Kamis, November 15, 2012

Kotbah Misa Harian, Jumat 16 November 2012



 PANTASKAN KONDISI UNTUK TUHAN

2Yoh 4-9; Luk 17:26-37
Kotbah Misa Harian, Jumat, 16 November 2012
Di Soverdi Surabaya


P. Benediktus Bere Mali, SVD

Kondisionalisme memanggungkan pembangunan kondisi sebagai yang paling penting dan paling utama bagi perkembangan kemajuan kualitas sumber daya manusia.


Misalnya penyediaan perpustakaan yang terlengkap baik manual maupun online bagi pelajar dan mahasiswa dengan biaya yang murah agar setiap pelajar dan mahasiswa mengakses pengetahuan sebanyak-banyaknya untuk menggandakan ilmu pengetahuannya. Memberikan kedisplinan terhadap aturan yang ketat bagi pelajar dan mahasiswa dalam belajar, bekerja, olahraga. Menyediakan sarana, dan parasarana yang lengkap bagi proses belajar mengajar di sekolah atau perguruan tinggi. Singkat kata, menciptakan kondisi sedemikian rupa agar kualitas sumber daya manusia tercapai.


Peribahasa yang merangkumkan sebuah kondisi tercipta untuk sesuatu bisa terjadi, adalah sebagaimana yang disabdakan Tuhan dalam Injil hari ini adalah : " Di mana ada mayat, di situ ada burung Nazar." Ini berarti bahwa sesuatu akan terjadi apabila kondisi-kondisi yang diperlukan untuk itu dipenuhi.


Hal ini bagi kita berarti bahwa Allah akan mengutus Yesus lagi pada waktu yang dianggapNya baik. Kita tidak dapat mengetahui waktu yang ditentukan itu, kita tidak berani berspekulasi untuk itu.

Kita harus hidup sedemikian rupa, dengan penuh kewaspadaan, sehingga kapanpun Ia datang, entahkah pada waktu pagi, tengah hari atau malam, Ia akan menemukan kita siap menyambut kedatanganNya.


Artinya bahwa di sini kita tidak mempersoalkan waktu kapan Tuhan datang, kapan kematian datang, kapan akhir zaman datang atau tiba. Paling penting adalah kita mengutamakan menyiapkan kondisi yang selalu layak setiap saat dalam setiap tempat bagi kedatangan Tuhan, bagi kepergian kita kepada Tuhan. Kita selalu berjalan di jalan Tuhan di setiap saat dalam setiap waktu. Kondisi yang selalu sesuai kehendak Allah itulah yang harus kita utamakan dalam setiap detik dalam setiap tempat, karena itulah yang menyelamatkan kita.

SUKU BUNA' DI TIMOR TENGAH



SASTERA SUKU BUNA’
DI TIMOR TENGAH

P. Benediktus Bere Mali, SVD


Di Soverdi ST. ARNOLDUS SURABAYA, Minggu Pesta Keluarga Kudus dari Nazareth 28 Desember 2008 Pukul 17.30 – 20.00 WIB, P. Benediktus Bere Mali, SVD merekam Penjelasan Isi Ringkas Buku BEI GUA yang ditulis oleh Louis Berthe. Hasil ringkasan isi buku itu disampaikan oleh P. PIENIAZEK Josef SVD secara lisan, setelah beliau membaca Buku BEI GUA berbahasa Prancis selama dua Minggu. Hasil ringkasan itu kemudian direkam dan ditulis kemudian diedit oleh P. PIENIAZEK Josef SVD, lalu menghasilkan Ringkasan Final sebagai berikut.

Kami melakukan hal ini karena kami sendiri belum dapat berbahasa Perancis. Usah kecil ini merupakan sebuah perbuatan mulia yaitu Menata Mutiara Arema yang tercecer merupakan tugas dan tanggungjawab setiap putera dan puteri "AREMA" arek-arek Marae", anak-anak Suku Buna’. Isi Buku ini sebagai titik berangkat bagi setiap "AREMA" menata Kekayaan Budaya yang tercecer.

