya. Si Sakit itu tidak memenuhi permintaan Puan pada dirinya. Kebencian "PUAN" itu tersalur lewat kekuatan jahat yang dikirim kepada si sakit. Tebakan si dukun atas sumber penyakit si sakit ini meminta upah berupa beras, korban binatang, uang serta minuman alkohol tertentu. Si dukun akan memberi permintaan PUANG pada si sakit dalam bentuk simbol. Maksudnya, uang atau beras atau apapun yang pernah diminta "PUAN" pada si sakit, harus diingatkan kembali si sakit di waktu yang lalu, dan itu harus diberikan kepada si "PUAN" lewat adat pengembalian kekuatan jahat kepada pengirim kekuatan jahat yaitu "PUAN". Dukun akan meminta siri, pinang, kapur, dan beras pada sebuah wadah yang telah diciptakan dari anyaman lalu dukun hening dan mengucapkan mantra-mantra dilanjutkan memberikan uang atau materi yang sebelumnya diminta kepada si sakit, lewat si sakit menyerahkan kepada si "PUAN" dengan kata-kata dukun yang isinya memberikan materi berupa uang, beras yang "PUAN" butuhkan dengan kata-kata minta maaf dan menyuruh si "PUAN" tidak mengganggu si sakit di waktu-waktu yang akan datang. Adat ini implisit mengakui kedudukan "PUAN" pada tempat yang suerior dalam relasi sosial masyarakat suku Bunak. Perasaan rendah diri rakyat sederhana di hadapan "PUAN" pembawa kekuatan jahat bagi sesama dalam relasi. Mereka yang "PUAN" pembawa kekuatan gelap dalam masyarakat secara adat tetap diakui keberadaannya. Ada ketakutan yang tidak terungkap dalam diri manusia Bunak yang bukan "PUAN" atau pembawa kebaikan bagi sesama dalam berelasi. Ketertindasan oleh keberadaan "PUAN" dalam hidup masyarakat suku Bunak yang memperlemah kekutan dalam diri rakyat bukan "PUAN" untuk mudah dikuasai Kekuatan jahat "PUAN". Keberadaan Kekuatan jahat atau kekuatan Gelap "PUAN" menjadi penjajahan psikologis dan sosial dalam ruang lingkup suku Bunak. Kerapkali kelompok khusus mereka yang tergolong sebagai manusia "PUAN" berdasarkan pegalaman berulang-berulang, mereka itu dijauhkan dalam berelasi. Mereka menjadi orang asing atau terasing dalam hidup bersama suku Bunak. Namun semakin mereka diasingkan semakin mereka menjadi-menjadi menajamkan kekuatan jahat atau kekuatan gelab yang mereka kirim kepada sesama yang bukan "PUAN" dan menimbulkan kematian. Proses kematian seorang yang irasional itu kalau diproses maka kerapkali si "PUAN" yang dianggap penyebab kematin itu mengakui dirinya yang membawa kematian tersebut. Eksistensi kekuatan jahat yang melekat dalam diri mereka yang "PUAN" ini dipandang masyarakat setempat sebagai warisan leluhur yang masih mencari-cari peluang untuk menghilangkannya dalam wilayah geografis suku bangsa Bunak. Semacam sebuah misteri kejahatan yang masih dalam sebuah pergulatan panjang untuk ditiadakan keberadaannya.


Kedua, dukun menebak sumber penyakit si sakit itu berasal dari kemarahan pemilik jiwa si sakit yang tidak peduli kepada pemilik jiwa si sakit itu. Pemilik jiwa si sakit itu dalam bahasa Bunak disebut "POR GOMO" yang berdiam di sebuah tuguh yang disusun dari bebatuan dekat sebuah sumber air sebagai tempat pertama tibanya leluhur di situ dan di situlah lahir manusia suku Bunak yang berkembang maju sampai saat ini.Tebakan sang dukun ini dipandang benar oleh anggota suku yang seorang anggotanya sedang sakit dan sumber penyakitnya sedang sang dukun menebak sumber penyalitnya itu. Pemulihan relasi harmonis si sakit dengan "POR GOMO" itu membtuhkan sejumlah uang, beras, binatang korban, minuman beralkohol dan siri,pinang dan kapur serta uang lelah kepada jasa dukun sang penebak sumber penyakit si sakit.Pemulihan itu dikenal dalam bahasa Bunak "BULA HO'ON" yang dipimpin oleh "AGAN" artinya dukun kampung suku Bunak. Adat pemulihan relasi harmonis antara si sakit dengan "POR GOMO" itu berlangsung di tuguh yang disusun dari bebatuan tempat perdana para leluhur perdana tiba. Tuguh itu dalam bahasa Bunak disebut "BOSOK". Di atas tuguh inilah "AGAN BULA HO'ON" artinya dukun menyelenggarakan adat pemulihan relasi harmonis antara dia yang sakit dengan "POR GOMO" pemilik dan penguasa atas jiwa si sakit.

