Jumat, Januari 11, 2008

MERASAKAN NOMENA AGAMA BERTEMU ADAT SUKU BUNAQ

I. Pengantar


Suku Bunaq adalah satu suku di Pulau Timor. Penulis adalah seorang Suku Bunaq. Penduduk Suku Bunaq adalah manusia-manusia yang beriman dalam budayanya. Dengan pengetahuan mereka yang seadanya mereka mengaku bahwa ada sesuatu atau satu pribadi yang sangat berkuasa. Melihat keajaiban alam dan berbagai fenomenanya mereka merasa dan mengaku bahwa di balik semua ini pasti ada yang menciptakannya. Melihat sebuah pohon besar, mereka terkagum, tentu pohon ini tidak ada dengan sendirinya. Mereka yakin bahwa semuanya ini diciptakan oleh wujud tertinggi.


1.1.Wujud Tertinggi


Orang Bunaq (Suku Bunaq) menyebut Wujut Tertinggi dengan nama “ HOT ESEN” . Hot berarti daya, hangat, panas, kekuatan, sinar, terang. Esen berarti atas, tinggi, kuasa. Hot Esen berarti panas atas, matahari. Suku Bunaq memandang Hot Esen ini memiliki sifat Masak Giral Kereq-Boal Gepal Kereq, artinya Yang Maha Agung dan Maha Sempurna; Hot Ligi O Le Esen, artinya Yang Maha Tahu; Tiu O Mugi As,artinya Yang Maha Tinggi; Bekaq O Nolaq Esen, artinya Yang Maha Penguasa dan Yang Maha Pencipta alam semesta dan segala isinya.

1.2. Tempat-Tempat Kultus Suku Bunaq


1.2.1. Deu Hoto ( Rumah Adat)


Deu Hoto adalah tempat sekaligus pusat perayaan keagamaan setiap Suku. Dan setiap suku memiliki Deu Hoto masing-masing. Mereka percaya bahwa di sini Yang Ilahi bersemayam. Deu Hoto ini sudah ada sejak nenek moyang masih mengembara. Budaya ini ditradisikan dari generasi ke generasi sampai sekarang ini. Dalam Deu Hoto ini disimpan semua peninggalan nenek moyang. Dan peninggalan ini dilihat sebagai tanda kehadiran para leluhur yang adalah pendiri deu hoto ini.



1.2.2. Pekuburan


Di sini mereka berdoa bagi orang tua dan sanak keluarga yang telah meninggal supaya membantu mereka yang masih ada di dunia sekarang ini. Doa dan korban ini melambangkan hormat dan cinta mereka. Di sini mereka menyembah hewan dan mempersembahkan sesajian dengan keyakinan adanya kehidupan di dunia seberang. Bahwa apa yang dimiliki perlu dinikmati secara bersama dengan mereka yang telah meninggal.


1.2.3. Air Keramat ( Mot/Il Giral)


Setiap Suku memiliki sumur berair keramat (Mot/ Il Giral masing-masing, dan biasanya terletak di hutan. Il Giral/Mot ini diyakini sebagai sumber daya kehidupan Suku. Setiap tahun, di saat makan jagung mudah, di tempat ini biasa diadakan upacara ritual. Melalui Mot / Il Giral ini mereka melihat suatu keajaiban yaitu kehidupan dialirkan kepada mereka. Di balik Mot ini mereka melihat sesuatu yang kudus dan melampaui segala sesuatu. Karena itu sumur ini tidak ditimbah secara sembarangan. Dan yang melanggar akan dikenakan denda.


Hal ini juga mereka lakukan di pohon-pohon besar, hutan-hutan lebat, gua-gua, kebun, sawah, padang peternakan. Mereka percaya tempat-tempat ini adalah kediaman roh-roh. Karena itu orang harus terlebih dahulu meminta izin kepada roh-roh itu sebelum menggunakan tempat-tempat tersebut. Namun mereka tidak berhenti di sini, sebab mereka yakin tempat-tempat itu hendak menghantar mereka ke sesuatu yang tertinggi dan melampaui segala yang ada di dunia.


1.3. Catatan Kritis

Dari uraian ini menjadi nyata bahwa Suku Bunaq adalah manusia-manusia religius. Dengan caranya mereka menyatakan sembah bhaktinya kepada wujud tertinggi, Hot Esen. Mereka juga mengakui adanya roh-roh yang mendiami tempat-tempat (hutan, pohon, kebun, sawah, dsb) di dunia ini. Inilah Suku Bunaq berpandangan hidup yang berakar dan bertumbuh subur dalam budayanya. Dan falsafah hidup asli Suku Bunaq ini, menjadi jati dirinya yang sebenarnya. Suku Bunaq beriman asli dalam budaya warisan leluhurnya.


II. IMAN KATOLIK

2.1. Kitab Suci


Kitab Suci menonjolkan kata beriman bukan iman. Beriman sangat menentukan aspek kehidupan beriman yaitu kelakuan orang beriman. Teologal sangat menonjolkan beriman mengandaikan inisiatif dari pihak Tuhan, sedangkan manusia hanya memberi reaksi atau jawaban. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pewahyuan diri Allah baru mencapai tujuannya apabila terjadi pertemuan antara Tuhan dan manusia yang menyerahkan diri kepadaNya.


2.1.1. Kitab Suci Perjanjian Lama

Kitab Suci Perjanjian Lama menggunakan kata Ibrani Aman yang punya arti sangat luas misalnya teguh atau setia. Justru itu sebuah kata yang digunakan untuk hubungan pribadi dengan sesama, bisa digunakan untuk hubungan antara manusia dengan Allah. Atau YAHWE dengan Israel, yang ditekankan atau ditonjolkan bukan hanya soal beriman, melainkan memberikan kesaksian hubungan antara Tuhan dengan manusia, yang dihayati oleh Abraham-orang beriman ( Rom 4: 5). Wujud Tertinggi Perjanjian Lama adalah YAHWE, sumber dan pusat iman umat Perjanjian Lama.


2.1.2. Kitab Suci Perjanjian Baru

Perjanjian Baru menggunakan istilah Pistis, atau pisteo, untuk menunjukkan hubungan manusia terhadap Tuhan. Kata Pisteo berarti : percaya akan Sabda Tuhan, misalnya Yoh 2:22; patuh yang menekankan pentingnya aspek ketaatan dan beriman; percaya, misalnya Ibr 11:11; dapat juga mengaju kepada kesetiaan. Jadi orang beriman itu berarti menerima pewartaan kristiani yang menyelamatkan. Isi dari iman kristiani itu sendiri diringkas dalam Rom 10:9. Iman juga berarti hubungan personal dengan Yesus Kristus. Wujut Tertinggi Perjanjian Baru adalah Yesus Kristus puncak dan pusat YAHWE (PL), Allah mewahyukan DiriNya kepada manusia. Allah telah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.


2.2. Beriman dalam Tradisi

Dikenal beberapa istilah yang dipakai sejak skolastik, misalnya Credere Deum; Credere Deo; Credere In Deum.


2.2.1. Credere Deum

Credere Deum berarti percaya bahwa Tuhan itu ada, dan ini bisa berarti sangat dangkal karena mungkin suatu keyakinan teoritis, tanpa konsekuensi dalam peraktek.

2.2.2. Credere Deo


Credere Deo berarti percaya kepada Tuhan mengenai apa yang diwahyuhkanNya, menganggap benar agama Kristiani sebagai agama yang sudah saya terima atau sungguh-sungguh mempengaruhi kehidupan saya. Katakan saja iman yang demikian bukanlah sebuah keutamaan.

2.2.3. Credere In Deum


Credere In Deum berarti iman yang hidup, dalam arti penyerahan diri kepada Tuhan. Iman yang berarti bagi diri sendiri, yang punya pengaruh bagi kehidupan pribadi. Sebuah iman yang sudah diresapi oleh cinta kasih (Gal 5:6).

2.3. Iman Dalam Ajaran Gereja


Untuk melawan Pelagianisme yang menekankan bahwa iman bisa diusahakan hanya oleh manusia, Gereja memperhatikan ajaran bahwa desakan pertama untuk beriman dan kesediaan untuk menerima iman merupakan anugerah Tuhan.


2.3.1. Konsili Trente

Konsili Trente mengajarkan ajaran reformasi. Gereja menekankan bahwa iman itu hanya lebih daripada kepercayaan karena iman merupakan perbuatan persetujuan terhadap apa yang diwahyukan dan apa yang dijanjikan Tuhan. Trente menekankan bahwa iman dianugerahkan Tuhan. Dan merupakan awal dan akar keselamatan. Iman tanpa harapan dan cinta kasih adalah mati.

2.3.2. Konsili Vatikan I

Dijumpai paham iman yang agak intelektualistis. Untuk melawan rasionalisme Gereja mempertahankan sifat adikodrati ini, sedangkan untuk melawan tradisionalisme, Gereja menekankan peranan akal budi.

2.3.3. Konsili Vatikan II

Konsili II ini menekankan segi personal iman. DV artikel 5 menulis: “kepada Allah yang memberi wahyu, manusia harus menyatakan ketaatan iman yaitu dengan bebas menyerahkan diri seluruhnya kepada Allah”.

2.4. Iman Sebagai Keutamaan Teologal

Keutamaan adalah sikap dasar kita. Iman sebagai sesuatu yang berlangsung pada saat-saat tertentu atau yang disebut sebagai perbuatan. Keutamaan teologal iman yang dicurahkan dan bersifat adikodrati merupakan prinsip yang memungkinkan perbuatan-perbuatan iman yang bersifat adikodrati pula. Dalam Kitab Suci terutama surat-surat Paulus terdapat perbedaan antara status menetap beriman, misalnya Rom 4:5, 10:11. Selain itu dikenal secara bersama-sama harapan dan kasih sebagai inti hidup kristiani, sebagai keadaan yang menetap dan bukan meluluh sebagai perbuatan yang berlalu. Ada beberapa ungkapan yang menunjukkan keadaan yang menetap, misalnya hidup dalam iman. Gal 2:20 atau jalan dalam iman 2Kor 5:7, juga berdiri tegak dalam iman.


Sasaran langsung dan motivasi keutamaan teologal serta perbuatan beriman ialah Tuhan sendiri sebagai kebenaran tertinggi, yang mewahyukan dan menganugerahkan diriNya secara adikodrati kepada manusia.

2.4.1. Tanggungjawab Terhadap Iman

Iman bukan hanya merupakan anugerah, tetapi sekaligus merupakan tugas dengan demikian iman mempunyai konsekuensi moral. Dari iman timbul tugas penuh tanggungjawab bagi manusia kristiani. Dan ia juga punya tanggungjawab untuk iman.


2.4.1.1. Tugas Menghayati dan Membina Iman


Iman merupakan hidup baru yang harus berkembang dalam hidup manusia, maka perlu sungguh-sungguh dihayati dan dibina. Menghayati dan membina iman mengandung banyak unsur yaitu melindungi iman dan memperdalam iman. Menghayati iman berarti menghayatinya dalam semangat cinta kasih. Dengan demikian cinta kasih bukanlah tambahan sampingan melainkan tak terpisahkan dari iman.

2.4.1.2. Tugas untuk Memberi Kesaksian Iman

Hal ini merupakan dimensi sosial iman yakni adanya kewajiban untuk menyatakan iman keluar, memberikan kesaksian iman terhadap dunia luar. Untuk menunjukkan dimensi sosial iman ini orang mengacu pada Mat 10:32-33. Kesaksian iman pada umumnya cukup implisit, tetapi ada kalanya diminta kesaksian eksplisit, misalnya, apabila diam saja, sudah dipandang sebagai penyangkalan iman (Kan. 1325). Meskipun demikian dalam pengejaran pembunuhan, orang dapat menyembunyikan imannya untuk sementara.

2.4.1.3. Tugas Menyebarkan Iman


Dokumen Ad Gentes menekankan bahwa iman Katolik itu bersifat universal. Gereja itu sendiri berarti misi, maka jelaslah bahwa penyebaran iman merupakan tugas hakiki Gereja sebagai keseluruhan. Dengan demikian menjadi tugas utama setiap orang Kristiani.


2.5. Catatan Kritis


Beriman berarti menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah Yang Esa, yang mewahyukan DiriNya dalam Diri PuteraNya Yesus Kristus, menerima ajaranNya, menghayati ajaranNya dan mewartakanNya kepada orang lain, supaya Kerajaan Allah meraja dalam hati semua manusia. Inilah komitmen pribadi maupun bersama orang yang beriman Katolik. Iman Katolik beriman kepada Allah Esa yang mwnjadi manusia dalam Yesus PuteraNya.