Louis Berthe mengadakan penelitian dua tahap.Tahap pertama 1957 –1959, kurang lebih 14 bulan. Tahap kedua 1966. Buku BEI GUA ini diterbitkan pada 1972. Claudine Friedberg, Isteri Louis Berthe yang menerbitkannya. Menurut catatan kritis Claudine Friedberg, isteri Louis Berthe ini, teks yang dikumpulkan dalam BUKU BEI GUA itu tidak lengkap. Nyanyian-nyanyian tentang asal-usul suku Buna’ itu dilagukan atau didaraskan oleh penyanyi khusus dalam Suku Buna’ yang dilaksanakan pada pesta-pesta besar yaitu penguburan atau kematian dan pada pesta panen.

Ada banyak cerita mitos dalam Buku BEI GUA ini yang tidak dikenal atau belum dimengerti kecuali oleh sumber asli yaitu orang-orang tua yang saat ini masih mengenal baik ceritera-ceritera mitos asal-asul nenek moyang. Sementara itu Claudine Friedberg mengakui bahwa teks yang dikumpulkan dalam buku BEI GUA ini belum lengkap.

Judul Perjalanan mengandung dua arti pertama, perjalanan satu angkatan ke angkatan yang berikut atau lain. Kedua, perjalanan nenek moyang dari satu tempat ke tempat yang lain. Ada tiga cerita tentang sejarah asal-usul nenek moyang atau suku-suku atau keluarga-keluarga dalam suku Buna’ yaitu pertama, Oburu. Kedua, Sibiri. Ketiga, Luta. Selain itu ada empat tempat penting yang menjadi sorotan dalam cerita atau sejarah nenek moyang itu adalah pertama, Henes. Kedua Nualain. Ketiga, Gewal. Keempat, Lakmaras.

Nyanyian atau puisi Buna’ dalam buku BEI GUA membenarkan situasi sosial yang ada sekarang, situasi sosial politik yang ada sekarang. Bukan untuk menjelaskan asal-usul suku. Ada tiga kelompok atau kelas atau semacam kasta dalam suku Buna, yaitu kelompok bangsawan, kelompok biasa dan kelompok budak. Kelompok Oburu dipandang sebagai yang turun dari Surga atau dari atas.

Nyanyian ini dinyanyikan pada kesempatan tertentu dan oleh orang tertentu yang ahli. Khusus tentang penciptaan duniawi sebagai sesuatu yang tidak dinyanyikan karena rahasia. Itu hanya diturunkan kepada generasi berikut pada saat dia hendak meninggal. Penurunan itu hanya kepada orang tertentu saja.

Dalam Buku BEI GUA ini, melukiskan kekuasaan atau otoritas atau hak-hak dan sebagainya tidak bergantung pada material tanah atau luasnya wilayah geografis. Tetapi otoritas dan kewibawaan itu berdasarkan sumber berupa tanda otoritas yaitu LAMBANG atau SIMBOL khusus yaitu bisa Patung atau gambar atau emas dan senjata atau KALUK atau kekuatan magis yang berharga dalam dirinya sendiri. Lambang itu tersembunyi dan dapat dibawa ke tempat lain. Lambang itu memberi kekuatan dan kewibawaan bagi seseorang yang berkuasa atau memimpin suku Bunak. Lambang atau simbol itu menjadi kekuatan magis yang memberi kekuasaan dan kewibaan seorang penguasa dalam suku Buna’.


Perjalanan nenek moyang itu terungkap dalam judul buku karena diceriterakan dari satu tempat yang khusus ke tempat yang lain yang berbeda-beda. Dengan kata lain Buku Bei Gua ini berisi cerita menyangkut orang-orang yang hidupnya nomaden. Ceritera itu ada yang terputus-putus dan tidak logis atau ada lobangnya, ada berbagai variasi cerita tentang perjalanan nenek moyang dalam menjelaskan tentang satu pokok peristiwa. Tergantung orang mau menekankan atau membatasi analisa yang terbatas pada satu variasi dari sudut pandang disiplin ilmu tertentu untuk mengenal manusia suku Bunak yang multidimensi.

Dalam buku BEI GUA, melukiskan tentang tiga macam manusia yaitu pertama, berasal dari surga atau dari atas. Manusia berasal dari atas adalah Luta. Kedua, berasal dari bawah dari dalam tanah yang dikenal berasal dari tanaman yang tumbuh di atas tanah yaitu secara khusus Jeruk. Ketiga, manusia yang ada sekarang yang konkret.


Mengenai penciptaan manusia; ada tiga tingkatan yaitu OBURU, LUTA, SIBIRI.

