Jumat, November 30, 2012

Kotbah Misa Harian, Sabtu 1 Desember 2012



KEGADUHAN &
OLAH ROHANI

(Why 22:1-7; Luk 21:34-36)
Kotbah Misa Harian,
Sabtu 1 Desember 2012
di Soverdi Surabaya


P. Benediktus Bere Mali, SVD


Tajuk Rencana Kompas Jumat 30 November 2012, hal. 7 menurunkan judul tulisan: Kegaduhan Politik. Isinya adalah kegaduhan politik antara politisi dan para elite yang mementingkan kepentingannya sendiri, mengganggu konsentrasi membangun Indonesia secara adil dan merata. Kegaduhan itu mengorbankan rakyat kecil yang merindukan kesejahteraan umum. Masyarakat pun mulai tidak percaya pada politisi dan para elite yang membuat gaduh dalam memperjuangkan kepentingannya sendiri.


Kegaduhan sosial mengganggu konsentrasi pembangunan masyarakat Indonesia secara adil dan merata. Demikian pun kegaduhan personal karena sibuk dengan persoalan-persoalan duniawi sangat mengganggu konsentrasi dalam olah rohani. Setiap pribadi memerlukan ketenangan diri dan kedamaian diri, sungguh sangat mendukung olah rohani menuju kematangan dan kedewasaan pribadi dalam bidang spiritual. Ketenangan personal yang memiliki kedisiplinan dalam olah rohani, akan berdiri kokoh dalam aneka godaan duniawi yang datang mendampingi perjalanan hidupnya. Sedangkan kegaduhan pribadi dalam pesta pora dan kemabukan, mengarahkàn diri pada kejatuhan dalam godaan duniawi yang menyesatkan dan dapat merusak masa depan hidupnya.


Kedisplinan dalam olah rohani yaitu berdoa membuat pribadi kokoh dalam setiap kesulitan dan godaan duniawi. Seorang yang berdoa secara disiplin memiliki kekuatan karena selalu hidup dalam Tuhan. Keselamatanpun menjadi miliknya ketika HARI TÙHAN yang kedatangannya secara tiba-tiba. Selalu berjaga dan berdoa, hidup dalam Tuhàn dalam setiap saat dan tempat adalah jalan keselamatan bagi orang beriman. Maka tepat Yesus bersabda : "Jagalah dirimu, jangan sampai hatimu sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi, dan jangan sampai HARI TUHAN (KEMATIAN) tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat. Sebab ia akan menimpa semua penduduk bumi ini. Berjaga-jagalah senantiasa, sambil berdoa, agar kalian mendapat kekuatan
untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan agar kalian tahan berdiri di hadapan Anak Manusia."


Apakah kita hidup disiplin berdoa dipandang sebagai kebutuhan pokok bagi kedewasaan kerohanian kita, atau kita selalu beralasan tidak mempunyai waktu untuk berdoa secara disiplin? Masih ingatkah Bapa dan Mama kita ketika kita masih kecil, setiap malam selalu berdoa bersama keluarga, doa rosario bersama, ke Gereja bersama, ikut kerja bakti di Gereja bersama, ikut arisan bersama di Lingkungan, wilayah dan paroki, terlibat dalam manajemen paroki yang terbuka, jujur dan transparan? Kalau masih ingat dan itu ada pengaruh besar di dalam formasi diri dalam kehidupan spiritual, maka mulai saat ini kini dan di sini, membangun bangunan kehidupan doa yang rapi, tertip dan disiplin.  Manfaatnya ganda, masa kini di dunia menerima keselamatan dari Tuhan dan masa yang akan datang di Surga akan memperoleh keselamatan dalam Tuhan.

Rasa nomena nama Asueman di Timor Tengah



*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

Asueman adalah sebuah tempat kediaman suku bunaq yang terletak di Aitoun,  Timor Tengah, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Fenomena dan nomena Asueman dan Aitoun saling berhubungan dalam wilayah geografis dan sistem pemerintahan  Desa.

Nama Asueman dapat dilihat dari sekian banyak perspektif dan dari sekian banyak kacamata yang dapat digunakan, hanya ada satu kacamata yang pas pada kesempatan ini. Penulis coba menggunakan alur fenomena dan nomena dari sebuah nama Asueman. 

Dusun Asueman ini sudah menghasilkan empat pastor. Dari keempat pastor itu dua imam SVD dan keduanya saat ini bekerja di Surabaya – SVD Provinsi Jawa dan dua imam Projo Keuskupan Atambua.  Dari dua imam projo Keuskupan Atambua itu, satu imam Projo sudah meraih gelar S3 dalam bidang sosiologi.  


