Penulis berjumpa dengan seorang yang bersuku bangsa Bunaq di Seminari Tinggi Widya Sasana Malang atau lebih dikenal sebagai STFT Widya Sasana Malang. Teman itu bernama Lito Soares berasal dari Timor Leste berbangsa Suku Bangsa Bunaq. Lito Soares waktu itu sebagai frater Projo Keuskupan Dili. Kini Lito Soares menjadi Romo Projo Keuskupan Dili. Waktu saya bertemu di STFT "Widya Sasana" Malang sempat berdiskusi tentang panggilan teman-teman yang berasal dari Bali, ada yang bernama WAYAN, ada yang bernama Kadek, ada yang bernama Nyoman, ada yang bernama Ketut, ada yang bernama Made. Menurut kebiasaan adat Bali, nama-nama itu adalah nama khas setiap orang yang bersuku bangsa Bali. Lantas, penulis bersama dengan Lito Soares juga mengalihakan pandangan kepada nama panggilan dalan adat istiadat Suku Bangsa Bunaq. Dalam suku Bangsa Bunaq pun ada panggilan khas setiap anak yang lahir sebagai suku bangsa Bunaq.
Apa kekhasan nama dalam Antropologi Suku Bangsa Bunaq? Ada panggilan khas untuk anak laki-laki dan anak perempuan berdasarkan kelahiran pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima.
Panggilana khas untuk anak laki-laki. Untuk anak pertama atau laki-laki pertama yang lahir dari ibu dalam sebuah keluarga, dipanggil dengan nama "APA". Untuk kedua disebut dengan nama "POU". Anak ketiga diapnggil dengan nama "Uju". Anak keempat dipanggil dengan nama baptis adat suku bangsa Bunaq yaitu "UKA". Dan untuk anak terakhir dalam keluarga yang lahir kemudian dibaptis dengan nama adat suku Bunaq yaitu "GULO" artinya bungsu. Penulis dalam keluarga sebagai anak laki kedua maka ibuku tercinta Mama Oliva Lawa Koi memanggilku dengan nama "POU". Nama Baptis adat Suku Bunaq "POU" sangat akrab di mulut ayah, ibu, kakek, nenek, dan seluruh keluarga di ibu peritwi Suku Bunaq.
Panggilan untuk kelahiran anak perempuan dalam keluarga. Anak perempuan pertama dibaptis dengan nama "AIBA". Anak perempuan kedua dibaptis dengan nama "POU". Anak perempuan ketiga dibaptis secara adat suku Bunaq dengan nama "UJU". Anak perempuan keempat dibaptis dengan nama "UKA". Anak perempuan terakhir dalam sebuah keluarga dibaptis secara adat dengan nama "GULO".
Ada perbedaan pembaptisan anak pertama laki-laki dan perempuan dalam keluarga berdasarkan adat Suku Bunaq. Anak pertama laki dibaptis dengan nama "APA". Anak pertama perempuan yang lahir dalam keluarga dibaptis dengan nama "AIBA". Berdasarkan Pembatisan adat itu, dalam sebuah keluarga Suku Bunaq, maksimal punya anak sepuluh yaitu 5 laki-laki dan 5 perempuan. Memang pada zaman dulu banyak anak banyak rezeki karena banyak tenaga kerja di kebun menghasilkan hasil yang berlimpah. Waktu dulu hal itu sangat memungkinkan karena lahan masih luas, penduduk masih sedikit. Tetapi sekarang sudah lain. Banyak anak banyak beban. Karena apa penduduk padat, biaya hidup anak mahal, dan mencari pekerjaan sangat sulit. Maka sedikit anak semakin sejahtera. Banyal anak sulit sejahtera.
Minggu, Januari 20, 2008
Merasakan Rumah Suku Asutalin Asueman di Suku Bunaq Aitoun
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Suku Astalin di Asueman adalah satu suku kecil yang tersebar di wailayah suku Bunaq sebagai suku Besar. Bapak Gabriel Mali adalah seorang Suku Astalin, Bapa Gabriel Mali ini adalah "LAL GOMO" yaitu seorang yang tahu dan pandai berbicara tentang adat yang ada dan berlaku dalam di Lingkungan Asueman - Paroki Sto. Theodorus Weluli - Keuskupan Atambua. Bapak Gabriel Mali adalah Guru Agama Senior di Paroki St. Theodorus Weluli. Bapak Gabriel Mali ini menjabat Guru Agama Lingkungan Asueman sejak tahun 1960-an sampai hari ini. Pengabdiannya kepada Gereja lewat Katekese, Pimpin Ibadat Sabda Setiap Hari Minggu di Kapela Lingkungan Asueman sangat mengagumkan. Kesetiaan, pengorbanan dan komitmennya pada Misi Yesus, Misi Gereja sudah sangat teruji. Bahkan pada suatu kali, Bapak Gabriel Mali ini dimarahi oleh Pastor Paroki St. Theodorus Weluli karena kelalaiannya persiapan perkawinan di lingkungan Asueman, bahkan sang Pastor Gembala Baik itu dikuasai oleh emosi manusiawi menampar Bapak Gabriel Mali, guru Agama, yang telah bekerja mengabdi Gereja dan Tuhan secara tulus, berkorban tanpa upah. Bapak Gabriel Mali menerima tamparan sang pastor paroki yang mengkhianati perannya sebagai Gembala Baik yang seharusnya bertindak tanpa kekerasan. Bapak Gabriel Mali menyerahkan tamparan itu kepada Tuhan Sang Gembala Sejati. TuhanPasti tahu dan membalas sesuai keadilan dan kebenaranNya. Upah Bapak Gabriel Mali pasti diperhitungkan oleh Sang Gembala Yang Baik. Berikut ini penulis menguraikan secara deteil Suku Bapak Gabriel Mali yaitu Suku Astalin ("Aiba'a) dengan para suku "Malu" nya. Informasi ini diterima dari wawancara langsung via telephone HP Simpati Pede antara Penulis dengan Bapak Gabriel Mali yang tinggal di Rumah Induk Penulis Malate - Telolo - Lingkungan Asueman - Paroki Sto. Theodorus Weluli. Wawancara langsung antara penulis yang tinggal di Soverdi Sto Arnoldus Janssen, Kamar No 12, Jalan Polisis Istimewa Surabaya, denga kode Pos 60265- Jawa Timur - Indonesia dengan Bapak Gabriel Mali itu berlangsung dari pukul 20.30 - 22.30 Waktu Surabaya. Informasi selengkapnya dapat diikuti dalam penulisan berikut. Penulisan ini berguna sekali bagi penulis dan juga generasi muda suku Bunaq, khususnya suku Astalin yang menyebar ke seluruh dunia, agar dapat mengenal siapa dirinya lewat publikasi ringan ini yang meneguhkan atau menggugat identas dirinya, tergantung meresponnya dari sisi dispiln ilmu apa yang digunakan sebagai teropong untuk mendeteksi tata adat tradisional warisan para leluhur yang masih hidup dan dihidupi oleh Suku Astalis di Dususn Asueman-Desa Aitoun-Kecamatan Rai Hat-Kabupaten Dati II Belu.
Bapak Gabriel Mali sebagai anggota Suku Astalin di Asueman-Desa Aitoun- Kecamatan Rai Hat - Kabupaten Dati II Belu. Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (duabelas ) suku "Malu". Dua Belas Suku "Malu" bagi Suku Astalin sebagai "Aiba'a" itu dapat disebutkan sebagai berikut :
1.Suku Leb
Suku Leb bertempat tinggal di sebuah tempat yang namanya LUA GUJU. Suku Leb ini adalah suku asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali;
2. Suku Lelabere Bese;
3. Suku Lelabere Aisal Bul;
4. Suku Lelabere Kaluk;
5. Suku Lelabere Delo Bul;
6. Suku Hokiik "Deu Masak";
7. Suku Hokiik "Deo Gol";
8. Suku Lakora bertempat tinggal di Magil;
9. Suku Sul Por di Magil;
10.Suku Loka Bere di Magil;
11.Suku Nikaran Deu Masak di Maumutin
12. Suku Nikaran Deu Gol di Maumutin
Sebuah adat kematian akan dilaksananakan oleh Suku Astalin jika semua suku Malu yang jumlahnya 12 Suku dia atas itu hadir. Seorang anggota suku Astalin harus datang langsung beritahu sekaligus mengundang secara adat untuk hadir menyaksikan Adat Kematian Seorang Suku Astalin. Pemberitahuan itu tidak boleh lewat "SMS" atau lewat Telephone via HP, atau lewat surat. Presiden Suku Astalin menyuruh seorang anggota suku Astalin langsung datang ke masing-masing presiden Suku "Malu" itu memberitahukan secara jelas bahwa akan segera melaksanakan adat kematian suku Astalin. Undangan model ini sebagai satu apresiasi Presiden Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Para Presiden Suku "Malu". Undangan speri ini satu penghargaan yang mulia dari pihak "Aiba'a' kepada "Malu". Tetapi kalau dari segi praktisnya, memang undangan seperti ini sangat tidak efektif dan tidak efisien. Dewasa ini bisa efektif dan efisien, para presiden "Malu" itu langsung diundang oleh Presiden Suku "Aiba'a" leweat telehone (HP) atau "SMS" terutama Para Presiden suku yang tinggal di tempat yang jauh dari tempat pelaksanaan adat kematian oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Entah kapan undangan itu lewat HP, kita tunggu saja waktu yang tepat. Kalau para presiden suku mulai menakar perayaam adat dari segi efektif dan efisien, pasti akan mengundang lewat HP saja.
Undangan para Presiden Suku "Malu" atau yang mewakili Setiap Suku "Malu" itu bertujuan agar mereka semua hadir dalam pelaksanaan adat kematian itu. Kalau satu suku "Malu" tidak hadir maka adat kematian belum dapat dimulai. Menunggu semua wakil suku "Malu" hadir, baru segera dimulai tata adat kematian. Upacara adat akan berbelit-belit atau dulur-ulur kalau para suku "Malu" tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang karena ada persoalan tersinggung karena soal plitik, soal konflik yang lain antara Suku "Malu" yang tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang dengan anggota suku Astalin sebagai suku "Aiba'a". Maka perlu selesaikan masalah konflik itu dengan sejumlah uang yang harus dibawah oleh suku Astalin sebagai suku "Aiba'a" kepada Suku "Malu", yang bersangkutan. Suku "Malu" yang tidak mau datang karena tersinggung atau konflik dengan Suku Astalin sebagai suku "Aibaa'a" itu disebut dalam bahasa Bunaq, dengan istilah "Malu Aiba'a Gege Robon". Uang yang dibawah oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Suku "Malu" itu sebagai uang rujuk - rukun kembali antara suku "Malu" yang bersangkutan sengan suku Astalin sebagai "Aiba'a". Setelah rukun baru Suku "Malu"itu memenuhi undangan itu datang menghadiri, menyaksikan perayaan adat kematian. Masalah akan lebih rumit kalau anggota suku "Malu" itu banyak dan juga semuanya pada konflik dengan Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Semua konflik itu diselesaikan baru melaksanakan adat kematian. Soal-soal itu biasanya sederhana, pada umumnya karena Para Suku " Malu" merasa dilecehkan oleh kata-kata Suku "Aiba'a". Semakin banyak konflik semakin tidak efektif dan tidak efisien melaksanakan adat kematian suku Astalin. Perayaan adat kematian ini dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan sebutan "LAL HOON".
Semua konflik antara "Aiba'a" dengan setiap suku "Malu" sudah diselesaikan secara damai, dan semua suku "Malu sudah hadir di sekitar perayaan adat kematian, barulah dilaksanakan adat Kematian atau " LAL HOON". Proses adat "LAL HO'ON" atau adar kematian sama persis yang sudah diuraiakan dalam Adat "Lal Ho'on" pada Suku Monewalu. Hanya Pelaksana Adat yaitu suku Astalin dengan susunan anggota suku "Malu"nya yang berbeda-beda. Perayaan adat Kematian suku Astalin sebagai berikut :
1. "Tel Taba"
Suku Malu yang berhak "Pertama kali menancapkan tajak pada tanah tempat kuburan yang akan digali, bagi seorang anggota suku Astalin yang meninggal adalah Suku Leb sebagai suku yang menjadi asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali. Selama Suku Leb ini ada dan tidak berhalangan hadir, Suku Leb ini yang berhak menancapkan tajak untuk pertama kali di tanah tempat untuk kuburan bagi seorang anggota suku yang telah meninggal. Suku Leb mendapat stipendium adat untuk penancapan pertama itu. Stipendium itu adalah SI BESAL atau SI GEWEEL dan sejumlah uang. Kalau Suku Leb berhalangan hadir dengan alasan yang masuk akal, maka Presiden Suku Leb ini memberi mandat kepada suku "Malu" yang lain untuk menancapkan tajak pertama di atas tanah tempat kuburan itu. Pemberian mandat berarti pemberian stipendium yaitu SI BESAL atau SI GEEL kepada "Malu" yang menerima mandat itu. Sesudah itu penggalian lanjutnya oleh Suku "Malu" yang lain yaitu Suku Lelabere Delo Bul. Mereka juga mendapat stipendium yaitu Sejumlah daging dan sejumlah uang. Untuk "Tel Taba" ini ada seekor Babi yang dikorbankan.
2. "Gon Tolo"
Para "Malu" akan memindahkan tangan seorang anggota suku Astalin yang meninggal di atas dadanya. Pemindahan ini punya stipendiumnya tersendiri. Jumlahnya sekitar Rp.50.000 sampai Rp.100.000. Tergantung permintaan "Malu" yang memindahkan tangan suku Astalin sebagai "Aiba'a" yang telah meninggal. Untuk ini satu ekor babi dibunuh.
3. "Gawak"
Gawak berarti mengarak Peti Jenazah ke tempat pemakaman. Orang memikul pada dasarnya malu dengan para pemuda yang bertenaga. Peti Jenazah itu ditutup dengan kain. Kain itu akan diperebutkan oleh para suku "Malu". Prinsip perebuatan itu adalah malu siapa yang cepat dan gesit akan mendapat dan memiliki kain penutup peti itu. Perebuatan biasanya sebelum tiba di Kuburan. Setelah upacara penguburan, anggota suku "Malu" dan "Aiba'a" kembali ke rumah duka.
4. "Il Hesik"
"Il Hesik" artinya para "malu" memercikkan air ke atas para "aiba'a" yang berduka. "Il hesik" ini dilaksanakan di depan rumah duku. Waktu pulang dari kuburan usai penguburan, para suku "Malu" telah mendahului "para aiba'a" dan berdiri di depan pintu rumah duka, dan telah siap dengan air berkat secara adat ala para suku "malu". Caranya, para anggota suku "Aiba'a" yang pulang dari penguburan itu berdiri berbaris di depan pintu rumah duka, direciki dengan air suci ala adat itu kemudian baru mereka masuk ke dalam rumah duka itu. Perecikan itu bermakna menyucikan hati, pikiran duka keluarga "aiba,a" dan menguatkan serta meneguhkan mereka agar tidak dikuasai oleh rasa duka yang berkepanjangan. Mereka menyerahkan kepergian anggota suku yang meninggal dengan tulus tanpa suatu beban berat tertentu.
5. "En Gawa Gini"
Sesudah suku "Malu" memerciki suku "Aiba'a" kini mereka konsentrasi bekerja di dapur untuk mempersiapkan makan-minum melayani para suku "Malu" yang ada. Suku "Malu" sebagai tamu agung yang harus dilayani oleh suku "aiba'a". Para suku "Aiba'a" memberi pelayanan yang istimewa dan sempurna kepada para suku "Malu" yang ditempat sebagai "Raja" di mata Suku "Aiba'a". Makanan harus enak, dengan lauk pauk dan sayur-sayuran yang istimewa. Kalau makan kurang enak, para "malu" biasanya memberi komentar atau penilaian yang agak miring kepada para "aiba'a" yang melayani mereka.
6. "Lasik Wa"
Para "aiba'a" pun makan bersama setelah melayani para "malu". Dalam makan bersama, presiden suku "Aiba'a" mengumumkan kepada "Mane Pou" dan "Deu Gomo", untuk mengumpulkan uang. Jumlah uang yang akan dikumpulkan sebesar Rp.20.000/orang atau Rp.50.000/orang, berdasarkan kesepakan dan keputusan presiden suku. Uang yang dikumpulkan itu disebut "Lasik Wa". Uang itu untuk apa? Untuk beli babi untuk adat "Si Por Pak". Adat "si por pak" yaitu adat memasukkan jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal kedalam Persekutuan para leluhur di rumah adat suku leluhur di dunia seberang. Rumah adat para leluhur itu disebut "MOT". Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam rumah adat Suku Leluhur itu disebut "MOT TAMA". Para "Malu" hidup damai dengan "aiba'a" dan hadir dalam seluruh adat kematian itu secara lengkap sempurna maka jiwa suku anggota "aiba'a" layak masuk dalam rumah adat suku leluhur atau "Mot Tama". Sebalinya kalau salah satu malu tidak setuju atau tidak hadir dalam adat kematain makan adat kematian itu tidak dapat dilaksanakan, dibatalkan, ditunda maka jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal itu masih berkeliaran di luar rumah adat suku leluhur, dia belum masuk dalam rumah adat leluhur atau belum "MOT TAMA" yang secara harafiah diartikan belum masuk rumah adat para leluhur yang berbahagia abadi di dalam "MOT".
Uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu juga akan digunakan untuk beli beras, beli sayur-sayuran, beli minuman, kopi, gula. Uang itu juga digunakan untuk uang stipendium bagi para "Malu" yang akan melaksanakan "Kaba" dan "Tais Hota". Uang itu digunakan untuk membeli siri pinang yang akan digunakan untuk "Kaba" "aiba'a" oleh "malu". Uang itu digunakan untuk membeli jumlah "taka giral" sejumlah banyaknya suku "malu". Dalam Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (dua belas) suku "Malu" maka harus disiapkan 12 (dua belas "taka giral").
Biasanya uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu sangat banyak. Setelah adat kematian selesai, biasanya masih ada uang sisa atau saldonya. Pada zaman dulu, pengumpulan uang pada satu tangan tunggal yaitu presiden suku tanpa sekretaris yang mencatat nama jumlah uang yang dikumpulkan oleh para anggota suku "aiba'a" baik "mane pou" dan "deu gomo", maka sisa uang itu akan masuk dalam kantong saku presiden suku dan menjadi milik pribadi presiden suku atau ketua suku "aiba'a". Pada dewasa ini, hal semacam itu telah dikendalikan oleh seorang yang sepakat diangkat oleh anggota suku "aiba'a" untuk menjadi sekretaris yang bertugas menulis nama para pengumpul uang, pengeluaran dengan semua bukti / Nota belanja, dan pada akhir adat kematian itu dibacakan atau dilaporkan oleh sekretaris dengan suara lantang kepada publik suku "aiba'a" sehinnga anggota suku tidak mencurigai atau berprasangka buruk terhadap Presiden suk atau ketua suku, tetapi semakin percaya kepada kejujuran presiden suku, pelayanan dan pengorbanannya dalam memimpin sebuah adat kematian.
7. "Si Giwitar Pak"
Adat "Si Giwitar Pak" ini dipimpin oleh "LAL GOMO". Dia adalah pribadi yang tahu adat asal-usul suku Astalin sebagai "aiba'a". Dia menjelaskan sejarah suku "aiba'a" dengan jujur, dan benar. Kesalahn dalam hal ini akan mendapat hukuman atau kutukan dari para leluhur. Dia juga menyampaikan doa atau mantra-mantra bagi jiwa orang yang meninggal. Doa-doa itu mengarak masuk jiwa anggota suku yang meninggal masuk ke dalam rumah adat suku leluhr atau "MOT TAMA". Setiap "Malu" mendapat satu ikat daging dengan sejumlah uang berkisar Rp. 50.000 sampai Rp.100.000 kepada setiap "malu". Dalam hal ini semakin besar daging dan jumlah uang tentu saja para malu yang menerima bagiannya sangat gembira. Ini semacam gaji atau stipendium mereka. Dalam suku astalin yang mempunyai 12 "malu" maka daging yang dibagi dan uang yang merupakan bagian "malu" sejumlah 12 ikat daginh dengan sejumlah uang yang telh disetujui dan diberikan. Setipa malu setelah doa "LAL GOMO" itu mengangkat bagiannya masing-masing. Biasanya setiap bagian itu diserhkan oleh presiden suku "aiba'a" kepada setiap "malu". "Lal Gomo" mendapat stipendiumnya tersendiri. Di sini tampak bahwa pihak "aiba'a" sudah berduka, harus melaksanakan kewajiban memberi uang dan daging kepada setiap wakil pihak suku "malu". Dalam hal ini yang mendapat pemasukan besar adalah pihak suku "malu" sedangkan yang wajib membayar uang kepada "Malu" adalah suku Astalin sebagau asal-usul suku "aiba'a" (Suku Astalin).
8. "Tais Hota"
Setelah pelaksanaan adat di atas meja altar "Si Por Pak" kini beralih ke meja altar adat "Tais Hota". Proses adat di atas altar adat "Tais Hota" adalah para "malu" membawa kain adatnya di atas altar adat "Tais Hota". Para "malu" menawarkan "TAIS" atau kain adat kepada para "aiba'a". Para "aiba'a" harus membeli setelah tawar menawar itu. Tawar-menawar tapi tidak dibeli oleh "aiba'a" maka pihak "malu" akan tersinggung. Itu akan tersimpan dan diungkapkan kembali pada adat "Tais Hota" pada kematian berikut. Rujukannya dengan cara, pihak "aiba'a" yang telah menimbulkan rasa tersinggung adat, memberi seujmlah uang kepada pihak "malu" tersebut. Pihak "aiba'a" yang tidak mau membeli kain adat itu biasanya alasannya masuk akal secara ekonomis. Kain adat yang kurang meyakinkan harus ditawar dengan harga mahal misalnya Rp.50.000 atau Rp.100.000,- biasanya pihak "aiba'a" menolak untuk membeli. Tapi penolakan itu melahirkan beban adat kematian pada kematian berikut. Baik-buruk kain adat yang ditawarkan di atas "meja altara adat Tais Hota" ini, pihak "aiba'a" demi sebuah relasi adat, harus membeli dengan harga yang telah ditentukan oleh pihak "malu". Di sini apa yang terjadi? Dalam hal demikian, adat memang sangat tidak ekonomis hanya demi gengsi belaka. Ada pihak yang menerima keuntungan besar yaitu "malu". Ada pihak yang dirugikan yaitu suku Astalin sebagai "Aiba'a". Ada prinsip ekonomi berlaku bagi para suku "malu" yaitu mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu perayaan di atas meja altar adat "tais hota". Ada unsur bisnis bermain dalam adat kematian yang dimainkan oleh para suku "malu". Sedang bagi para suku "Aiba'a" siap berkorban melayani kebutuhan atau keinginan para "malu" demi sebuah nilai yaitu relasi harmonis, rukun, damai, mengalah dalam relasi dengan para suku "malu".
Barangkali, adat "Tais Hota" ini bisa ditiadakan karena sangat merugikan suku yang berduka dalam hal ini suku Astalin sebagai sebuah suku yang berperan sebagai "aiba'a" dalam altar meja adat "Tais Hota".
9. "Kaba"
Dari meja altar adat "Tais Hota", kini beralih ke meja altar adat "Kaba" yang dibuat oleh pihak "malu" kepada "aiba'a". Ada aturan main di atas meja altar adat "Kaba". Di depan setiap wakil 12 Suku "malu" disediakan masing-masing "Taka Giral". Di dalam setiap "Taka Giral" yang disediakan di depan 12 Suku "Malu" itu, diisi Siri-Pinang-Uang Sitipendium sekitar Rp. 200.000 / "Taka Giral" kepada setiap "malu". Siri-pinang -uang dalam "Taka Giral" itu didoakan secara bersama-sama oleh para "malu". Setelah itu setiap malu mengambil siri-pinang yang ada dalam "Taka Giral" itu lalu makan-kunya.
Lalu setiap anggota "aiba'a" dipanggil secara berurutan untuk menerima "Kaba" dari para "malu. Pertama di depan Malu suku Leb sebagai asal asli suku Astalisn. Wakil Suku Leb sebagai "Malu" yang memberi "Kaba" yaitu berkat leluhur lewat diri suku "malu" yaitu suku Leb yang mengalirkan berkat leluhur itu kepada suku Astalin sebagai suku "aiba'a". Caranya, suku Leb itu mengambil siri-pinang yang telah dikunyah dan merah dari mulutnya lalu dengan itu membuat tanda salib di dahi anggota suku astalin yang menerima "Kaba" atau lewat itu menerima berkat leluhur. Kemudian dari Suku Leb beralih ke suku-suku yang lain sebagai "malu". Suku-suku "malu" yang lain ini memberi berkat leleluhur tidak dengan ambil ampas merah sirih pinang dari mulutnya, tetapi suku "aiba'a" mengulurkan ujung kedua tangannya kepada setiap suku "malu" itu sehinnga suku-suku "malu" itu mengalirkan berkat dan rahmat dari para leluhur kepada suku "aba'a" itu dengan meniupkan kedua ujung tangannya. Setiap wakil suku yang duduk di altas adat "Kaba" ini meniupkan ujung tangan suku "aiba'a" sampai selesai. Usai perayaan di atas meja altar adat "Kaba" maka usailah sudah seluruh rangkaian adat kematian atau adat "Lal Ho'on.
10. Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu
Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.
Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.
Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.
Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.
Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.
Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.
Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.
Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.
Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.
Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.
Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.
Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.
Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti dan terbukti bahwa: "ketika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."***
Bapak Gabriel Mali sebagai anggota Suku Astalin di Asueman-Desa Aitoun- Kecamatan Rai Hat - Kabupaten Dati II Belu. Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (duabelas ) suku "Malu". Dua Belas Suku "Malu" bagi Suku Astalin sebagai "Aiba'a" itu dapat disebutkan sebagai berikut :
1.Suku Leb
Suku Leb bertempat tinggal di sebuah tempat yang namanya LUA GUJU. Suku Leb ini adalah suku asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali;
2. Suku Lelabere Bese;
3. Suku Lelabere Aisal Bul;
4. Suku Lelabere Kaluk;
5. Suku Lelabere Delo Bul;
6. Suku Hokiik "Deu Masak";
7. Suku Hokiik "Deo Gol";
8. Suku Lakora bertempat tinggal di Magil;
9. Suku Sul Por di Magil;
10.Suku Loka Bere di Magil;
11.Suku Nikaran Deu Masak di Maumutin
12. Suku Nikaran Deu Gol di Maumutin
Sebuah adat kematian akan dilaksananakan oleh Suku Astalin jika semua suku Malu yang jumlahnya 12 Suku dia atas itu hadir. Seorang anggota suku Astalin harus datang langsung beritahu sekaligus mengundang secara adat untuk hadir menyaksikan Adat Kematian Seorang Suku Astalin. Pemberitahuan itu tidak boleh lewat "SMS" atau lewat Telephone via HP, atau lewat surat. Presiden Suku Astalin menyuruh seorang anggota suku Astalin langsung datang ke masing-masing presiden Suku "Malu" itu memberitahukan secara jelas bahwa akan segera melaksanakan adat kematian suku Astalin. Undangan model ini sebagai satu apresiasi Presiden Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Para Presiden Suku "Malu". Undangan speri ini satu penghargaan yang mulia dari pihak "Aiba'a' kepada "Malu". Tetapi kalau dari segi praktisnya, memang undangan seperti ini sangat tidak efektif dan tidak efisien. Dewasa ini bisa efektif dan efisien, para presiden "Malu" itu langsung diundang oleh Presiden Suku "Aiba'a" leweat telehone (HP) atau "SMS" terutama Para Presiden suku yang tinggal di tempat yang jauh dari tempat pelaksanaan adat kematian oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Entah kapan undangan itu lewat HP, kita tunggu saja waktu yang tepat. Kalau para presiden suku mulai menakar perayaam adat dari segi efektif dan efisien, pasti akan mengundang lewat HP saja.
Undangan para Presiden Suku "Malu" atau yang mewakili Setiap Suku "Malu" itu bertujuan agar mereka semua hadir dalam pelaksanaan adat kematian itu. Kalau satu suku "Malu" tidak hadir maka adat kematian belum dapat dimulai. Menunggu semua wakil suku "Malu" hadir, baru segera dimulai tata adat kematian. Upacara adat akan berbelit-belit atau dulur-ulur kalau para suku "Malu" tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang karena ada persoalan tersinggung karena soal plitik, soal konflik yang lain antara Suku "Malu" yang tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang dengan anggota suku Astalin sebagai suku "Aiba'a". Maka perlu selesaikan masalah konflik itu dengan sejumlah uang yang harus dibawah oleh suku Astalin sebagai suku "Aiba'a" kepada Suku "Malu", yang bersangkutan. Suku "Malu" yang tidak mau datang karena tersinggung atau konflik dengan Suku Astalin sebagai suku "Aibaa'a" itu disebut dalam bahasa Bunaq, dengan istilah "Malu Aiba'a Gege Robon". Uang yang dibawah oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Suku "Malu" itu sebagai uang rujuk - rukun kembali antara suku "Malu" yang bersangkutan sengan suku Astalin sebagai "Aiba'a". Setelah rukun baru Suku "Malu"itu memenuhi undangan itu datang menghadiri, menyaksikan perayaan adat kematian. Masalah akan lebih rumit kalau anggota suku "Malu" itu banyak dan juga semuanya pada konflik dengan Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Semua konflik itu diselesaikan baru melaksanakan adat kematian. Soal-soal itu biasanya sederhana, pada umumnya karena Para Suku " Malu" merasa dilecehkan oleh kata-kata Suku "Aiba'a". Semakin banyak konflik semakin tidak efektif dan tidak efisien melaksanakan adat kematian suku Astalin. Perayaan adat kematian ini dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan sebutan "LAL HOON".
Semua konflik antara "Aiba'a" dengan setiap suku "Malu" sudah diselesaikan secara damai, dan semua suku "Malu sudah hadir di sekitar perayaan adat kematian, barulah dilaksanakan adat Kematian atau " LAL HOON". Proses adat "LAL HO'ON" atau adar kematian sama persis yang sudah diuraiakan dalam Adat "Lal Ho'on" pada Suku Monewalu. Hanya Pelaksana Adat yaitu suku Astalin dengan susunan anggota suku "Malu"nya yang berbeda-beda. Perayaan adat Kematian suku Astalin sebagai berikut :
1. "Tel Taba"
Suku Malu yang berhak "Pertama kali menancapkan tajak pada tanah tempat kuburan yang akan digali, bagi seorang anggota suku Astalin yang meninggal adalah Suku Leb sebagai suku yang menjadi asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali. Selama Suku Leb ini ada dan tidak berhalangan hadir, Suku Leb ini yang berhak menancapkan tajak untuk pertama kali di tanah tempat untuk kuburan bagi seorang anggota suku yang telah meninggal. Suku Leb mendapat stipendium adat untuk penancapan pertama itu. Stipendium itu adalah SI BESAL atau SI GEWEEL dan sejumlah uang. Kalau Suku Leb berhalangan hadir dengan alasan yang masuk akal, maka Presiden Suku Leb ini memberi mandat kepada suku "Malu" yang lain untuk menancapkan tajak pertama di atas tanah tempat kuburan itu. Pemberian mandat berarti pemberian stipendium yaitu SI BESAL atau SI GEEL kepada "Malu" yang menerima mandat itu. Sesudah itu penggalian lanjutnya oleh Suku "Malu" yang lain yaitu Suku Lelabere Delo Bul. Mereka juga mendapat stipendium yaitu Sejumlah daging dan sejumlah uang. Untuk "Tel Taba" ini ada seekor Babi yang dikorbankan.
2. "Gon Tolo"
Para "Malu" akan memindahkan tangan seorang anggota suku Astalin yang meninggal di atas dadanya. Pemindahan ini punya stipendiumnya tersendiri. Jumlahnya sekitar Rp.50.000 sampai Rp.100.000. Tergantung permintaan "Malu" yang memindahkan tangan suku Astalin sebagai "Aiba'a" yang telah meninggal. Untuk ini satu ekor babi dibunuh.
3. "Gawak"
Gawak berarti mengarak Peti Jenazah ke tempat pemakaman. Orang memikul pada dasarnya malu dengan para pemuda yang bertenaga. Peti Jenazah itu ditutup dengan kain. Kain itu akan diperebutkan oleh para suku "Malu". Prinsip perebuatan itu adalah malu siapa yang cepat dan gesit akan mendapat dan memiliki kain penutup peti itu. Perebuatan biasanya sebelum tiba di Kuburan. Setelah upacara penguburan, anggota suku "Malu" dan "Aiba'a" kembali ke rumah duka.
4. "Il Hesik"
"Il Hesik" artinya para "malu" memercikkan air ke atas para "aiba'a" yang berduka. "Il hesik" ini dilaksanakan di depan rumah duku. Waktu pulang dari kuburan usai penguburan, para suku "Malu" telah mendahului "para aiba'a" dan berdiri di depan pintu rumah duka, dan telah siap dengan air berkat secara adat ala para suku "malu". Caranya, para anggota suku "Aiba'a" yang pulang dari penguburan itu berdiri berbaris di depan pintu rumah duka, direciki dengan air suci ala adat itu kemudian baru mereka masuk ke dalam rumah duka itu. Perecikan itu bermakna menyucikan hati, pikiran duka keluarga "aiba,a" dan menguatkan serta meneguhkan mereka agar tidak dikuasai oleh rasa duka yang berkepanjangan. Mereka menyerahkan kepergian anggota suku yang meninggal dengan tulus tanpa suatu beban berat tertentu.
5. "En Gawa Gini"
Sesudah suku "Malu" memerciki suku "Aiba'a" kini mereka konsentrasi bekerja di dapur untuk mempersiapkan makan-minum melayani para suku "Malu" yang ada. Suku "Malu" sebagai tamu agung yang harus dilayani oleh suku "aiba'a". Para suku "Aiba'a" memberi pelayanan yang istimewa dan sempurna kepada para suku "Malu" yang ditempat sebagai "Raja" di mata Suku "Aiba'a". Makanan harus enak, dengan lauk pauk dan sayur-sayuran yang istimewa. Kalau makan kurang enak, para "malu" biasanya memberi komentar atau penilaian yang agak miring kepada para "aiba'a" yang melayani mereka.
6. "Lasik Wa"
Para "aiba'a" pun makan bersama setelah melayani para "malu". Dalam makan bersama, presiden suku "Aiba'a" mengumumkan kepada "Mane Pou" dan "Deu Gomo", untuk mengumpulkan uang. Jumlah uang yang akan dikumpulkan sebesar Rp.20.000/orang atau Rp.50.000/orang, berdasarkan kesepakan dan keputusan presiden suku. Uang yang dikumpulkan itu disebut "Lasik Wa". Uang itu untuk apa? Untuk beli babi untuk adat "Si Por Pak". Adat "si por pak" yaitu adat memasukkan jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal kedalam Persekutuan para leluhur di rumah adat suku leluhur di dunia seberang. Rumah adat para leluhur itu disebut "MOT". Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam rumah adat Suku Leluhur itu disebut "MOT TAMA". Para "Malu" hidup damai dengan "aiba'a" dan hadir dalam seluruh adat kematian itu secara lengkap sempurna maka jiwa suku anggota "aiba'a" layak masuk dalam rumah adat suku leluhur atau "Mot Tama". Sebalinya kalau salah satu malu tidak setuju atau tidak hadir dalam adat kematain makan adat kematian itu tidak dapat dilaksanakan, dibatalkan, ditunda maka jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal itu masih berkeliaran di luar rumah adat suku leluhur, dia belum masuk dalam rumah adat leluhur atau belum "MOT TAMA" yang secara harafiah diartikan belum masuk rumah adat para leluhur yang berbahagia abadi di dalam "MOT".
Uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu juga akan digunakan untuk beli beras, beli sayur-sayuran, beli minuman, kopi, gula. Uang itu juga digunakan untuk uang stipendium bagi para "Malu" yang akan melaksanakan "Kaba" dan "Tais Hota". Uang itu digunakan untuk membeli siri pinang yang akan digunakan untuk "Kaba" "aiba'a" oleh "malu". Uang itu digunakan untuk membeli jumlah "taka giral" sejumlah banyaknya suku "malu". Dalam Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (dua belas) suku "Malu" maka harus disiapkan 12 (dua belas "taka giral").
Biasanya uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu sangat banyak. Setelah adat kematian selesai, biasanya masih ada uang sisa atau saldonya. Pada zaman dulu, pengumpulan uang pada satu tangan tunggal yaitu presiden suku tanpa sekretaris yang mencatat nama jumlah uang yang dikumpulkan oleh para anggota suku "aiba'a" baik "mane pou" dan "deu gomo", maka sisa uang itu akan masuk dalam kantong saku presiden suku dan menjadi milik pribadi presiden suku atau ketua suku "aiba'a". Pada dewasa ini, hal semacam itu telah dikendalikan oleh seorang yang sepakat diangkat oleh anggota suku "aiba'a" untuk menjadi sekretaris yang bertugas menulis nama para pengumpul uang, pengeluaran dengan semua bukti / Nota belanja, dan pada akhir adat kematian itu dibacakan atau dilaporkan oleh sekretaris dengan suara lantang kepada publik suku "aiba'a" sehinnga anggota suku tidak mencurigai atau berprasangka buruk terhadap Presiden suk atau ketua suku, tetapi semakin percaya kepada kejujuran presiden suku, pelayanan dan pengorbanannya dalam memimpin sebuah adat kematian.
7. "Si Giwitar Pak"
Adat "Si Giwitar Pak" ini dipimpin oleh "LAL GOMO". Dia adalah pribadi yang tahu adat asal-usul suku Astalin sebagai "aiba'a". Dia menjelaskan sejarah suku "aiba'a" dengan jujur, dan benar. Kesalahn dalam hal ini akan mendapat hukuman atau kutukan dari para leluhur. Dia juga menyampaikan doa atau mantra-mantra bagi jiwa orang yang meninggal. Doa-doa itu mengarak masuk jiwa anggota suku yang meninggal masuk ke dalam rumah adat suku leluhr atau "MOT TAMA". Setiap "Malu" mendapat satu ikat daging dengan sejumlah uang berkisar Rp. 50.000 sampai Rp.100.000 kepada setiap "malu". Dalam hal ini semakin besar daging dan jumlah uang tentu saja para malu yang menerima bagiannya sangat gembira. Ini semacam gaji atau stipendium mereka. Dalam suku astalin yang mempunyai 12 "malu" maka daging yang dibagi dan uang yang merupakan bagian "malu" sejumlah 12 ikat daginh dengan sejumlah uang yang telh disetujui dan diberikan. Setipa malu setelah doa "LAL GOMO" itu mengangkat bagiannya masing-masing. Biasanya setiap bagian itu diserhkan oleh presiden suku "aiba'a" kepada setiap "malu". "Lal Gomo" mendapat stipendiumnya tersendiri. Di sini tampak bahwa pihak "aiba'a" sudah berduka, harus melaksanakan kewajiban memberi uang dan daging kepada setiap wakil pihak suku "malu". Dalam hal ini yang mendapat pemasukan besar adalah pihak suku "malu" sedangkan yang wajib membayar uang kepada "Malu" adalah suku Astalin sebagau asal-usul suku "aiba'a" (Suku Astalin).
8. "Tais Hota"
Setelah pelaksanaan adat di atas meja altar "Si Por Pak" kini beralih ke meja altar adat "Tais Hota". Proses adat di atas altar adat "Tais Hota" adalah para "malu" membawa kain adatnya di atas altar adat "Tais Hota". Para "malu" menawarkan "TAIS" atau kain adat kepada para "aiba'a". Para "aiba'a" harus membeli setelah tawar menawar itu. Tawar-menawar tapi tidak dibeli oleh "aiba'a" maka pihak "malu" akan tersinggung. Itu akan tersimpan dan diungkapkan kembali pada adat "Tais Hota" pada kematian berikut. Rujukannya dengan cara, pihak "aiba'a" yang telah menimbulkan rasa tersinggung adat, memberi seujmlah uang kepada pihak "malu" tersebut. Pihak "aiba'a" yang tidak mau membeli kain adat itu biasanya alasannya masuk akal secara ekonomis. Kain adat yang kurang meyakinkan harus ditawar dengan harga mahal misalnya Rp.50.000 atau Rp.100.000,- biasanya pihak "aiba'a" menolak untuk membeli. Tapi penolakan itu melahirkan beban adat kematian pada kematian berikut. Baik-buruk kain adat yang ditawarkan di atas "meja altara adat Tais Hota" ini, pihak "aiba'a" demi sebuah relasi adat, harus membeli dengan harga yang telah ditentukan oleh pihak "malu". Di sini apa yang terjadi? Dalam hal demikian, adat memang sangat tidak ekonomis hanya demi gengsi belaka. Ada pihak yang menerima keuntungan besar yaitu "malu". Ada pihak yang dirugikan yaitu suku Astalin sebagai "Aiba'a". Ada prinsip ekonomi berlaku bagi para suku "malu" yaitu mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu perayaan di atas meja altar adat "tais hota". Ada unsur bisnis bermain dalam adat kematian yang dimainkan oleh para suku "malu". Sedang bagi para suku "Aiba'a" siap berkorban melayani kebutuhan atau keinginan para "malu" demi sebuah nilai yaitu relasi harmonis, rukun, damai, mengalah dalam relasi dengan para suku "malu".
Barangkali, adat "Tais Hota" ini bisa ditiadakan karena sangat merugikan suku yang berduka dalam hal ini suku Astalin sebagai sebuah suku yang berperan sebagai "aiba'a" dalam altar meja adat "Tais Hota".
9. "Kaba"
Dari meja altar adat "Tais Hota", kini beralih ke meja altar adat "Kaba" yang dibuat oleh pihak "malu" kepada "aiba'a". Ada aturan main di atas meja altar adat "Kaba". Di depan setiap wakil 12 Suku "malu" disediakan masing-masing "Taka Giral". Di dalam setiap "Taka Giral" yang disediakan di depan 12 Suku "Malu" itu, diisi Siri-Pinang-Uang Sitipendium sekitar Rp. 200.000 / "Taka Giral" kepada setiap "malu". Siri-pinang -uang dalam "Taka Giral" itu didoakan secara bersama-sama oleh para "malu". Setelah itu setiap malu mengambil siri-pinang yang ada dalam "Taka Giral" itu lalu makan-kunya.
Lalu setiap anggota "aiba'a" dipanggil secara berurutan untuk menerima "Kaba" dari para "malu. Pertama di depan Malu suku Leb sebagai asal asli suku Astalisn. Wakil Suku Leb sebagai "Malu" yang memberi "Kaba" yaitu berkat leluhur lewat diri suku "malu" yaitu suku Leb yang mengalirkan berkat leluhur itu kepada suku Astalin sebagai suku "aiba'a". Caranya, suku Leb itu mengambil siri-pinang yang telah dikunyah dan merah dari mulutnya lalu dengan itu membuat tanda salib di dahi anggota suku astalin yang menerima "Kaba" atau lewat itu menerima berkat leluhur. Kemudian dari Suku Leb beralih ke suku-suku yang lain sebagai "malu". Suku-suku "malu" yang lain ini memberi berkat leleluhur tidak dengan ambil ampas merah sirih pinang dari mulutnya, tetapi suku "aiba'a" mengulurkan ujung kedua tangannya kepada setiap suku "malu" itu sehinnga suku-suku "malu" itu mengalirkan berkat dan rahmat dari para leluhur kepada suku "aba'a" itu dengan meniupkan kedua ujung tangannya. Setiap wakil suku yang duduk di altas adat "Kaba" ini meniupkan ujung tangan suku "aiba'a" sampai selesai. Usai perayaan di atas meja altar adat "Kaba" maka usailah sudah seluruh rangkaian adat kematian atau adat "Lal Ho'on.
10. Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu
Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.
Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.
Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.
Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.
Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.
Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.
Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.
Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.
Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.
Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.
Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.
Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.
Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti dan terbukti bahwa: "ketika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."***
Sabtu, Januari 19, 2008
Menyentuh Rasa Ritus Adat Kenduri Suku Bunaq Aitoun
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Seseorang suku Bunaq meninggal ada tata adatnya sendiri. Dalam tulisan sederhana ini penulis mengolah tata urutan acara adat kematian dan maknanya. Informasi ini diterima dari Sumber Utama LAL GOMO yaitu tua adat di Asueman-via telephone pada malam ini Sabtu 19 Januari 2008, dari Jam 20.30-22.30 Waktu Surabaya. Penulis langsung telephone dengan Bapak Gabriel Mali-Tokoh Adat Suku Bunaq di Asueman-Guru Agama senior yang telah banyak makan asam garam dalam agama Katholik dan adat Suku Bunaq, khususnya adat yang berlaku di Desa Aitoun-Kecamatan Raihat-Kabupaten Dati II Belu. Urutan adat kematian itu sebagai berikut :
Pertama dan utama adalah ketua suku mendamaikan anggota rumah suku yang konflik. Kalau ketua suku juga terlibat dalam konflik maka ketua suku dari rumah suku "MALU" akan mendamaikan pihak-pihak yang konflik. Pendamai mendamaikan dengan ritus adat Rekonsiliasi yang berlaku di Suku Bunaq Aitoun. Video ritus adat rekonsilasi Suku Bunaq Aitoun ini dari Bapak Marianus Luan. Beliau merekam ritus rekonsiliasi yang berlangsung di Asueman-Malate-Aitoun. Voice asli dihapus oleh penulis dan diganti dengan musik dan lagu dari Mazmur 133 yang merangkum ritus rekonsiliasi anggota rumah suku yang mengalami rekonsiliasi "Betapa indahnya hidup rukun dan damai sebagai saudara."
Sesudah semua anggota rumah suku hidup rukun dan damai maka tahap-tahap adat kenduri dapat dilaksanakan. Catatan penting untuk pembaca bahwa ritus adat kenduri ini adalah sebuah contoh adat kenduri dari seorang anggota rumah suku Monewalu dan anggota rumah suku Monewalu memiliki MALU BUL dari rumah suku Laimea. Jadi pembaca fokus pada relasi Rumah Suku Monewalu dengan Rumah Suku Laimea dalam uraian contoh ritus adat kenduri di bawah ini. Mengapa karena setiap anggota sebuah rumah suku memiliki MALU BUL yang berbeda-beda. MALU BUL artinya rumah suku yang mengutus anggotanya masuk ke dalam rumah suku yang lain. Misalnya dalam hubungan Rumah Suku Monewalu dengan Rumah Suku Laimea dalam contoh ini. Secara historis dalam kaitannya dengan anggota rumah suku Monewalu yang adat kendurinya dilaksanakan dalam uraian ini. Rumah Suku Laimea secara historis memberikan anggotanya mendirikan rumah suku Monewalu atau menjadi anggota rumah suku Monewalu. Maka Rumah Suku Laimea adalah MALU BUL bagi seorang anggota rumah suku Monewalu yang sedang dibuat adat kenduri dalam pembahasan ini. Anggota rumah suku Monewalu yang lain berasal dari rumah suku yang lain dan itu tidak diuraikan dalam tulisan ini.
Video ini dari Bapak Marianus Luan
Beliau hadir langsung dalam proses adat rekonsiliasi anggota rumah suku Monewalu
Suku Bunaq Aitoun
Sesudah semua anggota rumah suku hidup rukun dan damai maka tahap-tahap adat kenduri dapat dilaksanakan. Catatan penting untuk pembaca bahwa ritus adat kenduri ini adalah sebuah contoh adat kenduri dari seorang anggota rumah suku Monewalu dan anggota rumah suku Monewalu memiliki MALU BUL dari rumah suku Laimea. Jadi pembaca fokus pada relasi Rumah Suku Monewalu dengan Rumah Suku Laimea dalam uraian contoh ritus adat kenduri di bawah ini. Mengapa karena setiap anggota sebuah rumah suku memiliki MALU BUL yang berbeda-beda. MALU BUL artinya rumah suku yang mengutus anggotanya masuk ke dalam rumah suku yang lain. Misalnya dalam hubungan Rumah Suku Monewalu dengan Rumah Suku Laimea dalam contoh ini. Secara historis dalam kaitannya dengan anggota rumah suku Monewalu yang adat kendurinya dilaksanakan dalam uraian ini. Rumah Suku Laimea secara historis memberikan anggotanya mendirikan rumah suku Monewalu atau menjadi anggota rumah suku Monewalu. Maka Rumah Suku Laimea adalah MALU BUL bagi seorang anggota rumah suku Monewalu yang sedang dibuat adat kenduri dalam pembahasan ini. Anggota rumah suku Monewalu yang lain berasal dari rumah suku yang lain dan itu tidak diuraikan dalam tulisan ini.
1. "TEL TABA"
"Tel Taba" artinya menggali kuburan. Orang pertama yang menggali kuburan adalah MALU khususnya LAIMEA. Sesudah itu malu yang lain (bukan suku LAIMEA )menggali kuburan selanjutnya. Mengapa Suku Laimea sebagai "malu" yang pertama menancapkan tajak ke tanah untuk membuka penggalian khubur? Karena Suku Laimea adalah asal asli suku Monewalu. Suku Malu lain boleh menancapkan tajak pertma sebelum gali khubur, tetapi harus mendapat mandat dari Suku Laimea. Kalau suku "malu" lain mendahului, maka suku "malu" lain akan berkomentar bahwa itu tidak benar secara adat. Harus dipulihkan dengan memberi sejumlah uang kepada Suku Laimea.
2. "GON TOLO"
"Gon Tolo" artinya, meletakkan tangan seorang AIBA'A yang meninggal di atas dadanya. Peletak tangan seorang yang meninggal itu di atas dadanya itu dilakukan oleh para "Malu". Dalam istilah bahasa Bunaq : " Gon Tolo" artinya "Malu gini en heser gon ba giwitar no Tula". Para "Malu" yang memindahkan tangan seorang yang meninggal ke atas dadanya itu dibayar dengan sejumlah uang sesuai permintaan "para Malu" yang mengangkat tangan yang meninggal ke atas dadanya". Pada umunya harga adat "Gon Tolo" itu mulai dari Rp.10.000 sampai dengan Rp.100.000.- Tata adat ini diwariskan para leluhur secara turun temurun. Sampai dewasa ini tetap dijalankan oleh suku Bunaq di desa Aitoun-Kecamatan Raihat - Kabupaten Dati II Belu - Propinsi Nusa Tenggara Timur - Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. "Gawak".
"Gawak" berarti mengarak peti jenasah ke Kuburan yang telah disiapkan. Peti Jenasah ini ditutup dengan Kain Adat. Kain adat itu diambil oleh para "Malu" itu. Pada dasarnya para "Malu" berebutan, siapa yang cepat dia yang dapat kain adat penutup Peti Jenasah itu. Rebutan itu terjadi di kuburan sebelum peti jenasah diturunkan ke dalam kubur. Pemikul peti jenasah itu adalah para "malu" bersama para pemuda.
4. "IL HESIK".
"Il Hesik" berarti pemercikan air putih oleh Para "Malu", ke atas para "AI BA'A" di depan rumah duka, setelah pulang dari kuburan, agar dengan hati yang bersih masuk dalam rumah duka. Makna pemercikan ini adalah pembersihan, penyucian "AI BA'A" yang berduka, agar hati mereka kembali dikuatkan oleh rahmat pembersihan dan penyucian yang diberikan oleh para "Malu" sebagai pemilik rahmat penyucian itu.
5. "En Gawa Gini".
"En Gawa Gini" artinya memberi makan minum kepada semua "malu gol" dan "Aiba'a gol" yang datang di rumah duka. Acara makan minum ini berlangsung setelah pulang dari acara penguburan.