Ketiga, Dukun menebak sumber penyakit berasal dari kemarahan para anggota keluarga yang telah meninggal karena si sakit tidak memperhatikan atau lupa mereka. Tebakan ini benar maka diadakan pemulihan relasi harmonis dengan jiwa para pendahulu di kuburan jiwa leluhur yang marah terhadap dirinya. Di atas kuburan dia yang marah terhadap si sakit, dukun itu mengadakan "BULA HO'ON". Adat pemulihan kembali relasi harmonis dengan leluhur di atas kuburan itu membuthkan sejumlah uang jasa bagi sang dukun yang menebak sumber sakit itu, beras, korban binatang dan sirih, pinang, kapur dan kain adat dan wadah-wadah yang terbuat dari anyaman. Dengan adat pemulihan yang dipimpin oleh dukun itu, diakui oleh suku Bunak sebagai jalan menuju kesembuhan si sakit.


Keunikan adat pemulihan kembali relasi harmonis si sakit dengan para leluhur maupun dengan mereka yang telah meninggal di atas kuburan maupun di atas tuguh tempat perdana tiba di Suku Bunak itu melahirkan beberapa catatan kritis bahwa para leluhur itu seperti pisau bermata dua bisa membantu tetapi juga mengganggu dalam arti menyakiti yang diyakini sebagai kekuatan jahat yang datang dari para leluhur. Para leluhur itu selalu ingin diperhatikan oleh setiap generasi lewat adat dan lewat kontak bathin dengan para leluhur. Itu adalah jalan para leluhur senantiasa menyalurkan rahmatnya yang berlimpah kepada generasi suku Bunak. Generasi suku Bunak zaman ini tersebar di segala ujung bumi karena dunia ini semakin mudah terjangkau, maka hanya lewat media komunikasi khususnya lewat tulisan dalam Buku ini yang dapat dibawa oleh setiap generasi suku Bunak di segala ujung bumi untuk membaca buku ini dan isinya direnungkan dengan demikian kesadaran anggota suku di luar geografis suku Bunak dibangkitkan untuk tetap membangun relasi harmonis dengan para leluhur pertama dan sesudah mereka. Buku ini adalah jiwa LELUHUR yang selalu menjadi pengingat setiap anggota suku Bunak untuk tiada bosan-bosannya membangun relasi harmonis berelanjutan dengan para leluhur agar para leluhur tidak kesepian dalam keleluhurannya karena anak muda generasi berikut tetap membawa kemudaannya dalam membangun relasi dengan para leluhur sehinngga yang tua (leluhur) diimbangi dengan kemudaan generasi muda suku Bunak yang selalu mengadakan kontak bathin dengan para leluhur, dan diyakini sebaliknya, para leluhur terus mengalirkan berkat bagi generasi muda suku Bunak yang selalu rindu KEMBALI KE AKAR yaitu para leluhur yang telah menurunkannya. Bacalah buku, tulisan ini, karena ini adalah ROH LELUHUR yang tampil dimata pembaca suku Bunak yang selalu rindu kesehatannya. ***

Selasa, Desember 02, 2008

LOUIS BERTHE ADALAH ANTROPOLOG SUKU BANGSA BUNAK, BERKEBANGSAAN PRANCIS














BEI GUA BERARTI ASAL USUL LELUHUR ATAU NENEK MOYANG SUKU BUNAK. ISTILAH BEI GUA SANGAT SPESIFIK. JUDUL "BEI GUA" DIUBAH MENJADI "EN GUA" ARTINYA ASAL - USUL MANUSIA DALAM PERSPEKTIF SUKU BANGSA BUNAK.DENGAN DEMIKIAN "EN GUA" ARTINYA LEBIH LUAS.