Cerita mengenai mengambil wanita dari suku yang lain. Pengambilan wanita dari suku lain menjadi anggota suku yang baru terfokus pada persaudaraan Malu dengan Aiba’a atau disingkat hubungan relasi adat Malu-Ai. Relasi adat malu-ai ini terus berkembang dalam kehidupan adat suku Bunak dewasa ini.
Wujud Tertinggi : SATU MATA, SATU TANGAN, SATU TELINGA, SATU KAKI, TIDAK MENGANDUNG, TIDAK MELAHIRKAN. Wujud Tertinggi dari langit ke tujuh, dari satu rumah adat, dari satu mesbah yang pertama dan utama. SATU artinya bukan bilangan tetapi keutuhan atau kesempurnaan.

Dari yang tertinggi ini turunlah ANA LIURAI dengan pasangan hidupnya yang melahirkan atau menciptakan Bulan dan Matahari. Kelahiran generasi selanjutnya lihat nama-nama dalam teks dalam Buku BEI GUA, bagian Cosmogoni.

OBURU:

Isteri mereka atau wanita dari babi hutan dan Jeruk. Isteri itu tidak dibeli tetapi hasil memburu babi hutan yang berubah menjadi manusia – isteri. Kemudian mereka melihat atau menemukan Jeruk dan dari jeruk ini berubah menjadi manusia. Isteri dari Jeruk yang berubah menjadi manusia.

SIBIRI :

Wanita yang pertama dari IKAN yang berubah menjadi manusia. Pengalaman ini waktu menangkap ikan.

LUTA :

Wanita itu dari hasil inces antara saudara dengan saudari, dan antara anak dengan ibunya.

Jaringan – hubungan antara masyarakat terjadi perkawinan dalam suku dan melalui suku luar melalui persekutuan, perjanjian dan sumpah dan sebagainya.

Ada dua (2) jalan yaitu Pertama, Dingin yaitu melalui persetujuan dan menjadi hubungan keluarga. Kedua, Melalui jalan panas yaitu melalui jalan perang antara satu suku dengan suku yang lainnya.

Ada dua (2) Jalan nenek moyang yaitu pertama, penduduk asli dan kedua, pendatang – tapi tidak diketahui dari mana asalnya.

Ketua penyanyi itu mempunyai kesulitan tersendiri. Setiap ketua penyanyi dari tempat yang satu berbeda versinya dari ketua penyanyi dari tempat yang berbeda.

BUNA’ :

Pertama, Secara struktur dipandang sebagai satu negara. Kedua, secara pembentukan ritus-ritus yang paling kaya memiliki obyek organisasi sosial yang melarang inces. Ketiga, hubungan perkawinan dalam keluarga-keluarga dalam relasi malu-ai.


Pada suku Buna’ itu hubungan malu-ai itu dibentuk secara kontinyu dalam mengarungi waktu.

Beri tanda – sumber lambang – lambang kekuasaan itu dari dunia di atas.

Cerita tentang MAU IPI GULOQ:

Buruh babi hutan. Babi berubah menjadi dua wanita. Satu cantik sekali. Dua saudara rebut yang paling cantik. Mereka ribut dan akhirnya mereka saling membunuh. Lalu wanita yang cantik itu datang dan membangkitkan MAU IPI GULOQ itu, dengan menggunakan air khusus. Akhirnya Mau IPI GULOQ mendapat dua isteri itu dan menjadi Raja. Dua isteri itu dari babi hutan yang diburu yang telah berubah menjadi manusia, dan wanita itu berasal dari buah jeruk yang ditemukan di hutan dalam perburuan babi hutan. Jeruk itu berubah menjadi manusia, wanita yang sangat cantik sekali. Asa Paran merasa iri terhadap Mau IPI GULOQ. Maka Asa Paran menyuruh Mau Ipi GULOQ naik pohon lantas Asa Paran menumbangkan pohon itu dan MAU IPI GULOQ mati. Isterinya tidak tahu. Lantas dua anjing diutus pergi tempat kematian MAU IPI GULOQ karena kejahatan Asa Paran. Menemukan mayat MAU IPI GULOQ sudah berulat, tetapi dia dibangkitkan kembali oleh isterinya. Kemudian dia bangun dan normal sebagai manusia. Anjing itu menjadi dua wanita yang cantik. Kedua wanita dari kedua anjing yang berubah menjadi manusia itu menggunakan minyak itu membuat badan itu menjadi utuh kembali – sehat kembali. Asa Paran heran sekali ketika melihat MAU IPI GULOQ hidup dan sehat.