6. "Lasik Wa"
"Lasik Wa" ini berlangsung selama makan minum bersama setelah pulang pulang dari adat penguburan. "Lasik Wa" ini hanya oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo" suku "AIBA'A" yang anggotanya meninggal dunia. "Lasik Wa" ini berarti ketua suku atau "Presiden Suku" bersama para OM sebagai elite adat suku, menentukan keputusan berapa jumlah uang yang akan dikumpulkan oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo". Jumlah uang yang ditentukan itu jumlanya sama yang harus ditanggung oleh "Mane Pou" yaitu suami para perempuan ("AIBA'A" yaitu suku keluarga yang berduka) dan "Deu Gomo" yaitu semua laki-laki yang disebut sebagai "AIBA'A. Berdasarkan pengalaman, para Om bersama Ketua Suku atau Presiden Suku memutuskan jumlah besarnya uang yang akan dikumpulkan itu berkisar Rp.20.000 / "Mane Pou" dan "Deu Gomo" sampai Rp.100.000. Uang yang dikumpulkan itu disebut "LASIK WA".
Uang yang dikumpulkan itu untuk apa? Uang itu akan digunakan untuk pelaksanaan adat "SI GIWITAR PAK" atau "SI POR PAK" yaitu adat memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam Rumah Suku Para Leluhur yang hidup bahagia tan akhir di dunia seberang; Beli Beras; Beli Babi untuk adat "SI POR PAK"; Uang yang dikumpulkan itu juga untuk adat "KABA" yaitu pemberian berkat oleh "Malu" kepada "Aiba'a"; uang dari "Lasik Wa" itu juga untuk "TAIS HOTA"; uang itu juga untuk stipendium bagi "Lal Gomo" yaitu dia yang tahu sejarah asal-usul suku "Aiba'a" dan mendoakan jiwa suku "Aiba'a" yang telah meninggal untuk memasukkan jiwanya ke dalam persekutuan bahagia abadi para leluhurnya di dunia seberang, sebagai acara puncak "Si Por Pak"; Kalau uang yang dikumpulkan itu masih ada lebih, maka kelebihan uang itu masuk kantong ketua suku atau presiden suku (pada zaman dulu) tetapi pada zaman sekarang ini terkontrol oleh sekretaris yang menulis jumlah uang yang dikumpulkan itu dan setelah pengualaran uang dan sisa saldonya diumumkan kepada anggota suku "Aiba'a" yang telah mengumpulkan itu sehingga dewasa ini lebih transparan jujur dibandingkan dulu-dulu.
7. "Si Por Pak".
Adat Si Por Pak" ini dipimpin oleh "Lal Gomo" yaitu dia yang tahu tentang asal usul sejarah suku "AIBA'A" yang telah meninggal, dan juga anggota suku "AIBA'A" yang masih hidup, yang sedang berduka. "Lal Gomo" itu didampingi oleh para Om suku "Aiba'a" dan presiden suku. Setiap suku yang menjadi asal-usul suku "AIBA'A", yaitu suku-suku "Malu" yang disebut sebagai asal-ausl sejarah suku "Aiba'a" itu punya bagian adatnya. Bagian adat setiap suku "Malu" itu terdiri dari satu ikat daging dengan jumlah uang sekitar Rp.50.000 sampai Rp.200.000.- Bagian-bagian itu ditentukan oleh "Lal Gomo" dan disatukan dalam doa "Lal Gomo" yang intinya memasukkan jiwa anggota suku "Aiba'a" yang telah meninggal ke dalam rumah suku para lelujurnya yang hidup bahgia di dunia seberang, setelah hidup di dunia ini. Penjelasan dan Doa "Lal Gomo" ini dberi stipendium sekitar Rp.250.000 - Rp. 500.000.- Peran "Lal Gomo"itu sangat penting dalam memberi penjelasan yang tepat dan benar tentang asal-usul suku orang yang meninggal dan memasukkan jiwanya ke dalam rumah suku para leluhur. Kesalahan penjelasan akan diberi hukuman atau kutukan oleh para leluhur.
8. "Mot Tama".
"Mot Tama", berarti jiwa orang yang meninggal itu telah masuk ke dalam persekutuan dalam rumah suku para leluhur di dunia seberang, yang hidup tiada akhir, bahagia untuk selamanya. "Mot Tama" itu tercapai oleh jiwa orang yang meninggal setelah adat "Si Por Pak" dilaksanakan secara sempurna. Video berikut merupakan intisari adat kenduri. Adat "si por pak" adalah syarat utama anggota yang meninggal masuk ke dalam Surga tempat kebahagiaan abadi. Surga dalam bahasa bunaq Aitoun adalah "Mot Tama" yaitu tempat sukacita abadi leluhur. Adat ini yang membuka pintu surga bagi orang yang meninggal. Adat ini menutup pintu neraka. Adat suku Bunaq tidak mengenal neraka bagi manusia yang meninggal. Taat adat ini surga terbuka lebar.
Video ini direkam oleh penulis.
Adat Kenduri
MAMA MARIA BETE ASA
RUMAH SUKU LAIMEA AITOUN
LOKASI
FATUBENAO-ATAMBUA
9. "Tai Hota".
"Tais Hota", berarti "Suku-suku Malu" membawa kain adat dan anggota suku "Aiba'a" membawa uang untuk membeli kain itu. Harga kain adat itu ditentukan "Malu" sebagai penjual barangnya kepada "Aiba'a". Para "Malu" tentukan harga kain itu kepada pembeli yaitu "Aiba'a" dan para "Aiba'a" harus membeli kain itu. Kalau "Aiba'a" tidak mau membeli maka akan muncul masalah baru yaitu para "malu" merasa tersinggung, tidak dihargai. Dan itu akan diungkapkan pada adat kematian berikutnya, dan bayrannya tetap yaitu pihak "aba'a" memberi uang kepada " malu " yang tidak dihargai itu sebagai rujuk-rukun kembali secara adat. Ada sedikit unsur bisnis dalam adat "tais hota" ini.
10. "KABA"
"Kaba" berarti pemberian berkat oleh suku-suku "Malu" kepada suku "Aiba,a". Suku monewalu di-"kaba"-kan oleh "Malu" yang bersuku Laimea. Suku-suku "malu" yang lain juga memberi kaba kepada suku "Aiba'a" tetapi caranya berbeda.
Bahan yang disiapkan unntuk "Kaba". Suku "Aiba'a" menyediakan 5 (lima) buah "Taka Giral" tempat siri pinang dan uang stipendiuam atau derma kepada para suku "Malu". Angka 5 (lima) "Taka Giral" itu sesuai jumlah suku "Malu" dalam kacamata suku Monewalu sebagai suku "Aiba'a". Dapat disebutkan bahwa 5 (lima) "Taka Giral" sama dengan 5 (lima) suku "Malu" yaitu suku Laimea, suku Mone Sogo, Suku Si Gup, Suku Lianain, suku Hokiik bagi Suku Monewalu sebagai suku "Aiba;a".
Proses "kaba" pemberian berkat oleh "malu" kepada "aiba'a". Pertama-tama para wakil suku-suku Malu itu mendoakan bersama di atas siri-pinang dan uang yang ada dalam "Taka Giral" depan masing-masing suku "malu" itu. Doa para malu atas siri - pinang - uang dalam "Taka Giral" itu dikenal dalam bahasa bunaq dengan istilah "Molo Guhu" .
Setelah acara doa atas "Taka Giral", atau "Molo Guhu", disususl dengan Wakil Suku Laimea memberi berkat tanda salib di dahi setiap anggota suku "aiba'a", dan disusul oleh wakil suku-suku "malu" yang lain dengan cara anggota "aiba'a" setelah terima "kaba" tanda salib dengan sirih pinang yang dimakan dari suku Laimea, anggota "aiba'a" itu pindah ke pada wakil suku "malu yang berikut dengan menyerahkan atau mengulurkan tangannya dan wakil suku 'malu yang lain meniupkan ujung kedua tangan anggota "aiba'a". semua suku "malu" makan siri pinang yang telah disiapkan dalam "Taka Giral" tadi. Suku Laimea memberi "Kaba" dengan mengmbil ampas siri-pinang dari mulutnya dan membuat tanda salib di dahi setiang anggota suku "aiba'a" yang di-"kaba"-kan. Empat (4) suku "malu" lainnya memberi "kaba" dengan meniupkan ujung tangan anggota "aiba'a" seteleh terima tanda salib -kaba- dari suku Laimea. Mengapa suku Laimea memberi "kaba" tanda salib di dahi suku Monewalu sebagai "aiba'a"? Karena Suku Monewalu berasal dari suku Laimea. Setelah Adat "kaba" usai, maka semua adat kematian juga belum selesai.
11. Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu
Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.
Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.
Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.
Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.
Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.
Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.
Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.
Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.
Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.
Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.
Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.
Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.
Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti dan terbukti bahwa: "ketika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."
Dari semua uraian di atas ditemukan tiga rasa cara pikir-rasa-aksi Suku Bunaq Aitoun seperti di dalam tiga bagan berikut.***
Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
11. Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu
Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.
Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.
Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.
Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.
Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.
Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.
Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.
Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.
Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.
Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.
Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.
Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.
Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.
Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti dan terbukti bahwa: "ketika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."
Dari semua uraian di atas ditemukan tiga rasa cara pikir-rasa-aksi Suku Bunaq Aitoun seperti di dalam tiga bagan berikut.***
Daftar Pustaka
A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
Sistem Relasi "Malu-Ai" Rumah Suku Monewalu di Aitoun
*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
Suku Monewalu adalah satu suku kecil yang ada, dan hidup serta berkembang dalam suku Bunaq sebagai suku Besar. Suku Monewalu ini ada karena ada suku-suku lain yang disebut sebagai asal suku Monewalu. Para suku-suku kecil yang disebut sebagai asal-usul suku Monewalu ini, dikenal dengan nama suku "malu" dalam pandangan Suku Monewalu. Suku-Suku "Malu" itu adalah suku-suku yang memberi perempuan suku-suku itu kepada suku Monewalu. Suku Monewalu disebut suku yang menerima perempuan dari suku-suku "Malu" itu. Dalam pandangan suku Monewalu, pemberi perempuan kepada suku Monewalu disebut sebagai "Malu". Suku Monewalu sendiri sebagai suku yang menerima perempuan disebut sebagai "Aiba'a".
Suku-suku yang tergolong sebagai "Malu" dalam kacamata Suku Monewalu itu adalah Suku Laimea; Suku Monesogo; Suku Si Gup; Suku Lianain; Suku Hoki'ik yang ada di Desa Aitoun-Kecamatan Raihat-Kabupaten Dati II Belu - Propinsi Nusa Tenggara Timur - Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suku-suku kecil yang disebut "Malu" itu adalah suku-suku yang menjadi asal-usul suku Monewalu. Suku Monewalu tahu diri sebagai sebuah suku yang berasal dari orang lain, yaitu suku-suku yang disebut sebagai "Malu". Suku Monewalu tetap menggemakan kembali, menghidupkan kembali kesadaran tentang asal-usul sukunya dalam setiap perayaan adat yang diselenggarakan oleh setiap anggota Suku Monewalu. Dalamsetiap upacara adat yang diselenggarakan suku Monewalu, suku Monewalu dengan rendah hati mengundang secara hormat para suku "Malu" yaitu suku-suku yang menjadi asal-usulnya. Dengan demikian relasi adat yang diselenggarakan oleh Suku Monewalu, menjadi satu perayaan adat yang kembali mengokohkan relasi suku Monewalu dengan para suku "Malu" yaitu suku-suku yang menjadi asal-usul suku Monewalu.
Khususnya dalam adat kematian seorang Suku Manewalu, semua suku "Malu" itu diundang oleh suku oleh suku Monewalu. Di situ ada adat-adat yang mengokohkan relasi adat antara Suku Monewalu sebagai Aiba'a dengan para suku "Malu" sebagai suku-suku yang disebut sebagai asal-usul suku Monewalu. Ada adat-adat yang menguatkan atau menggemakan kembali rerlasi "MALU" dengan "AIBA'A" yaitu adat "TAIS HOTA" dan "KABA". Dalam adat "KABA" dan "TAIS HOTA" terjadi semacam persembahan/kolekte adat dari "IABA'A" kepada "MALU". Adat "KABA" berarti para suku "MALU" membuat tanda salib di dahi suku "AIBA'A" dengan siri-pinang, tanda berkat berlimpah Allah kepada manusia yang disalurkan melalui para suku "MALU" sebagai asal-usul suku "AIBA'A" yaitu suku Monewalu. Para suku "Malu" meletakkan tangan di atas kepala suku "AIBA'A", mendoakan suku "AIBA'A" lalu membuat tanda salib di dahi anggota suku Monewalu yang menerima adat "KABA" dari suku "MALU". Ini seperti anak-anak sekolah Minggu atau para bayi yang menerima berkat tanda salib di dahinya oleh Pastor pada hari Minggu di Gereja.
Saling memberkati-saling mendoakan secara tulus sudah ada sejak dahulu kala, tampak jelas dalam adat suku Monewalu, khusus dalam adat "KABA". Saling mendoakan dalam adat suku Monewalu, tidak hanya pada waktu adat kematian. Anggota suku Monewalu sebagai "AIBA'A" , sebelum pergi ke tempat yang jauh, misalnya ke luar pulau untuk bekerja, untuk tugas tertentu, datang kepada salah seorang "MALU", supaya "MALU" itu meletakkan tangan di atas kepala, mendoakan, dan meniupkan napas rahmat dan kekutan Allah di atas kepala anggota suku "AIBA'A" yang akan pergi ke tempat yang kauh, serta membuat tanda salib di dahinya oleh "MALU", sebagai bukti bahwa ramat leluhur disalurkan lewat pendoa yaitu "MALU". Doa-doa itu secara psikologis dan spiritual sangat memberi kekuatan kepada anggota suku "AIBA'A" yang akan pergi ke tempat yang jauh. Dia yang akan ke tempat yang jauh mendapat kepercayaan diri untuk memasuki wilayah yang baru. Dia lewat doa para "MALU" itu, yakin bahwa para leluhur, yang menjadi asal-usulnya selalu memberkati dia, mendampingi dia dalam setiap langkah suka duka hidupnya.
Dalam Gereja Katholik, sering muncul pertanyaan yang menantang iman Katholik dari pihak luar. Misalnya, mengapa orang harus berdoa dengan perantaraan Santa Maria? Mengapa tidak langsung berdoa kepada Allah? Mengapa harus mengaku dosa kepada Pastor/imam? Mengapa tidak langsung mengaku dosa kepada Tuhan? Realitas adat suku Monewalu seperti di atas, yaitu mendoakan sesama yang membutuhkan doa dari sesama, dukungan dari sesama yang menguatkan, sebelum pergi ke tempat jauh, atau dalam ke adaan normal, menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam diri manusia ada kebutuhan didoakan sebagai satu kekuatan tersendiri bagi dirinya. Doa tulus dari sesama, dapat memberi kekuatan yang luar biasa kepada sesama yang didoakan.
Dalam kehidupan kita manusia pada umumnya, ketika seorang anak akan pergi meninggalkan kedua orang tuanya, sanak saudaranya untuk bekerja atau menuntut ilmu, sebelum berangkat, kedua orang tua, kakek-nenek, para Om, sanak-saudara berkumpul dan berdoa dan mendoakan dia yang akan pergi jauh. Doa itu sungguh memberi kekuatan yang luar biasa kepada anak yang akan pergi ke tempat yang jauh. Anak akan merasa percaya diri dan diberi kekuatan sendiri untuk memasuki lingkungan yang baru. Anak akan diberi kekauatan untuk bersaing secara sehat di lingkungan dunia baru yang dimasukinya.
Dalam Kitab Suci, jelas bahwa doa tulus para beriman memberi kesembuhan dan keselamatan bagi orang yang didoakan. Doa Yudas Makabe bagi sahabat-sahabatnya meninggal, membawa kebangkitan kepada mereka yang didoakan. Doa/Iman seorang perwira membangkitkan hambanya. Doa dan iman sahabat-sahabat orang sakit/mati dapat menyembuhkan/membangkitkan orang mati.
Berdasarkan pengalaman umum dan praktek doa manusia, apa yang tertulis dalam kitab suci tentang betapa penting doa sesama bago orang lain dapat menguatkan dan menyembuhkan, bahkan menyelamatkan dan menyembuhkan, maka tidak ada alasan yang cukup untuk membatalkan orang Katholik untuk berdoa bagi sesama dengan perantaraan para santo-santa, para imam, rohaniwan dan biarawan dan biarawati, atau setiap orang yang memiliki kharisma tertentu ***
Daftar Pustaka
A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978
Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
Sabtu, Januari 12, 2008
DAFTAR DATA DAN INFORMASI TENTANG SUKU BANGSA BUNAQ
Dalam bagian ini, penulis memaparkan tema-tema penting tentang kebudayaan Suku Bangsa Bunaq. Suku bangsa Bunaq mengungkapkan diri dalam budayanya. Kebudayaannya yang tersistematisasi kemudian membentuk pola lakunya. Sejauhmana kebudayaan mendukung kehidupan kemanusiaan manusia Bunaq, dapat mengetahuinya melalui kebudayaannya sebagaimana tercetus di dalam seluruh penguraian berikut.