Jumat, November 28, 2008
























PASTOR TIDAK MEMPUNYAI EMAS ATAU PERAK. PASTOR HANYA MEMPUNYA KARYA TULIS. PASTOR TIDAK MEMPUNYAI ISTERI. PASTOR TIDAK MEMPUNYAI ANAK. PASTOR MENGABADIKAN NAMA DALAM KARYA TULISNYA. MEMAKNAI HIDUP PASTOR DENGAN MENULIS BUKU AGAR NAMA DIABADIKAN. SETUJU YA......
INI BUKU PERDANA. CETAKAN PERTMA HAMPIR HABIS TUNTAS. KALAU MAU BELI DAN PESAN KONTAK AJA PENULIS DI JALAN MAJAPAHIT 36 SURABAYA. EMAIL : soverdi@gmail.com atau bbmesvede@yahoo.com

Rabu, November 26, 2008

KABA DARI MALU DAN AIBA'A SENIOR

Kaba berarti memberi berkat. Misalnya saya menerima kaba dari para suku Malu dalam adat kenduri atau dalam bahasa Adat LAL GUJU. Sesudah saya menerima KABA dari para malu, saya juga menerima KABA sebagai berkat dari anggota sukuku yang sudah SENIOR.



Saya hendak menerima berkat dalam KABA ini pada setiap adat Kenduri dalam suku Monewalu. Saya juga minta berkat atau KABA dari para suku MALU sebagai asal-usul suku SAYA pada saat saya akan mengikuti ujian atau saya hendak meninggalkan tanah suku Bunak pergi ke tempat yang jauh. Saya minta KABA pada para suku MALU dengan urutan acara yang KHAS. Saya meminta seorang SUKU MALU yang sudah senior. Suku MALU ini menyiapkan SIRI, PINANG, KAPUR yang disimpan di dalam wadah yaitu TAKA GIRAL ATAU OPA. Lantas Pemberi KABA mendoakan MOLO (Siri) PU (Pinang) dan HAU ( KAPUR) yang ada dalam OPA itu. Waktu doa, Pendoa meminta berkat HOT ESEN (Wujud Tertinggi) melalui POR GOMO (Pemimpin Suku Yang Masih Hidup Maupun yang sudah Meninggal), dan melalui para leluhur. Lewat doa itu, HOT ESSEN hadir dalam simbol siri, pinang dan kapur itu dan kemudian Siri, Pinang dan Kapur itu dimakan oleh pemberi KABA. Sesudah itu MALU memberi Kaba di dahi dengan membuat tanda salib di dahi dan meniup kepala peminta KABA, dan juga meniup kedua tangan peminta KABA.


Biasanya penerima KABA menyampaikan terimakasih kepada Pemberi KABA dan memberi derma atau stipendium kepada Pemberi Kaba setelah menerima berkat KABA. Derma atau stipendium itu sesuai kerelaan penerima KABA.


Saya biasanya setiap kali pulang Libur waktu masih Pelajar selalu meminta KABA dari para MALU dan Orang TUa dan anggota Keluarga Yang Senior dan memiliki kewibawaan dalam kehidupan bersama SUKU. Saya merasakan dampak ketenangan dan mendapat dukungan yang luarbiasa dari keluarga Pemberi KABA dalam menuntut Ilmu disamping sukungan saya dengan belajar yang tekun dan disiplin. ****

ORANG MATI, KARYA TULISNYA ABADI

Hari ini Selasa 25 November 2008 Komunitas SVD mengadakan pertemuan komunitas. Ada banyak hal yang akan kami bicarakan. Pertama saya membagi pengalaman iman akan centenial AJ JF. Sharing berarti membagi apa yang saya alami. Centenial berarti seratus tahun meninggalnya santo Arnoldus Jansen dan Santo Yosef Freinademetz. Ada tiga hal yang menjadi kerangka pembicaraan saya yaitu KENANGAN HIDUP DAN KARYANYA, PERAYAAN YANG AKAN BERPUNCAK PADA 15 JANUARI 2008 dan HAL KETIGA YANG TERPENTING ADALAH RENEW = PEMBARUAN. Dalam pembicaraan kali ini, hanya tentang kenangan hidup dan KARYA kedua Santo AJ dan JF, dan RENEW.