Kerangka ringkas Buku BEI GUA:
I. Penciptaan Manusia
II. Keluarga Oburu – Marobo __________ di sini ada cerita tentang MAU IPI GULOQ memiliki 2 isteri yang awalnya dari babi hutan dan jeruk yang menjadi manusia – wanita yang menjadi isteri MAU IPI GULOQ. Kemudian dua isteri berikut dari dua ekor anjing yang menjadi manusia –wanita yang membangkitkan Mau IPI GULOQ dan menjadi isteri MAU IPI GULOQ yang menjadi Raja.

III. LUTA – DATO ZOPATA
IV. SIBIRI – KAILAUQ
V. A TURUL TUK – SIOL WA ______ Pertemuan 3 suku yaitu Oburu, Sibiri dan Luta
VI. Tinggal Tetap dan Misi Dewa Kera yang berfungsi sebagai perantara.
VII. Sumpah Ikatan antara HULO – LEP ____ Dua bambu yang magis dan keluarga – keluarga atau suku –suku.
VIII. Rumah- rumah atau keluarga-keluarga yang sekarang tinggal di HENES PAQEL – HOL SOSEK _________ Ada dua bagian penting dalam hal ini yaitu terdiri dari :Pertama, Pendasaran keluarga-keluarga di HENES PAQEL – HOL SESUK. Kedua, Asal-usul dari tiga (3) rumah atau keluarga bangsawan yaitu : Pertama , IU GEWEN – HOL LAPIT; kedua, LIANAIN BEIN MONE; HAU POR.



Menikmati Cara Berpikir Suku Bunaq Aitoun di Timor Tengah

  
 

*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

Aitoun adalah sebuah desa yang terdapat di Kecamatan Raihat, kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.  Situasi Aitoun Tas adalah tempat tinggal pertama leluhur pada zaman dulu kala. Pembaca tentu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi letak situasi terkini Aitoun.  Inilah situasi Aitoun terkini dalam menjawabi rasa ingin tahu pembaca. 

Aitoun mempunyai artinya yang sangat unik. Kata Aitoun atau nama Aitoun bukan berasal dari kata bahasa Bunaq, tetapi dari kata bahasa Tetun,  terdiri dari kata Ai dan Toun. Ai adalah kata bahasa Tetun artinya Kayu. Ai dalam bahasa Bunaq berarti  hotel artinya kayu, tree, artinya pohon.  Toun berarti kuat, kokoh, tidak tergoyahkan oleh apapun dan oleh siapapun.  

Dengan demikian Aitoun adalah pohon yang berdiri kokoh menghalangi berbagai badai dan tantangan dan hambatan. Aitoun adalah pohon kekuatan, pohon kebaikan, pohon kebenaran, pohon keadilan, pohon kejujuran, pohon persahabatan, pohon persaudaraan, pohon keharmonisan, pohon kemanusian, pohon keilahian yang tetap berdiri kokoh di tengah badai dan gelombang apapun yang menyerang dan mengancam serta menghancurkannya. 

Muncul pertanyaan, mengapa suku Bunaq Aitoun  namanya sebagai Aitoun tetapi namanya itu bukan dalam bahasa Bunaq tetapi dalam bahasa Tetun? Fenomena ini menyimpan berbagai nomena dibaliknya yang masih memberi tanda tanya kritis setiap pembaca untuk mencari dan menemukan jawabannya.

Benar dan pasti leluhur penemu Aitoun adalah berbahasa Tetun. Bisa jadi juga Suku Bunaq berasal dari Suku Tetun. Boleh jadi juga bahwa Suku Bunaq mendiami Aitoun yang sudah ditemukan Suku Tetun. Bisa juga ada gandengan dengan peperangan antara daerah pada zaman dulu dari perspektif bahasa Tetun yang tempel dalam nama Aitoun. 

Aitoun adalah nama Tetun sebuah fenomena yang mengungkap kebenaran nomena dalam nama Aitoun itu sendiri. Fenomena Aitoun kini mengungkap kemurnian nomena Aitoun itu sendiri secara historis, filosofis, psikologis, sosiologis, antroplogis, dan teologis untuk terus didalami. 