III. REFLEKSI KRITIS

Agama Katolik memiliki figur Allah yang Esa. Iman asli Suku Bunaq memiliki iman akan Wujud Tertinggi dengan nama Hot Esen. Dalam hal ini wajah Allah iman Katolik bertemu muka-wajah ”Allah” Suku Bunaq (Hot Esen). Kondisi iman asli suku Bunaq ini menjadi lahan subur bagi misi gereja yang inkulturatif. Ini telah terbukti, doa-doa Katolik berbahasa Bunaq, menginkulturasikan Wajah Allah Tradisi Gereja Katolik dalam wajah Allah suku Bunaq yaitu Hot Esen. Bahasa atau Nama Allah atau Tuhan diterjemahkan dengan nama Hot Esen. Dengan demikian iman katolik sangat mudah tertanam, berakar, bertumbuh subur dalam perasaan-hati manusia Suku Bunaq, yaitu kebudayaannya. Inilah power misi berpakaiankan budaya Suku Bunaq oleh para misinaris SVD awali dalam Suku Bunaq.


Meskipun demikian, misi Allah gaya inkulturatif ini mengalami kesulitan pada budaya-budaya tertentu. Konsep Allah sebagai pribadi, figur dari Tradisi Katolik ini menghadapi penyangkalan yang serius dalam kebudayaan-kebudayaan yang mengimani wujud tertinggi tak berfigur dan tidak dapat difigurkan oleh manusia yang tak berdaya dan terbatas terhadap wujud tertinggi, kebudayaan Budhis, misalnya.
Pada lain pihak pandangan hidup Suku Bunaq juga masih mengandung penghormatan kepada bermacam-macam roh (pohon, hutan lebat, gua-gua, yang masih disembah oleh Suku Bunaq dalam budayanya. Kondisi ini harus ditanggapi secara kritis dalam kacamata iman Katolik yang hanya menganut monoteisme. Meskipun demikian keadaan Suku Bunaq ini menjadi peluang bagi misi Katolik untuk menerangi budaya Suku Bunaq dengan Terang nilai-nilai Injili. Untuk itu pendekatan manusiawi harus menjadi komitmen dalam menanam tradisi Gereja Katolik dalam budaya Suku Bunaq. Menuju budaya suku Bunaq diterangi nilai-nilai Kristiani memang membutuhkan sikap waspada dan proses yang lama, agar misi Katolik tidak melukai hati dan budaya Suku Bunaq tetapi benar-benar meneranginya.


Singkatnya nilai-nilai budaya yang bertemu dengan nilai-nilai kristiani dapat dimanfaatkan sungguh-sungguh untuk bermisi dalam Budaya Suku Bunaq. Nilai-nilai Injili menjiwai budaya setempat dan bukan sebaliknya (Bdk EN.no.20).




DAFTAR PUSTAKA


Berthe, Louis, Cara Perkawinan dan Susunan Masyarakat Pada Orang Bunaq di Timor Tengah, Jakarta: UI, 1966

Bere, Laurens, Daftar Data dan Informasi tentang Suku Bangsa Bunaq, Weluli: P & K, 1987

Go, Piet, Diktat Keutamaan Teologal dan Religi, Malang: STFT Widya Sasana, 1984
Janga, Antonius, CP, Catatan Kuliah Mimbar, Malang: STFT Widya Sasana, 2002/2003


Kirchberger, Georg, ALLAH Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen, Ende: LPBAJ, 1999

Kobong, Th, Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994

Liliweri, Alo, ed. Inang Hidup dan Bhaktiku, Kupang: Tim Penggerak PKK NTT, 1989

Mangun Wijaya, Y.B, Sastra dan Religiositas, Jakarta: Sinar Harapan, 1982


Norsena, Bambang, Religi dan Religiositasm Bung Karno, Keragaman Mengokohkan Keindonesiaan, Denpasar: Bali Jagadhita Press, 2002


Prior, John M, SVD, Bejana Tanah Nan Indah, Ende: Nusa Indah, 1993

Sinaga, Anicetus, Gereja dan Inkulturasi, Yogyakarta: Kanisius, 1984

Sermada Kelen, Donatus, Diktat Filsafat Ketuhanan, Malang: STFT Widya Sasana, 1999


Z.M. Hidajat, Masyarakat dan Kebudayaan Suku-Suku Bangsa di NTT, Bandung: CV Tarsito, 1976

Kamis, Januari 10, 2008

PRESIDEN SUKU MERAYAKAN “ADAT BULA HOON” D I ATAS “BOSOK”

BULA HOON artinya mempersembahkan korban binatang kepada leluhur yang dipimpin oleh POR GOMO. Por gomo adalah pemimpin tertinggi para leluhur maupun pemimpin jiwa anggota suku yang masih hidup di dunia ini. Istana kediaman Por Gomo ini di sebuah altar yang dibangun oleh nenek moyang sejak jaman dulu kala. Altar itu dibangun dari batu-batu alam. Altar persembahan itu dalam bahasa Bunaq disebut BOSOK.



Tempat Altar itu biasanya di tempat di mana ada sumber air. Orang yang mengadakan BULA HOON, menimbah air itu dan membawanya ke rumah, di simpan di rumah, sebagai air berkat dalam rumah. Por gomo adalah penguasa atas hidup manusia. Paham bahwa sakit seorang anggota suku sampai operasi misalnya, merupakan satu penyakit karena kemarahan por gomo yang berkuasa atas hidup setiap anggota suku. Sakit keras dan kemudian sembuh kembali, dipandang bahwa kesembuhannya itu belum total. Dipandang bahwa jiwa seorang anggota suku itu masih tinggal dibawa kuasa por gomo. Lalu bagaimana supaya jiwa itu kembali menyatu dengan seorang anggota suku yang telah sembuh dari sakit itu ? Di samping proses peyembuhan secara medis maupun lewat dukun kampung, diadakan adat liturgi BULA HOON untuk si sakit bersatu kembali dengan jiwanya agar dia mengalami kesehatan yang utuh.




Sejak nenek moyang dahulu kala, adat BULA HOON ini sudah ada dan terus dilaksanakan sampai hari ini oleh generasi suku-suku kecil dalam suku Bunaq. Setiap suku kecil dalam suku Bunaq memiliki por gomo sendiri-sendiri. Setiap suku kecil memiliki altar persembahan yang dibangun dari bebatuan yang biasanya dekat sumber air. Setiap melaksanakan korban binatang sesuai dengan intesinya untuk menerima rahmat utuh dari POR GOMO setelah sakit keras, dan setelah kecelakaan. Sakit penyakit itu berasal dari kutukan POR GOMO atas seorang anggota suku yang sakit atau celaka karena mengandalkan diri tidak mengandalkan kekuatan POR GOMO yang menguasai hidup setiap anggota suku. Anggota suku yang sombong, tidak rendah hati lewat tidak taat pada adat istiadat yang berlaku, akan diberi penyakit atau kecelakaan oleh POR GOMO. Adat BULA HOON untuk kembali memperbaharui diri seorang yang telah sakit atau celaka itu untuk hidup rendah hati dan peduli serta taat pada tata adat yang diturunkan nenek moyang sejak dahulu kala.




BULA HOON yaitu perayaan liturgi adat dengan mengorbankan korban binatang yang dipercikkan darahnya di atas altar persembahan nenek moyang itu disertai dengan mantra-mantra oleh seorang dukun sekaligus seorang yang tahu adat tentang asal-asal suku dan tahu baik bahwa sumber kemarahan POR GOMO terhadap yang menderita sakit dan atau mengalami kecelakaan, agar mantra-mantra kerendahan hati dan permohonan maaf di depan POR GOMO dapat meluluhkan hati POR GOMO untuk memberi kesembuhan utuh serta berkat dan perlindungan hidup sehat kepada si sakit. BULA HOON di atas BOSOK atau altar persembahan ini bertujuan untuk hidup damai antara anggota suku yang sakit dengan POR GOMO suku. Persembahan korban binatang di atas BOSOK yang telah dibangun sejak dulu kala sejak zaman nenek moyang, tetap dijaga oleh presiden suku atau ketua suku bersama para anggota suku yang akan mengganti presiden suku.





Korban yang dipersembahkan di BOSOK tersebut adalah korban pendamaian antara anggota suku yang sakit dengan POR GOMO sebagai pemimpin atas kehidupan anggota terutama atas anggota suku yang sakit atau celaka yang sedang dalam proses penyembuhan menuju kesembuhan total. Sangat diyakini bahwa pembuat adat liturgi BULA HOON di atas BOSOK itu, selain berdamai dengan POR GOMO, adat ini dirayakan untuk mengambil kembali jiwa yang masih ada di tangan kuasa POR GOMO yang berkuasa atas kehidupan si sakit karena penyakit atau kecelakaan, agar jiwanya itu kembali bersatu dengan dirinya. Permintaan jiwa si sakit itu oleh presiden suku lewat mantra-mantra yang diucapkannya. Lewat Adat liturgi BULA HOON di atas BOSOK atau altar itu presiden suku atau ketua suku meminta rahmat dan kebaikan serta perlindungan dan kesehatan kepada anggota suku yang sedang dalam proses sakit karena penyakit atau kecelakaan.





Akan dibawa kemana daging yang dikorbankan itu? Daging itu akan dimasak di sekitar BOSOK altar tempat persembahan suku kepada pemimpin kehidupan yaitu POR GOMO. Daging yang sudah dimasak dengan nasi, siri pinang, sejumlah uang logam, sesuai ketentuan adat yang berlaku dalam suku, dimasukkan di dalam TAKA GOL yaitu tempat persembahkan kepada POR GOMO di atas altar atau BOSOK tersebut. Inilah pemberian jata atau yang menjadi bagian dari POR GOMO yang berkuasa atas kehidupan anggota suku. Persembahan kepada POR GOMO di atas altar atau BOSOK itu adalah daging yang berisi dan bergisi. Diyakini bahwa ini adalah makan pesta pendamaian antara yang sakit dengan POR GOMO yang berkuasa atas hidup anggota suku yang sakit. Ini adalah pesta syukur atas kesembuhan yang dialami si sakit.




Daging yang lainnya dimakan oleh anggota suku yang menghadiri upacara liturgi BULA HOON itu. Mereka makan pesta perdamaian di sekitar BOSOK atau altar itu sebagai satu pesta perdamaian dengan POR GOMO atau pemimpin kehidupan dengan anggota suku yang sakit dan sedang dalam proses penyembuhan menuju kesehatan yang diidamkan.





Peristiwa upacara liturgi adat BULA HOON di atas BOSOK atau altar persembahan leluhur kepada POR GOMO atau penguasa atas kehidupan anggota suku terutama atas anggota suku yang sedang sakit ini menunjukkan bahwa anggota manusia suku Bunaq mengakui adanya penguasa atas kehidupan manusia, yang dalam bahasa adat Bunaq disebut POR GOMO yang tidak kelihatan tetapi diakui, diterima lewat upacara liturgi adat BULA HOON. Dalam iman Katholik ada penguasa tunggal atas kehidupan di dunia ini dan kehidupan abadi yaitu ALLAH yang menyatakan diri secara penuh kepada manusia dalam diri YESUS KRISTUS.





Hanya ada sesuatu yang sulit didamaikan antara adat BULA HOON dengan pola pemahaman iman Katholik yaitu bahwa dalam paham adat BULA HOON, sakit atau kecelakaan manusia, dalam hal anggota suku berasal dari semacam kemaraham POR GOMO. Ini menunjukkan bahwa dalam diri POR GOMO ada keinginannya untuk diperhatikan, dilayani, dipedulikan. Hal itu diungkapkan dalam upacara adat BULA HOON di atas BOSOK atau altar suku untuk persembahan kepada POR GOMO, sebagai upacara rukun-rujuk antara anggota suku yang sakit dengan POR GOMO yang dipandangnya sebagai penguasa atas hidup dan jiwa si sakit. Artinya ada sisi baik dan jahat dalam diri POR GOMO itu. POR GOMO akan memberi kebaikan kalau diperhatikan. Por GOMO akan marah, mendatangkan penderitaan dan sakit kepada anggota suku kalau anggota suku tidak memperhatiakannya, tidak secara teratur merayakan upacara adat liturgi BULA HOON di BOSOK atau altar persembahan itu. Dalam paham Katholik, TUHAN adalah sumber kebaikan dan cinta sejati. Tuhan selalu memberi rahmat kehidupan dan kelimpahan kepada manusia ciptaanNya.