Pertanyaannya adalah apa nomena dari fenomena dari kata Asueman? 


Pada tataran denotatif, kata Asueman bukan berasal dari kata bahasa Bunaq tetapi berasal dari kata bahasa Tetun, dari kata Asu dan kata Eman. Kata Asu artinya anjing. Kata eman artinya orang, manusia. Kata Asueman berarti  Anjing Manusia.  Manusia yang mempunyai seekor anjing yang pintar. Asueman tidak berarti Manusia Anjing. Asueman tidak berarti anjing mempunyai seorang manusia yang pintar. Asueman tidak berarti seekor anjing yang pintar memiliki seorang manusia yang pintar.


Pertanyaan lanjut yang masih berkaitan dengan nomena dari fenomena Asueman. Mengapa fenomena nama Asueman dari bahasa Tetun bukan dalam bahasa Bunaq pada hal penduduknya saat ini berbahasa Bunaq? 
Bisa jadi leluhur dahulu kala berbahasa Tetun di Aitoun bukan berbahasa Bunaq. Atau leluhur yang pertama kali memberi nama tempat ini adalah berbahasa Tetun bukan berbahasa Bunaq.  Bisa jadi juga orang Bunaq yang mendiami Asueman ini adalah pendatang baru. Bisa jadi ada peran perang antar wilayah pada zaman dulu sehingga suku Bunaq mendiami wilayah Tetun. Masih banyak nomena lain yang terus digali di balik fenomena Asueman. 

Demikian juga nama tempat Gua Bibilutun tempat leluhur sebelum pindah ke Asueman. Kata Bibilutun sendiri berasal dari kata bahasa Tetun, yaitu terbentuk dari kata bibi dan lutun. Kata bibi berarti kambing dan kata lutun berarti sekelompok kambing. Jadi kata Gua Bibilutun berarti sekelompok ternak kambing. Bisa jadi dahulu kala leluhur Asueman adalah penggembala kambing dan tempat Gua Bibilutun adalah tempat yang aman untuk tempat tinggal kambing terutama di dalam Gua di musim hujan dan pada malam hari. Bisa jadi dahulu kala leluhur nomaden bersama ternaknya dan tinggal bersama ternak kambing di tempat yang sangat aman di Gua Bibilutun. 


Video berikut ini tentang sejarah kediaman leluhur di Bibilutun dan kemudian berpindah ke Asueman. 
Video ini memberikan penjelasannya tentang dua tempat bersejarah leluhur Gua Bibilutun dan Asueman. 
Video ini berasal dari Pak Guru Oskar Mali, S.Pd. yang merekam lomba pidato siswa atau cerita di depan kelas oleh siswa SMP Satu Atap Wetear Kecamatan Raihat. Siswa yang berpidato adalah Irfan Bau. Sedang foto dan tugu anjing dalam video ini diambil dari google. Foto tugu Anjing dan patung anjing bukan dari Asueman tetapi dari tempat lain yang kebetulan penulis ambil untuk  memudahkan pembaca membayangkan Tugu anjing yang asli di Asueman, dimana saat ini penulis belum mendapat foto tugu anjing dan kuburan anjing di Asueman. 
Video ini dari Pak Oskar Mali, S.Pd.
Foto SDK Asueman dan Foto Anjing dan foto Tugu Anjing diambil dari Google. 



Penulis sering bertanya kepada Bapa Gabriel Mali, ayah kandung penulis, berasal dari rumah suku 
Asutalin. Mengapa ayah tidak makan daging RW?  Setiap kali kami anak anak dan keluarga menikmati daging RW, olahan daging anjing yang sangat enak ala olahan Suku Bunaq Aitoun, ayah tidak menikmatinya. Walaupun daging RW di mata dan lidah kami sangat enak, tetapi bukan bagi bapa Gabriel. 


  • Bapak Gabriel tidak pernah makan daging RW dengan olahan sebaik apapun. Bapak Gabriel memiliki Rumah Suku Asutalin  tinggal di Asueman. Fenomena ini tentu dan pasti punya nomenanya tersendiri.

   Bapa Gabriel berasal dari rumah Suku Astalin atau Asutalin. Kata Asutalin adalah kata bahasa Tetun, dari kata Asu dan kata Talin. Asu Artinya anjing dan talin berarti tali. Asutalin berarti Tali Anjing yang Pintar. Apakah ada hubungan cerita Asutalin dengan Asueman? 