I. KARYA ABADI

1.1. Santo ARNOLDUS JANSSEN ( AJ )

Arnoldus Jansen aktif dalam Kerasulan DOa. Dari doa ini lahir banyak inspirasi. Doa memberi dia daya yang luarbiasa. Doa dapat mengubah dirinya. Doa menguabh pikirannya. Perubahan yang dia kandung dan dia lahirkan itu meliputi tiga karya monumental untuk mewujudkan mimpinya Meewartakan KERAJAAN ALLAH kepada segala bangsa yang belum mengenal Allah atau kafir. Tiga karya besar itu meliputi mendirikan SVD, SSpS dan SSpS AP.


1.1.1. SVD

SVD dia dirikan pada usia imamatnya yang keempat belas. Usia imamat 14 tahun, dia mulai mendirikan SVD. Waktu itu AJ berusia 40 tahun. Usia yang penuh dengan mimpi. Usia yang penuh dengan menggantungkan cita-cita setinggi langit. AJ menghargai diri dengan menggantikan cita-cita setinggi langit dan tentu dibalik citanya itu bisa ditebak, AJ tidak mau menggantungkan cita-cita serendah atau tidak mempunyai cita yang memandu diri pada tidak menghargai diri sendiri. Mimpi itu dia konkretkan dengan mendirikan SVD. Anggota SVD dipersiapakan dan dikirim ke seluruh dunia mewartakan INJIL kepada bangsa-bangsa kafir. Visi AJ Kerajaan Allah bertahta di atas bumi ini terlaksana dalam SVD dan para anggotanya yang menjadi misionaris di segala bangsa.


1.1.2. SSpS

Arnoldus tetap memounyai mimpi. Mimpi mendirikan SSpS. Pada waktu mendirikan SSpS ini AJ berusia 54 tahun. Dia berusia imamat 28 tahun. Dia mendirikan SSpS, 14 tahun kemudian setelah mendirikan SVD. Selama 14 tahun AJ menyusun strategi untuk mendirikan SSpS.

1.1.3. SSpSAP

Konggregasi ini didirikan pada usianya 61 tahun, usia imamatnya 36 tahun dan waktu itu dia mendirikan konggregasi pendoa ini 7 tahun setelah mendirikan SSpS. Dia menyusun mimpinya dan menyusun strategi untuk mencapai mimpinya itu selama 7 tahun setelah mendirikan SSpS.


Demimikian karya-karya monumental abadi dari Santo Arnoldus Janssen (AJ). Santo yang satu ini telah mengisi USia imamat dan panggilannya dengan karya-karyanya yang berguna bagi diri, bagi manusia, bagi bangsa dunia dan Gereja Sejagat.



1.2. Santo Josef Freinademetz (JF)

1.2.1. Dari Imam Projo Menjadi SVD

JF ini menjadi imam projo selama 3 tahun. Tahun keempat dia masuk SVD dan dipersiapkan di Steyl kemudian pada tahun kelima imamatnya dia menjadi misionaris di CHINA tanpa sekalipun cuti ke kampunghalamannya. Dia menjadi misionaris di China selama 19 tahun, belajar bahasa China, budaya china sampai dia mati dan dia katakan bahwa sampai di Surga pun saya mau tetap menjadi orang China.

1.2.2. Misi Kontekstual

JF bermisi bukan membawa Kristus yang sudah diformat oleh budaya Eropa. JF bersama orang China berjalan bersama mengikuti Jejak Allah yang berjalan di China. Dia bersama umat berjalan di atas Jalan Tuhan mengikuti Tuhan yang diimani.




II. RENEW


2.1. AJ dan JF hidup hanya sekali. Mereka telah membuat hidupnya bermakna dengan melakukan hal-hal yang luar biasa yang berguna bagi dirnya, gereja dan kita semuanya. Gunanya itu kita rasakan dan alami saat ini menjadi anggota SVD yang sedang berjalan bersama mengikuti Jejak Allah. Kita kerja Sama berjalan bersama menuju cita yang terpusat pada KERAJAAN ALLAH. Kita juga hanya hidp sekali. Kita belajar dari AJ dan JF yang telah mengisi usia imamat dan panggilannya dengan karya-karya monumental bagi pembaruan dunia dalam Allah. Kita melakukan satu karya kecil-kecilan saja. Saya bermimpi mengabadikan nama saya dengan Hasil Karya perdana adalah buku KEMBALI KE AKAR. Pastor tidak punya isteri. Pastor tidak punya anak. Pastor dapat dikenang hanya lewat KARYA TULISNYA SAJA. Makna hidupku ada dalam KARYA KU " KEMBALI KE AKAR".... Dalam rentang waktu hidup yang begitu singkat AJ dan JF mengisi usia imamat dengan baik sebagai satu ungkapan syukur sekaligus penghargaan terhadap hiup yang diberi ALLAH DAN MILIK ALLAH. Allah beri modal hidup maka AJ dan JF telah melipatgandakannya. KITA, SAYA, ANDA.... ?


2.2. Beberapa bulan yang lalu, tepat Hari Sabtu 8 November 2008 Malam sesudah ibadat malam, Komunitas SOVERDI SURABAYA menonton bersama pada layar lebar di Pendopo WAS FILM " THE MISSION". Ada pesan terakhir yang sangat menarik saya setelah menonton FILM itu adalah Misionaris perintis telah tiada. generasa penerus tetap ada. Misi ada dalam tangan generasi muda, generasi penerus. Dalam konteks Centenial, kita melihat AJ dan JF telah tiada, tetapi karya-karya monumental tetap ada dan tetap hidup. Mereka meninggalkan tongkat misi kepada kita dan kita lah kini melanjutkan dan membawa tongkat misi Kerajaan Allah kepada segala Suku Bangsa di dunia.


2.3. Misionaris Perintis Telah Mati. Misi Tetap hidup. Inti pesan FILM " THE MISSION". Dalam konteks centenial, Para pendiri dan perintis SVD, SSpS, SSpSAP telah tiada, generasi pengganti bertumbuh dan terus bertambah. Misi Allah adalah misi AJ dan JF dan misi kita dan misi generasi penerus.


2.4. AJ dan JF telah bekerjasama dalam mewartakan Kerajaan Allah kepada segala bangsa Kafir. AJ adalah pemikir. JF adalah petugas pastoral. Perbedaan kemampuan dan talenta membuat mereka saling melengkapi dalam mencapai visi yang satu dan sama yaitu KERAAJAAN ALLAH BERTAHKTA DI ATAS BUMI INI.



***********S E M O G A *****

Senin, November 24, 2008

EN GUA DALAM KATA SAKTI

EN GUA, arti denotataifnya adalah asal-usul manusia. EN GUA SUKU BUNAK berarti asal Usul Manusia Suku Bunak. Kata Sakti ini didaraskan seperti mendaraskan mazmur dengan birama yang tertaur dan tetap. Pemdarasan itu harus dalam sebuah penghayatan yang dan keterlibatan perasaan dan hati dalam pendarasan itu. Kekuatan sakti semakin lama-semakain dirasakan bahkan bulu kuduk pun merinding karena kata-kata sakti dengan birama tetap dan tekanan selalau jatuh pada suku kata kedua kata terkahir dalam kalimat sakti itu. Perasaan semakin merasakan pengasal hidup manusia suku Bunak itu hanya dapat dialamai dalam sebuah perasaan karena penghayatan yang sangat mendalam dalam mengucapakan atau mendaraskan kata-kata sakti itu.


Ingat atau bandingkan ketika menyanyikan lagu-lagu bahasa LATIN dalam sebuah Gereja. Walau tidak mengerti tetapi sanagt menyentuh perasaan kita. Perasaan iman akan yang mencipkana kita manusia akan dialami dalam LAGU BAHASA LATIN, misanya misanya requiem.

BABA = NAI = PAMAN = OM

OM atau BABA ini memiliki pengaruhnya yang sungguh luar biasa.
Kehadiran mereka menentukan roda perjalanan kehidupan manusia suku Bunak.
Kualitas dan wibawah BABA sungguh diharapkan oleh anggota suku agar para BABA dapat memberikan keputusan yang membawa kesejahteraan banyak orang dalam sukunya. BABA dan ketua suku sungguh-sungguh memiliki pengaruh yang besar dalam seluruh urusan adat SUku Bunak. Adat Lal Guju maupun adat LAL BELIS atau adat yang berhungan dengan semua perayaan adat yang membawa sukacita bagi para anggota sukunya.