1. Kebudayaan Suku Bunaq
Setiap manusia berbudaya. Manusia menciptakan budaya, dan kebudayaan hasil ciptaannya itu kemudian tersistematisasikan lantas sistem itu sebagai ketertaan yang menata keterarahan kehidupannya. Selanjutnya pada gilirannya manusia memperbaharui sistem kebudayaannya demi menghadirkan perikemanusiaan kepermukaan sistem kebudayaan dan kemanusiaan itu menjadi jantung sistem budaya yang mengatur tata kehidupan bersama. Ketika menusia menciptakan budaya, posisi manusia sebagai subyek atas budayanya. Sebaliknya ketika kebudayaannya membentuk Suku bangsa Bunaq, posisi kebudayaannya sebagai subyek. Hubungan dialektika antara kebudayaan dan manusia terarah pada kehidupan yang manusiawi. Dengan demikian budaya yang menjamin kehidupan yang manusiawi terpelihara dan dilestarikan, dan yang tidak baik dalam arti tidak manusiawi lagi ditransformasi untuk menjadikan budaya yang semakin insani. Artinya budaya menjamin bagi tindakan yang manusiawi, bukan mendungukan manusia dan tertindas oleh budayanya.
Manusia Bunaq adalah bagian dari manusia di dunia yang berbudaya. Suku Bangsa Bunaq menciptakan dan tercipta oleh budayanya. Paparan berikut adalah penyelaman ke dalam budaya suku Bunaq dengan tujuan untuk lebih mengenalnya dan sejauh mana kepedulian budaya suku bunaq akan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
2. Arti kata “Bunaq” dan Asal-Usul Suku Bunaq
Kata “bunaq” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku bangsa bunaq sendiri, untuk menyebut suku bangsa bunaq dan bahasa bunaq. Secara teritorial, suku bangsa Bunaq berdiam di Lamaknen, Aitoun, Makir dan Lamaksenulu.
Mereka ini menggunakan bahasa Bunaq dalam berkomunikasi. Bahasa Bunaq terbagi dalam dua jenis yaitu bahasa sehari-hari dan bahasa adat. Bahasa komunikasi sehari-hari bermakna eksplisit dan mudah dimengerti oleh semua pihak. Bahasa Adat sarat makna implisit dan simbolis, hanya dimengerti oleh tokoh-tokoh adat dan para ketua suku dan berlaku saat berlangsungnya upacara adat.
Contoh En Bunaq artinya orang bunaq. Bunaq giol berarti bahasa Bunaq. Kata “Marae” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku bangsa Tetum, untuk menyebut suku bangsa Bunaq dan Bahasa Bunaq. Contoh Ema Marae berarti orang Marae juga berarti orang Bunaq. Lia Marae berarti Bahasa Marae juga berarti bahasa Bunaq.
Kata “Tetum” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku Bunaq, untuk menyebut suku bangsa Tetum dan bahasa Tetum. Contoh Ema Tetum berarti orang Tetum, Lia Tetum berarti bahasa Tetum. Kata “Momut” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku Bunaq, untuk menyebut suku bangsa Tetum dan Bahasa Tetum. Contoh En Momut berarti orang Momut, orang Tetum. Momut giol berarti bahasa Momut, bahasa Tetum.
Orang Bunaq tidak memakai kata “Marae” untuk menyebut suku bangsa dan bahasa Bunaq. Orang Tetum tidak memakai kata “Momut” untuk menyebut suku bangsa dan bahasa Tetum.
3. Arti dan Asal Mula Nama Suku Bunaq.
Nama Bunaq sebagai nama asli dari suku bangsa ini baru saja diperkenalkan dan dilasimkan oleh bekas Raja Lamaknen A.A.Bere Tallo, sejak tahun 1950-an. Nama populernya ialah Marae. Bahasa Bunaq dipakai oleh Suku Bangsa Bunaq, yang mendiami bekas swapraja Lamaknen di wilayah Timor Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Juga banyak orang Bunaq yang mendiami wilayah-wilayah yang berbahasa Tetum seperti Kedesaan Aitoun, Litamali, Kamanasa, Suai, Kletek, Sukabinawa dan Babulu. Di samping itu suku bangsa Bunaq mendiami wilayah yang luas pula di Timor-Timur yakni Wilayah Daerah Tingkat II Bobonaro (bekas keliuraian Lolotoi, Lakus, Bobonaru, Aiasa, Memu, Maliana dan Hoololo). Di samping itu terdapat pula di Kecamatan Fatululi dalam wilayah Kabupaten Kobalima. Baik orang-orang Bunaq di Timor-Timur maupun Belu mempunyai leluhur yang sama dan hubungan darah langsung yaitu semuanya berasal dari Timor-Timur. Menurut Dr.Ormeling bahwa suku Marae adalah satu suku bangsa yang mendiami pegunungan Lamaknen dan sekitar jajaran bukit Lakus dan Nabilwa. Ia mempunyai banyak perbedaannya dengan suku Bangsa Belu yang berbatasan dengannya, dalam hal bahasa dan kebudayaannya. Mereka ini juga merupakan salah satu dari suku-suku bangsa yang tua yang lebih dahulu mendiami Pulau Timor. Menurut pendapat Nona Keers tahun 1948 mereka tidak termasuk di dalam kelompok bangsa-bangsa Melayu, karena tempurung tengkorak kepalanya yang lebih besar. Gopell tahun 1944 menyatakan bahwa bahasa Bunaq memperlihatkan segala ciri-ciri dari bahasa Irian. Demikian Dr.Ormeling (hal 71). Tetapi bila kita mengikuti tulisan dari Raja Lamaknen (A.A.Bere Tallo) di dalam bukunya “ Pandangan Umum Wilayah Belu Tahun 1957 hal. 4-5 di mana dikatakan bahwa Lamaknen terdiri dari 6 suku yaitu: Luta Rato Jopata; Lakulo Samoro; Sibiri Kailau, Roikun Robulan Oburo Maboro, Ton Ba Ton Way. Mereka bersama-sama mendiami Lamaknen setelah didesak penghuni asli yang disebut orang Melus atau Kenurawan.
Mengenai asal-usul dan masa kedatangan enam suku ini bermacam-macam. (1) Latu Rato Jopata dan (2) Roikun Robulan berasal dari Siawa Mugiwa (Hindia Muka?), Sina Mutin Malaka, Galelu Gowa, Lubu rato Salower (Selayar?) dan bergerak terus menuju pantai selatan lalu mendarat di Kamanasa Kolobila. Dari sana mereka berpindah menuju Luta Rato Jopata, akhirnya di Kewar. Sedangkan Roikun Robulan terus ke Amanuban dan kembali melalui Hatu Koba (Fatu Koba) Rai Tula, Weto Maubesi, terus melalui Mandeu-Sarabau menetap di Fulur. (3) Lakulo Samoro dan (4) Sibiri Kailau serta (5) Oburo Marobo berasal dari Kanua Maliana, Kukun Hitu Lamak Hitu, Lemel Netel Bolnetel lalu ke Lamaknen. (6) Ton Ba Ton Way berasal dari Sia Wa Mugi Wa Sia Wa Batola, Sina-Mutin-Malaka, Galelu Gowa, Laburato Salower dan berlayar terus menuju ke pantai selatan, di Kamanasa Kolobila lalu kemudian ke Lamaknen.
Dengan akal dan muslihatnya, Luta Rato Jopata berhasil diakui sebagai pemimpin di Lamaknen setelah melalui politik liciknya dan akal yang tinggi. Di atas puncak gunung Lakus Manulor dengan sebutan adat Turultuk Siolwa, di kecamatan Lolotoi bekas swapraja Lakus Kabupaten Bobonaro. Di tempat itulah dia mengumpulkan semua pengikutnya untuk mengadakan sumpah sebelum mereka mencari tempat tinggal masing-masing. Untuk bersumpah tiap suku mengambil 3 batu, yang kemudian dipakai sebagai batu tungku api, dan masing-masing duduk di atas batu mereka sendiri. Mereka semua menyayat bagian tubuh mereka, darah yang keluar diambil dan diminum bersama tuak (minuman setempat). Mereka bersepakat untuk tidak boleh berkelahi atau berperang satu sama lain. Setelah bersumpah mereka pergi mencari tempat tinggal mereka masing-masing. Bere Mau akhirnya tinggal di Kewar, Ho Mau di Honaru (Bobonaru), Ai Mau di Ai Asa, Oe Mau di Oe Leu, Sabu Mau dan Tei Mau di Sabu Lei (bagian dari Timor-Timur). Dua yang terakhir kemudian berpindah ke Belu Selatan lalu terus menuju Sabu. Sampai sekarang, sumpah tersebut di atas masih ditaati oleh Belu dan Sabu. Nama orang Sabu dan Belu (Lamaknen) banyak kesamaan. Beberapa contoh bisa kita kemukakan berikut:
Sabu: Lamaknen:
Doko Loko
Bire Bere
Talo Talo
Wila Mela
Kedua suku ini masih sangat mentaati sumpah tersebut di atas. Mereka tidak boleh berkelahi, berperang bahkan tidak boleh memarahi atau berbicara kasar. Pelanggaran terhadap sumpah tersebut akan mengakibatkan muntah darah, berak darah, dan malapetaka yang lain. Setelah tiba di pantai, mereka tidak mempunyai rumah, sehingga mereka membalik perahu mereka untuk menjadi tempat berteduh/tinggal. Hal ini bisa kita perhatikan kalau melihat rumah yang belum beratap. Contoh, rumah adat asli di Kewar. Bentuknya sangat mirip dengan perahu terbalik. Oleh kedatangan mereka, penduduk yang lama yaitu orang Melus terdesak ke bagian Barat.
Perlu diketahui bahwa pada tahun 1957-1959, seorang sarjana berkebangsaan Perancis, Louis Berthe, atas biaya “Pusat Dokumentasi dan Penelitian Tentang Asia Tenggara dan Dunia Indonesia” mengadakan penelitian di Bunaq dalam rangka menyusun suatu monografi penduduknya. Pada bulan Mei-Nopember 1966, sarjana tersebut kembali lagi ke Bunaq bersama isterinya, Claudina Berthe Friedberg. Setibanya di Perancis dia meninggal, namun pada bulan Mei 1969-1970 isterinya kembali ke Bunaq untuk melanjutkan usaha suaminya serta tugas khususnya sendiri di bidang etnobotani.
4. Jumlah Penduduk dan Penyebarannya
4.1. Populasi
Jumlah banyaknya suku bangsa Bunaq adalah sebagai berikut. Lamaknen: 12.706 jiwa. Makir: 1.653 jiwa, Lamaksenulu: 856 jiwa, Aitoun: 1.550 jiwa. Perhitungan ini berdasarkan sensus 1987.
Di samping itu, dalam propinsi Timor-Timur, kini Timor Leste masih terdapat pula suku bangsa Bunaq, sebagian di Kabupaten Bobonaro, sebagian di Kabupaten Kobalima, sebagian di Kabupaten Same, dan sebagian di Kabupaten Ainaro. Data mengenai jumlah populasinya belum diketahui.
4.2. Penyebaran
Keadaan tanah yang kurang subur, berlereng-lereng, kepadatan penduduk, jaminan keamanan, adalah faktor-faktor yang dominan, yang menyebabkan penyebaran suku Bunaq ke lain-lain wilayah. Penyebaran ini dimulai pada awal abat ke XX, semasa pergolakan politik di Timor- Timur. Khususnya ke wilayah Belu dan sesudah pergolakan di Timor-Timur, dan pengintegrasian Timor-Timur, juga ada penyebaran ke wilayah-wilayah di Timor-Timur.
Penyebaran dalam Kabupaten Belu, dapat dicatat sebagai berikut. Sebagian kecamatan Tasifeto Barat yaitu Desa Naitimu, Lidak, Jenilu. Sebagian Kecamatan Tasifeto Timur yakni desa Dafala, Manuleten, Umaklaran dan Takirin. Sebagian Kecamatan Malaka Timur, desa Mandeu, Babulu, Sanleo, Alas, Litamali, Lakekun. Sebagian Kecamatan Malaka Tengah, desa Kamanasa, Bolan, Kletek. Sebagian Kecamatan Malaka Barat, desa Umatoos, Weoe.
Penyebaran ke wilayah propinsi Timor-Timur, belum ada data yang lengkap. Dalam penulisan ini, hanya disinggung data dan informasi khusus mengenai suku Bangsa Bunaq di Lamaknen, di samping beberapa catatan tentang suku Bangsa Bunaq.
5. Pola Pemukiman
Pada umumnya dusun-dusun didirikan di atas puncak bukit demi kepentingan pertahanan. Dusun-dusun itu dikelilingi dengan pagar hidup yang kuat, umpamanya bambu dan duri atau batu. Sebagai contoh keadaan dusun Kewar, sebagai pusat kebudayaan Lamaknen. Rumah-rumah suku (“deu hoto”) didirikan melingkari dan menghadap “mot” yaitu lapangan berbentuk bulat dikelilingi dengan pagar batu. Di pinggir “mot” terdapat tempat persembahan (mezbah) disebut “bosok”. Di Kewar terdapat dua “mot” yaitu “mot pana” dan “mot mone”. Fungsi “mot pana” adalah sebagai berikut: Tempat duduk para tamu dari lain kerajaan pada salah satu upacara yang dilakukan di “mot”. Tempat melangsungkan upacara ”a tate” dalam rangka upacara “tubi lai” menjelang musim hujan. Tempat meletakkan jenazah selama pelangsungan upacara kematian bagi seorang yang gugur dalam medan pertempuran ataupun lain-lain kecelakaan. Tempat penguburan orang yang gugur dalam medan pertempuran dan lain-lain kecelakaan.
Fungsi “mot mone” adalah sebagai berikut: Sebagai tempat sidang pengadilan tertinggi. Tempat mengadakan keramaian umum (“teberai”) pada pelangsungan berbagai upacara, dan “tei” pada upacara rumah suku baru. Tempat upacara pembukaan “lal guju” (upacara kenduri) atau “lal belis” (upacara kegembiraan).
Berhadapan dengan “mot pana” dan “mot mone” terdapat “mot gol” yang berfungsi sebagai berikut. Tempat penyelenggaraan segala macam persoalan pertikaian, tingkat tinggi. Tempat penyaringan para tamu dari dalam dan dari luar Lamaknen.
Berhadapan dengan kampung di bagian depannya ada suatu lapangan dengan pohon-pohon beringin besar. Tempat ini berfungsi sebagai berikut. Tempat melaksanakan hukuman mati, atas keputusan sidang pengadilan tertinggi. Tempat menunggu pada sidang pengadilan tinggi dan tertinggi. Tempat melaksanakan keramaian umum. Tempat mendirikan tenda-tenda bagi tamu dari luar Kerajaan.
Rumah adat atau rumah suku disebut “deu hoto” berbentuk segi empat dengan atap alang-alang, rendah sampai di tanah dan didirikan di atas tiang-tiang. Kolong rumah dijadikan tempat tinggal hewan piaraan, tempat simpan kayu api dan tempat air dari bambu betung disebut “mapo”. Di atas kolong rumah, rumah adat terbagi atas 3 bagian yaitu “lakoq lor”, “deu mil”, “lakoq hoto”.
“Deu mil” terbagi pula atas dua ruangan tanpa dinding, hanya dibatasi dengan papan disebut “otan” dan dinamai “deu mil lor” dan “deu mil hoto”.
“Lakoq lor” berfungsi sebagai berikut. Tempat duduk dan tempat menerima tamu. Tempat tidur anggota suku pria yang belum berkeluarga.
“Deu mil lor” berfungsi sebagai berikut. Tempat tidur para gadis yang belum berkeluarga. Tempat melaksanakan upacara religius. Tempat meletakkan mayat, selama belum dikuburkan.
“Deu mil hoto” berfungsi sebagai berikut. Tempat memasak makanan (dapur). Tempat tidur para gadis, juga yang sudah berkeluarga, tempat menyimpan bahan makanan. “Lakoq hoto”, berfungsi sebagai tempat tinggal tuan rumah.
“Deu mil” dikelilingi dinding papan. Papan pada dinding yang berhadapan dengan “lakoq lor” dan “lakoq hoto”, biasanya diukir dengan bermacam-macam ukiran, berbagai jenis. Ukiran itu hanya terdiri dari satu garis dan tidak boleh terputus. Hal ini melambangkan kelestarian dan keabadian. Di atas ukiran terdapat buah dada perempuan sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran.
Di atas “lakoq lor” dan “lakoq hoto”, ada pula loteng yang disebut “toren” tempat menyimpan bahan makanan dan barang-barang lain.
Di atas “deu mil” tidak ada loteng. Di atasnya hanya diletakkan bambu atau kayu lurus untuk tempat gantung jagung yang masih berkulit, sebagai persediaan. Rumah adat memiliki dua tiang agung disebut “nulal”, satu disebut “nulal lor” dan yang lain disebut “nulal hoto”.
Di bawa dan di atas “nulal lor” tersimpan senjata dan lain benda yang dianggap keramat, peninggalan leluhur. Di bawah “nulal lor” terdapat pula mezbah untuk tempat persembahan pada segala macam upacara. Di samping dua tiang agung, rumah adat mempunyai 4 tiang sudut yang disebut “lirus”.
Bubungan rumah dibungkus dengan ijuk dan untuk menandai kedudukan suku, bubungan itu dihiasi dengan menyisipkan sembilu dari bambu, dimiringkan ke kiri dan ke kanan. Di ujung kiri kanan dan di tengah bubungan, dibentuk tanduk kerbau dari kayu dan ijuk, sebagai lambang kekuatan. Bubungan itu disebut “deu maten kes”.
Dewasa ini, rumah adat sudah hampir tidak ada lagi terkecuali rumah adat di Kewar dan di beberapa tempat di Lamaknen. Orang sudah mulai membangun rumah yang lebih memenuhi persyaratan hygienis, beratap seng, berdinding bebak, dengan pintu berjendela yang baik, malah ada pula yang sudah memiliki rumah dengan dinding setengah tembok atau tembok seluruhnya.
6. Bahasa dan Dialek
Seperti telah dijelaskan pada nomor satu, suku Bunaq mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Bunaq atau “Bunaq Giol”.
Dialek tidak ada, terkecuali beberapa perbedaan kata dan lagu pembicaraan, namun dapat pula dimengerti. Dari lagu pembicaraan mudah diketahui tempat asal yang berbicara.
Kata kerja dalam bahasa Bunaq berubah menurut dua jenis kata benda, katakanlah kata benda jantan dan kata benda betina. Susunan kalimat sebagai berikut: Pokok kalimat+Penderita+Kata kerja. Contoh: Neto hoja a artinya saya kelapa makan. Sebetulnya saya makan kelapa. Neto dila gia berarti saya pepaya makan. Arti sebenarnya adalah saya makan pepaya. Erenoq neto mar gene dik-hotel gia. Artinya kemarin saya kebun di ubi kayu makan , yang dimaksud adalah kemarin saya makan ubi kayu di kebun. Neto Atambua mal bu, eto man deu hotol naq. Artinya Saya Atambua pergi kalau, kau datang rumah jaga dulu. Arti sesungguhnya adalah kalau saya pergi Atambua, engkau datang jaga rumah dulu.
Kata-kata dengan akhiran suku kata hidup, diucapkan sebagai kata ta’ dalam bahasa Indonesia, agar tidak merancukan pengertian atau salah paham. Contoh: Niq taq yang berarti belum, jangan diucapkan ni ta yang berarti menembak saya. Bunaq tidak boleh diucapkan “Buna”.
7. Mata Pencaharian Utama dan Sampingan
Mata pencaharian yang utama dari suku Bunaq adalah bercocok tanam, di ladang yang berada di lereng-lereng bukit, di dalam tanah “naen” milik suku, yang terdapat dalam tanah perkebunan umum di sebut “matas momen”. Cara kerjanya sebagai berikut. Tebas rumput belukar dan rerumputan, sekitar bulan Juni dan Juli “Mar Se” yang berarti menebas rumput dan belukar. “Hotel pake” atau “hotel getetaq” yang berarti menebang kayu memotong ranting-ranting kayu sekitar bulan Juli. “ Mar ini” yang berarti membakar sekitar bulan Agustus. “Hoto koin” yang berarti membakar kayu sisa yang tidak terbakar, sekitar September. “Deu mar gie hoon” yang berarti membuat rumah kebun (gubuk), sekitar bulan Oktober. “Muk ere” yang berarti menanam, sekitar Nopember. “U tul” yang berarti membersihkan rumput tahap pertama, sekitar Desember dan Januari. “U tul” tahap kedua yang berarti membersihkan rumput tahap kedua , sekitar Pebruari. “Paol gureq” dan “ipi wit” yang berarti memanen, sekitar Maret dan April.
Cara kerja ini, hanya dengan alat sebatang besi gali selebar 3-4 cm, parang dan kapak, sangat berat dan hasilnya tidak seimbang dengan jeri payahnya. Ladang hanya dimanfaatkan dua tahun, tahun pertama ditanami padi, tahun kedua jagung dan kacang-kacangan, lalu dibiarkan selama 3-4 tahun, baru dibuka lagi, untuk diusahakan lagi selama dua tahun, dan seterusnya.
Di dataran, terlebih di Makir dan Lamaksenulu dan di Delta Sungai, diusahakan pula sawah, melalui perencahan dengan sapi, lalu padi dihambur, dan dibiarkan sampai berbuah dan dipetik hasilnya. Tentu saja, tidak seberapa hasilnya.
Dewasa ini, pemuda dan pemudi yang sudah kunjungi sekolah, apalagi yang sudah sampai ke tingkat SLTP dan SLTA, tidak tertarik sama sekali, kepada pekerjaan berat ini. Mereka lebih suka merantau tinggal di kota, menjadi pelayan toko atau kondektur mobil dan lain-lain, tanahnya dibiarkan ditumbuhi alang-alang.
Hal ini menimbulkan lagi problem baru, ialah inflasi gadis dusun-dusun, tidak ada cukup pemuda untuk menikahinya dan dibiarkan menjadi “perawan tua” atau jika tidak lekas ditangani pemerintah dan Gereja, ia mencari jalan keluar dengan melaksanakan peraktek prostitusi atau pelacuran umum.
Salah satu jalan keluar, mungkin dengan menggiatkan penanaman tanaman umur panjang, terutama kopi dan /atau kemiri, yang dapat menarik lagi para pemuda untuk datang ke daerah asal, untuk mengusahakan tanahnya.
Usaha sampingan, kelihatan beralih ke arah berdagang kecil-kecilan, dengan adanya pemunculan kios-kios mini di berbagai dusun.
8. Teknologi setempat yang dikembangkan
Di dataran, juga di lereng-lereng yang tidak berbatu, pemakaian pacul pengganti besi gali warisan leluhurnya, sudah mulai menjadi populer.
Alat produksi pertanian, alat rumah tangga dan lain-lain alat, dengan mudah didatangkan dari lain pulau, sehingga teknologi setempat tidak lagi dikembangkan.
9. Sistem kepemimpinan atau Pemerintahan dan stratifikasi sosial
9.1. Sistem Kepemimpinan atau Pemerintahan.
9.1.1. Masa asli, sebelum tibanya pemerintah Belanda.
Seperti telah dijelaskan di atas, yang dimaksudkan dengan suku bangsa Bunaq di Lamaknen, ialah penduduk Kecamatan Lamaknen, minus Desa Makir dan Lamaksenulu. Makir dan Lamaksenulu adalah kesatuan “autochthoon” yang berdiri sendiri dan tidak merupakan sebagian dari Kerajaan Lamaknen.
Figur tertinggi dalam Kerajaan Lamaknen, di sebut “Loro”’ yang diangkat dari seorang anggota suku Leogatal di Kewar dan berkedudukan di Kewar.
Loro Lamaknen memimpin 4 kepala wilayah, yang disebut “Bein Goniil” yaitu 4 yang agung, di samping 9 kepala wilayah yang disebut “Hol Gomo” yaitu penguasa batu dan seorang kepala pengairan, yang disebut “kanu hasan gomo” yaitu penguasa saluran air. Yang dimaksud dengan “Bein Goniil” adalah sebagai berikut. Kewar ( Kini: desa Kewar), Lakmaras ( Kini Desa Lakmaras), Henes (Kini Desa Henes) dan Nualain (kini Desa Nualain).Yang disebut 9 “Hol Gomo” adalah Fulur ( Kini desa Fulur), Leowalu (Kini desa Leowalu), Duarato (Kini Desa Duarato), Ekin ( Kini Desa Ekin), Abis ( Kini Dusun dari Lakmaras) , Loona ( Kini Desa Loonuna), Sasaq (Kini dusun dari desa Juldapil Kecamatan Lolotoi-Timor Leste), Mahui (Kini Dusun dari desa Makir), dan Dirun (Kini Desa Dirun). “Kanu Hasan Gomo” ialah Laimea, kini menjadi Dusun dari desa Dirun, Weluli.
Seperti fungsi adat yang lain, fungsi pemerintahan pun adalah milik suku tertentu dan bersifat turun temurun milik suku, bukan milik pribadi salah satu anggota suku. Demikian: Jabatan Loro-suku Leogatal/Ohoro Babulu, Kewar-Suku Tesgatal, Lakmaras-Suku Datogubul, Henes-suku Hollapit, Nualain-Suku Monesogo.
Hol gomo: Fulur–Suku Hakpor, Leowalu-Suku Mautepa, Duarato-Suku Purbelis, Ekin-Suku Monegoinciet, Abis-suku Purbelis, Loona-suku Maugonion, Sasaq-suku Motugatal, Mahui-suku Barutpor, Dirun-suku Monesogo, Laimea-Suku Monesogo dan Bonpor.
Loro memiliki staf pembantu, ialah rumah–rumah suku sekeliling “mot”, diketuai oleh suku Tesgatal, merangkap kepala wilayah Kewar.
Pengawasan tanah perkebunan dan isinya “matas momen”, dilakukan para “makleat” dari suku tertentu, yang juga bersifat turun temurun.
Upacara adat yang bersangkutan dengan bahan makanan, dilakukan “por gomo”. Pelaksanaan berbagai upacara yang lain , diserahkan pada “lal gomo” yaitu pandai adat, yang hanya dimiliki salah satu suku tertentu.
Delik adat ringan berat diselesaikan menurut prosedur tertentu. Tingkat orang tua, tingkat dato/tamukung, tingkat kepala wilayah, tingkat pengadilan tinggi di Kewar (Mot Gol), tingkat pengadilan tertinggi di Kewar (Mot Mone). Loro memiliki hak untuk membatalkan keputusan pengadilan tertinggi.
Jaminan keamanan ditanggungkan kepada semua suku, olehnya suku memiliki ajimat perang, yang disebut “kaluk”.
Organisasi pemerintahan dilakukan dengan mengilhami pembangunan rumah suku, memiliki 2 “nulal” (Bein pana, bein Mone) 4 lirus yaitu 4 Bein Kepala Wilayah, dan tiang penopang lain yaitu para hol gomo, rakyat yaitu kasau dan atap. Bein pana sebagai Bein Perempuan yaitu orang pertama, bein Mone sebagai Bein pria yaitu orang kedua.
Lamaknen berhasil memperluas wilayah dengan menaklukkan kerajaan Hatutui Holwa (dibawa-sebelah Utara dusun Kewar) dan Kerajaan Maudemu, yaitu desa Dirun, sebagian desa Nualain, Loonuna, Ekin, Lakmaras, sekarang dibawa pemerintahan Loro Laku Maliq (Loro ke IV). Untuk itu dibangun markas Ranu wa di Dirun.
9.1.2. Masa sesudah Tibanya Pemerintahan Belanda
Tahun 1862. Pemerintahan Belanda diwakili Gezaghebber Rogge, tiba di Atapupu. Lamaknen diakui sebagai satu kerajaan berdiri sendiri, di bawa Loro Bere Taeq (Loro IV), dari suku Leogatal/Ohoro Babulo.
Tahun 1909. Persetujuan batas wilayah Timor Belanda dan Timor Portugis antara Pemerintahan Belanda dan Pemerintahan Portugal, seperti yang ada sekarang. Timor Portugis disebut “Ewi Belis” yang berarti pendatang putih, Timor Belanda disebut “Ewi Guju” yang berarti pendatang hitam.
Tahun 1911. Pertempuram di Lakmaras antara Lamaknen melawan Pemerintah Belanda dan tentara Timor Portugis. Peristiwa ini disebut “Lolo Gonion Tal” yang berarti pertempuran tiga bukit. Pihak Lamaknen banyak yang gugur. Akibat peristiwa ini, maka seluruh Desa Dirun, sebagian Desa Nualian, sebagian Desa Loonuna, sebagian Desa Ekin, Sebagian Desa Lakmaras , dijadikan wilayah Timor Portugis. Pemerintah Belanda tempatkan pos tentaranya di Beredao, sedang Pemerintah Timor Portugis tempatkan Pos Tentaranya di Debululik. Beredao terletak di pinggir kali Beredao, wilayah Desa Nualain. Loro Bere Tae tidak mau juga menghadap pemerintah Belanda di Beredao akan tetapi hanya dikirim saja wakilnya, Siri Loko, Kepala Wilayah Kewar dari suku Tesgatal. Oleh Karena Siri Loko dibentak dan dimarahi Pembesar Belanda, ia serahkan jabatannya kepada Bau Liku (Wafat tahun 1947), akan tetapi Pembesar Belanda tunjuk Bere Bauq-suku Datogubul, kepala wilayah Lakmaras, sebagai wakil Loro Lamaknen.
Tahun 1916. Dengan surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 10 Mei 1916 No.22 (Staatsblad=Lembaran Negara No.372) Kerajaaan Lamaknen dihapuskan dan dijadikan distrik dari Kerajaan Belu-Tasifeto, dibawa Raja Don Josep da Costa, Raja Jenilu.Tahun 1916. Terhitung mulai tanggal 1-11-1916 persetujuan batas antara Belanda dan Portugis dinyatakan berlaku. Akibatnya, wilayah yang diambil dan dijadikan wilayah Timor Portugis, dikembalikan lagi kepada Lamaknen.
Tahun 1924. Kerajaan Belu-Tasifeto dihapuskan dan dibentuk Kerajaan Belu, dibawa seorang Raja bergelar Maromak Oan, Bria Nahak, yang meninggal dunia sebelum dilantik, lalu diganti oleh Seran Nahak. Distrik Lamaknen dihapuskan, sedang onderdistrik yang ada, dijadikan distrik dari Kerajaan Belu, yang memimpin dan memerintahkan 39 distrik. Di Lamaknen hanya ada 8 distrik gaya baru yaitu Kewar, Ekin, Fulur, Nualain, Lakmaras, Leowalu, Dirun, dan Loonuna. Mahui dijadikan kampung dari Distrik Makir, weluli dijadikan kampung dari distrik Dirun.
Tahun 1926. Kepala distrik Bauho (Loro Bauho) Atok Samara, memprotes pengangkatan Seran Nahak dan tidak menyetujui sistem gaya baru, dengan tidak menghadiri, upacara pelantikan Seran Nahak, sebagai Maromak Oan. Kepala distrik Kewar Bau Liku, juga mengambil sikap yang sama, dengan tidak mengizinkan rakyatnya mengusung Maromak Oan Seran Nahak sewaktu tiba di Perbatasan Makir dan Kewar, dalam kunjungannya ke Lamaknen.
Tahun 1928. Raja Insana, Kahalasi Taolin, mengambil sikap yang sama, dengan tidak mau mencium kaki Maromak Oan Seran Nahak, seperti para Raja yang lain, sewaktu bersama-sama ke Kupang untuk sesuatu urusan.
Tahun 1929. Maromak Oan Seran Nahak, ajukan surat permohonan berhenti tanggal 8/1/1929. Surat permohonan berhenti ini disusul lagi dengan surat tanggal 12/9/1929.
Tahun 1930. Dengan surat keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 8/4/1930 No.39 Maromak Oan Seran Nahak diperhentikan dengan hormat. Pemerintahan dijalankan sendiri oleh Liurai Seran Asit Fatin, yang juga meninggal dunia, tidak lama sesudah pengangkatannya. Dibentuk panitia pemerintahan Kerajaan Belu dengan 3 anggota yaitu Loro Waiwiku yaitu Bere Nahak, Loro Lakekun yaitu Benediktus Leki, Loro Bauho yaitu Atok Samara. Belu Utara termasuk Lamaknen, berada di bawa kekuasaan Loro Bauho Atok Samara.
Tahun 1942. Kedatangan Pemerintah Jepang. Loro Bauho Atok Samara meninggal Dunia, diganti sementara oleh Nikolas Manek, kemudian oleh H.B.S. da Costa.
Tahun 1945. 5 /8/ 1945, A.A.Bere Tallo dilantik menjadi Loro Lamaknen, Lamaknen diakui sebagai Kerajaan berdiri sendiri terlepas dari Bauho.
Tahun 1949. Dengan surat keputusan Residen Timor Archipel tanggal 31/3/1949 No.121, diperbaharui anggota panitia pemerintah Belu sebagai berikut: Loro Lakekun yaitu Benediktus Leki, menguasai Kerajaan Malaka. Loro Bauho yaitu H.B.S.da Costa, menguasai kerajaan Tasifeto. Loro Lamaknen yaitu A.A.Bere Tallo, menguasai Kerajaan Lamaknen.
Tahun 1958. Pembentukan Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dengan Undang-Undang No.64/1958. Pembentukan daerah sementara Tingkat II Belu (Kabupaten Belu) dengan undang-undang No.69/1958, dengan A.A.Bere Tallo sebagai Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Belu. G.A.Asy dijadikan wakil Loro Lamaknen.
Tahun 1962. Dengan surat keputusan Gubernur/Kepala Daerah Nusa Tenggara Timur tanggal 28/1/1962 No.Pem.66/1/2, dihapuskan Kerajaan Malaka, Tasifeto dan Lamaknen, dan dibentuk 5 Kecamatan. Malaka Barat ibukota Besikama dengan camatnya E.Teiseran. Malaka Timur ibukota Betun dengan camatnya Emanuel Laka. Tasifeto Barat ibu kota Atambua dengan camatnya adalah Blasius J.Manek. Tasifeto Timur ibu kota Nobelu dengan camatnya adalah A.R.Parera. Lamaknen ibu kota weluli dengan camatnya G.J.Asy.