Menurut ceritera lisan dari Bapak Gabriel Mali, ayah kandung penulis, Asueman atau kampung Asueman atau dalam bahasa daerah, Asueman tas (kampung/kota) itu ditemukan oleh seekor Anjing pintar yang pemiliknya berasal dari rumah suku Asutalin yang bertempat tinggal di Gua Bibilutun. 


Bagaimana Anjing pintar itu menemukan kampung Asueman? Leluhur dari rumah suku Asutalin memiliki seekor anjing yang sudah bunting dan mendekati masa beranak. Leluhur berumah suku Asutalin ini merasa heran ketika Anjingnya beberapa hari menghilang dalam keadaan bunting dan kemudian kembali ke Gua Bibilutun ke rumah pemiliknya, dengan keadaannya sudah beranak. Tempat dimana anjing pintar itu beranak, pemiliknya tidak tahu. 
Setelah anjing itu beranak, di tempat yang tidak diketahui pemilik anjing itu, pemilik berupaya untuk menemukan anak anjing di tempat dimana anjing itu beranak. Bagaimana caranya untuk tahu tempat dimana anjing beranak? Leluhur Suku Astalin sangat cerdas. Melihat fenomena ini sebagai sebuah persoalan dan segera mencari dan menemukan solusinya. Di leher anjing yang sudah beranak itu diikat sejumlah ketupat dengan tali dan semua ketupat itu diisi dengan abu dapur. 

Setelah tuannya memberi makanan dan minuman kepada Anjing Pintar itu maka Anjing itu dilepaspergikan dari  Gua Bibilutun ke tempat dimana anak-anaknya tinggal. Situasi saat itu tentu dipenuhi dengan hutan belantara dan semak-belukar dan jalan pun merupakan jalan setapak atau hanya melewati jalan tikus. 

Pemilik Anjing Pintar itu mengikuti jejak anjing pintar yang ditandai dengan jatuhnya abu dapur sepanjang jalan tikus sampai tempat anjing itu beranak. 

Benar sekali kecerdasan leluhur untuk menemukan tempat tinggal anak anjing lewat jatuhnya abu dapur yang diikat di leher Anjing pintar itu. 

Tepat sekali, bahwa tempat di mana anjing itu beranak, adalah sebuah tempat yang sangat indah dan luas pemandangannya. 

Leluhur menamai tempat yang indah pemandangannya itu adalah Asueman. Proses pemberian nama tentu tidak hanya atas pendapat satu orang. Pemberian nama ini  pasti melibatkan banyak pihak karena nama Asueman sangat berkaitan dengan berdirinya "mezbah" penemu kampung Asueman yang menjadi sebuah fenomena yang mengandung nomena majemuk. 


Disebut Asueman karena Asueman ditemukan leluhur karena pertolongan tuntunan Anjing Manusia yang cerdas di Wilayah suku bunaq Aitoun. 

Anjing manusia yang pintar itu tinggal di Gua Bibilutun pergi beranak di Asueman tempat yang baik, indah dan aman baginya dan anak-anaknya. 

Anjing ini pintar. Anjing ini cerdas. Tanda heran bisa terjadi lewat sarana Anjing pintar yang tepat pada saat dan tempat yang tepat pula. Di tempat itulah leluhur dirikan mezbah dan hingga kini menjadi bukti saksi terjadinya sejarah Asueman. Fenomena mezbah memiliki nomena yang polisemi. 

Tempat dan saat terjadinya mujizat itulah leluhur  mendirikan mezbah atau dalam bahasa bunaq Asueman disebut "bosok". Ada keyakinan bahwa di mezbah itulah roh leluhur penemu Asueman tas berdiam. Di tempat itulah dilakukan ritus-ritus adat oleh anggota rumah suku leluhur penemu Asueman. Di tempat itu pula Leluhur menguburkan Anjing Pintar penemu Asueman. 

Fenomena Kuburan dan Mezbah yang dilihat indera setiap pengunjung menyatakan nomena ganda. Fenomena Gua Bibilutun dan kata Asueman menyimpan rapi nomena majemuk bagi generasi Asueman kini dan selamanya. Realita Gua Bibilutun dan Asueman menyampaikan makna majemuk bagi generasi Asueman sepanjang masa.

Ada berbagai nomena majemuk yang harus digali dari fenomena perpindahan leluhur dari Bibilutun ke Asueman. Barangkali tempat Gua Bibilutun bukan tempat yang lebih aman bagi leluhur pada waktu itu. Barangkali Anjing pintar pun merasa tidak aman beranak di Gua Bibilutun dan sekitarnya. Barangkali Gua Bibilutun juga bukan tempat yang lebih aman bagi para pemilik kambing saat itu.

Lantas apakah ketika pemilik kambing pindah ke Asueman, kambingnya tetap tinggal di Gua Bibilutun? Pemilik kambing lebih aman tinggal di ketinggian Asueman. Lokasi di sekitar Asueman adalah lahan rata cukup luas dan layak untuk memelihara kambing. Bisa jadi sebagian leluhur membawa kambingnya dan sebagian kambing dan pemiliknya tetap tinggal di Bibilutun. Bisa jadi juga semua pemilik kambing pindah ke Asueman dan Bibilutun menjadi tempat yang aman hanya untuk menjaga dan memelihara kambing.

 Selain itu bukit Asueman adalah tempat strategis  untuk menjadi tempat tinggal. Asueman memiliki pemandangan yang indah. Bukit Asueman tempat paling aman dari serangan musuh. Kecerdasan leluhur memilih tempat tinggal yang aman dan strategis.

Fenomena Asueman dengan nomena yang tampak dalam nama Asueman bukan dalam bahasa bunaq tetapi dalam bahasa Tetun. Asueman menjadi sebuah kampung tempat tinggal karena barangkali leluhur pertama yang tinggal di Asueman adalah leluhur suku Asutalin. Fenomena nama Asutalin dalam bahasa Tetun, bukan dalam bahasa Bunaq. Di sana ada Bukti mezbah dan kuburan Anjing Manusia yang pintar yang menemukan Kampung Asueman. Hingga saat ini di Asueman ada tugu Anjing Manusia yang menemukan Kampung Asueman itu tetap dijaga dan dipelihara.  Di sana ada kuburan Anjing manusia yang cerdas yang menemukan Kampung Asueman tetap dijaga dan dipelihara. Leluhur sungguh sangat cerdas dalam memilih tempat tinggal berbasiskan cara berpikir pada zamannya. Kecerdasan itu terus ada, hidup dan selalu dihidupi dalam tubuh budaya  Aitoun kini dan selamanya.



Kalau lihat fenomena posisi lokasi Bibilutun dengan Asueman, Bibilutun di tempat yang lebih rendah sedangkan Asueman di puncak Bukit yang tertinggi. Fenomena gerak pindah dari wilayah rendah ke tempat yang tinggi sangat kaya dengan nomena yang sangat majemuk. 
Mengapa para leluhur meningalkan tempat tinggal di Gua Bibilutun dan mendiami tas (kampung/kota) Asueman? Apa kelebihannya sehingga leluhur berani meninggalkan Gua Bibilutun sebagai tempat yang aman dari serangan musuh, dan pergi tinggal di Asueman yang lebih terbuka? 

Leluhur meninggalkan Gua dan mendiami Asueman karena Kampung (tas/kota, dalam bahasa Bunaq) Asueman terletak di puncak bukit dengan pemandangan yang luas dan indah segar udaranya, melihat semua wilayah Lamaknen, Wilayah Timor Leste, wilayah Tohe, Asumanu dan Maumutin. 


Asueman letaknya di jantungnya Kecamatan Raihat.  Asueman pun aman karena dikelilingi dengan sadan atau pagar bebatuan yang kokoh serta pagar tanaman-padat-berduri yang menyulitkan musuh menyerang kampung Asueman. Pintu masuk keluarpun hanya dua yaitu bagian selatan dan utara dengan pagar batu dan tumbuhan-padat berduri. Asueman adalah tempat tinggal tertinggi di atas bukit yang sangat strategis. Asueman adalah tempat tinggi untuk mudah melihat musuh-musuh dari dataran rendah yang hendak datang menyerang. Karena  itu musuh dari arah yang lebih rendah gampang dilumpuhkan kekuatan bahkan nyawanya sendiri.
 

Asueman adalah tempat tertinggi di semua dusun yang ada di wilayah kedesaan Aitoun. 

Pertanyaan muncul, mengapa Leluhur Asueman beralih dari Gua Bibilutun yang letaknya di dataran rendah dan naik ke Bukit Asueman yang lebih tinggi jadi tempat tinggal? 

Apa ada hubungannya dengan filosofi Asueman yang memiliki pola pikir bahwa tempat tinggi adalah tempat tinggal sang roh supranatural, roh alam, dan roh leluhur, sehingga dengan demikian semua roh sesama manusia dan roh diri sendiri yang tinggal di tempat yang tinggi dapat lebih mudah menyatu dalam ruang-waktu di tempat tinggal roh-roh itu di Bukit Asueman? 