MERASAKAN PERENIAL DALAM TEMPORAL ADAT RITUS "LOBOR HIN, BOTO, LESU ASU" SUKU BUNAQ AITOUN


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

  


Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. 

Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.

Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER  dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya. 

Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut. 

Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir  atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU. 

Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal. 

Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun. 

Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir  atau memindahkan kekuatan jahat yaitu LAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya. 

Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER  atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan LAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia. 

Kekuatan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu. 

Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa Suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalam fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan rumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. 

Hal ini terungkap dalam pemberian daging kepala babi kepada kekuatan jahat disertai kata mantra-mantra  sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU. 

Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif. 

Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelayanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunaq. Ritus adat ciptaan tradisi ini mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.  Temporal adat yang tampil di dalam fenomena yang diobservasi ini memiliki perenial adat yaitu isi, makna, utamanya konsep harmoni yang ada dibalik fisikal adat ini. 

Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya,  manusia, untuk menjadi pengikutnya, sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun.  LAL GUJU artinya ritus adat kenduri, ritus adat duka Suku Bunaq Aitoun. 

 Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Setiap orang tidak tahu nasib orang-orang yang sedang diperebutkan oleh dua kekuatan itu. Hanya satu hal yang pasti di antara sekian banyak kemungkinan yang bisa terjadi adalah bahwa: "jika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."

Dari ritus adat ini,  pembaca merasakan tiga cara berpikir Suku Bangsa Bunaq di dalam tiga bagan berikut. 








Tiga cara berpikir ini membentuk cara berperasaan dan cara berperilaku dalam diri setiap anggota Suku Bunaq Aitoun, dulu, kini, dan selamanya. 

Ketika suku Bunaq Aitoun hadir dalam ritus adat, orang-orang yang hadir itu secara benar-benar berpikir, berperasaan, beraksi secara utuh dalam lingkaran berpikir di atas, secara setara, seimbang, harmonis, sederajat, utuh, total, menyeluruh: relasi dengan Aku/diri sendiri, Anda/sesama, Alam Semesta, Arwah Leluhur, Supranatural/Allah. Suku Bunaq memiliki cara berpikir dalam lima relasi tersebut sekaligus dalam eksistensinya bersama yang lain, baik dalam ritus resmi maupun dalam hidup sehari-hari. 


Ini rasa cara  berpikir, berperasaan dan berperilaku suku Bunaq Aitoun yang terbuka untuk dilengkapi oleh setiap orang yang mau menjadi orang pertama dan utama "tenggelamkan diri dibaptis dalam sungai yordan adat suku Bunaq Aitoun, dan pada saat itulah terdengar dari langit Suku Bunaq Aitoun, inilah anak yang kukasihi, dengarkanlah dia. Itulah awal karya pelayanan antropolog di tanah Suku Bunaq Aitoun." 

Itu berarti seorang hebat yang datang ke Suku Bunaq Aitoun tapi yang rendah hati datang ke wilayah suku Bunaq Aitoun, merendahkan diri, belajar dari bawah-ke atas, agar hasil pelajarannya bertumbuh dari tanah bawah subur yang berakar dalam, bukan dari langit yang melayang-layang tidak menyentuh bumi Suku Bunaq Aitoun. 

Demikian sebuah pemaknaan cara berpikir Aloysius Pieris rasa Asia yang kemudian dimaknai dalam konteks teks ini yaitu dalam rasa cara berpikir Suku Bunaq Aitoun.  


Perenial Adat Abadi, Sang Supranatural yang menyatakan dirinya dalam temporal adat "lobor hin, lesu asu, boto."  LOBOR HIN artinya membongkar tenda. LESU ASU berarti menurunkan mahkota beserta semua perhiasan keagungan tenda dan menurunkan semua bunga keindahan di panggung tenda. BOTO artinya semuanya dibubarkan,  yang baik bergi melakukan yang baik di jalannya, yang negatif sudah kenyang  lewat ritus ini lulu pergi dengan perut yang kenyang ke tempat tinggalnya, tidak mengganggu lagi semua yang sedang berbuat baik di jalannya. Ritus di atas UMON ini juga Melahirkan tiga cara berpikir Suku Bunaq Aitoun  dan Fisikal Adat Ritus "Bula Ho'on" memproduksi Metafisikal konsep berpikir Suku Bunaq Aitoun. ***


Daftar Pustaka

A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..