Jumat, November 30, 2012

Rasa nomena nama Asueman di Timor Tengah



*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

Asueman adalah sebuah tempat kediaman suku bunaq yang terletak di Aitoun,  Timor Tengah, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Fenomena dan nomena Asueman dan Aitoun saling berhubungan dalam wilayah geografis dan sistem pemerintahan  Desa.

Nama Asueman dapat dilihat dari sekian banyak perspektif dan dari sekian banyak kacamata yang dapat digunakan, hanya ada satu kacamata yang pas pada kesempatan ini. Penulis coba menggunakan alur fenomena dan nomena dari sebuah nama Asueman. 

Dusun Asueman ini sudah menghasilkan empat pastor. Dari keempat pastor itu dua imam SVD dan keduanya saat ini bekerja di Surabaya – SVD Provinsi Jawa dan dua imam Projo Keuskupan Atambua.  Dari dua imam projo Keuskupan Atambua itu, satu imam Projo sudah meraih gelar S3 dalam bidang sosiologi.  


Pertanyaannya adalah apa nomena dari fenomena dari kata Asueman? 


Pada tataran denotatif, kata Asueman bukan berasal dari kata bahasa Bunaq tetapi berasal dari kata bahasa Tetun, dari kata Asu dan kata Eman. Kata Asu artinya anjing. Kata eman artinya orang, manusia. Kata Asueman berarti  Anjing Manusia.  Manusia yang mempunyai seekor anjing yang pintar. Asueman tidak berarti Manusia Anjing. Asueman tidak berarti anjing mempunyai seorang manusia yang pintar. Asueman tidak berarti seekor anjing yang pintar memiliki seorang manusia yang pintar.


Pertanyaan lanjut yang masih berkaitan dengan nomena dari fenomena Asueman. Mengapa fenomena nama Asueman dari bahasa Tetun bukan dalam bahasa Bunaq pada hal penduduknya saat ini berbahasa Bunaq? 
Bisa jadi leluhur dahulu kala berbahasa Tetun di Aitoun bukan berbahasa Bunaq. Atau leluhur yang pertama kali memberi nama tempat ini adalah berbahasa Tetun bukan berbahasa Bunaq.  Bisa jadi juga orang Bunaq yang mendiami Asueman ini adalah pendatang baru. Bisa jadi ada peran perang antar wilayah pada zaman dulu sehingga suku Bunaq mendiami wilayah Tetun. Masih banyak nomena lain yang terus digali di balik fenomena Asueman. 

Demikian juga nama tempat Gua Bibilutun tempat leluhur sebelum pindah ke Asueman. Kata Bibilutun sendiri berasal dari kata bahasa Tetun, yaitu terbentuk dari kata bibi dan lutun. Kata bibi berarti kambing dan kata lutun berarti sekelompok kambing. Jadi kata Gua Bibilutun berarti sekelompok ternak kambing. Bisa jadi dahulu kala leluhur Asueman adalah penggembala kambing dan tempat Gua Bibilutun adalah tempat yang aman untuk tempat tinggal kambing terutama di dalam Gua di musim hujan dan pada malam hari. Bisa jadi dahulu kala leluhur nomaden bersama ternaknya dan tinggal bersama ternak kambing di tempat yang sangat aman di Gua Bibilutun. 


Video berikut ini tentang sejarah kediaman leluhur di Bibilutun dan kemudian berpindah ke Asueman. 
Video ini memberikan penjelasannya tentang dua tempat bersejarah leluhur Gua Bibilutun dan Asueman. 
Video ini berasal dari Pak Guru Oskar Mali, S.Pd. yang merekam lomba pidato siswa atau cerita di depan kelas oleh siswa SMP Satu Atap Wetear Kecamatan Raihat. Siswa yang berpidato adalah Irfan Bau. Sedang foto dan tugu anjing dalam video ini diambil dari google. Foto tugu Anjing dan patung anjing bukan dari Asueman tetapi dari tempat lain yang kebetulan penulis ambil untuk  memudahkan pembaca membayangkan Tugu anjing yang asli di Asueman, dimana saat ini penulis belum mendapat foto tugu anjing dan kuburan anjing di Asueman. 
Video ini dari Pak Oskar Mali, S.Pd.
Foto SDK Asueman dan Foto Anjing dan foto Tugu Anjing diambil dari Google. 



Penulis sering bertanya kepada Bapa Gabriel Mali, ayah kandung penulis, berasal dari rumah suku 
Asutalin. Mengapa ayah tidak makan daging RW?  Setiap kali kami anak anak dan keluarga menikmati daging RW, olahan daging anjing yang sangat enak ala olahan Suku Bunaq Aitoun, ayah tidak menikmatinya. Walaupun daging RW di mata dan lidah kami sangat enak, tetapi bukan bagi bapa Gabriel. 