Tahun 1966. Dengan surat keputusan Bupati kepala Daerah tingkat II Belu tanggal 31 Maret 1966 No.Pem.6/1966, seluruh kenaian di Belu ditiadakan dan dibentuk Desa-Desa di seluruh Belu. Lamaknen terdiri dari 12 Desa, ialah:
1. Kewar dengan kepala desanya Matheus Bere
2. Lakmaras dengan kepala desanya Johanes Mau
3. Fulur dengan kepala desanya Lambert Ati
4. Duarato dengan kepala desanya Nikolas Nahak
5. Loonuna dengan kepala desanya Gabriel Oes
6. Makir dengan kepala desanya (lowong)
7. Nualain dengan kepala desanya M.Asa Tuan
8. Henes dengan kepala desanya Pius Dasi
9. Leowalu dengan kepala desanya Arnol Boko
10. Ekin dengan kepala desanya P.Bere Bakurai
11. Dirun dengan kepala desanya Gaspar Lesu
12. Lamaksenulu dengan kepala desanya Bene Bere Mau
9.2. Stratifikasi Sosial
Menurut mitos, yang diceriterakan oleh para “Lalgomo”, suku bangsa Bunaq yang ada di Lamaknen, Makir, Lamaksenulu, Aitoun, berasal dari 10 kelompok leluhur yang datang dari seberang lautan, 20 generasi yang lalu dan yang disebut:
1. Lutarato Jopata = Luta
2. Lakuloq Samoro = Lakuloq
3. Oburo Marobo = Oburo
4. Sibiri Kailau = Sibiri
5. Lakan Roman
6. Ro Ikun Ro Wulan = Ro Ikun
7. Siataq Mauhaleq = Siataq
8. Tonbaq Tonwai = Ton
9. Gotoqpor Gawalpor = Gotok
10. Dilubaraq Hakbaraq = Dilu
Setiap kelompok terdiri hanya dari beberapa orang, tidak sampai duapuluh orang. Setiba di Loborgoloq Cialeru (Timor Timur) sewaktu akan berpisah, atas prakarsa dua berkakak adik Bele Mau dan Sabu Mau dari kelompok Oburu, anjurkan agar diadakan sumpah, sebelum berpisah. Diambil bambu suling, diiris, dipotong lidah dan belakang lutut tiap-tiap orang, darahnya dicampur dengan bambu suling, dicampur lagi dengan tuak, diminum bersama, lalu berpisah. Setiap anak yang lahir, dipotong tali pusatnya dengan bambu suling, sebagai tanda keterlibatan pada sumpah leluhur itu, yang berlaku turun temurun.
Demikianlah terjadi hubungan “Hulo Lep” atau hubungan persahabatan yang abadi. Kemudian terjadilah kawin-kawin, terbentuklah suku dan hubungan perkawinan yang juga bersifat abadi yang disebut hubungan “Malu Ai”. Sesudah manusia berbiak, maka perlu diatur, maka terjadilah hubungan “dasaq rak” yang berarti hubungan pemerintahan, yang juga bersifat abadi.
Demikianlah masyarakat suku bangsa Bunaq, terdiri dari suku atau klan atau “deu” dalam bahasa Bunaq. Deu ini bersifat exogam, unilateral, tradisional.
Dalam hubungan “hulo lep” semua “deu” (dengan anggotanya) berkedudukan sama dan sederajat.
Dalam hubunga “malu ai”, “deu malu” (deu pemberi perempuan) berkedudukan lebih tinggi daripada “deu aibaa” (deu penerima perempuan).
Dalam hubungan “dasaq rak” , deu yang ditetapkan menjabat susuatu fungsi adat (Loro, Nai, Holgomo, Rato, Tamukun, Makleat) terpandang dalam masyarakat, terlebih dalam upacara-upacara adat.
Akan tetapi posisi dalam hubungan “dasaq rak”, tidak mempengaruhi posisi dalam hubungan “malu ai”.
Contoh; “Deu” Loegatal adalah memiliki fungsi sebagai Loro (dalam hubungan “dasaq rak”.) “Deu Leogebu, memiliki fungsi adat yang lebih rendah dari “deu” Loegatal. Dalam hubungan “malu ai” anggota “deu” Loegatal, sekalipun berkedudukan Loro, harus tunduk kepada “deu” Leogebu dan anggotanya. Yang memiliki posisi, berupa fungsi adat, adalah “deu” atau “suku”, bukan pribadi-pribadi anggota suku. Demikian, seorang anggota suku “malu” dialihkan dan tanggalkan keanggotaan suku “malu” dan terima keanggotaan suku “aibaa”, ia harus konsekuen, memegang posisi yang dimiliki “deu” yang kini, ia menjadi anggotanya.
Dahulu kala ada hamba sahaya, yang disebut “jala losan” atau “losan” atau “mila” yang berarti hamba. Hamba sahaya diperoleh melalui:
1. Ditawan dalam medan perang atau diculik
2. Ditebus karena tidak dapat bayar denda, sesuai putusan pengadilan.
3. Dibeli
Tawanan perang dan hasil culikan, langsung diupacarakan dan dijadikan anggota suku. Hal ini untuk menghargai kesaktian “kaluk”. Hamba yang ditebus atau dibeli, masih dilihat perilakunya, kemudian juga dijadikan anggota suku.
Kesimpulannya, tidak ada oknum, yang menjadi anggota sesuatu “deu”. Ketiga hubungan tersebut di atas, merupakan mata rantai seperti jala, yang saling berhubungan, mempersatukan suku bangsa Bunaq, keluar suku dan ke dalam suku.
Akibat pendidikan sekolah dan ekonomi, maka dewasa ini, telah timbul sesuatu lapisan baru, terdiri dari pegawai, pedagang, rohaniwan, dan para jebolan sekolah Tinggi, tergolong dalam lapisan Sosial yang baru itu.
Dengan demikian prinsip-prinsip stratifikasi sosial yang bersifat nasional, mulai mempengaruhi stratifikasi sosial di daerah, termasuk juga Lamaknen.
10. Sistem Kekerabatan, kelompok kekerabatan, prinsip kekerabatan.
10.1. Sistem dan Prinsip Kekerabatan
Perkawinan “sul dara” yaitu bentuk perkawinan patrilineal. Dianggap sangat ideal, jikalau seorang pemuda menikahi gadis, yang berasal dari suku “malu” yaitu suku pemberi perempuan. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan, menikahi gadis dari suku lain yang bukan “malu”. Suku lain itu, disebut “leolegul”.
Dengan menikahi gadis suku “Leolegul”, dengan bentuk perkawinan “sul dara”, maka terjadilah pula hubungan “malu-ai” antara suku pemuda dan suku isterinya itu, yang tidak lagi berstatus “leolegul” tetapi “ malu” dari suku suaminya. Uang mahar pada perkawinan “sul dara” pada dasarnya sama, sesuai dengan prinsip bahwa dalam hubungan “malu ai” semua suku pada dasarnya sederajat sama, terkecuali suku “malu” yang dianggap lebih tinggi posisinya dari suku “aibaa”. Dengan demikian, derajat suku menurut hubungan “dasaq rak” yaitu hubungan pemerintahan, tidak berpengaruh atas jumlah uang mahar yang harus dibayar. Uang mahar itu pun, pada dasarnya sama, sekalipun di sana sini, terdapat perbedaan jenis, penyebutan, jumlah dan urut-urutan uang mahar, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sigal saen. Tanggung pihal suami/“aibaa”: 1 emas dan 1 perak. Isteri/”malu”: steri/”malu”: 1-2 Selimut Timor
1. Bora pil Jewen. Suami : 1 perak. Isteri :1 selimut.
2. Taq O Turiq. Suami: 1 emas, 1 perak. Isteri: ---
3. Bei gotin. Suami: 7 perak. Isteri: ---
4. Napo tesi, watan lotuq. Suami: 1 emas, 1 perak. Isteri:---
5. Bokan O Nalas. Suami: 1 emas, 1 perak. Isteri :---
6. Su mamal, su soat. Suami: 1 kerbau dengan anak. Isteri: ---
7. Gubul O Geweel. Suami: I mas, 1 perak. Isteri: ---
8. Lor wa, lor bul. Suami: 1 mas 1 perak. Isteri: ---
9. Tajuq lor, Tajuq hoto. Aibaa: 1 mas, 1 perak. Malu:---
10. Sul O Suliq. Aibaa: 1 mas, 1 perak. Malu:---
11. Loeq masak, loeq gol. Aibaa: 7+5 perak. Malu: 7+5 selimut
12. Tel Wese. Aibaa: 2 perak. Malu: 1 selimut, 1 ekor babi.
13. Saki O jiq. Aibaa: 1 tahin. Malu: 1 selimut, 1 ekor babi.
14. Piral Noq Topol. (disesuaikan dengan banyaknya anggota suku “malu”).
15. Ope ganal tol. Aibaa: 2 tahin. Malu:---
16. Sael Ope. Aibaa: 1 ekor kerbau. Malu: 1 ekor babi
17. Peq naran, peq tiluq. Aibaa:--- Malu: 2 utas peq
18. Depal gie naran, depal gie tiluq. Aibaa:--- Malu: 2 pasang giwang (kouq) mas
19. Sawe Sepak. Aibaa: --- Malu: 1 sisir emas.
20. Kira O Bian. Aibaa: --- Malu: 2 mas
21. Jap nokar, cie nokar. Aibaa: --- Malu: 1 ekor anjing, 1 ekor ayam (bibit)
22. Palu pae goloq. Aibaa: -- Malu: 1 kebun
23. Opa tutul gie, rene pin gie. Aibaa: --- Malu: 1 orang hamba.
Penjelasan:
1 mas = 1 plat (piring) dari emas. 1 perak = 1 plat (piring) dari perak. 1 peq = 1 utas manik-manik dari tanah = Tetum: Morten. Jumlah tanggungan pria : 8 emas, 33 perak, 2 ekor kerbau dengan 1 anak kerbau. Jumlah tanggungan perempuan: 17 selimut, 2 utas peq, 2 emas, 1 sisir emas, 2 pasang anting-anting (kouq) dari emas, 3 ekor babi, 1 kebun, seorang hamba, 1 ekor anjing (bibit), 1 ekor ayam (bibit).
Jikalau I emas dinilai Rp. 100.000.- 1 perak dinilai Rp. 2.000,- 1 selimut dinilai Rp.20.000,- 1 ekor Kerbau dinilai Rp. 150.000,- 1 anak kerbau dinilai Rp. 50.000,- 1 ekor babi Rp.50.000,- 1 peq dinilai Rp. 250.000,- 1 pasang anting-anting (keuq) dinilai Rp.250.000,- 1 sisir emas 10 uang mas sukuan= Rp. 1.000.0000,- 1 kebun dinilai Rp. 5.000.000,- 1 ekor anjing dinilai Rp. 5.000,- 1 ekor ayam dinilai Rp. 2.000,- maka hasilnya sebagai berikut:
Tanggungan pria = Rp. 1.216.000,-
Ditambah no 16. “Piral Noq Topol “ = Rp. 200.000,-
Rp. 1.416.000,-
Tanggungan pihak perempuan Rp. 6.697.000,- + 1 orang hamba.
Jelas bahwa dalam perkawinan bentuk “sul dara” tanggungan dan antaran pihak “malu” jauh lebih banyak dari pada tanggungan “aibaa”, dan yang terutama ialah , kedua pasangan baru ini dapat memulai membentuk rumah tangga dalam posisi “Plus” tidak “nol” apalagi “minus”. Dan pula, pada pembayaran uang mahar tidak ditekankan kepada unsur tubuh perempuan akan tetapi martabat perempuan, sedang perempuan pun,dengan antaran yang demikian menyatakan tegas, bahwa pihaknya tahu pula akan harga dirinya.
Penjelasan istilah:
1. sigal saen = hotel por sigal saen = gantung daun-daun larangan = menandakan bahwa gadis itu sudah dilamar orang, istilah tepatnya: uang pertunangan.
2. Bora pil jewen = membentang tikar = tamu yang datang harus dipersilahkan duduk di atas tikar.
3. Taq O Turiq = kapak dan parang = pernyataaan kesanggupan pria untuk memelihara isteri dengan berkebun.
4. Bei gotin = membangunkan nenek moyang (leluhur). Pemberitahuan kepada leluhur tentang peristiwa yang dihadapi.
5. Mapo tesi, watan tetuq = potong bambu untuk timba air dan potong kayu untuk membuat api di dapur agar isteri dapat berpanggang api sesudah melahirkan, atau jelasnya : kecapaian ayah.
6. Bokan O nalas = periuk besar tempat masak air panas = untuk memandikan ibu setelah melahirkan, tepatnya: Kecapaian ibu.
7. Gubul O Geweel = kepala dan dagu dari si gadis = ganti rugi si gadis.
8. Su mamal su soat = air susu lembek, air susu keras = pemeliharaan gadis sejak bayi sampai dewasa.
9. Lor wa, lor bul = tempat persembahan alam rumah atas dan bawa = pemisahan dengan tempat persembahan dalam rumah suku.
10. Tajuq lor, tajuq hoto = pintu sebelah lor dan sebelah hoto = perpisahan dengan rumah suku.
11. Sul O Suliq = tombak dan keris = perpisahan dengan senjata keramat rumah.
12. Loeq masak, loeq gol = sawah besar, sawah kecil = perpisahan dengan kebun-kebun rumah suku
13. Tel wese = memisahkan pekuburan = si gadis dikuburkan di pekuburan deu aibaa, tidak lagi di kuburan suku asalnya.
14. Saki O jiq = membelah dan menggaris = penegasan penanggalan keanggotaan suku asal si gadis.
15. Ope ganal = tangkai buah labu = si gadis sudah terpetik, sehingga sudah terlepas dari tangkai buah = penanggalan keanggotaan suku asal si gadis.
16. Piral noq topol = Butir beras terjatuh = pemberitahuan kepada seluruh anggota suku asal si gadis tentang peristiwa ini, dengan sejumlah uang.
17. Sael ope = babi labuh = daging untuk disantap bersama, sewaktu di rumah si gadis, upacara pesta di rumah gadis.
18. Peq naran, peq tiluq = Peq penanda, peq tersimpan = peq yang menandakan kedudukan gadis dalam masyarakat.
19. Depal gie naran, depal gie tiluq = Anting-anting penanda, anting-anting tersimpan = maksudnya sama no. 18.
20. Sawe sepak = sisir emas = maksudnya sama no. 18.
21. Kira O Bian = alat pemintal benang dengan piring kecil = maksudnya sama no. 18
22. Jap nokar, cie nokar = anjing di pintu, ayam di pintu = melambangkan bibit hewan piaraan, anjing sebagai pengawal rumah, ayam sebagai penanda tibanya waktu siang.
23. Palu pae goloq = tempat memetik = kebun untuk mengusahakan hasil, agar dapat dipungut atau dipetik hasilnya.
24. Opa tutul gie, rene pin gie = untuk membawa tempat sirih, membawa keranjang tempat sirih = pembantu rumah tangga untuk disuruh membantu pekerjaan rumah tangga.
Akibat perkawinan “sul dara” :
1. Isteri menerima keanggotaan suku suami, dan dipandang sebagai perempuan utama dalam suku, dan digelar sebagai “deu gomo” – tuan rumah atau “momen pana” = perempuan tua, suami pun digelar “momen mone” = laki-laki tua.
2. Ayah berhak penuh atas isteri dan anak-anaknya.
3. Anak-anak seluruhnya menjadi anggota suku ayahnya, dan mendapat hak utama atas warisan atau salah satu fungsi adat dari rumah suku ayahnya.
4. Hubungan “malu ai” abadi antara suku asal isteri dan suku suami.
5. Poligami tidak diperkenankan, dan tidak ada perceraian.
6. Berzinah dihukum mati dipancung kepala.
Di samping itu ada pula hubungan “malu ai” timbal balik disebut “sutaq noq” jika pihak suku “malu” mengawini gadis “aibaa” secara “sul dara”.
Perkawinan bentuk “ton terel” yaitu perkawinan matrilineal:
Pria dapat mengawini seorang gadis dari suku “malu” atau “ aibaa” atau “leolegul”. Uang mahar ditanggung pria:
1. Sigal saen = 1 mas, 1 perak, 10 rupiah perak Belanda, dibalas dengan 1 selimut oleh gadis.
2. Molo pu tomak = sirih pinang penuh = uang harga kegadisan. Uang ini berbeda-beda menurut derajat suku si gadis besarnya dari: 3 mas-3 perak-30 rupiah Belanda sampai 9 mas-9 perak-90 rupiah Belanda dengan 3-9 ekor kerbau. Tidak ada balasan dari pihak perempuan.
3. Tajuq lor, tajuq hoto = pintu lor, pintu hoto= laki-laki dapat leluasa masuk keluar rumah suku isterinya: 1 emas-1 perak-10 rupiah Belanda untuk semua tingkatan. Tidak ada balasan dari pihak perempuan.
4. Peq liti neq = membagi peq dan loyang = pemberian uang kepada semua anggota suku, sebagai tanda pemberitahuan. Ada balasan, jika diberi mas atau kerbau.
Pada suku berderajat Loro, dan kepala wilayah di samping ini ada lagi: Bigil obuk, nokar gon = Daun pohon pisang hutan dan kayu palang pintu = maksudnya pemberitahuan kepada para Rato/Temukung, sebesar: 2 perak dan 20 rupiah Belanda.
Akibat perkawinan “ton terel”:
1. Suami dan isteri masing-masing pertahankan keanggotaan suku, tetapi laki-laki harus datang berdiam di rumah suku isteri (uxorilokal)
2. Ayah tidak berhak penuh atas anak-anak dan isteri sendiri serta harta warisan keluarga. Ahli waris adalah anak perempuan. Anak laki-laki bukan ahli waris
3. Anak-anak seluruhnya mendapat keanggotaan suku ibu, terkecuali ayah menghendaki agar salah seorang anak, mendapat keanggotaan suku ayah, melalui upacara pemindahan keanggotaan suku, disebut “gie ama gita ruhuat” = berarti berdiri di samping ayah, dengan mebayar kompensasi.
4. Tidak ada hubungan “malu ai” antara kedua suku suami dan isteri.
5. Poligami dan perzinahan diizinkan dengan membayar sejumlah uang kepada suku isteri.
6. Perceraian dibolehkan dengan membayar uang “ukon lai” pada isteri (sukunya).
7. Jika ayah meninggal dunia, jenazahnya harus diangkat ke rumah suku ayah, dan dikuburkan di pekuburan sukunya sendiri, sebab tidak boleh dikuburkan di pekuburan suku isteri.