Fenomena Aitoun juga bukan skedar kata. Aitoun adalah nama kampung leluhur. Letaknya  di atas bukit yang tinggi. Bukit itu adalah bernama Aitoun. Fenomena dari lokasi tempat tinggal leluhur di bukit Aitoun menguak konsep Suku Bunaq Aitoun tentang Bukit atau gunung yang tinggi. Aitoun jauh dari Laut. Tetapi Aitoun di pegunungan, di Bukit tinggi. Fenomena bukit atau gunung tinggi mengungkap konsep suku Bunaq yang unik pula.   Gunung atau bukit secara geografis dekat dengan langit. Langit adalah tempat tinggal Sang Roh Supranatural,  tempat tinggal roh-roh alam, dan 
tempat tinggal roh leluhur. Orang Aitoun tinggal di bukit menyatakan bahwa roh pribadi dan roh sesama tinggal dekat atau bersama roh supranatural, roh alam tempat tinggal membentuk cara berpikir suku Bunaq Aitoun.

Fenomena-nomena Aitoun sebagai tempat tinggal demikian memenuhi tiga tahap perkembangan cara berpikir dari Auguste Comte yaitu teologis, metafisik dan positivis tetapi sekaligus ada perbedaan khas cara berpikir Comte dengan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun. 

Comte membuat proses berpikir hirarkis, pertama, paling rendah adalah cara berpikir teologis yaitu dari animisme, politeisme, dan kemudian monoteisme. Kedua, yang menengah, cara berpikir metafisik. Ketiga, paling tinggi, positivisme, cara berpikir berbasis data ilmiah yang paling baik dan benar. Comte memisahkan tiga cara berpikir secara terpisah hirarkis dan tidak terkoneksi satu sama lain. Bagan berikut membedakan cara pikir Barat dan Timur. 







Dalam konteks Aitoun, ketiga tahap cara berpikir manusia itu merupakan satu kesatuan yang sama-sama penting dalam bentuk pola yang melingkar bukan hirarkis. Dampaknya terasa pada kehidupan filosofis, sosiologis, antropologis dan psikologis, teologis Suku Bunaq Aitoun. Suku Bunaq Aitoun menganut cara berpikir terintegrasi teologis, metafisik, fisik. ketiganya setara, sederajat, sama-sama penting.

Bagan cara berpikir Aitoun mengandung cara berpikir Auguste Comte, tetapi bedanya terletak pada Auguste Comte memisahkan antara tiga tahap pemikiran itu dengan sistem berpikir hirarkis dan yang tertinggi adalah tahap cara berpikir yang berbasis data empiris. Sedangkan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun adalah ketiga cara berpikir itu pada posisinya setara berbentuk lingkaran sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain. 

Bagan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun meliputi tiga macam (A,B,C)  seperti di bawah ini.  


A

Framework ini  sangat cocok dengan teologi Katolik.
Ada titik temu dengan cara berpikir Suku bunaq Aitoun. 
Dalam konsep Suku Bunaq cara berpikir ini terlalu menekankan roh positif. 

(By. P.Benediktus Bere Mali, SVD)

B
Framework ini  sangat tidak cocok dengan teologi Katolik. 
Tetapi tetap ada misteri yang tidak tuntas diselesaikan atau dipecahkan. 
Dari mana datangnya kejahatan?
Dalam konsep atau cara berpikir Suku bunaq Aitoun, Roh-roh itu marah karena lapar. Maka harus diberi makan agar kenyang dan  kembali ke kediamannya. Caranya lewat ritus adat memberi makan kepada mereka. Ritus adat "bula ho'on" misalnya. Roh yang marah itu menyakiti manusia. Ritus adat yang kaya akan gerak tubuh dan isyarat memberi makan kepada roh marah itu di kenal "heruk lelek"atau "heruk wa" dari orang yang disakiti roh marah-lapar itu.
(By. P.Benediktus Bere Mali, SVD)




C


Framework ini  sangat tidak cocok dengan Teologi Katolik. 
Tetapi sangat cocok bagi cara berpikir Suku Bunaq Aitoun. 
Terungkap dalam fenomena setiap ritus adat Suku Bunaq khususnya dalam contoh bagan B di atas. 
Dalam konsep atau cara berpikir Suku bunaq Aitoun, Roh-roh itu marah karena lapar dan harus diberi makan agar ia tidak mengganggu manusia lewat menyakiti atau mendatangkan bencana lainnya kepada manusia Suku Bunaq Aitoun.
Baik Roh Positif maupun Roh Negatif diberi porsi yang sama dalam ritus adat yang dibuat suku Bunaq Aitoun.  Ritus adat "bula ho'on" misalnya. Roh yang marah itu menyakiti manusia. Ritus adat ini sangat kaya akan gerak tubuh dan isyarat dalam memberi makan kepada roh marah itu di kenal "heruk lelek"atau "heruk wa" dari orang yang disakiti roh marah-lapar itu. 
Ritus adat beri makan kepada Roh Lapar dan Roh Positif itu penting agar keduanya boleh hidup di jalurnya masing-masing. Tidak saling mengganggu satu sama lain.
implikasi konsep harmoni ini luarbiasa pada kamarahan publik pada penguasa yang mengabaikan orang miskin dan lapar dalam kehidupan sosial sebuah negara, misalnya. 
(By. P.Benediktus Bere Mali, SVD)





Video berikut tentang ritus adat "bula hoo'on" 
yang menampilkan tiga bagan pemikiran di atas. Lokasi ritus adat ini 
di 
Puncak Bukit Aitoun Tas



Video ini dari BapakMarianus Luan
Saksikan langsung Ritus Adat Bula Hoon
di Bukit Aitoun Tas.

Selain Ritus "Bula Ho'on" seperti dalam video di atas yang menampilkan tiga cara berpikir suku Bunaq Aitoun, juga pembaca dapat merasakan tiga cara berpikir itu dalam ritual adat di atas UMON yaitu mezbah di setiap kebun atau ladang atau sawah di Suku Bunaq 
&


Tiga cara berpikir di atas dari orang Aitoun mengantarnya cerdas dalam konteks dimana dan kapan dia berdiri. Ketika tempat dan waktunya adalah konteks adat maka  di sana konsep berpikir harmoni energi positif dan negatif dijadikan fokus gaya berpikir, berperasaan, dan beraksi. Inilah kebijaksaan Orang Aitoun dalam hidupnya bersama yang lain. 

Ketika waktu dan tempat eksistensinya adalah Gereja Katolik maka cara berpikir didominasi oleh energi positif sesuai cara berpikir teologi Katolik sebagai tempat dan waktu dalam memaknai ada bersama yang lain.

Ketika waktu dan tempatnya berdiri dalam keadaan marah tak terkenkali karena berbagai pemicu dari dalam maupun dari luar diri, yang sulit terkontrol dalam tempat dan waktu itu maka secara otomatis cara berpikirnya menyalurkan energi negatif dalam berpikirnya, perasaannya, dan ekspresi aksinya. 



Dalam gandengannya dengan Fenomena pohon Aitoun menghadirkan nomena pohon Aitoun sebagai pohon kebenaran, kebaikan, keadilan, kejujuran, persahabatan yang kokoh, cara berpikir harmonislah yang paling bijaksana  dalam menyaring   beraneka cara berpikir ekstrim kanan atau kiri  yang datang berbaur dengan cara berpikir  Aitoun.  Semua yang mendukung konsep harmoni dari Suku Bunaq Aitoun diterima sebagai sebuah kekayaan sesuai konteks zaman dan tempat. Tetapi semua yang ekstrim kiri atau kanan perlu diwaspadai. 



Putera dan Puteri Generasi muda Suku Bunaq  Aitoun adalah penjaga dan pemelihara Aitoun sebagai pohon kebenaran, kebaikan, keadilan serta hikmat-kebijaksanaan, agar pohon Aitoun ini tetap berdiri kokoh dalam menghadapi badai dan gelombang zaman yang menghantam kekokohan Aitoun. 

Bentuk pemeliharaan itu, harus nyata. Contoh, menulis dan mempublikasikan hakekat Aitoun harus digalakkan. Dengan demikian Roh Aitoun itu akan  selalu hidup dan bergerak dari Kepala ke Kepala, dari hati ke hati lewat membaca tulisan tentang Aitoun, mendengar tentang makna Aitoun dan  lewat menulis tentang Aitoun. 