Publikasi ini diharapkan memurnikan pola pemahaman adat yang lebih rasional dalam kriteria iman suku-suku kecil yang menyebar di wilayah luas suku bangsa bunaq. Secara administratif, suku bunaq beragama Katholik. Kekatholikan itu dihidupi dalam adat dan kebudayaan suku Bunaq. Iman bertumbuh di atas Budaya setempat. Iman bukan sesuatu yang langsung jatuh dari langit.

PRESIDEN SUKU BUNAQ MERAYAKAN ADAT "HOL GO GAWA"



"HOL GO GAWA" adalah satu adat dalam suku Bunaq bagi seorang anggota suku yang akan meninggalkan istana rumah suku pergi ke tempat yang jauh. Malam sebelum kepergian seorang anggota suku ke tempat yang jauh karena bertugas atau untuk melanjutkan pendidikan, diselenggarakan adat "HOL GO GAWA" di dalam istana rumah adat suku Bunaq. Adat "HOL GO GAWA" ini dipimpin oleh presiden suku atau KETUA SUKU sebagai pemimpin tunggal Suku.




Pada waktu upacara adat "HOL GO GAWA" ini sedang dimulai, presiden suku mengundang semua "MUGEN" yaitu para leluhur agar hadir dalam upacara adat "HOL GO GAWA" yang sedang dipimpinnya. Undangan itu mau menunjukkan bahwa kehadiran "MUGEN" adalah sebagai saksi dan sekaligus pengesahan serta persetujuan terhadap pengutusan anggota sukunya yang akan pergi ke tempat yang jauh untuk melaksanakan tugas atau melanjutkan pendidikan. Kata-kata yang disampaikan ketua suku atau presiden suku diyakini keluar langsung dari mulut para leluhur yang diundang presiden suku dalam adat "HOL GO GAWA" itu.



Anggota suku yang hendak pergi ke tempat yang jauh, didoakan oleh presiden suku atau ketua suku. Doa itu isinya mantra-mantra yang diturunkan oleh para "MUGEN" dalam mulut-hati-pikiran presiden suku. Setelah doa, ketua suku keluar lewat pintu istana rumah suku, bersama anggota suku yang akan pergi jauh lalu melemparkan sebuah batu kecil ke arah tempat yang akan dituju oleh anggota suku yang akan pergi dari istana sukunya.


Makna terdalam dari adat "HOL GO GAWA" artinya sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh presiden suku, menunjukkan bahwa para "MUGEN" atau para leluhur suku telah mendahului anggota suku ke tempat baru yang akan dituju. Para leluhur menjadi "security" anggota suku dalam perjalanannya ke tempat baru. Dalam adat "HOL GO GAWA" itu hadirlah para "MUGEN" pemilik semua yang baik. Kehadiran "MUGEN" dalam "HOL GO GAWA" menunjukkan kehadiran berkat, rahmat, perlindungan, pengamanan terhadap kehidupan dan perjalanan anggota suku yang akan pergi ke tempat yang jauh dan tinggal di tempat yang dituju dalam waktu yang lama.



Dampak positif yang langsung dialami oleh anggota suku yang hendak pergi ke tempat baru yang jauh, terbebas dari segala ketakutan psikologis. Anggota suku itu, lewat adat "HOL GO GAWA" itu merasa dekat sekali dengan para leluhur yang senantiasa mendampinginya, menyelamatkannya, mengamankannya, mengarahkannya, menuntunnya pada yang baik, indah dan benar. Anggota suku yang hendak pergi jauh, dan tinggal di tempat yang baru, diteguhkan oleh adat " HOL GO GAWA" ini. Anggota suku yang pergi jauh menjadi percaya diri dalam seluruh perjalanan hidupnya dan seluruh usaha dan karyanya.




Kepercayaan diri yang dirasakan oleh anggota suku di tempat baru, entah untuk bekerja dan belajar, sebagai awal untuk berkembang maju di tempat yang baru. Anggota suku di tempat yang baru berjuang dengan tekun untuk meraih hasil yang baik bagi dirinya dan bagi anggota sukunya. Keberhasilan dan kesuksesan diterima, dipandang sebagai berkat campur tangan para "MUGEN" yang meniupkan berkat dan rahmat yang berlimpah dalam upacara liturgi adat "HOL GO GAWA".



Pola seperti ini membangun satu relasi emosional yang kuat sekali antara anggota suku yang tersebar di seluruh dunia karena tugas dan demi mempertahankan hidup, dengan presiden suku atau ketua suku yang berdiam di ibu pertiwi istana suku di kampung halaman, tempat kelahiran anggota suku yang menyebar ke seluruh dunia. Ikatan emosional itu dewasa ini semakin dicairkan lewat komunikasi via telephone dan HP serta SMS.




Relasi yang jauh karena jarak akan menjadi dekat lewat simbol adat "HOL GO GAWA" dalam suku dan dewasa ini lewat jauh di mata dekat di SMS dan HP. Ada berbagai hal yang mengokohkan sebuah relasi dengan yang jauh di mata tetapi dekat di hati. Jauh di mata dekat dalam doa. Doa mendekatkan yang tak kelihatan hadir dalam hati dan perasaan sang pendoa. Doa adalah komunikasi dengan yang tak kelihatan menjadi hadir dan dekat dengan diri dalam perasaan iman. Ada banyak simbol dalam Gereja yang menjadi jembatan mendekatkan YANG LAIN yang diimani dalam kehidupan iman dan seluruh karya dan pekerjaan.



Kekuatan rohani, spiritual dan psikologis bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Tetapi kekuatan-kekuatan itu diterima lewat sesama dalam saling mendoakan, saling meneguhkan, saling membaptis pikiran dalam diskusi, sms, e-mail, chating, telephone dan juga lewat simbol-simbol yang begitu kaya dalam hidup kita, dalam gereja Katholik yang mengalirkan kekuatan-kekuatan itu dalam suatu proses panjang refleksi dan renungan pribadi.

Selamat Merayakan Tahun Baru HIJRIYAH 1429, pada 10 Januari 2008

Rabu, Januari 09, 2008

MUGEN ADALAH SEBUTAN PARA LELUHUR YANG HIDUP BAHAGIA DI DUNIA SEBERANG


Mugen adalah sebutan bagi setiap anggota suku yang telah meninggal dunia dan tetap hidup di dunia seberang. Mugen ini hidup abadi di dunia para leluhur yang penuh dengan suka cita yang dialaminya tanpa akhir. Dunia yang demikian dialami oleh orang yang telah meninggal dunia ini lewat tata adat upacara pengesahan dan penghantaran atau perarakan diri orang yang meninggal. Upacara adat itu telah digariskan nenek moyang sejak jaman dulu hingga sekarang ini dan seterusnya tetap berlaku dan dilaksanakan dalam budaya Suku Bunaq.


Dunia Mugen adalah dunia penuh sukacita. Dunia mugen tanpa penderitaan. Kematian seorang suku Bunaq yang dirayakan dalam adat kematian secara utuh mengarak diri pribadi yang meninggal ke dalam persekutuan para mugen yang keadaannya yang penuh dengan pesta pora tanpa akhir.




Para mugen ini diyakini pemilik berkat dan rahmat bagi anggota suku bunaq yang sedang hidup dan berkarya di dunia ini. Berkat dan rahmat berlimpah para mugen itu dimohonkan oleh anggota suku yang masih hidup. Permintaan rahmat para mugen itu lebih berdaya bila diperantarai oleh presiden Suku atau ketua suku. Ketua suku dipandang sebagai jembatan pipa rahmat bagi para mugen mengalirkan berkatnya bagi anggota suku yang meminta rahmat itu. Ketua suku atau presiden suku juga adalah penyampai permintaan rahmat oleh anggota sukunya kepada para mugen. Relasi yang demikian memberi kekuatan dan peneguhan serta kepercayaan diri setiap anggota dalam hidup dan karyanya, terutama dalam menghadapi semua kesulitan dan tantangan hidup. Setiap tantangan dan ancaman akan teratasi berkat permohonan atau permintaan berkat dan ramat kepada mugen lewat presiden suku.



Peran ketua suku sangat kental dalam relasi rohani dengan para mugen. Presiden suku memiliki ikatan spiritual yang kuat dengan para mugen ini. Semua pusaka dan kekuatan gaib suku diturunkan atas diri presiden suku. Presiden suku tanda kehadiran para mugen. Kekuatan rohani itu ditiupkan kepada setiap anggota sesuai dengan permintaan dan kerinduan serta kebutuhan anggota suku. Perkataan presiden suku atau mantra-mantra presiden suku dalam memberikan kekuatan rohani yang berasal dari para mugen yang berada atau berdiam disekitar pusaka nenek moyang berupa emas, perak, intan, berlian dan mutiara yang ada di rumah istana suku atau rumah adat suku, benar-benar diimani berasal dari para mugen lewat perantaraan presiden suku. Anggota suku yang menerima kekuatan dan rahmat para mugen lewat presiden suku merasa penuh percaya diri dalam usaha dan karyanya.


Anggota suku setelah berhasil dalam usaha dan karyanya, mempersembahkan hasil usaha dan karyanya kepada para mugen lewat membunuh binatang di rumah adat dan memberikan makanan dan daging itu kepada para mugen di dalam rumah istana suku atau rumah adat suku. Pada saat itu, lewat ketua suku, ucapan syukur disampaikan kepada para mugen sekaligus meminta agar para mugen terus menurunkan rahmat ke atas anggota suku yang mengadakan upacara adat suku itu, agar hasil usahanya tetap berkelimpahan.


Perasaan manusia dalam berelasi dengan yang lain dalam hal ini dengan para mugen merupakan suatu yang indah untuk didalami secara serius untuk mengenal perasaan hati manusia suku Bunaq dalam berelasi dengan yang lain yang memiliki kekuatan rohani yang luar biasa bagi hidup dan karya manusia suku bunaq.


Kehidupan manusia Bunaq yang demikian mengungkapkan jati dirinya sebagai manusia yang hidupnya optimis akan masa depan setelah hidup di dunia ini berakhir. Hidup yang akan datang itu penuh dengan harapan indah. Hidup yang akan datang itu penuh dengan suka cita abadi. Hidup yang akan datang penuh dengan tiada airmata dan derita. Keadaan yang demikian itu adalah milik para mugen yaitu mereka yang kematiannya dirayakan secara liturgi adat kematian sempurna sesuai adat nenek moyang dari generasi ke generasi. Syarat pemenuhan adat nenek moyang dalam suku adalah jaminan bagi seorang yang mati masuk ke dalam dunia para mugen, persekutuan dengan para mugen.


Aturan adat tidak dilaksanakan maka dunia mugen yang digambarkan tadi akan tidak dialami oleh orang yang telah meninggal atau orang yang telah mengakhiri hidupnya di dunia ini. Dia yang mati tetapi adat kematiannya tidak dirayakan secara lengkap sesuai yang diwariskan nenek moyang maka dia akan menjadi penonton dari luar jendela rumah suku para mugen atau istana para mugen, dalam kepanasan, kedinginan, kelaparan, dan penderitaan. Dia yang mati tetapi sukunya tidak merayakan adat kematiannya secara lengkap maka dia akan hidup di luar pagar rumah istana para mugen.


Dia hanya dapat masuk dalam pengalaman bahagia bersama para mugen dalam istana para mugen, kalau suatu ketika anggota kelurga suku di dunia ini sudah merayakan adat kematiannya secara sempurna. Adat kematian yang telah diturunkan nenek moyang dilaksanakan seutuhnya agar pintu istana bahagia para mugen dibukakan kepadanya.


Rupanya konteks pola suku Bunaq yang demikian tidak jauh berbeda dengan pola pemahaman Kristiani tentang Surga. Istana Surga dalam pola pikir kristiani boleh dikatakan gambarannya serupa dengan istana mugen suku bunaq. Syarat masuk istana mugen adalah taat dan setia melaksanakan adat nenek moyang, syarat masuk surga adalah taat-setia kepada Allah sang penyelamat, yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Kristus adalah jalan keselamatan masuk Surga.


Pewarta iman Kristiani dalam suku Bunaq, tentang surga tidak mengalami kesulitan untuk diterima oleh hati suku Bunaq. Yang penting seorang pewarta Sabda Allah, di suku Bunaq dengan rendah hati menghargai adat suku setempat, sebagai lahan yang perlu digemburkan bagi pertumbuhan pohon iman kristiani yang kokoh.