  • Bapak Gabriel tidak pernah makan daging RW dengan olahan sebaik apapun. Bapak Gabriel memiliki Rumah Suku Asutalin  tinggal di Asueman. Fenomena ini tentu dan pasti punya nomenanya tersendiri.

   Bapa Gabriel berasal dari rumah Suku Astalin atau Asutalin. Kata Asutalin adalah kata bahasa Tetun, dari kata Asu dan kata Talin. Asu Artinya anjing dan talin berarti tali. Asutalin berarti Tali Anjing yang Pintar. Apakah ada hubungan cerita Asutalin dengan Asueman? 

Menurut ceritera lisan dari Bapak Gabriel Mali, ayah kandung penulis, Asueman atau kampung Asueman atau dalam bahasa daerah, Asueman tas (kampung/kota) itu ditemukan oleh seekor Anjing pintar yang pemiliknya berasal dari rumah suku Asutalin yang bertempat tinggal di Gua Bibilutun. 


Bagaimana Anjing pintar itu menemukan kampung Asueman? Leluhur dari rumah suku Asutalin memiliki seekor anjing yang sudah bunting dan mendekati masa beranak. Leluhur berumah suku Asutalin ini merasa heran ketika Anjingnya beberapa hari menghilang dalam keadaan bunting dan kemudian kembali ke Gua Bibilutun ke rumah pemiliknya, dengan keadaannya sudah beranak. Tempat dimana anjing pintar itu beranak, pemiliknya tidak tahu. 
Setelah anjing itu beranak, di tempat yang tidak diketahui pemilik anjing itu, pemilik berupaya untuk menemukan anak anjing di tempat dimana anjing itu beranak. Bagaimana caranya untuk tahu tempat dimana anjing beranak? Leluhur Suku Astalin sangat cerdas. Melihat fenomena ini sebagai sebuah persoalan dan segera mencari dan menemukan solusinya. Di leher anjing yang sudah beranak itu diikat sejumlah ketupat dengan tali dan semua ketupat itu diisi dengan abu dapur. 

Setelah tuannya memberi makanan dan minuman kepada Anjing Pintar itu maka Anjing itu dilepaspergikan dari  Gua Bibilutun ke tempat dimana anak-anaknya tinggal. Situasi saat itu tentu dipenuhi dengan hutan belantara dan semak-belukar dan jalan pun merupakan jalan setapak atau hanya melewati jalan tikus. 

Pemilik Anjing Pintar itu mengikuti jejak anjing pintar yang ditandai dengan jatuhnya abu dapur sepanjang jalan tikus sampai tempat anjing itu beranak. 

Benar sekali kecerdasan leluhur untuk menemukan tempat tinggal anak anjing lewat jatuhnya abu dapur yang diikat di leher Anjing pintar itu. 

Tepat sekali, bahwa tempat di mana anjing itu beranak, adalah sebuah tempat yang sangat indah dan luas pemandangannya. 

Leluhur menamai tempat yang indah pemandangannya itu adalah Asueman. Proses pemberian nama tentu tidak hanya atas pendapat satu orang. Pemberian nama ini  pasti melibatkan banyak pihak karena nama Asueman sangat berkaitan dengan berdirinya "mezbah" penemu kampung Asueman yang menjadi sebuah fenomena yang mengandung nomena majemuk. 


Disebut Asueman karena Asueman ditemukan leluhur karena pertolongan tuntunan Anjing Manusia yang cerdas di Wilayah suku bunaq Aitoun. 

Anjing manusia yang pintar itu tinggal di Gua Bibilutun pergi beranak di Asueman tempat yang baik, indah dan aman baginya dan anak-anaknya. 

Anjing ini pintar. Anjing ini cerdas. Tanda heran bisa terjadi lewat sarana Anjing pintar yang tepat pada saat dan tempat yang tepat pula. Di tempat itulah leluhur dirikan mezbah dan hingga kini menjadi bukti saksi terjadinya sejarah Asueman. Fenomena mezbah memiliki nomena yang polisemi. 

Tempat dan saat terjadinya mujizat itulah leluhur  mendirikan mezbah atau dalam bahasa bunaq Asueman disebut "bosok". Ada keyakinan bahwa di mezbah itulah roh leluhur penemu Asueman tas berdiam. Di tempat itulah dilakukan ritus-ritus adat oleh anggota rumah suku leluhur penemu Asueman. Di tempat itu pula Leluhur menguburkan Anjing Pintar penemu Asueman. 

Fenomena Kuburan dan Mezbah yang dilihat indera setiap pengunjung menyatakan nomena ganda. Fenomena Gua Bibilutun dan kata Asueman menyimpan rapi nomena majemuk bagi generasi Asueman kini dan selamanya. Realita Gua Bibilutun dan Asueman menyampaikan makna majemuk bagi generasi Asueman sepanjang masa.