Benar sekali bahwa Aitoun merangkum fenomena sekaligus nomena bagi generasi Aitoun di seluruh dunia. Fenomena Aitoun selalu terbuka untuk ditilik dari aneka perspektif. Misalnya Menilik Kecerdasan Majemuk Suku Bunaq Aitoun dari kacamata Howard Gardner dan atau dari perspektif fenomena dan nomena Immanuel Kant.




 “Ketika teks sudah dilempar keluar, maka pengarang sudah mati”

–Roland Barthes. The Pleasure of the tex- 




Teks yang menggairahkan pembaca.


Membaca bukan lagi mencari melainkan menunda makna, bukan mencari struktur melainkan menstrukturasi, bukan untuk mengonsumsi melainkan memproduksi teks.
Teks kemudian harus menjadi bisa membawa alam bawah sadar pembaca merumuskan teks baru atas pembacaannya itu. 



Itulah kenikmatan sebuah teks yang dibaca
-Roland Barthes-




Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..




Rabu, November 14, 2012

Kotbah Misa Harian, Kamis 15 November 2012, Di Soverdi Surabaya



KEWIBAWAAN PEWARTA

Flm 7-20; Luk 17:20-25
 

(P. Benediktus Bere Mali, SVD)


KETIKA BAHASA AGAMA RONTOK, demikian judul artikel Opini, karangan AHMAD SYAFII MAARIF, dalam Kompas, Rabu, 14 November 2012, p.6. Isinya tentang kekalahan partai yang berlabel agama, dalam kampanye pilkada cawagub DKI beberapa waktu lalu.


Kekalahan itu karena bahasa agama yang digunakan dalam kampanye bukan lahir dari kesaksian hidup tetapi hanya berteori. Kembalikan kewibawaan bahasa agama adalah dengan mengkonkretkan bahasa agama memihak orang kecil, sebagai visi dasar partai berlabel keagamaan.


Atau dapat merangkum isi artikel itu dalam pertanyaan dan jawaban sebagai berikut.  Apa perbedaan antara bahasa agama rontok dengan bahasa agama berwibawa? Perbedaannya adalah terletak di dalam penjelasan sebagai berikut. Bahasa agama yang berwibawa adalah bahasa agama yang disampaikan dalam kata-kata yang lahir dari pelaksanaan atau kesaksian hidup berdasarkan keimanan yang berkemanusiaan dan kemanusiaan yang berkeimanan. Kesaksian hidup itu adalah hidup dan kehidupan setiap hari, yang selalu memihak orang kecil yang menjadi fokus agama. Sedangkan bahasa agama yang rontok, adalah bahasa yang indah dalam ungkapannya, tetapi realitas pelaksanaannya jauh dari visi dan misi agama yang mengutamakan keselamatan universal.



"Kerajaan Allah sudah ada di antara kamu." Ini adalah bahasa agama. Kerajaan Allah adalah nilai keadilan, kebenaran , kebaikan, kedamaian dan kesejahteraan dan kebahagiaan. Bahasa agama ini akan berwibawa kalau orang yang beragama yang mewartakan Kerajaan Allah itu terlebih dahulu menghidupi Kerajaan Allah itu di dalam diri sendiri sebagai basis pergi mewartakan khabar sukacita Injil kepada dunia sejagat. Sebaliknya Kerajaan Allah yang adalah bahasa keagamaan itu akan rontok kalau seorang pembicara, hidupnya tidak bermoral, dan tidak beretika.



Contoh. Seorang pengkotbah berkotbah setiap kali memimpin Perayaan Ekaristi. Kata-katanya yang bersumberkan bahasa keagamaan atau Kitab Suci itu akan kehilangan kewibawaannya kalau hidup pengkotbah itu tidak bermoral dan tidak berbudi pekerti luhur. Sebaliknya pengkotbah yang berwibawa adalah bahasa keagamaan yang diucapkannya itu lahir dari kesaksian hidupnya sendiri.



Misalnya, seorang ketua lingkungan yang saleh, sopan, jujur, rajin dan disiplin menjalankan hidup dan tanggungjawabnya sebagai ketua lingkungan, akan disegani serta selalu menerima respek dari anggota lingkungannya karena dia memiliki kewibawaannya dalam kata dan perbuatan. Sebaliknya seorang ketua lingkungan yang hidup moralnya merosot, tentu tidak akan menerima respek yang dalam, dari anggota umat selingkungan.


Apakah Anda memiliki kewibawaan dalam mewartakan Injil?