Tulisan ini disusun dan dipublikasikan tepat pada MALAM EMPAT PULUH meninggalnya Rm. Lambertus Paji Seran, SVD

Kamis, Januari 03, 2008

PUAN DALAM PAHAM SUKU BUNAQ

Satu kebiasaan khas sekaligus aneh yang ditemukan dalam suku Bunaq adalah seorang bayi terus menangis tiada henti tanpa menemukan satu alasan yang dapat diterima oleh akal sehat atau logika. Menangis aneh bayi yang dimaksud adalah demikian. Setelah mengalami bahwa seorang bayi selama beberapa hari berturut menangis, orang tua membawa bayi itu ke pihak medis untuk diperiksa dan diharpakan sang pemeriksa menemukan apa sesungguhnya penyakit yang sedang diderita agar diberi pengobatan atas penderitaan sakit sang bayi yang telah lama menangis disertai panas badan. Keanehan pun ditemukan oleh team medis yang memeriksa bayi itu, yaitu tidak ditemukan satu penyebab sakit bayi itu. Memang bisa saja pembaca mencurigai atau meragukan peralatan dokter di kampung atau desa atau daerah kurang canggih sehingga sakit penyakit tidak terdeteksi.
Keadaan aneh sang bayi yang demikian, membatasi upaya pihak keluarga yang bayinya dalam keadaan demikian untuk misalnya ke satu rumah sakit dengan segala peralatan yang lebih canggih untuk mendeteksi akar persoalan penderitaan bayi secara medis. Keluarga mengambil jalan pintas, ke dokter kampung yang diragukan oleh akal sehat karena pendeteksiannya atas diri si sakit hanya dengan mantra-mantranya yang sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah medis. Keluarga memanfaatkan jasa dokter kampung atau dukun untuk mendeteksi bayi yang sedang sakit menderita.
Pada prinsipnya, seorang dukun yang dipercaya untuk menyembuhkan, melihat peristiwa aneh yang dialami bayi itu, berasal dari PUAN atau SUANGGI. Maka strategi dukun pun mengarahkan pengobatan atau penyembuhan bayi itu secara tradisional berdasarkan dugaannya bahwa penyakit aneh yang diderita itu berasal dari kekuatan jahat kiriman PUAN atau SUANGGI ke dalam kelurga bayi tersebut, dan persisnya kekuatan jahat itu diderita oleh bayi itu. Selanjutnya berdasarkan dugaan itu, si dukun yang dipercaya, dapat menyembuhkan sang bayi itu dari sakit aneh yang dideritanya.
Menurut pengamatan penulis, dikala masih kecil, sang dukun mengambil sirih dan pinang beserta kapur juga segemgam beras yang diisi dalam TAKA-MOLO-PULAI, lalu diucapkan mantra-mantra yang pada intinya bahwa penyakit aneh sang bayi itu karena iri hati hati, dendam atau kecemburuan SESEORANG YANG ADALH PUAN ATAU SUANGGI terhadap orang tua sang bayi tersebut,karena keluarga sang bayi itu hidup sombong dan merendahkan kelurga PUAN atau SUANGGI. Atau keluarga bayi itu pernah menolak permintaan si PUAN itu, misalnya ketika keluarga yang dipandang PUAN itu meminta uang atau beras tetapi ditolak atau tidak dilayani. Penolakan atau tidak layani itulah menimbulkan sakit hatinya dan dia membalasnya dengan mengirim kekuatan jahat kepada keluarga yang menolak, dan kekuatan jahat itu jatuh pada bay, yang menanggung atau memikul kekuatan jahat itu dengan menjadi penderita sakit penyakit aneh tak terdeteksi secara medis.
Usai sang dukun mengucapkan mantra-mantra sambil menghamburkan beras ke empat sudut rumah dalam keluarga bayi yang sedang sakit aneh, yang intinya minta maaf atas kelurga yang tidak melayani permintaan si PUAN tadi, dan sekaligus penghamburan beras keempat sudut rumah itu, memberikan beras kepada si PUAN, yang sebelumnya tidak dilayani. Apakah setelah mantra-mantra si dukun tadi dapat menyembuhkan sakit penyakit sang bayi?
Berdasarkan pengalaman, cara dukun itu akan berhasil menyembuhkan si sakit kalau benar bahwa itu karena tindakan si PUAN yang diduga sebagai pengirim kekutan jahat kepada bayi tersebut. Setelah si PUAN itu permintaannya dilayani maka dia tarik kembali kekuatan jahatnya dari bayi itu sehingga bayi itu menjadi sehat normal kembali.
Tetapi setelah upacara pengusiran kekuatan jahat itu tetap tidak mengalami sedikit perubahan dalam diri bayi yang sakit, maka kelurga akan bergegas mencari team medis yang lebih canggih. Misalnya ke dukun yang lebih terkenal luas, yang dianggap mampu mendatangkan penyembuhan total kepada bayi yang sedang menderita.
Dunia semakin berkembang maju. Hal ini terlihat dengan pembangunan fisik yang nampak bukan hanya di pusat-pusat kota dan pemerintahan melainkan terus menyebar ke daerah-daerah dan bahkan sampai ke pelosok-pelosok yang dapat dijangkau oleh para team medis profesional, misalnya masuknya para dokter ke puskesmas-puskesmas pedalaman, didukung dengan alat komunikasi lewat HP antara keluarga yang di kampung dengan kelurga yang di pusat-pusat kota dan pemerintahan, sehingga diskusi, saling memberikan pola pikir yang masuk akal, yang membuka kesadaran bahwa selama upaya medis-masuk akal-dapat dibuktikan secara ilmiah, maka seharusnya keluarga yang sedang ditimpah oleh sakit aneh demikian pergi kepada dokter-dokter yang profesional dalam bidangnya untuk mendeteksi sakit penyakit seperti yang dialami sang bayi tersebut. Dewasa ini, pola penyembuhan menggunakan jasa dukun, semakin tereliminasikan oleh bides yaitu bidan masuk desa, dodes atau dokter masuk dose. Pendidikan dapat mengubah gaya hidup manusia lama menuju gaya hidup yang modern, yang lebih ditakar oleh logika ilmiah.
Dari konteks di atas, ditemukan dua hal yaitu bahwa pertama, adanya pengakuan akan kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Kekuatan jahat atau perusak dijumpai dlam diri bayi yang sakit aneh tidak terdeteksi secara medis ilmiah. Kekuatan baik ditemuakan dalam kemampuan untuk menjadikan yang sakit kembali sembuh.
Kedua, dalam diri pribadi manusia sekaligus ada kekuatan jahat dan kebaikan. Dan ini menurut Freud, dikenal ada naluri hidup dan mati dalam diri setiap manusia.
Dari kedua hal itu, masih tetap ada yang namanya misteri kebaikan dan kejahatan, yang tetap terbuka untuk didalami dalam permenungan filosofis maupun theologis. Dalam paham iman kristiani, pada dasarnya manusia itu baik. Allah menciptakan manusia baik adanya. Tidak ada yang jahat dalam diri manusia ciptaanNya. Agar manusia tetap berada di jalur kebaikan sesuai kehendak Allah pencipta, maka ada aturan Allah yang memberi pengamanan kepada manusia, yaitu pagar sepuluh Perintah Allah yang menjadi benteng bagi setiap gerak hidup manusia ciptaanNya. Lalu kejahatan dari mana? Kejahatan/dosa, berdasarkan pola Kitab Suci,berasal dari pelanggaran manusia terhadap hukum yang melarang manusia. Manusia mau seperti Allah dengan memakan buah terlarang. Bukan kah ini awal dosa?

INDAHNYA RITUS REKONSILIASI SUKU BUNAQ AITOUN



*P. Benediktus Bere Mali, SVD*



Hidup bersama tak selamanya membawa kedamaian. Masih ada yang namanya konflik antara sesama dalam sesuku. Persoalan konflik ada untuk diatasi agar hidup harmonis kembali dirasakan dalam kehidupan bersama.


Dalam kosa kata 
Suku Bunaq Aitoun, konflik disebut dengan satu kata SESU atau NA. Konflik antara dua belah pihak dikenal dengan istilah TEGE NA atau TEGE SESU O SARA. 

Konflik antara sesama dalam suku Bunaq disebabkan oleh macam-macam hal. Konflik terjadi karena kata-kata yang dilontarkan dalam komunikasi menyakiti hati sesama. Kata-kata yang merendahkan sesama. Kata-kata yang diucapkan merendahkan sesama atau menganggap remeh sesama. Kadang rasa sakit hati itu langsung diungkapkan sehingga langsung tahu oleh sesama yang menyakiti maupun disakiti. 

Tetapi ada yang tidak mengungkapkan rasa sakitnya secara terbuka atau bahkan secara diam-diam membangun konflik dengan pihak yang menyakiti, sehingga yang menyakiti hati sesama itu tidak menyadari bahwa sebetulnya dirinya yang menyakiti hati orang yang merasa disakiti.


Lalu kapan yang menyakiti hati itu akan sadar bahwa dirinya yang menyakiti sesama yang telah membangun konflik dengan dirinya? 


Bisa saja sesama yang paling dekat atau teman curhat yang disakiti hatinya dapat menyampaikan kepada pihak yang menyakiti hatinya sehingga yang disebut sebagai pihak yang menyakiti sadar akan kekurangan dan kesalahannya. 

Konflik yang didiamkan itu lama kelamaan akan terasa juga dalam relasi. Misalnya dalam perjumpaan, pihak yang tidak sadari bahwa dirinya yang menyakiti, menyapa pihak yang merasa disakiti, tetapi karena sakit hatinya terhadap pihak yang menyapa, tidak menanggapi sapaan persahabatan dan kekeluargaan. 

Konflik-konflik itu keberadaannya tidak mengalami umur yang panjang. Ada saatnya untuk kembali rujuk antar pihak-pihak yang hidupnya konflik.


Dalam tata adat Suku Bunaq, ada saat yang tepat untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Saat itu adalah ketiga akan diadakan upacara adat yang melibatkan pihak-pihak yang konflik, dan mereka tidak dapat lari  menjauh dari upacara adat itu. 


Misalnya adat kematian salah seorang anggota suku yang sesuku dengan para pihak yang berkonflik, atau adat pernikahan seorang anggota suku yang sesuku dengan pihak-pihak yang sedang konflik, atau acara syukuran atas keberhasilan salah seorang anggota suku yang sesuku dengan pihak-pihak yang sedang konflik.

Itulah saat yang paling tepat untuk mengungkapkan akar masalah pokok mengapa terjadinya konflik. Masing-masing pribadi yang konflik, yang disakiti dan menyakiti mengungkapkan semua perasaannya kepada ketua suku dan disaksikan oleh semua anggota suku yang hadir dalam pertemuan adat tersebut. Kalau ketua suku juga terlibat dalam konflik maka ada pihak rumah suku "malu" yang dapat mendamaikan. 

Setelah mengungkapkan semuanya itu, ketua suku mendamaikan kedua belah pihak yang sedang konflik untuk kembali hidup damai. 



Video Ritus Rekonsliasi 
Anggota Rumah Suku Monewalu Yang Konflik


Konflik merusak relasi dengan Aku/diri sendiri, Anda/Sesama, Alam Semesta, Arwah Leluhur, Allah/Supranatural. 

Rekonsiliasi memuluskan relasi harmonis dengan Aku/diri sendiri, Anda/sesama, Arwah Leluhur, Allah/Supranatural.

Demikian Relasi Harmonis Lima(5) A

Penulis menghapus sound original video dan diisi dengan musik dan Lagu Mazmur 133  yang merangkum video rekonsiliasi ini dalam wajah 
"SUNGGUH INDAH HIDUP RUKUN DAN DAMAI SEBAGAI SAUDARA"

Sumber video dari Bapak Marianus Luan
yang hadir saksikan Ritus Rekonsiliasi di 
Asueman-Malate-Aitoun.




Caranya, siapkan segelas air putih jernih, lalu kedua pihak yang konflik dan bersedia damai, mendekati air itu lalu dengan ucapan mantra oleh pendamai, kepada roh supranatural, roh alam langit dan bumi, roh leluhur. Pendamai dalam hal ini ketua suku  atau ketua  rumah suku "malu"atau ketua adat, menyuruh kedua belah pihak yang telah konflik mencelupkan jari tangannya ke dalam air itu secara bersama-sama. Lalu mengoleskan bibir dengan air di jarinya karena bibir atau mulut yang mengekuarkan kata-kata yang menyakiti dan menciptakan konflik. 

Saat itu pendamai menyebut para leluhur yang telah hidup bersatu dan berdamai dalam persekutuan di dunia seberang, agar merekalah yang menjadi saksi sekaligus meneguhkan perdamaian antara para pihak yang sedang konflik, lewat simbol mencelupkan tangan kedalam air putih yang telah disediakan dalam gelas itu. Lalu disusul dengan jabatan tangan, saling memeluk, mencium kedua pihak yang telah berdamai. Inilah ungkapan nyata bahwa sekarang mereka bukan lagi musuh tetapi menjadi teman, sahabat dalam relasi Suku.



Suasana damai, sekutu, bahagia seluruh anggota suku, menjadi satu suasana yang dirayakan dalam pesta adat yang pada hakekatnya menanamkan kembali nilai-nilai persekutuan dan perdamaian antara suku di dalam upacara adat yang sedang diselenggarakan.  Adat Damai anggota rumah suku ini biasanya dilaksanakan pada adat kenduri bagi seanggota rumah suku yang meninggal. Fenomena ini mau menyatakan nomena bahwa konflik dimatikan dan dikubur sedangkan keharmonisan anggota dalam rumah suku dibangkitkan kembali. 


Dengan keadaan yang demikian maka kebahagian dialami oleh seluruh anggota suku dalam perayaan adat yang sedang berlangsung karena semuanya dalam kebersamaan, kedamaian, dan kebahagiaan. 

Mereka yang telah melewati adat ritus rekonsiliasi ini benar-benar mengalami betapa indahnya hidup rukun dan damai. DAME berarti DAMAI. Damai dengan Aku/diri, Anda/sesama, Alam, Arawah Leluhur, dan Allah/Supranatural. Inilah konsep Damai seutuhnya dalam Suku Bunaq Aitoun. Bahasa Agama Adat Aitoun tetap menjadi sebuah cara hidup memiliki  tiga kriteria penting yaitu adanya konsep supranatural suci/Allah Maha Kudus yang gaib yang diterima oleh kelompok penganutnya, adanya buku suci/teks suci/teks lisan suci yang tampil dalam ceritera hidup manusia untuk menyatakan sang supranatural suci dan gaib dan adanya ritus gerak tubuh isyarat dalam merituskan sang supranatural/Allah sehingga sebuah sistem kepercayaan akan sang supranatural/Allah Kudus tetap eksis artinya ada bersama yang lain. ***




Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..




ADAT TAIS HOTA – KABA MALU AIBA’A SUKU MONEWALU


Adat TAIS HOTA – KABA MALU AI dilaksanakan sebagai bagian adapt LAL HOON bagi orang yang telah meninggal, di samping acara inti kematian yaitu SI POR PAK sebagai puncak adat kematian, yaitu mengantar orang yang meninggal ke dalam persekutuan para leluhur yang mengalami kehidupan abadi di tempat lain, di dunia seberang setelah kehidupan di dunia ini.
ADAT TAIS HOTA – KABA MALU AI ini juga menunjukkan bahwa adanya relasi persekutuan dan persaudaraan serta kekeluargaan yang harmonis selama hidup di dunia ini. Oleh karena itu semua persoalan-konflik-ketersinggungan satu anggota dengan anggota lain sesuku yang termasuk hubungan MALU-AIBA’A harus didamaikan. Semua persoalan masa lalu harus diselesaikan bersama-dibicarakan dari hati kehati yang dipimpin oleh pemimpin suku yaitu ketua suku. Ketua suku memiliki tugas sentral dalam menyelesaikan segala urusan adat kematian yang berpuncak pada memasukkan seorang anggota suku ke dalam persekutuan para leluhur yang hidup bahagia abadi, dan lewat KABA MALU AI – TAIS HOTA menggalang kembali persatuan-persekutuan-persaudaraan-perdamaian anggota suku yang hidup dunia, khususnya membangun kembali relasi yang harmonis dari setiap suku yang menjadi asal-usul sebuah suku kecil (Baca juga adat SI POR PAK untuk mengenal lebih dalam hubungan anatara suku-suku yang menjadi asal-usul sebuah suku. Melalui adat Kaba-Malu Ai dan TAIS HOTA yang berpuncak pada SI GIWITAR PAK, ketua suku kembali menata hubungan keharmonisan antar suku-suku yang menjadi asal-usul sebuah suku kecil yang sedang berduka karena satu anggotanya meninggal. Dalam acara KABA-MALU AIBA'A ini relasi antara yang MALU dengan AIBA'A saling memberi sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan-tawar-menawar dalam proses ADAT TAIS HOTA dan KABA -MALU - AIBA'A tersebut. Nah di sini diamati bahwa kadang yang memberi TAIS meminta Uang yang lebih besar sehingga satu pihak yang dituntut untuk memberi uang sekian atau kain yang sekian, harus dituruti atau ditaati hanya karena mengutamakan atau menjunjung tinggi nilai-nilai relasi kekeluargaan dan keharmonisan antara MALU dengan AIBA'A yang sedang melaksanakan adat KABA-MALU AIBA'A. Mereka dari hati kecilnya menolak untuk melaksanakan tuntutan adat kalau dilihat dari sisi ekonomisnya, namun bukan itu yang utama, tetapi sekali lagi relasi keharmonisan ditempatkan di atas segalanya. Untuk mengetahui, apakah benar, dalam ADAT TAIS HOTA-KABA MALU AIBA'A sungguh-sungguh menjunjung tinggi nilai relasi keharmonisan dan tidak mengandung unsur ekonomis? Pertanyaan ini perl dijawab dan jawabannya hanya dapat ditemukan dalam suatu penelitian di lapangan, khususnya kehadiran peneliti di tengah-tengah pelaksanaan tata adat TAIS HOTA- KABA MALU AIBA'A yang terjadi dalam setiap suku kecil dalam suku Besar yaitu SUKU BUNAQ. Peristiwa adat kematian suku Bunaq terbuka bagi pata antropolog untuk mengadakan satu penelitian secara ilmiah. Penulis adalah melihat adat kematian yang demikian, dari sudut pandang antropologi Kristiani.

Kematian mendatangkan peristiwa-peristiwa yang mendasar dalam kehidupan adat suku Bangsa Bunaq.

Pertama, kematian membuat sebuah suku kecil berduka karena satu orang anggota suku telah tiada/meninggalkan mereka.


Kedua, kematian mengharuskan anggota suku-suku yang ada, yang menjadi asal-asul suku yang berduka, untuk menciptakan perdamaian – persatuan – persaudaraan. Setiap anggota suku yang sakit hati, konflik, bertengkar, tidak sepaham, harus didamaikan dan mau berdamai kembali. Sebelum berdamai, setiap pihak yang konflik mengungkapkan semua perasaan sakit hatinya terhadap lawan maupun di depan publik anggota suku yang sedang berkumpul. Semua itu didengarkan oleh ketua suku yang memimpin suku yang sedang berduka maupun ketua-ketua suku-suku kecil yang menjadi asal-usul suku yang sedang berduka, yang hubungan antar suku tersebut tidak dapat ditiadakan melainkan tetap dijaga dan dikokohkan agar tetap eksis. Setelah mendengarkan semua perasaan itu, ketua suku yang menjadi moderator memberikan peneguhan dan menyatakan bahwa setelah setiap pihak yang konflik mengungkapkan perasaannya, ketua suku memuji mereka, memberikan apresiasi kepada mereka atas keterbukaan dan kerendahan hati mereka untuk saling mendengarkan dan mau berdamai. Lalu ketua suku mengajak mereka untuk mendekati air putih segelas yang disiapkan untuk mencelupkan tangan mereka ke dalam air putih jernih itu, membersihkan semua soal yang membuat mereka konflik, sebagai simbol mereka telah bersih, suci dan kini hidup harmonis kembali, bertobat dan diakhiri dengan jabatan tangan dan berciuman bahkan sampai meneteskan airmata pertobatan dalam jabatan tangan tersebut.
Perdamaian dan keharmonisan anggota suku yang masih hidup dipandang sebagai satu kegembiraan bagi yang meninggal dunia karena dengan perdamaian yang telah dicapai, dia yang meninggal tanpa beban pergi/dimasukkan ke dalam persekutuan kehidupan kekal para leluhur yang telah meninggal, lewat acara puncak kematian yaitu SI GIWITAR PAK atau SI POR PAK sebagai adat pengesahan bahwa dia yang meninggal telah masuk bersekutu dengan komunitas para leluhur di dunia lain, yang bahagia dan penuh dengan sukacita abadi.



Ketiga, dia yang meninggal dan masuk dalam persukutuan para leluhur di dunia bahagia para leluhur, membawa berita perdamaian kepada para leluhur, yaitu menyampaikan khabar perdamaian – kerukunan – persatuan dan persaudaraan antar anggota sesuku di dunia.
Keempat, perdamain suku di dunia ini menunjukkan persektuan Gereja yang sedang berziarah. Persekutuan para leluhur di dunia seberang, dunia lain, menunjukkan Persekutuan Gereja Jaya di Surga, yang anggota-anggotanya adalah para malaikat dan par kudus yang melayani Tuhan dan mendoakan kita manusia agar hidup seturut kehendak Allah

AKEL GOON DALAM RELASI SUKU BUNAQ



Dalam relasi sosial suku Bangsa Bunaq, AKEL GOON sangat melekat dalam hati manusia Suku Bunaq. AKEL GOON ini diartikan, memberi untuk menerima. Pemberian dalam bentuk tenaga maupun materi dalam setiap peristiwa adat yang terjadi salam suku Bunaq.
Pada saat satu tetangga/ keluarga melaksanakan adat kematian, pernikahan, ataupun urusan pendidikan, tetangga sekitar akan membantunya. Bantuan ini akan direkam langsung dan disimpan dalam benak yang menerima bantuan. Pada gilirannya, keluarga yang membantu itu, ketika menyelenggarakan upacara adat kematian, kelahiran, perkawinan, atau anaknya menempuh pendidikan, keluarga tersebut akan dibantu kembali oleh keluarga yang telah menerima bantuan sebelumnya. Bantuan balasan itu dengan sendirinya muncul atau dilakukan. Adat ini disebut AKEL GOON. Kebiasaan adat ini sudah diturunkan oleh nenek moyang suku Bunaq sejak dulukala. AKEL GOON telah menyatu dengan insan suku Bunaq, tidak akan hilang selama generasi Suku Bunaq tetap eksis kapan dan dimana saja.



Kebiasaan AKEL GOON ini dapat dianalisa secara kritis. Ditemukan bahwa berangkat dari kebiasaan AKEL GOON yang telah menyatu dengan insan suku Bunaq, setiap pembangunan relasi antara Suku Bunaq atau setiap bantuan dalam bentuk apapun yang terjadi dalam kehidupan relasional suku Bunaq, selalu ada pamrihnya. Mengapa tudak? Karena setiap bantuan seorang anggota suku Bunaq, telah diintip oleh kapan tiba pemberian balasan akan terlaksana.

Meskipun pada sisi lain, relasi ini sangat mengikat solidaritas dan tanggungjawab setiap anggota suku dalam menolong sesama yang sedang mengalami beban karena adat atau urusan pendidikan anak atau beban denda atas pelanggaran adat. Atau dengan kata lain, membantu sesama merupakan tabungan modal di tangan orang yang menerima bantuan, agar pada saatnya, dia mengambil kembali tabungan itu jika keluarganya yang telah menabung itu merayakan adat yang sama atau mengalami satu kesulitan berat yang harus membutuhkan sesama sekitar, sesuku bangsa Bunaq.

HOT ESEN ADALAH WUJUD TERTINGGI DALAM PAHAM SUKU BANGSA BUNAQ

Suku Bangsa Bunaq memiliki religi yang khas. Mereka memiliki satu wujud teringgi dalam pola hidup adatnya. Wujud tertinggi itu dalam bahasa Bunaq disebut dalam kata HOT ESEN. Secara harafiah, HOT artinya TERANG, HANGAT, PANAS, MATAHARI. ESEN artinya, DI ATAS. HOT ESEN berarti TERANG DI TEMPAT TINGGI.
Semua yang ada di dunia ini berasal dari HOT ESEN. HOT ESEN menciptakan segala yang ada di dunia. Segala yang ada di bumi, yang diciptakan HOT ESEN tersebut mencakup yang baik dan yang belum baik serta yang tidak baik dalam pola pandang setempat, SUKU BUNAQ.Wujud tertinggi, HOT ESEN ini sudah ada dalam pola pandang Suku Bunaq sejak nenek moyang dulukala, sebelum agama masuk ke dalam teritori suku Bangsa Bunaq.
Pemahaman setempat itu mengalami pemurnian paham akan WUJUD TERTINGGI berkat pencerahan yang menyertai pendatang pembawa perubahan pola pikir tentang Wujud Tertinggi. Agama pertama yang masuk dan berakar dalam daerah Suku Bunaq adalah agama Katholik. Para misionaris Serikat Sabda Allah pertama memasuki daerah Suku Bunaq dengan pendekatan khas yaitu antropologi budaya sebagai lahan yang diolah dan menjadi tanah subur menanam tanaman antropologi Kristiani. Gaya pendekatan ini sungguh memberi dampak yang besar dan luar biasa bagi perkembangan paham tentang Wujud Tertinggi dalam pola adat Suku Bunaq.
HOT ESEN kemudian diterjemahkan dengan bahasa TUHAN, ALLAH. Terjemahan ini jelas dalam katekese-katekese oleh para misionaris awali kepada suku Bunaq yang membuka diri dan hatinya kepada pewartaan iman oleh para misionaris. Gaya berkatekese yang demikian mudah ditangkap atau diterima oleh suku Bunaq dalam proses menjadi umat Katholik yang matang dalam iman Kristiani.Selain itu juga, HOT ESEN tampil dalam terjemahan doa-doa berbahasa Bunaq oleh para misionaris yang dengan rendah hati mau bekerja sama dengan para ketua adat Bahasa Bunaq yang memiliki otoritas untuk itu. Para misionaris perlu rendah hati berelasi dengan para tua adat karena jiwa para tua adat suku Bunaq sangat feodal. Senjata kerendahan hati para misionaris mampu melembutkan hati para tua adat setempat. Gerakan terjemahan yang paling dahsyat adalah memakai kata HOT ESEN dalam menterjemahkan kata ALLAH atau TUHAN yang ada dalam Kitab SUCI, ke dalam bahasa Bunaq.
Dengan demikian terjemahan Kitab Suci berbahasa asing ke dalam Bahasa Adat Suku Bunaq, dapat dengan mudah diterima oleh Suku Bangsa Bunaq. Cara para misionaris ini tepat sasar dalam menanamkan iman Katholik dan moral kristiani dalam adat dan budaya suku bangsa Bunaq. Hot Esen mengalami kepenuhanNya dalam diri Yesus Kristus yang solider dengan manusia, untuk menyelamatkan dunia. Dengan demikian, Suku Bunaq dewasa ini, beragama Katholik sekaligus berbudaya Suku Bunaq. Suku Bunaq semakin beriman Kristiani semakin beradat.

Selasa, Januari 01, 2008

MEMBANGUN KEMBALI HARGA DIRI SUKU BUNAQ

Para misionaris sejak awal bermisi di daerah suku Bunaq menggunakan jembatan pendekatan antropologi budaya sebagai pintu masuk pewartaan nilai-nilai luhur khabar Gembira Tuhan yang menyelamatkan manusia kedalam tata hidup Suku Bangsa Bunaq. Ada dua hal pokok yang berkaitan erat dengan harga diri suku Bangsa Bunaq yang ditemukan oleh para misionaris dalam bermisi. Pertama, manusia suku bangsa Bunaq sungguh merasa berharga di mata sesama. Harga diri itu ditakar oleh semua yang melekat pada diri suku bangsa Bunaq. Masyarakat Suku Bunaq merasa berharga kalau memiliki kuasa dalam masyarakat. Hal ini pada masa kerajaan, para raja dan keturunan raja, merasa diri sebagai yang paling berharga di mata publik. Mereka mendapat pelayanan dan jaminan istimewa dalam hidupnya. Mereka memiliki para pelayan yang setia melayani mereka. Masyarakat Suku Bunaq juga merasa berharga kalau memiliki harta kekayaan yang berlimpah. Hal ini dirasakan oleh para saudagar yang ada dalam masyarakat suku Bunaq. Mereka merasa berharga karena kebutuhan material terjamin. Masyarakat suku Bunaq juga merasa berharga kalau mendapat pendidikan formal yang tinggi. Mereka ini mendapat posisi-posisi penting dalam masyarakat. Dengan demikian mereka mendapat penghormatan istimewa. Secara global, baik mereka yang digolongkan sebagai pemilik kuasa, pemilik kekayaan materi dan pemilik pendidikan tinggi, sama-sama menerima penghargaan yang sama dari masyarakat suku Bunaq.

Hal kedua, yang sungguh menentukan pemberian penghargaan yang layak diterima oleh seseorang yaitu seorang harus mempunyai moralitas pribadi yang baik di mata publik. Seorang yang berkuasa, berharta, berpendidikan, akan lebih dihargai kalau moralitasnya sangat baik di mata publik suku Bunaq. Sebaliknya seorang yang berkuasa, berharta, berpendidikan tetapi moralitasnya bobrok maka orang itu akan ditolak, bahkan dijadikan sebagai buah bibir rakyat suku Bunaq dari golongan sederhana sampai kelas menengah ke atas. Oleh karena itu seorang akan menerima penghargaan yang sempurna kalau seseorang itu memiliki moralitas yang baik, berpendidikan, berkuasa, dan memiliki harta kekayaan yang memadai.

Konteks pemahaman umum Suku Bunaq yang demikian menjadi lahan yang perlu diolah, agar menjadi tanah yang subur untuk menanamkan nilai keselamatan yang dibawah oleh para misionaris SVD. Secara manusiawi prosedural para misionaris memurnikan penghargaan diri Suku Bunaq berdasarkan hal-hal lahiriah sementara, menuju satu penghargaan diri yang utuh, menjunjung tinggi nilai-nilai abadi yang dibutuhkan oleh semua manusia dari aneka suku Bangsa. Nilai itu adalah nilai moral yang berfondasikan ajaran iman Kristiani dan nilai kemanusiaan universal. Pemurnian yang demikian mengantar seorang Suku Bangsa Bunaq untuk menakar harga dirinya secara sehat. Orang merasa berharga karena memiliki harkat dan martabat kemanusiaan dan merasa memiliki citra Allah. Harta kekayaan, kuasa atau jabatan atau pangkat, serta pendidikan tinggi, hanyalah sebagai sarana untuk menampakkan jati diri pribadi manusia yang semakin beriman dan semakin menjunjung tinggi kemanusiaan, dalam relasi dengan Tuhan dan manusia. Inilah nilai yang dibawah dan ditanam dalam diri umat.



P. Beny Mali, SVD, Sebuah Refleksi atas Sharing ttg Pendekatan Para Misionaris SVD di Suku Bunaq – Lamaknen, dengan Guru Agama Lingkungan Asueman, di Asueman, Pada tanggal 20 Mei 2007

Senin, Desember 31, 2007

SI POR PAK RUMAH SUKU MONEWALU DI SUKU BUNAQ AITOUN


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Setiap ada kematian, harus diadakan adat kematian. Adat itu disebut SI POR PAK atau biasa disebut juga SI GIWITAR PAK. Adat SI POR PAK ini adalah inti seluruh adat Kematian. Inti Adat SI POR PAK atau SI GIWITAR PAK ini adalah perayaan adat untuk memasukkan seorang anggota yang meninggal dunia ke dalam persekutuan para leluhur suku yang telah meninggal dunia, yang hidup di dunia lain, dunia kehidupan dan persekutuan para leluhur. Ada tata urutan adat proses memasukkan anggota suku yang meninggal dunia ke dalam persekutuan kehidupan para leluhur. Setiap suku kecil dalam suku Bangsa Bunaq, memiliki tata adat SI POR PAK. Penulis adalah anggota Suku Monewalu. Maka penulis menuliskan tata adat SI POR PAK atau SI GIWITAR PAK yang dipraktekkan secara turun temurun dalam Suku Monewalu, khususnya di Dusun Asueman-Desa Aitoun-Kecamatan Raihat. Ada dua pokok penting yang perlu disampaikan dalam ADAT SI POR PAK yaitu perlunya pemahaman tentang Asal-usul Suku Monewalu dan proses tata adat SI POR PAK dalam praktek yang terus dipertahankan dari setiap generasi ke generasi berikutnya.


1. Perlu Pemahaman tentang Asal-usul Sejarah Suku Monewalu:Ada beberapa suku kecil yang merupakan asal-usul Suku Monewalu, seperti yang diuraikan dibawah ini:


1.1. METI MO.


METI MO adalah sebutan untuk suatu asal-usul sebuah suku yang tidak diketahui sejarahnya. Dalam hal ini METI MO ini adalah sebutan bagi asal asul Suku Monewalu yang tidak diketahui sejarahnya. Meskipun demikian, secara perayaan adat SI POR PAK atau SI GIWITAR PAK, METI MO ini juga ada bagian adatnya, yang tidak dilupakan. Harus ada bagian upacara adat untuk mempersembahkan secara adat kepada METI MO ini, sebagai awal asal-usul suku Monewalu yang sejarahnya tidak diketahui secara persis.


1.2. SA WA SA WAI.


SA WA SA WAI adalah sebutan bagi asal-usul sejarah sebuah suku, dalam hal ini asal-usul Suku Monewalu yang telah diketahui dalam pembicaraan adat tentang asal-usul Suku Monewalu. Asal-usul Suku Monewalu yang sudah diketahui itu dapat diuraikan di dalam penjelasan berikut:


1.2.1. Dari SA WA SA WAI, tiba di Suku DUA LASI.

Suku DUA LASI ini berdiam di sebuah tempat yang disebut HOL GOTOK. Dari Suku DUA LASI di HOL GOTOK, menurunkan suku kecil yang disebut Suku MASIN BUL HAK POR. Suku MASIN BUL HAK POR ini bertempat tinggal di HOL GOTOK. Kemudian dari Suku MASIN BUL HAK POR, berkembang lagi menjadi suku kecil MONESOGO. Suku MONESOGO menurunkan lagi SUKU HO KIIK, MALU MOT ALAN, HUKUN yang bertempat tinggal di FULUR. Dari suku itu terus berkembang dan menurunkan Suku LIANAIN SATU (1) dan LIANAIN DUA (2) yang berperan sebagai NOKAR dan suku LAIMEA sebagai BOLU. Selanjutnya ada tata adat yang disebut sebagai BEI GILAN GOINCIET; TA LA O GEWEN; O KO GOL MUN GIRAL LELEK, yang hanya dapat dimengerti dengan baik jika langsung terlibat dalam pelaksanaan ADAT SI POR PAK.


1.2.2. Tata Adat SI POR PAK


Masing-Masing GUA SUKU MONEWALU atau sejarah asal Suku MONEWALU, baik yang belum diketahui maupun sudah diketahui asalnya, dalam tata adat SI POR PAK, ada bagian-bagiannya yang tidak boleh terlupakan atau terlewatkan yaitu : Si Gilan Uen, besi uen, roit gol uen, sesuai dengan adat yang disepakati dan berlaku turun-temurun sejak nenek moyang dulukala. Masing-masing bagian itu diambil atau diberikan atau diantar kepada anggota suku-suku kecil yang menjadi asal-usul sejarah Suku Monewalu, yang masih eksis/hidup sampai saat ini. Pemberian bagian adat, berupa uang dan daging adat SI POR PAK ini kepada setiap Suku Kecil yang menjadi asal-usul Suku Monewalu pelaksana ADAT SI POR PAK ini mau menunjukkan bahwa, anggota suku yang merayakan adat SI GIWITAR PAK atau SI POR PAK mengetahui asal-usul sukunya di dunia ini sejak awal sampai mengantar sesama yang meninggal atau memasukkan anggota suku yang telah meninggal ke dalam persekutuan kehidupan abadi para leluhur sesuku, yang ada di dunia seberang, di dunia lain setelah hidup sementara di dunia ini. Dengan demikian, Suku Monewalu sebagai pelaksana perayaan ADAT SI POR PAK itu, lewat adat SI POR PAK itu kembali menggemakan asal-usul sejarah panjang keturunannya mulai dari dunia ini sampai bersekutu dengan para leluhur sesuku yang mengalami hidup sukacita di dunia seberang, dunia setelah hidup sementara di dunia ini. Melalui ADAT SI POR PAK ini, tali persaudaraan dan ikatan kekeluargaan antara Suku-suku yang menjadi asal-usul Suku Monewalu, terus menerus disadari kembali dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Relasi kekeluargaan adat ini mengingatkan bahwa sebuah suku tidak berasal dari dirinya sendiri tetapi keturunannya berasal dari suku lain, dari orang lain. Dalam pola yang demikian ditemukan basis yang kuat bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial.


Sejenak memandang Asal – Usul Sejarah Suku Monewalu, saya melihatnya dengan kaca mata iman Kristiani. Ada tiga (3) pokok yang saya temukan sebagai berikut :

1. Manusia secara historis berasal dari yang lain. Dalam iman Katholik, manusia berasal dari Allah, diciptakan oleh Allah. Dalam Kitab Suci, Allah menciptakan Adam dan Hawa sebagai manusia pertama. Jadi dalam paham iman Katholik, asal-usul manusia itu jelas, yaitu dari Allah. Manusia adalah Anak Allah.

2. Allah menciptakan manusia dilengkapi dengan tata aturan yang bertujuan menyelamatkan ciptaanNya. Oleh karena itu, manusia ciptaanNya taat pada aturan Pencipta agar selamat. Aturan Allah itu sebagai pagar yang memberi benteng pengaman terhadap semua kekuatan penghancur. Hukum yang menyelamatkan itu adalah Cinta Kasih melintas batas, suku, agama, ras dan golongan. Cinta Kasih menjadi Roh yang menggerakkan setiap jalinan relasi dalam kehidupan bersama.

3. Kehidupan di dunia tidak berakhir dengan kematian. Kematian adalah awal kehidupan abadi. Adat Si Por Pak mengesahkan seorang anggota yang telah meninggal masuk ke dalam persekutan kehidupan kekal para leluhur, sebagai satu lahan subur yang baik untuk menanam dan menumbuhkan iman Kristiani tentang Kebangkitan Badan dan kehidupan kekal yang mengalami pemenuhannya dalam Kristus. Manusia berasal dari Allah dan kembali kepada Allah lewat kematian.

Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

Sabtu, Desember 29, 2007

TUBI LAI adalah Memberi makanan kepada Leluhur di Suku Bunaq Aiitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Kosa kata TUBI LAI ini sangat akrab di telinga Suku Bangsa Bunaq, dikala seorang anggota suku Bunaq (khususnya di dusun Asueman, desa Aitoun, Paroki Santo Theodorus Weluli, Dekenat Belu Utara, Keuskupan Atambua) meninggal dunia.

 Setelah meninggal dunia secara berturut-turut pada setiap malam dan saterusnya sampai malam 40 setelah meninggal dan juga dikuburkan, adat TUBI LAI di dalam rumah dan sepiring nasi dan lauk-pauk, disiapkan di atas meja makan untuk sama saudara yang meninggal dunia.

TUBI LAI dan sepiring nasi yang merupakan bagian yang meninggal itu juga secara teratur dibuat di atas kuburan orang yang telah meninggal, pada malam ketiga, ketuju, keseratus, satu tahun, seribu hari, sebagai symbol bahwa yang meninggal itu tetap hidup seperti kita hanya berada di dunia lain.

Dia yang meninggal dan hidup di dunia lain itu dapat melihat dan memperhatikan kita walaupun kita yang di dunia ini tidak melihatnya secara fisik. Dia yang telah meninggal dan hidup di dunia lain juga diyakini makan minum seperti kita di dunia ini.

Atas dasar keyakinan itulah maka Suku Bunaq, selalu memberikan makanan kepada orang yang telah meninggal.  Makanan itu diberikan di atas kuburan yang bersangkutan maupun diberikan di rumah orang yang telah meninggal. Roh orang yang meninggal itu ada di rumahnya dan makamnya.



Acara TUBI LAI ini kemudian dirayakan secara masal seragam oleh Suku Bunaq, di kuburan umum Halekel, Dusun Asueman, Desa Aitoun dan dikukuhkan oleh Gereja Katolik  dalam menyebarkan nilai-nilai iman akan kehidupan kekal dan kebangkitan badan seperti yang diproklamasikan dalam CREDO atau DOA AKU PERCAYA, dan itu yang dirayakan dalam PERAYAAN EKARISTI di Kuburan Umum setiap tanggal 2 November di dalam kalender liturgi Gereja Katolik. "Misionaris Sabda Allah dibaptis dengan tenggelamkan diri di dalam Yordan Suku Bunaq Aitoun dan belajar adat budaya Suku Bunaq Aitoun, dan melahirkan sebuah teologi rasa suku Bunaq Aitoun." Demikian kata Aloysius Pieris teolog rasa Asia dan implikasinya dalam konteks budaya Suku Bunaq Aitoun.



Adat TUBI LAI ini telah ada sejak dulu kala sebelum agama masuk ke daerah Suku Bangsa Bunaq. Acara adat TUBI LAI ini mengungkapkan bahwa Suku Bangsa Bunaq sudah sejak dulukala mengakui dan meyakini bahwa kematian itu bukan akhir dari segala-galanya. Kematian adalah akhir dari segala beban hidup di dunia, dan awal dari hidup kekal tanpa beban di dalam persekutuan dengan para leluhur.


(Baca juga tema tentang SI POR PAK : sebagai adat pengesahan pemasukkan seorang anggota yang telah meninggal ke dalam persekutuan kehidupan abadi para leluhur di dunia seberang atau Surga. Suku Bunaq sudah memiliki konsep Surga yang dirayakan dalam ritus adat SI POR PAK yang menutup pintu neraka bagi setiap anggota suku Bunaq).



Pesan mendalam lain yang mau ditampilkan dalam acara TUBI LAI ini adalah bahwa relasi manusia itu tidak dibatasi oleh unsur fisik yang kelihatan, tetapi lewat ADAT TUBI LAI ini, relasi manusia itu melintas batas.

Relasi yang demikian hanya dapat dibangun di atas dasar cinta rohani yang sejati. Cinta yang sejati dalam relasi adalah sebuah relasi yang dapat diungkapkan dalam doa.

Berdoa merupakan satu komunikasi bathin yang membuat yang telah tiada atau meninggal selalu dekat dan hadir di dalam lingkungan sekitar rumah, tempai pendoa yang sedang membangun komunikasi bathin dalam doanya bagi yang meninggal. Suku Bunaq membangun komunikasi dengan Arwah Leluhur dalam kata-doa-ritus dan aksi TUBI LAI memberi makanan real di atas makam dan di rumah orang yang telah meninggal. Pertama dan utama memberi makan yang paling baik kepada orang yang meninggal sambil berdoa dan berkomunikasi bathin dengan arwah leluhur selama kurang lebih satu sampai dua jam. Lalu seluruh anggota keluarga yang hadir mengambil makanan itu dan makan bersama di sekitar makam kalau TUBI LAI di kuburan dan di rumah kalau TUBI LAI dilaksanakan di rumahnya. ***



Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..


FENOMENA RITUS DI "UMON" MELAHIRKAN GAYA BERPIKIR SUKU BUNAQ AITOUN


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*


Setiap fenomena yang tampak di mata kita dapat kita lihat dengan kacamata tertentu untuk menemukan nomena di baliknya. Salah satu fenomena yang mau ditampilkan dalam konteks tulisan ini adalah aksi ritus adat di atas UMON (mezbah) di setiap kebun, ladang atau sawah setiap orang dari dan di wilayah Suku Bunaq Aitoun. Dari observasi mendalam atas aksi ritus adat di atas UMON oleh suku Bunaq dapat menentukan gaya berpikir dan perasaannya. Fenomena tindakan yang tampak di depan indera mengantar observer menggali lebih dalam untuk menemukan cara berpikir dan perasaan yang masih belum tampak telanjang di mata publik. Fokus observer mengobservasi tindakan yang diobservasi untuk mendapat ketepatan hubungannya dengan perasaan dan pikiran yang diobservasi adalah tilikan tajam dalam membaca fenomena manusia secara utuh dengan menggunakan kacamata "Cognitive behavioral therapy" (CBT) dalam dunia psikologi konseling. Tetapi  di dalam konteks ini tidak ada proses therapy, hanya ambil cara berpikir, perasaan dan tindakan Suku Bunaq Aitoun dalam satu event "ritus di atas UMON" yang berlaku umum bagi suku Bunaq Aitoun dari leluhur hingga dewasa ini dan tentu seterusnya.

Di Atas Umon pembaca merasakan pola pikir Suku Bunaq Aitoun. Pola Pikir Suku Bunaq Aitoun dalam ritus adat di UMON (Mezbah) di tengah kebun atau ladang atau sawah di dalam bagan (A, B, C) berikut.










Umon adalah satu kosa kata yang sangat akrab di telinga para petani suku Bunaq. Baik itu petani di kebun, di ladang, atau di sawah di wilayah Suku Bunaq Aitoun.

Bicara dalam bahasa Petani, kosa kata UMON pasti mereka langsung mengerti. UMON ini adalah semacam altar-tugu- atau lebih tepatnya mezbah yang disusun atau dibentuk dari batu-batu, dan altar ini diletakkan atau ditempatkan tepat di pertengahan kebun atau ladang atau sawah yang sedang dibuka atau diolah untuk menanam jagung, padi, atau kacang-kacangan atau bawang. Nezbah ini biasanya sudah ada sejak luluhur pertama yang membuka lahan atau ladang atau sawah sebagai tempat perayaan ritus di kebun.




UMON ini berfungsi sebagai pusat atau sentral dari sebuah kebun. Biasanya UMON ini sudah ada di setiap pemilik kebun dan dibuat sejak dulu kala oleh orang pertama yang membuka atau mengolah kebun tersebut. UMON itu sebagai pusat pelaksanaan adat sebelum menanam dan saat tiba panen hasil.

Setelah lahan sudah dibersihkan, dan akan siap untuk memulai menanam benih yang telah disiapkan, diawali dengan upacara adat.

Adat itu sebagai berikut: seekor ayam jantan, atau babi, atau kambing, atau anjing dikorbankan di atas UMON itu oleh pemilik kebun.

Darah korban binatang itu dipercikkan di atas UMON itu, juga dipercikan diatas segenggam beras, sirih pinang, kapur yang telah disediakan atau disimpan di sebuah wadah anyaman berupa TAKA GOL, yang juga disimpan di atas UMON, sambil mengucapkan mantra-mantra sakti adat.  Inti mantra sakti itu adalah bahwa korban darah yang dipercikkan itu menunjukkan pemberian jatah atau bagian kepada kekutan-kekuatan jahat yang dipandang akan menjadi hama atau perusak tanaman yang akan ditanam.

Kekuatan-kekuatan jahat itu diperintahkan pemantra adat dan menyuruh pergi kekuatan jahat dari kebun itu agar yang ada di kebun itu hanyalah kekutan yang baik, yang memberi kesuburan bagi tanaman dan memberikan hasil yang baik dan berlimpah.

Saat pengucapan mantra sakti itu, disusul pemantra menghamburkan beras dari UMON tersebut ke empat sudut kebun sesuai arah mata angin sebagai bukti memberikan makanan yang menjadi bagian dari kekuatan jahat yang akan menjadi hama, dan sekaligus menyuruh pergi dari kebun itu dengan bekalnya yaitu beras yang telah dihamburkan ke empat sudut mata angin tersebut.

Setelah mantra itu, korban binatang itu dimasak, dan satu piring nasi dengan daging yang telah masak itu disimpan di atas UMON itu sebagai bagian dari kekuatan jahat. Peletakan makanan dan daging di atas UMON itu adalah makanan dan daging yang terbaik untuk kekuatan jahat. Mereka diberi makanan terbaik agar mereka makan kenyang lalu dipindahkan pergi ke kediamannya dalam keadaan perut yang tidak lapar lagi. Dengan demikian dia tidak akan memakan tanaman di kebun tersebut.

Sedangkan makanan dan daging yang lainnya akan dimakan oleh pemilik kebun itu serta anggota keluarganya itu merupakan bagian roh yang baik yang akan memberikan hasil yang baik.

Namun menaruk juga bahwa makanan terbaik di atas UMON juga akan diambil dan dimakan oleh hadirin dalam ritus adat tersebut. 

Saat hasilnya akan dipanen, sebelum panen dimulai, pemilik kebun itu memilih hasil yang unggul, lalu hasil itu disimpan di atas UMON tersebut, dengan mantra-mantra sakti yang isinya syukur dan terimakasih kepada sang pemberi hasil yang baik. Di sana juga ada korban binatang ayam atau babi atau anjing atau kambing atau bahkan sapi. Darah korban binatang itu dipercikan di atas UMON dengan semua hasil bumi unggul yang diletakkan di atas UMON.

Perasaan syukur itu pertama-tama lewat mempersembahkan hasil unggul sulung yang diserahkan atau dipersembahkan kembali kepada Wujud Tertinggi, HOT ESEN, di atas UMON-ALTAR itu.

Hasil unggul itu dipersembahkan kepada wujud tertinggi, bersama daging ayam, atau babi atau kambing, yang dikorbankan dan dipercikkan darahnya di atas UMON tersebut.

Daging yang ditempatkan itu adalah bagian daging yang paling baik. Daging yang lainnya dimakan oleh pemilik kebun dan anggota keluarganya.

Setelah itu dimulailah panen seluruh hasil di kebun tersebut. Para pemanen akan bersukacita selama memanen karena hasilnya yang berlimpah, yang membuat mereka tidak kelaparan.


Adat kebiasaan itu sudah berlaku dalam dunia pertanian sejak dulukala, dan diturunkan dari generasi ke generasi selama Suku Bunaq hidup sebagai petani.

Peristiwa adat ini telah bersatu erat dengan masyarakat petani Suku Bunaq. Penulis sejak kecil, sebagai anak petani, sudah mengalami dan merasakan adat di atas UMON bersama orang tua,  sebagai petani di tanah kelahiran Dusun Asueman, Desa Aitoun.

Pengalaman itu memberi masukkan bahwa Suku Bangsa Bunaq sejak nenek moyang dulu kala telah mengakui dan menerima kekuatan jahat dan kekuatan yang baik dalam konteks dunia pertanian.

Kekuatan jahat itu dilihat dalam perusak tanaman atau hama. Sebaliknya kekuatan baik itu adalah pemelihara tanaman, pemberi kesuburan kepada tanaman sehingga memberi hasil yang maksimal.

Suku Bunaq Aitoun mengakui kedua kekuatan itu lewat upacara adat yang dilaksanakan di kebun di atas UMON. Dari adat itu, ditampilkan bahwa pada dasarnya Suku Bunaq Aitoun mengutamakan kekuatan baik daripada kekuatan jahat.

Ritus Adat kepada kekuatan jahat di awal musim tanam. Ritus adat kepada kekuatan baik di saat sebelum memulai memanen hasil. Hasil terbaik dipersembahkan kepada sang sumber kebaikan, wujud tertinggi suku Bunaq Aitoun, HOT EZEN.  Di sinilah ditemukan titik pertemuan fenomena fisikal UMON dengan nomena-metafisikal sang wujud tertinggi, HOT EZEN suku Bunaq Aiitoun.

Dari ritus adat di atas umon ini juga pembaca menemukan ada  rasa pola pikir Suku Bunaq  tentang harmoni secara sangat mendalam.

Harmony dalam konsep suku Bunaq Aitiun bukan berarti hanya mengutamakan atau menerima semua yang baik-positif saja seperti pola pikir Agama Katolik, dengan menolak secara ketat semua yang jahat-negatif.


Tetapi ada rasa istimewa harmoni dalam konsep suku Bunaq Aitoun, berilah porsinya kepada roh jahat-negatif dan roh baik-positif secara proporsional agar  dengan demikian masing-masing berada pada tempat dan jalurnya masing-masing dengan perut yang kenyang, tidak lapar, sehingga tidak saling mengganggu satu sama lain, tidak berkelahi, tidak terjadi kaos, tidak terjadi konflik.

Itulah rasa harmoni suku Bunaq Aitoun yang lahir dalam ritus adat di atas UMON di kebun. Konsep ini selalu terbuka untuk menentukan pola pikir suku Bunaq Aitoun secara utuh menyeluruh. Memang asyik sekali merasakan Pola Pikir Suku Bunaq Aitoun dari atas UMON di tengah kebun atau ladang atau sawah bukan di bangku kuliah. ***


Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978



Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

Minggu, Desember 23, 2007

"LAL NA TEPEL, TEPEL BAA NA HONE, LAL NA BELEK, BELEK BAA NA SASI" (Mat 5 : 37 )

Homili 

P. Lazarus Mau SVD

Pada Misa Syukur 

P. Benediktus Bere Mali, SVD

Asueman-Malate, Selasa 5 Oktober 2004



Baa gie ba Yesus lolo gol wa uen gene mit so, en ganorin. Lal goq bais halai gege , hini guni gene, hini guel gene. Gini mak loi, gini tara loi. Ata hua gene pagaq gie, hua gene hoon gie. 

Lal go ginat bare goet.. Sorti masak eina susar, eina memel, eina soat, eina kiak, eina en ege sok sawa tan no piar, tan Maromak giol jal. Pan Esen ei ie. Huagene bare goet teni . Ei hotu-hotu na nua gene, ei E muk wa gie. Bai a, si uor hini mami. Ei mos guel mukwa gie. Ei mesti barut cia goet, lantera leno goet. Homona en hotu-hotu himo ate rein gene ie hoon loi, ie hoon koen ba hajal, terel Ama esen gaqmen gasae gie. Yesus halai gubul gael no toek noq masak bare lai teni… Lal na tepel tepel baa na hone. Lal na belek, belek baa na sasi. Kalau agar no tepel, belek na sasi, baa diabu go gene man, kukun gene na sai. Baa goet on, late ata na mal, kukun ata na pagaq. Ei hani baa goet. Nego na loi, loi, nego na late, late. Nego na belis, belis, nego na guju, guju. Bare mesti hini irak-irak, hini doloq-doloq gene…


Serani Loi ginil.

I bare waen dimil pir niq gie wen. To mil uen hiloon mil bare no guru agama gol hiloo sai nai lulik oa. Romo Yustus, guru agama Tahon, Matas Kobus gol. ( O Romo Yustus bi gubul koun goet be, obi matas Kobus gol on nai, hani gini gie kauq on ). 

Pater Bene, guru agama Asueman gol, Bapak Gabriel na I ewen no mit bari.Nai lulik hone gie ata hou haal baa no Pater Bene dege Hot giol, dege Hul Giol uen hukat, hini dawas no gie-hini dimil no gie, baa hone dele, bare jati dele die serbisu nailulik gie huagene hoon gie. Sasi bare goet .. Lal na tepel tepel baa na hone, lal na late late baa na sasi. Kalau eto hou haal oa, hou hini liol. Hani dagar belek, hani diol belek hoon toil. Kalo eto puluk, hani tebe dojul a. 

Ota muk Lamaknen bare no, hue muk Asueman Aitoun mil bare no, Nakalolo, Telolo, en na guru agama, matas Kobus o bapak Gabriel halai bari goet, neto rimil gagal soat gie wen oa (sama seperti yang dikatakan orang .. pria jujur sulit dicari, atau wanita yang u.u. sulit didapat). 

Pan lele, muk lele, en iskola masak, en matenek hotu, gini katekis, gini pegawai serbisu kantor na sagal, kansera masak na wau. Dini mele tara niq oa, dini kura sae loi ni oa. Bis na sae gie, ojek na sae gie. Esen Gereja Nualain hini ate mo iti gene goet, Gereja Fulur hini ate Lakaan wa gene goet. Hini ate oa dilek tuek oa.Pagaq gie go loi niq oa, mal gie go tuek oa. Pada hal lain tutu gene I hotu-hotu bare baagene dini kereq dini uen. Ate hini ate niq, koleq dini koleq niq. Inel hini inel niq, naka hini naka niq. 

Memang le le muk maju oa en sasi gie na baa gin. Balu dewen mal, balu dun mal. Mais en na guru agama, baagie ba, to’o mete hot mil serbisu Maromak gie hone, ate tara niq, koleq tara niq. Kalau jumat niat, halai hotu-hotu Paroki gene Rekoleksi hoon. Lei gie mel misa haal, halai minak muk botil uen-uen hosok (die botil jal gimen, botil gagar dio a – dio a bun, botil gar – gar bun ), bako jun gol uen, molo pu gol uen baa na hosok ai. Hosu neto hajal ni. (Arine lele bare Rekoleksi baagoet hati e niq neto tara niq oa. Tekil gie hoon hosu on oa. Lele bare Nailulik halai guru agama gege tumel gon uen gon no e niq ba’a mos neto tara niq oa). Mete ba’a haal so halai die tas ata tebe, die serbisu hone hoon diemien. En halai na bari taq. Derel go sura.Hot mil uen gie matas guru agama uen dol mone go sura bare goet .. apa e,... leigie bare hot mil nego, tanggal tuen-tuen.... gol mone himo go hosok bare goet.. hae ama, ... eto bare ene tanggal le tanggal, kansera bun hosok gie ka? ( Hele Pater Bene bari na die ama go hosok baa goet? Ini aen gie ka? Memang gol ginil tara pisi ama kansera a niq. Halai mos gagar giol hobel, Tekil lele serbisu ba’a goet on bu an meren na hosok gie nai. Hala’i dimil los ai, jonal gene man pan esen gene na hosok. Memang hala’i serbisu los ai. Ota ba sura, bare sura hobel. Gagar giol hobel, sesuk lesik nor gamak niq, sok sawa apalagi, die serbisu Maromak gie ata na gon giri libu. 

Memang toek noq hini moto ba’a hala’i hoon niq apalagi jiq koen-koen honal bare goet. Lele bare kalo en uen kawen, tenda mil gene e, kamar pengantin mil gene e, I tulisan hajal: Dua hati satu napas, dua napas satu jantung..... Satu kubur kita berdua.... Ya oik-oik.... matas mil giol no be.... o bare toek e rale.... Jonal gene man tepel e niq I ata hajal. 

Guru agama ginil dimil bais niq. Halai dimil los ai : Hot gie serbisu na ba’a, Hot giol tepel na baa, ata hou haal, hini topol niq, hini muk no niq. Hosok haal oa-hepu haal oa, baa dele mele, baa dele mal, tas-tas lolo, deu-deu lolo. Hot giol baa en gini mak gie, en gini hua gene gie. Halai ata matas na baa, ata touq na baa. Ewi giol no be “halai YA, ya baa ai” gubuq-gubuq, goq-goq hobel.

Serani loi ginil. 

Bul nego ata na mete bare, neto dale guru agama gie na dale hanesan kaset uen goet I ege gapal, hini tebe mak, hini tebe tara teni? Nego na loi tentu en hotu-hotu mobel. Nego na Maromak giol gutu terel mele niq I mos o roon toil gie. 

Mais neto mos Pater Bene go sura, nego on na, eto moto bare dege poi dege hukat? Sasi : “Lal na tepel, tepel baa na hone... Neto dimil, ho ama gie, kaluk ama gie, lal ama gie na ita leleq o pir na baa. Ama ege hik sen, ama ege ua sen, ini gere-gere, ini gua gene gie. Giri gua na baa, gon gua na baa. Ini hone gie, ini huagene gie. Bare lal tuek bun. I hue gene tepel – tepel gie ka niq? I hoon heta gie ka niq. Hani diol hini na ro lesin, hoon gene hesik sa niq, hik hosu na hone, sorun hosu na mal. 

Hot mil uen gie Nailulik Projo uen SVD halai gotol diol wa bare goet. Halai na kaul hoon, mais nei na hua gene hoon. Mereka berkaul, kami menghayati. Neto rimil waen tepel goet ba.... Mais I irak-irak. 

Ba’a gie na serani loi ginil mos nei nita hamulak. Hani pesta haal o si nei ret nile’e los. Mete nei na rahul, jonal gene man nei notol sagu-sagui na hoon, dagar hini sae rebel-sae rebel hanesan sie gebu goet. Nego na tepel baa hone tama, nego na belek, belek ba’a hini irak-irak. Kalau I kahul, bare diabu I alak tama, late ata na I ajati gie. En na gepal hati ilek mal, en ciona gimil hati hadomi mal. 


PASTOR LAZARUS MAU, SVD Berkotbah tentang Moto Tahbisan P. Benediktus Bere Mali SVD: LAL NA TEPEL, TEPEL BAA NA HONE, LAL NA BELEK, BELEK BAA NA SASI (Mat 5 : 37 ) dalam Misa perdana P. Bene pada hari selasa 5 Oktober 2004, di TELOLO, MALATE, Lingkungan Asueman - Paroki St. Theodorus Weluli – KEUSKUPAN ATAMBUA-Timor Barat - Indonesia.