Hingga saat ini tokoh-tokoh terkemuka khusus di bidang Agama Katolik (empat pastor/imam/romo/pater) di Kedesaan Aitoun dari Asueman. Apakah ini ada kaitannya dengan Asueman yang letaknya di bukit tertinggi sedang dusun lainnya di lembah? 

Selain itu dari data Guru Agama Asueman bahwa Uskup Atambua berkebangsaan Eropa  sejak dulu sudah 2 kali mengunjungi Asueman Tas yang letaknya di bukit tertinggi di wilayah Kedesaan Aitoun. Sedangkan dusun yang lain di Aitoun belum dikunjungi. 

Apakah ini ada kaitannya dengan panggilan yang subur untuk menjadi pastor dan suster  dari Asueman pada saat ini? Mengapa Sekolah yang dibangun di Kampung ini diberi nama SDK Asueman? Apakah fenomena ini mengabadikan makna terdalam atau nomena dari Asueman yang mengandung polisemi?

Fenomena menunjukan bahwa dari Asueman empat pastor dan beberapa suster. Dari fenomena ini dapat menemukan nomena yang ada di balik fenomena ini. 

Nomenanya adalah kekuatan positif spiritual Asueman selalu setia mendukung putra-putrinya untuk menjadi imam dan suster. Roh Allah, Roh Alam, Roh Arwah Leluhur, Roh Sesama, dan Roh Pribadi menyatu berjalan di jalan positif yaitu jalan Allah untuk menyelamatkan Asueman-Aitoun dan dunia sejagat. 

Fenomena dan nomena ini melahirkan pola relasi spiritual Suku Bunaq Asueman-Aitoun seperti bagan di bawah ini. Inilah bagan filosofi pemikiran Suku Bunaq Asueman-Aitoun. Pola ini muncul di dalam sejumlah ritus adat suku Bunaq di Asueman-Aitoun.  Boleh disebutkan bahwa fenomena nama Asueman mengantar pembaca kepada nomena yang polisemi yang dapat digambarkan dalam bagan berikut ini untuk pembaca lebih  mendalaminya.
Pola pikir Asueman Aitoun seperti ini sejalan dengan Pola Pikir Teologi Agama Katolik. Lihat juga 
By. P.Benediktus Bere Mali,SVD


Untuk melihat letak Asueman Tas Anda dapat ikutinya dalam Tei Gol Suku Bunaq di dalam video di bawah ini. Di Bukit tertinggi tertulis Asueman Tas itulah tempat tinggal orang Asueman. Bapa Uskup Atambua asal benua Eropa pada zamannya telah dua kali mengunjungi umat Asueman Tas. 




ceritera lisan Bapak Gabriel Mali, ayah saya, saat ini Guru Agama Asueman dan Tua Adat  senior di Asueman-Aitoun.  

Bagi Ama Gabriel, fenomena Agama dan Adat berjalan di jalurnya masing-masing dan ternyata ada titik temunya tepatnya di nomena sang supranatural-agama maupun adat. 

Adat menyebutnya "Hot Ezen" muncul dalam setiap doa dalam ritus adat (A.A.Bere Tallo, 1978). Sang supranatural Agama Katolik adalah Allah. 

Fenomena nama berbeda tetapi nomenanya sama. Sama-sama bertemu dalam fenomena nama yang disebut dengan berbeda soundnya tetapi sama kontennya/nomena-nya yaitu sang-supranatural. 


Nama supranatural boleh beda karena dibentuk dan disebut dalam konteks antropologis yang berbeda. 

Tetapi intisarinya sama yaitu baik Agama Katolik Maupun Adat memiliki 3 unsur pokok dari sebuah fenonena Agama Katolik dan Agama Adat yaitu sang supranatural/Allah/Hot Ezen, Kitab Suci Tertulis/Kitab Adat Lisan, Gerak  isyarat tubuh dalam ritus Agama/Adat sehingga sang supranatural yang diyakini oleh penganutnya masing-masing tetap hidup dan kehidupan itu sendiri yang menjadi pusat keyakinan  sebagai nomena bagi para penganutnya. 

Nomena itu menjadi nilai yang mengemudi fenomena perilaku anggota Agama katolik/anggota rumah Adat. 

Demikian fenomena bahasa Agama/Adat dengan nomena Sang Supranatural dalam dua wilayah adat/agama. 

Informasi dari Bapak Gabriel Mali via telephone dari Surabaya ke Asueman, pada hari Jumat 30 November 2012.



Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..



Kotbah Misa Harian, Jumat 30 November 2012



BEKERJA MAPAN
MENUJU YANG LEBIH MAPAN

Rom  10 : 9 -18; Mat 4 : 18 – 22
Kotbah Misa Harian, Jumat 30 November 2012
Di Soverdi Surabaya


P. Benediktus Bere Mali, SVD


Manusia berusaha mendapat pekerjaan yang mapan. Pada saat orang mencapai dan mengalami sebuah pekerjaan yang mapan, orang lebih merasakan ketenangan di dalam hidupnya daripada sebelumnya masih bekerja secara serabutan.

Orang yang meninggalkan sebuah pekerjaan yang kelihatannya mapan menuju sebuah pekerjaan lain bisa ditentukan oleh sebab-sebab tertentu. Melihat pekerjaan mapan yang ditinggalkan kurang memberikan profit yang lebih baik dan atau lebih menguntungkan. Sedangkan pekerjaan yang baru lebih besar penghasilannya, dalam menata masa depan yang lebih baik untuk kesejahteraan dan kemajuan. Orang dapat meninggalkan sebuah pekerjaan yang kelihatannya mapan dan mencari pekerjaan yang baru karena orang tidak merasa bahagia dalam pekerjaan yang ditinggalkan, karena kurang bisa bekerja sama dan kurang mendapat nilai kebagiaan di dalam pekerjaan itu, sedangkan di tempat pekerjaan yang baru, orang merasa lebih nyaman dan lebih banyak mengalami sukacita karena persaudaraan dan kepekaan antar sesama sekantor dalam hidup sehari-hari. Orang juga dapat meninggalkan sebuah pekerjaan mapan menuju sebuah pekerjaan yang baru karena dalam pekerjaan yang ditinggalkan kurang mendapat nilai yang lebih yaitu kurang lintas budaya, dan di tempat pekerjaan yang baru, orang lebih merasa diperkaya oleh keanekaragaman budaya para pekerja yang berasal dari berbagai tempat dan suku. Nilai internasionalitas dalam hidup dan pekerjaan menarik orang untuk bergabung di dalamnya sedangkan pekerjaan yang ditinggalkan lebih berwarna seasal, sedaerah, sekeluarga, dan kurang pengalaman lintas budaya dalam pekerjaan dan pelayanan.

Para murid yang kelihatannya mempunyai pekerjaan yang mapan meninggalkan pekerjaannya itu lalu menjadi pengikut Yesus, merupakan sebuah tindakan dan keputusan yang menarik perhatian dan refleksi kita untuk menemukan apa kekuatan dasar yang ada di balik tindakan mereka itu, sehingga mereka tergerak meninggalkan pekerjaan mapan dan kemudian mengikuti Yesus.

Saya merasa  bahwa ada yang paling menarik perhatian para murid sehingga sekali dipanggil Yesus, mereka langsung mengikuti-Nya. Ada sesuatu yang lebih dari Yesus sehingga mereka meninggalkan pekerjaan mapannya dan kemudian menjadi pengikut Yesus, dengan kerja utama adalah melayani banyak orang di segala tempat.


Secara ke dalam, komunitas Yesus adalah komunitas yang  sangat tinggi semangat internasionalitasnya  dan itu menjadi sebuah kekayaan yang dihadirkan oleh Yesus sebagai formasi dasar bagi formasi berlanjut dalam karya pastoral di lapangan.

Pekerjaan baru yang mereka geluti adalah pelayan yang menjadi terang dan garam bagi banyak orang. Dalam pelayanan sebagai misionaris, mereka mempunyai satu pemimpin yaitu Yesus. Mereka mempunyai satu visi yaitu Kerajaan Allah. Mereka mempunyai satu misi yaitu menyelamatkan semua orang melintas batas etnik, asal usul dan warna kulit.   Bermisi untuk menyelamatkan semua melintas batas adalah sebuah gerakan bersama. Pertanyaan kita adalah dimana hal itu dikatakan sehingga menjadi kekuatan mereka atau yang menjadi hal utama yang menarik banyak orang untuk menjadi pelayan Tuhan dan misionaris?

Dalam bacaan pertama, dikatakan : “… tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena Allah yang satu itu adalah Tuhan semua orang, dan Dia kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya. Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan.”  Di hadapan Tuhan, semua orang setara dan sederajat. Semua orang adalah ciptaan Tuhan. Semua orang adalah manusia yang memiliki kemanusiaan. Tuhan melihat semua orang sebagai orang beriman yang berkemanusiaan dan berkemanusiaan yang beriman. 


Karakter komunitas Yesus yang dibangun di atas dasar iman dan kemanusiaan. Komunitas itulah yang menarik orang meninggalkan kemapanan pekerjaan menuju pekerjaan yang lebih mapan yaitu menjadi penjala manusia.


Setiap pekerja pasti merasa bahagia kalau selalu diorangkan, diperlakukan sebagai orang yang berperikemanusiaan dalam kehidupan dan pekerjaannya sehari-hari. Sebaliknya, pekerja yang ditindas, diperlakukan sesuka hati oleh majikan, atau sesama pekerja, maka cepat atau lambat pekerja yang diperlakukan secara tidak manusiawi, akan meninggalkan pekerjaan itu dan mencari pekerjaan yang lebih baik dan nyaman.

Kamis, November 29, 2012

SEJARAH RUMAH-RUMAH SUKU BUNAQ AITOUN DI TIMOR TENGAH




*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

Satu-satunya sejarah rumah suku dengan anggotanya di antara sekian banyak versi, yang terpercaya hidup dan selalu dihidupi sampai detik ini adalah sejarah yang ada dalam ritus adat kenduri dalam ritus adat "si por pak" seperti dalam video berikut. Di  Aitoun ada 34 Rumah suku. Masing-masing rumah suku mengetahui sejarah hidupnya melalui adat ritus "si por pak" tanpa kepentingan politis apapun. 

Mungkin pada awal mula berdirinya hubungan "malu-aiba'a" dulu ada unsur politis dan kekuasaan. Kini sejarah asal usul darah setiap anggota rumah suku benar-benar berdasarkan darah sejarah darah keturunan dalam darah korban binatang dalam video di bawah ini. 

Video ini adalah sejarah anggota rumah Adat suku Laimea Aitoun. Ini satu buah contoh dari 34 rumah suku yang ada di Suku Bunaq   Aitoun.  Video ini di rekam langsung oleh penulis. Keterangan lengkap video ini ada di kolom tulisan Youtobe.

Video ini hasil rekaman langsung penulis
Pada adat kenduri
MAMA MARIA BETE ASA
RUMAH SUKU LAIMEA AITOUN
lokasi Fatubenao Atambua


Sejarah Aitoun Sejarah Deu atau rumah suku yang berjumlah 34 Rumah Suku. Sejarah Deu Adat Sejarah Adat Aitoun. Deu adalah Rumah. Deu atau Rumah yang dimaksud adalah Deu Adat atau Rumah Adat atau dalam bahasa Tetun : Uma Adat. Sejarah Aitoun terdapat di dalam sejarah Deu Adat. Mengetahui Sejarah Deu Adat berarti mengenal sejarah Adat Aitoun. Setiap Deu Adat memiliki Sejarah Adat. Sejarah itu benar, tepat, tidak bohong, tidak dimanipulasi untuk kepentingan politis atau sejenisnya. Bagaimana menguraikan sejarah seperti itu?


Kematian seorang anggota Deu Adat adalah kelahiran sejarah seluruh Anggota Deu adat, uma adat (Tetun). Sejarah Deu adat dalam kenduri adalah lukisan sejarah yang lurus, benar, tepat, tidak bohong, tidak ada manipulasi demi kepentingan tertentu.


Makoan (penutur Adat), tua adat, pasti melukiskan asal usul Deu dalam Ritus Kenduri Deu Adat dengan sangat indah yaitu dalam ritus Adat Si Por Pak atau Si Giwitar Pak (artinya ritus adat memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam persekutuan bahagia rumah adat di Surga di dunia seberang yang penuh dengan sukacita tanpa penderitaan), Adat Ritus Tais Hota (artinya setiap anggota Deu Adat yang merupakan pertalian erat di dalam sejarah Deu Adat saling mengikat dan saling menghargai di dalam ikatan tenunan kain adat), Adat Kaba Malu kepada Ai baa atau dalam bahasa Tetun Kaba Feto Sawa Uma Mane (artinya berkat dari anggota Deu Adat yang melahirkan atau mengasalkan anggota se-Deu dari yang meninggal, yang masih hidup). 

Sebelum memberikan Adat Kaba dari malu kepada aiba’a ini, semua persoalan kecil dan besar dalam lingkup relasi antara malu dengan aiba’a harus didamaikan. Puncak kedamaian itu adalah menurunkan berkat dari malu kepada aiba’a.


Video berikut adalah ritus damai anggota rumah adat suku Monewalu Hojabul sebagai pihak pihak yang konflik personal dan sosial dalam rumah Adat suku Monewalu Aitoun. Mengapa disebut Monewalu Hojabul? Monewalu atau dalam bahasa Tetun, Manewalu, artinya delapan laki-laki. Mengapa bukan Panawalu atau Tetun, Fetowalu artinya delapan wanita? Apakah ini ada hubungan dengan "malu-aiba,a" pada sejarah awal mula berdasarkan sistem perkawinan patrilineal yang kemudian dalam perjalanan sejarah berubah menjadi sistem perkawinan matrilineal dalam suku Bunaq Aitoun? Atau meskipun awalnya sudah matrilineal tetapi karena nama rumah suku berdasarkan laki-laki perkasa rumah suku sehingga berdasarkan kesepakatan yang dilatarbelakangi pandangan paternalisme atau laki-laki-isme kemudian disebut "Rumah Suku Monewalu" untuk menonjolkan delapan laki-laki perkasa Rumah Suku Monewalu. 

Hojabul artinya di bawah pohon kelapa. Rumah Adat Suku Monewalu Hojabul berarti Rumah Adat Suku yang didirikan di bawah pohon kelapa. Hoja artinya kelapa. Bul artinya di bawah. Hojabul artinya di bawah pohon kelapa. 

Ritus rekonsiliasi ini adalah contoh dari rumah Suku Monewalu di Aitoun, rumah suku penulis sendiri.  Setiap rumah suku yang ada di Aitoun yang berjumlah 34 Rumah suku juga pasti ritus rekonsiliasi seperti dalam video ini mereka lakukan untuk mendamaikan anggota rumah sukunya yang konflik pribadi maupun sosial. 

Video ini dari rekaman Pak Marianus Luan yang menyaksikan secara langsung ritus rekonsliliasi anggota rumah suku Monewalu Hojabul yang konflik. Pak Marianus Luan juga adalah seorang anggota rumah suku Monewalu Hojabul. Lihat video ini ada pendamai yang memegang wadah berisi air dan pihak konflik masukan jarinya ke dalam wadah air sumber damai itu lalu dengan air itu oles-bersihkan bibir yang mengeluarkan kata-kata menyakiti sesama. 

Pendamai berasal dari rumah suku "Malu" yaitu Rumah Suku Laimea dan Rumah Suku Hoki'ik.  Suku Monewalu Hojabul sebagai "Aiba'a" dalam hubungan darah relasi "Malu-Aiba,a".  Musik dan lagu dari Mazmur 133 adalah diisi oleh penulis dengan alasan mendasar bahwa lagu dan musik dengan ritus adat rekonsiliasi ini bertemu dalam kalimat "betapa indahnya hidup sebagai saudara". 

Video ini Tentang Ritus Adat Rekonsiliasi 
anggota Rumah Suku Monewalu 
pada Sebuah adat Kenduri
di Suku Bunaq Aitoun 
Khususnya berlokasi di Asueman



Penulisan Sejarah Aitoun  adalah Penulisan Sejarah Setiap Deu Adat , Tetun : uma Adat yang ada di Wilayah Aitoun. Kelengkapan penulisan atau pengetahuan sejarah Aitoun dapat ditemukan dalam pintu yang terbuka lebar yang harus dilewati yaitu merekam setiap adat kenduri setiap Deu Adat yang ada di Aitoun. Kalau di Aitoun ada 34 Deu Adat, Tetun: Uma Adat, maka sejarah Adat Aitoun ada dalam setiap Deu Adat itu.

Menulis lengkap sejarah setiap Deu Adat di Desa Aitoun berarti telah lengkap menulis sejarah Aitoun. Hal ini tercapai lewat KENDURI SETIAP DEU ADAT.


Belu Nain mau kenal diri, mau kenal AITOUN maka kenallah DEU ADAT, Tetun: Uma Adat yang ada di AITOUN. Rekamlah Adat Ritus Kenduri Setiap DEU ADAT di AITOUN dalam kematian setiap anggota dari setiap DEU ADAT. Dari Satu orang yang meninggal, sejarah semua anggota Deu Adat terungkap atau diceriterakan kembali dalam ritus adat Kenduri.



Inspirasi ini muncul pada saat Nenek Wilhelmina Soi yang hari ini meninggal dunia di    ASUEMAN- DESA   AITOUN, Kamis 29 November 2012, satu hari sebelum peringatan Kematian Mgr. Gabriel Manek, SVD.




Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..