Ada berbagai nomena majemuk yang harus digali dari fenomena perpindahan leluhur dari Bibilutun ke Asueman. Barangkali tempat Gua Bibilutun bukan tempat yang lebih aman bagi leluhur pada waktu itu. Barangkali Anjing pintar pun merasa tidak aman beranak di Gua Bibilutun dan sekitarnya. Barangkali Gua Bibilutun juga bukan tempat yang lebih aman bagi para pemilik kambing saat itu.

Lantas apakah ketika pemilik kambing pindah ke Asueman, kambingnya tetap tinggal di Gua Bibilutun? Pemilik kambing lebih aman tinggal di ketinggian Asueman. Lokasi di sekitar Asueman adalah lahan rata cukup luas dan layak untuk memelihara kambing. Bisa jadi sebagian leluhur membawa kambingnya dan sebagian kambing dan pemiliknya tetap tinggal di Bibilutun. Bisa jadi juga semua pemilik kambing pindah ke Asueman dan Bibilutun menjadi tempat yang aman hanya untuk menjaga dan memelihara kambing.

 Selain itu bukit Asueman adalah tempat strategis  untuk menjadi tempat tinggal. Asueman memiliki pemandangan yang indah. Bukit Asueman tempat paling aman dari serangan musuh. Kecerdasan leluhur memilih tempat tinggal yang aman dan strategis.

Fenomena Asueman dengan nomena yang tampak dalam nama Asueman bukan dalam bahasa bunaq tetapi dalam bahasa Tetun. Asueman menjadi sebuah kampung tempat tinggal karena barangkali leluhur pertama yang tinggal di Asueman adalah leluhur suku Asutalin. Fenomena nama Asutalin dalam bahasa Tetun, bukan dalam bahasa Bunaq. Di sana ada Bukti mezbah dan kuburan Anjing Manusia yang pintar yang menemukan Kampung Asueman. Hingga saat ini di Asueman ada tugu Anjing Manusia yang menemukan Kampung Asueman itu tetap dijaga dan dipelihara.  Di sana ada kuburan Anjing manusia yang cerdas yang menemukan Kampung Asueman tetap dijaga dan dipelihara. Leluhur sungguh sangat cerdas dalam memilih tempat tinggal berbasiskan cara berpikir pada zamannya. Kecerdasan itu terus ada, hidup dan selalu dihidupi dalam tubuh budaya  Aitoun kini dan selamanya.



Kalau lihat fenomena posisi lokasi Bibilutun dengan Asueman, Bibilutun di tempat yang lebih rendah sedangkan Asueman di puncak Bukit yang tertinggi. Fenomena gerak pindah dari wilayah rendah ke tempat yang tinggi sangat kaya dengan nomena yang sangat majemuk. 
Mengapa para leluhur meningalkan tempat tinggal di Gua Bibilutun dan mendiami tas (kampung/kota) Asueman? Apa kelebihannya sehingga leluhur berani meninggalkan Gua Bibilutun sebagai tempat yang aman dari serangan musuh, dan pergi tinggal di Asueman yang lebih terbuka? 

Leluhur meninggalkan Gua dan mendiami Asueman karena Kampung (tas/kota, dalam bahasa Bunaq) Asueman terletak di puncak bukit dengan pemandangan yang luas dan indah segar udaranya, melihat semua wilayah Lamaknen, Wilayah Timor Leste, wilayah Tohe, Asumanu dan Maumutin. 


Asueman letaknya di jantungnya Kecamatan Raihat.  Asueman pun aman karena dikelilingi dengan sadan atau pagar bebatuan yang kokoh serta pagar tanaman-padat-berduri yang menyulitkan musuh menyerang kampung Asueman. Pintu masuk keluarpun hanya dua yaitu bagian selatan dan utara dengan pagar batu dan tumbuhan-padat berduri. Asueman adalah tempat tinggal tertinggi di atas bukit yang sangat strategis. Asueman adalah tempat tinggi untuk mudah melihat musuh-musuh dari dataran rendah yang hendak datang menyerang. Karena  itu musuh dari arah yang lebih rendah gampang dilumpuhkan kekuatan bahkan nyawanya sendiri.
 

Asueman adalah tempat tertinggi di semua dusun yang ada di wilayah kedesaan Aitoun. 

Pertanyaan muncul, mengapa Leluhur Asueman beralih dari Gua Bibilutun yang letaknya di dataran rendah dan naik ke Bukit Asueman yang lebih tinggi jadi tempat tinggal? 