Jikalau pembayaran uang mahar pada perkawinan “sul dara” dipersahajakan, maka perkawinan “sul dara” inilah yang sangat ideal dan sangat dianjurkan.
Mempersahajakan pembayaran uang mahar dapat dilakukan umpamanya, pihak suku suami dan isteri bersepakat membuat rumah atau membeli alat rumah tangga yang baik bagi keduanya, dan rumah dan alat-alat inilah dianggap sebagai uang mahar tanggungan pihak suami dan isteri. Lalu keduanya dapat membentuk suku sendiri dan tidak taat lagi atau terlepas dari suku asal isteri dan suami. Yang menjadi suku malu, adalah suku asal suami dan asal isteri, yang masing-masing menjadi malu pertama (“mone gomo”) dan malu kedua (“pana gomo”) bagi suku keduanya yang baru dibentuk. Untuk bertindak ke arah modernisasi masyarakat dalam rangka membasmi pemborosan dana, waktu dan kecapaian, cara ini benar-benar dapat dianjurkan.
10.2. Kelompok Kekerabatan
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah suku, atau suku rumah, atau klen, dan bukan rumah tangga, yang hanya menjadi anggota suku, yang harus taat kepada ketua sukunya. Di samping itu dengan cara perkawinan “ton terel” yang kini sudah menjadi tradisi, maka anggota suatu suku akan makin membengkak jumlahnya, sehingga tidak mungkin dibatasi pemborosan harta , waktu dan kecapaian. Seorang bapa keluarga tidak dapat membantah keputusan ketua suku, setiap kali dibebankan dengan uang, hewan pada setiap peristiwa kematian, uang mahar, uang delik, uang studi salah satu anggota kerabat isteri dan lain-lain. Demikian, bapa keluarga tidak mungkin menentukan sendiri kebijaksanaan pengendalian rumah tangganya sendiri.
Seperti diuraikan di atas, keanggotaan suku diperoleh dari :
1. Kepindahan suku, akibat perkawinan “sul dara”
2. Kelahiran menurut garis ayah atau ibu, sesuai bentuk perkawinan.
3. Kepindahan suku, untuk dijadikan anggota suatu suku yang sudah putus keturunan.
4. Kepindahan suku, dengan cara memelihara anak dari adik perempuan, “dapuq wese su ul” = membagi pangkuan dan membebaskan dari air susu ibu.
5. Kepindahan suku, karena keinginan ayah, agar seorang anak jadi anggota sukunya (“ama gita ruhuat”)
6. Pemberian keanggotaan suku, kepada para tawanan dan tebusan atau hamba yang dibeli.
Ketua suku berkewajiban:
1. Menjaga keseimbangan antara anggota sukunya ke dalam dan keluar suku.
2. Menjaga keseimbangan para anggota sukunya dengan alam gaib.
3. Memimpin dan menyelenggarakan upacara adat yang harus dilakukan sekitar suku
4. Menjaga dan mengawasi segala milik suku, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Seluruh suku di bawa pimpinan ketua suku, sama-sama menanggung beban suku dan sama-sama bertanggungjawab atas penyelewengan seseorang anggota suku. Lain-lain hal mengenai suku atau “deu” telah disinggung pada nomor-nomor yang lalu.
11. Sistem Religi, Upacara dan kelompok upacara.
Pada masa sekarang dapat dikatakan , 100 % suku bangsa Bunaq di Lamaknen telah memeluk agama Katolik Roma. Namun demikian , para pemeluk agama katolik itu, pada hakekatnya belum melepaskan konsep-konsep dan adat istiadat keagamaan yang berasal dari religi asli tersebut.
Unsur penting dalam religi asli itu adalah:
Adanya kepercayaan bahwa ada satu keadaan yang Tertinggi, disebut “Hot” atau “Hot Esen”. Dalam syair mitologis Hot Esen disebut : “ Masaq Giral Kereq, Boal Gepal Uen” = Yang Agung bermata tunggal dan bertelinga tunggal = Yang Agung Maha Sempurna. Pada pembukaan dan penutupan setiap doa, pada segala macam upacara, selalu disebut terlebih dahulu Hot Esen dengan perkataan berikut: “ Hot, Ligi O Le Esen, Tiu O Mugi As, Bekaq O Nolaq Esen” = Demi Hot Yang Maha Tahu, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung.
Kemudian baru disapa, arwah leluhurnya, yang sudah berada di samping Hot, untuk menyampaikan segala macam permohonan kepada Hot Esen.
Kepercayaan yang lain ialah menurut syair itu bahwa:
Hot Esen berdiam di Esen Hitu, As Hitu = Pada Tujuh Ketinggian. Kegelapan meliputi seluruh alam raya. Untuk menghalau kegelapan, Hot ciptakan bintang, bulan dan Matahari. Ternyata di bawa Esen Hitu, As Hitu, hanya ada air tidak terbatas. Hot menjatuhkan satu gumpalan tanah, ternyata hanya menjadi air. Gumpalan 3 buah dijatuhkan lagi, hanya kelihatan, binatang bergerak dalam air. 5 Gumpalan tanah dijatuhkan, terpisahlah daratan dengan air, tetapi tanah rata saja, tidak bergunung dan berbukit, dan hanya penuh ditumbuhi rumput “tese” dan “sibil”. Dijatuhkan lagi 7 gumpalan, bermunculanlah pegunungan dan pebukitan, tetapi masih bergoyangan di atas air. Dengan menurunkan pohon “ge”, mantaplah tanah daratan ciptaan itu. Untuk menggilas rumput “tese” dan “sibil” diturunkan kambing, babi, kerbau maka tergilaslah rerumputan itu. Diturunkan lagi kera untuk menghuni hutan, serta burung gagak dan burung “koak” untuk memberi tanda tibanya siang dan malam. Bumi disebut ligi hitu nual hitu yang berarti tujuh yang di bawa. Kemudian ternyata bintang, bulan dan matahari melahirkan manusia. Inilah sebabnya manusia disebut “Hot Gol”-“Hul Gol” yang berarti anak matahari dan bulan. Di samping itu bintang-bintang melahirkan pula roh-roh jahat pembawa malapetaka bagi manusia dan roh baik membawa kemakmuran, keberanian, kepandaian bagi manusia. Manusia ini berdiam di Esen Hitu, As Hitu akan tetapi sejak kecil nakal, suka berkelahi, sesudah dewasa, juga mulai mencuri, merusakkan barang milik orang, lalu Hot perintahkan mereka itu, untuk mendiami bumi. Lalu turunlah mereka itu dari Esen Hitu, As Hitu dan mendiami bumi. Dari mereka inilah, antara lain, 10 kelompok akhirnya tiba dan mendiami Lamaknen, seperti telah disinggung terlebih dahulu, yang mendiami seluruh Timor dan juga sampai ke Pulau Sabu dan Rote.
Pada setiap upacara pada setiap kesempatan, terlebih dahulu, diatur “ taka gol” yang diisi sirih dan pinang. Lalu “lal gomo” mengucapkan doa, dengan permohonan yang diperlukan dan dibarengi dengan permintaan, agar diberikan tanda dalam usus babi atau ayam, yang menyatakan pendirian para leluhur, apakah permohonannya diterima atau ditolak. Sesudah itu hewan (ayam atau babi) disembelih, dan diteliti ususnya. Sesudah makanan masak, ditaruh juga dalam “taka gol”, sambil mengundang leluhur untuk turut pula bersantap. Sesudah dipersilahkan , "taka gol" dibagi-bagi kepada hadirin, sebagai makanan sisa leluhur, untuk dimakan bersama oleh hadirin. Sisa makanan orang-orang tua pun tidak boleh diberikan kepada binatang atau dibuang akan tetapi harus dimakan oleh yang lebih muda. Jika ternyata ada tanda yang tidak baik dalam usus babi atau ayam, maka dicari tahu lagi dengan jalan “hik sagal”, dan dibuat lagi upacara semacam ini, sampai ada tanda yang baik, dalam usus babi atau ayam.
Demikianlah suku bangsa Bunaq, melakukan upacara berbagai ragam pada:
Kesempatan kelahiran, perkawinan (sul dara), sakit dan kematian. Pada kematian, dibuatkan peti, berbentuk kapal/perahu, agar yang mati, dapat berlayar kembali ke tanah leluhur, sampai tiba kembali di Esen Hitu, As Hitu. Pesta kenduri dimaksudkan untuk membekali yang mati, agar jangan nanti berkekurangan di Esen Hitu, As Hitu.
Kesempatan membangun rumah suku baru atau rumah adat baru. Hal ini untuk memulihkan kembali keseimbangan antara para anggota suku yang membuat rumah dengan makhluk kayu, rumputan dan lain-lain ramuan yang dipakai untuk membangun rumah, berdasarkan pemikiran, bahwa kayu dan lain-lain itu pun adalah sesama makhluk yang sama dan sederajat dengan manusia, jadi harus diadakan perdamaian kembali dengan mereka.
Upacara mengenai bahan makanan, kayu cendana dan lilin (lebah). Hal ini berdasarkan syair mitologis, bahwa bahan makanan, kayu cendana dan lebah adalah kasil penjelmaan seorang putera dan puteri bernama Dasi Bau Maliq dan Dasi Bui Maliq. Dasi Bui Maliq menjadi lebah dan Dasi Bau Maliq menjelma menjadi bahan makanan dan kayu cendana.
Darah, daging, gemuk menjelma menjadi padi-padian. Giginya menjadi jagung, lidahnya menjadi tebu, biji matanya menjadi kacang-kacangan, perutnya menjadi labuh, pantatnya menjadi ubi “me” = “maek” – Tetum, jari-jarinya menjadi ubi-ubian, tulangnya menjadi kayu cendana.
Berdasarkan kepercayaan itu, maka ada berbagai macam upacara yang dilakukan, yang bersangkutan dengan bahan makanan, dengan tujuan untuk: Elakkan gangguan perusak tanaman bahan makanan, Hindarkan bencana alam, pemusnah bahan makanan, Melancarkan curah hujan dan elakkan kekeringan, Menambah kesuburan tanah, Memperlipatgandakan hasil kebun, Mengucapkan syukur atas semua kebaikan.
Upacara ini dapat disebut sebagai berikut:
September/Oktober : Tuat Paul atau Bei Dubul Kouq atau An Gene oleh Makir dan Lamaksenulu. Tubi lai oleh Lamaknen, dilakukan setiap wilayah melalui ketentuan Por Gomo Masing-masing. Nopember: Hotel Gawa gemen oleh Kewar. Desember: Koul Uku, salan hatama oleh Makir dan Lamaksenulu. Januari: Il suq oleh Makir dan Lamaksenulu. Bu Nolaq, Naka Olu oleh Makir dan Lamaksenulu. Paol tuu oleh Kewar. Maret/April : Paol Sau oleh Kewar dan Lamaknen, sesuai keadaan dalam tiap wilayah. Juni: Tir dujuk oleh Lamaknen. Juli/Agustus: Jobel a atau Natal rasa atau porat hatama oleh Makir dan Lamaksenulu. Hohon a oleh Lamaknen.
Penjelasan:
Tuat paul (belah ketupat) bei dubul kouq (nenek gundulkan rambut) dan an gene berarti berada di rerumputan yaitu berburu, menghalaukan binatang liar perusak tanaman. 3-7 hari. Tubi lai berarti ubi rambat dikeringkan, dijadikan tepung, dibuatkan kue. Hal ini untuk menjaga keseimbangan dengan hewan liar perusak. Lamanya upacara 3-7 hari. Hotel gawa gemen = menegakkan kembali kayu, yang ditebang sewaktu membuka kebun. Memulihkan kembali keseimbangan dengan kayu rumputan yang ditebas dan untuk mohon curah hujan. Koul uku = menutup tempurung kelapa, salan hatama = memasuki musim hujan. Tujuannya untuk memperlancar curah hujan. Il suq = menggali air, juga untuk melancarkan curah hujan. Bu Nolaq, Naka Olu = membersihkan lumpur (dari kaki kerbau) sesudah dipakai merencah sawah. Pao tuu = menumbuk kacang, semacam kacang disebut “ pao cinoq “ atau “pao busa”. Sesudah upacara ini dilaksanakan, maka para ketua suku Loegatal dan lain-lain suku yang berhubungan, baru boleh memakan sayur labuh di kebun sendiri. Paol sau = memakan hasil jagung baru. Sebelum upacara ini dilakukan tidak diperbolehkan memakan jagung muda dan merusakkan batang pohon jagung. Hal ini untuk menghargai “HOT”. Jikalau dipetik jagung muda, maka tangkainya tidak boleh dirusakan, sedang jagung muda yang dibawa, harus dilindungi dengan daun kayu, juga sebagai penghargaan kepada “HOT”, karena sebelum dilakukan upacara ini, tidak boleh makan jagung muda. Pelaksanaan upacara ini, didahului dengan pengambilan kulit pohon “ge”, yang dengannya baru dapat dilakukan upacara, agar bahan makanan ini jangan sampai punah, dan tetap tinggal mantap, sebagai Hot memantapkan dunia dengan pohon “ge”. Tir dujuk = makanan hasil kacang “tir “ yang baru. Dilakukan tiap-tiap rumah tangga. Jobel a = makanan yang muda, natal rasa = membersihkan natal (tempat tumbuh pohon tuak), porat hatama = memasuki masa musim panas. Sebelum upacara ini, tidak boleh makan halia, tebu, ubi-ubian dan kacang-kacangan. Hohon a = memakan hasil padi baru.
Di samping upacara-upacara ini, ada lagi berbagai upacara pengambilan lilin lebah/ madu, penanaman padi ladang , pemungutan hasil padi ladang, pada waktu panen jagung, yang dilakukan oleh setiap rumah tangga.
Upacara –upacara ini yang dilaksanakan setiap tahun, dapat meyakinkan kita tentang keadaan hubungan, keamanan zaman dahulu, sehingga orang takut akan ketiadaan bahan makanan, lalu punahlah manusia.
12. Sistem Pengetahuan yang Dikembangkan
Yang dikembangkan dan terus dilatih, sekalipun tidak merata, ialah pengetahuan tentang adat istiadat yang bersangkutan dengan berbagai upacara, silsilah leluhur, yaitu kelompok yang turun dari Esen Hitu, As Hitu dan mendiami desa atau dusunnya masing-masing.
13. Jenis Kesenian
i. Seni tari = Teberai dan Biru
ii. Seni ukir= Beseq lias = mengukir papan dinding / pintu rumah, hau lias = mengukir tempat kapur sirih.
iii. Seni pahat = aitos goon = membentuk arca.
iv. Seni suara = tei, ligi, olek, holon, kawen, magaliaq, bai toan.
Dari kesemuanya, seni ukir dan seni pahat yang mulai ditinggalkan.
14. Unsur Kebudayaan yang Menonjol
Lapisan sosial baru, seperti yang telah diuraikan dalam stratifikasi sosial, lebih menyukai adopsi kebudayaan Barat umpamanya dansa. Pada hakekatnya, adat kebiasaan suku Bunaq, tidak membenarkan seorang pemuda memegang / memeluk anak gadis orang, yang bukan isterinya, hal mana dahulu kala, dikenakan pembayaran kompensasi disebut “giwi hini por” = memperkeramatkan kembali tubuhnya.
15. Arti dan Asal Mula Nama Tempat
Kewar, yang sebenarnya adalah Gewal atau Geal atau Gial = membawa serta. Gomoq baq mal gial = kawanan gadis untuk dibawa serta = kawanan gadis untuk dibawa serta untuk dinikahi. Pada hakekatnya Kewar, selain pusat kebudayaan, suku-suku yang ada di Kewar adalah suku “malu” (pemberi perempuan) pada kebanyakan suku di Lamaknen.
Bandingkan: (dalam bahasa Tetum). Natarmeli bauho = natar meli ba ho = arti dan maksudnya sama seperti di atas. Atambua (Tetum) sebenarnya : Ata == hamba, buan = suangi. Atambua Maudeku = tempat memukul mati hamba yang suangi. Besikama (Tetum) sebenarnya : Besik Ama = Ayah si Besik (nama orang). Halilulik (Tetum) = beringin keramat.
16. Nama Panggilan Anak Secara Adat
16.1. Panggilan Anak Laki-laki
Apa’ untuk memanggil anak sulung. Pou untuk anak kedua. Uju untuk anak ketiga. Uka untuk anak bungsu. Kalau anak laki-laki berjumlah lebih dari empat maka anak kelima disebut apa’. Anak keenam disebut pou. Anak ketujuh disebut uju. Anak ke delapan disebut uka dan seterusnya.
16.2. Panggilan anak Perempuan
Anak sulung dipanggil Aiba’. Anak kedua dipanggil pou. Anak ketiga dipanggil uju. Anak keempat dipanggil uka. Anak kelima dipanggil aiba’ dan sterusnya sama dengan panggilan anak laki-laki.
Dari panggilan anak laki-laki dan perempuan di atas dapat disimpulkan bahwa panggilan anak sulung pria dan perempuan berbeda sedangkan panggilan anak kedua dan seterusnya sama.
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
Weluli, 22 Januari 1987
Juru Pemelihara Megalitik/Rumah Adat Kewar
Laurens Bere
Mengetahui Kepala Adat Lamaknen
A.A.Bere Tallo
**********************************************************************************************************
Daftar Pustaka
A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978
Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
Langganan:
Postingan (Atom)