Apa ada hubungannya dengan filosofi Asueman yang memiliki pola pikir bahwa tempat tinggi adalah tempat tinggal sang roh supranatural, roh alam, dan roh leluhur, sehingga dengan demikian semua roh sesama manusia dan roh diri sendiri yang tinggal di tempat yang tinggi dapat lebih mudah menyatu dalam ruang-waktu di tempat tinggal roh-roh itu di Bukit Asueman? 

Hingga saat ini tokoh-tokoh terkemuka khusus di bidang Agama Katolik (empat pastor/imam/romo/pater) di Kedesaan Aitoun dari Asueman. Apakah ini ada kaitannya dengan Asueman yang letaknya di bukit tertinggi sedang dusun lainnya di lembah? 

Selain itu dari data Guru Agama Asueman bahwa Uskup Atambua berkebangsaan Eropa  sejak dulu sudah 2 kali mengunjungi Asueman Tas yang letaknya di bukit tertinggi di wilayah Kedesaan Aitoun. Sedangkan dusun yang lain di Aitoun belum dikunjungi. 

Apakah ini ada kaitannya dengan panggilan yang subur untuk menjadi pastor dan suster  dari Asueman pada saat ini? Mengapa Sekolah yang dibangun di Kampung ini diberi nama SDK Asueman? Apakah fenomena ini mengabadikan makna terdalam atau nomena dari Asueman yang mengandung polisemi?

Fenomena menunjukan bahwa dari Asueman empat pastor dan beberapa suster. Dari fenomena ini dapat menemukan nomena yang ada di balik fenomena ini. 

Nomenanya adalah kekuatan positif spiritual Asueman selalu setia mendukung putra-putrinya untuk menjadi imam dan suster. Roh Allah, Roh Alam, Roh Arwah Leluhur, Roh Sesama, dan Roh Pribadi menyatu berjalan di jalan positif yaitu jalan Allah untuk menyelamatkan Asueman-Aitoun dan dunia sejagat. 

Fenomena dan nomena ini melahirkan pola relasi spiritual Suku Bunaq Asueman-Aitoun seperti bagan di bawah ini. Inilah bagan filosofi pemikiran Suku Bunaq Asueman-Aitoun. Pola ini muncul di dalam sejumlah ritus adat suku Bunaq di Asueman-Aitoun.  Boleh disebutkan bahwa fenomena nama Asueman mengantar pembaca kepada nomena yang polisemi yang dapat digambarkan dalam bagan berikut ini untuk pembaca lebih  mendalaminya.
Pola pikir Asueman Aitoun seperti ini sejalan dengan Pola Pikir Teologi Agama Katolik. Lihat juga 
By. P.Benediktus Bere Mali,SVD


Untuk melihat letak Asueman Tas Anda dapat ikutinya dalam Tei Gol Suku Bunaq di dalam video di bawah ini. Di Bukit tertinggi tertulis Asueman Tas itulah tempat tinggal orang Asueman. Bapa Uskup Atambua asal benua Eropa pada zamannya telah dua kali mengunjungi umat Asueman Tas. 




ceritera lisan Bapak Gabriel Mali, ayah saya, saat ini Guru Agama Asueman dan Tua Adat  senior di Asueman-Aitoun.  

Bagi Ama Gabriel, fenomena Agama dan Adat berjalan di jalurnya masing-masing dan ternyata ada titik temunya tepatnya di nomena sang supranatural-agama maupun adat. 

Adat menyebutnya "Hot Ezen" muncul dalam setiap doa dalam ritus adat (A.A.Bere Tallo, 1978). Sang supranatural Agama Katolik adalah Allah. 

Fenomena nama berbeda tetapi nomenanya sama. Sama-sama bertemu dalam fenomena nama yang disebut dengan berbeda soundnya tetapi sama kontennya/nomena-nya yaitu sang-supranatural. 


Nama supranatural boleh beda karena dibentuk dan disebut dalam konteks antropologis yang berbeda. 

Tetapi intisarinya sama yaitu baik Agama Katolik Maupun Adat memiliki 3 unsur pokok dari sebuah fenonena Agama Katolik dan Agama Adat yaitu sang supranatural/Allah/Hot Ezen, Kitab Suci Tertulis/Kitab Adat Lisan, Gerak  isyarat tubuh dalam ritus Agama/Adat sehingga sang supranatural yang diyakini oleh penganutnya masing-masing tetap hidup dan kehidupan itu sendiri yang menjadi pusat keyakinan  sebagai nomena bagi para penganutnya. 

Nomena itu menjadi nilai yang mengemudi fenomena perilaku anggota Agama katolik/anggota rumah Adat. 

Demikian fenomena bahasa Agama/Adat dengan nomena Sang Supranatural dalam dua wilayah adat/agama. 

Informasi dari Bapak Gabriel Mali via telephone dari Surabaya ke Asueman, pada hari Jumat 30 November 2012.



Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar