*P. Benediktus Bere Mali, SVD*
Aitoun adalah sebuah desa yang terdapat
di Kecamatan Raihat, kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Situasi Aitoun Tas adalah tempat tinggal pertama leluhur pada zaman dulu kala. Pembaca tentu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi letak situasi terkini Aitoun. Inilah situasi Aitoun terkini dalam menjawabi rasa ingin tahu pembaca.
Aitoun mempunyai artinya yang sangat unik. Kata Aitoun atau nama Aitoun bukan berasal dari kata bahasa Bunaq, tetapi dari kata bahasa Tetun, terdiri dari kata Ai dan Toun. Ai adalah kata bahasa Tetun artinya Kayu. Ai
dalam bahasa Bunaq berarti hotel artinya
kayu, tree, artinya pohon. Toun berarti kuat, kokoh, tidak tergoyahkan oleh
apapun dan oleh siapapun.
Dengan demikian Aitoun adalah pohon yang berdiri kokoh menghalangi berbagai badai dan tantangan dan hambatan. Aitoun adalah pohon kekuatan, pohon kebaikan, pohon kebenaran, pohon keadilan, pohon kejujuran, pohon persahabatan, pohon persaudaraan, pohon keharmonisan, pohon kemanusian, pohon keilahian yang tetap berdiri kokoh di tengah badai dan gelombang apapun yang menyerang dan mengancam serta menghancurkannya.
Muncul pertanyaan, mengapa suku Bunaq Aitoun namanya sebagai Aitoun tetapi namanya itu bukan dalam bahasa Bunaq tetapi dalam bahasa Tetun? Fenomena ini menyimpan berbagai nomena dibaliknya yang masih memberi tanda tanya kritis setiap pembaca untuk mencari dan menemukan jawabannya.
Benar dan pasti leluhur penemu Aitoun adalah berbahasa Tetun. Bisa jadi juga Suku Bunaq berasal dari Suku Tetun. Boleh jadi juga bahwa Suku Bunaq mendiami Aitoun yang sudah ditemukan Suku Tetun. Bisa juga ada gandengan dengan peperangan antara daerah pada zaman dulu dari perspektif bahasa Tetun yang tempel dalam nama Aitoun.
Aitoun adalah nama Tetun sebuah fenomena yang mengungkap kebenaran nomena dalam nama Aitoun itu sendiri. Fenomena Aitoun kini mengungkap kemurnian nomena Aitoun itu sendiri secara historis, filosofis, psikologis, sosiologis, antroplogis, dan teologis untuk terus didalami.
Fenomena Aitoun juga bukan skedar kata. Aitoun adalah nama kampung leluhur. Letaknya di atas bukit yang tinggi. Bukit itu adalah bernama Aitoun. Fenomena dari lokasi tempat tinggal leluhur di bukit Aitoun menguak konsep Suku Bunaq Aitoun tentang Bukit atau gunung yang tinggi. Aitoun jauh dari Laut. Tetapi Aitoun di pegunungan, di Bukit tinggi. Fenomena bukit atau gunung tinggi mengungkap konsep suku Bunaq yang unik pula. Gunung atau bukit secara geografis dekat dengan langit. Langit adalah tempat tinggal Sang Roh Supranatural, tempat tinggal roh-roh alam, dan
tempat tinggal roh leluhur. Orang Aitoun tinggal di bukit menyatakan bahwa roh pribadi dan roh sesama tinggal dekat atau bersama roh supranatural, roh alam tempat tinggal membentuk cara berpikir suku Bunaq Aitoun.
Fenomena-nomena Aitoun sebagai tempat tinggal demikian memenuhi tiga tahap perkembangan cara berpikir dari Auguste Comte yaitu teologis, metafisik dan positivis tetapi sekaligus ada perbedaan khas cara berpikir Comte dengan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun.
Comte membuat proses berpikir hirarkis, pertama, paling rendah adalah cara berpikir teologis yaitu dari animisme, politeisme, dan kemudian monoteisme. Kedua, yang menengah, cara berpikir metafisik. Ketiga, paling tinggi, positivisme, cara berpikir berbasis data ilmiah yang paling baik dan benar. Comte memisahkan tiga cara berpikir secara terpisah hirarkis dan tidak terkoneksi satu sama lain. Bagan berikut membedakan cara pikir Barat dan Timur.
Dengan demikian Aitoun adalah pohon yang berdiri kokoh menghalangi berbagai badai dan tantangan dan hambatan. Aitoun adalah pohon kekuatan, pohon kebaikan, pohon kebenaran, pohon keadilan, pohon kejujuran, pohon persahabatan, pohon persaudaraan, pohon keharmonisan, pohon kemanusian, pohon keilahian yang tetap berdiri kokoh di tengah badai dan gelombang apapun yang menyerang dan mengancam serta menghancurkannya.
Muncul pertanyaan, mengapa suku Bunaq Aitoun namanya sebagai Aitoun tetapi namanya itu bukan dalam bahasa Bunaq tetapi dalam bahasa Tetun? Fenomena ini menyimpan berbagai nomena dibaliknya yang masih memberi tanda tanya kritis setiap pembaca untuk mencari dan menemukan jawabannya.
Benar dan pasti leluhur penemu Aitoun adalah berbahasa Tetun. Bisa jadi juga Suku Bunaq berasal dari Suku Tetun. Boleh jadi juga bahwa Suku Bunaq mendiami Aitoun yang sudah ditemukan Suku Tetun. Bisa juga ada gandengan dengan peperangan antara daerah pada zaman dulu dari perspektif bahasa Tetun yang tempel dalam nama Aitoun.
Aitoun adalah nama Tetun sebuah fenomena yang mengungkap kebenaran nomena dalam nama Aitoun itu sendiri. Fenomena Aitoun kini mengungkap kemurnian nomena Aitoun itu sendiri secara historis, filosofis, psikologis, sosiologis, antroplogis, dan teologis untuk terus didalami.
Fenomena Aitoun juga bukan skedar kata. Aitoun adalah nama kampung leluhur. Letaknya di atas bukit yang tinggi. Bukit itu adalah bernama Aitoun. Fenomena dari lokasi tempat tinggal leluhur di bukit Aitoun menguak konsep Suku Bunaq Aitoun tentang Bukit atau gunung yang tinggi. Aitoun jauh dari Laut. Tetapi Aitoun di pegunungan, di Bukit tinggi. Fenomena bukit atau gunung tinggi mengungkap konsep suku Bunaq yang unik pula. Gunung atau bukit secara geografis dekat dengan langit. Langit adalah tempat tinggal Sang Roh Supranatural, tempat tinggal roh-roh alam, dan
tempat tinggal roh leluhur. Orang Aitoun tinggal di bukit menyatakan bahwa roh pribadi dan roh sesama tinggal dekat atau bersama roh supranatural, roh alam tempat tinggal membentuk cara berpikir suku Bunaq Aitoun.
Fenomena-nomena Aitoun sebagai tempat tinggal demikian memenuhi tiga tahap perkembangan cara berpikir dari Auguste Comte yaitu teologis, metafisik dan positivis tetapi sekaligus ada perbedaan khas cara berpikir Comte dengan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun.
Comte membuat proses berpikir hirarkis, pertama, paling rendah adalah cara berpikir teologis yaitu dari animisme, politeisme, dan kemudian monoteisme. Kedua, yang menengah, cara berpikir metafisik. Ketiga, paling tinggi, positivisme, cara berpikir berbasis data ilmiah yang paling baik dan benar. Comte memisahkan tiga cara berpikir secara terpisah hirarkis dan tidak terkoneksi satu sama lain. Bagan berikut membedakan cara pikir Barat dan Timur.
Dalam konteks Aitoun, ketiga tahap cara berpikir manusia itu merupakan satu kesatuan yang sama-sama penting dalam bentuk pola yang melingkar bukan hirarkis. Dampaknya terasa pada kehidupan filosofis, sosiologis, antropologis dan psikologis, teologis Suku Bunaq Aitoun. Suku Bunaq Aitoun menganut cara berpikir terintegrasi teologis, metafisik, fisik. ketiganya setara, sederajat, sama-sama penting.
Bagan cara berpikir Aitoun mengandung cara berpikir Auguste Comte, tetapi bedanya terletak pada Auguste Comte memisahkan antara tiga tahap pemikiran itu dengan sistem berpikir hirarkis dan yang tertinggi adalah tahap cara berpikir yang berbasis data empiris. Sedangkan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun adalah ketiga cara berpikir itu pada posisinya setara berbentuk lingkaran sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain.
Bagan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun meliputi tiga macam (A,B,C) seperti di bawah ini.
Tiga cara berpikir di atas dari orang Aitoun mengantarnya cerdas dalam konteks dimana dan kapan dia berdiri. Ketika tempat dan waktunya adalah konteks adat maka di sana konsep berpikir harmoni energi positif dan negatif dijadikan fokus gaya berpikir, berperasaan, dan beraksi. Inilah kebijaksaan Orang Aitoun dalam hidupnya bersama yang lain.
Ketika waktu dan tempat eksistensinya adalah Gereja Katolik maka cara berpikir didominasi oleh energi positif sesuai cara berpikir teologi Katolik sebagai tempat dan waktu dalam memaknai ada bersama yang lain.
Ketika waktu dan tempatnya berdiri dalam keadaan marah tak terkenkali karena berbagai pemicu dari dalam maupun dari luar diri, yang sulit terkontrol dalam tempat dan waktu itu maka secara otomatis cara berpikirnya menyalurkan energi negatif dalam berpikirnya, perasaannya, dan ekspresi aksinya.
Bagan cara berpikir Aitoun mengandung cara berpikir Auguste Comte, tetapi bedanya terletak pada Auguste Comte memisahkan antara tiga tahap pemikiran itu dengan sistem berpikir hirarkis dan yang tertinggi adalah tahap cara berpikir yang berbasis data empiris. Sedangkan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun adalah ketiga cara berpikir itu pada posisinya setara berbentuk lingkaran sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain.
Bagan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun meliputi tiga macam (A,B,C) seperti di bawah ini.
A
Framework ini sangat cocok dengan teologi Katolik.
Ada titik temu dengan cara berpikir Suku bunaq Aitoun.
Dalam konsep Suku Bunaq cara berpikir ini terlalu menekankan roh positif.
(By. P.Benediktus Bere Mali, SVD)
B
Framework ini sangat tidak cocok dengan teologi Katolik.
Tetapi tetap ada misteri yang tidak tuntas diselesaikan atau dipecahkan.
Dari mana datangnya kejahatan?
Dalam konsep atau cara berpikir Suku bunaq Aitoun, Roh-roh itu marah karena lapar. Maka harus diberi makan agar kenyang dan kembali ke kediamannya. Caranya lewat ritus adat memberi makan kepada mereka. Ritus adat "bula ho'on" misalnya. Roh yang marah itu menyakiti manusia. Ritus adat yang kaya akan gerak tubuh dan isyarat memberi makan kepada roh marah itu di kenal "heruk lelek"atau "heruk wa" dari orang yang disakiti roh marah-lapar itu.
(By. P.Benediktus Bere Mali, SVD)
C
Framework ini sangat tidak cocok dengan Teologi Katolik.
Tetapi sangat cocok bagi cara berpikir Suku Bunaq Aitoun.
Terungkap dalam fenomena setiap ritus adat Suku Bunaq khususnya dalam contoh bagan B di atas.
Dalam konsep atau cara berpikir Suku bunaq Aitoun, Roh-roh itu marah karena lapar dan harus diberi makan agar ia tidak mengganggu manusia lewat menyakiti atau mendatangkan bencana lainnya kepada manusia Suku Bunaq Aitoun.
Baik Roh Positif maupun Roh Negatif diberi porsi yang sama dalam ritus adat yang dibuat suku Bunaq Aitoun. Ritus adat "bula ho'on" misalnya. Roh yang marah itu menyakiti manusia. Ritus adat ini sangat kaya akan gerak tubuh dan isyarat dalam memberi makan kepada roh marah itu di kenal "heruk lelek"atau "heruk wa" dari orang yang disakiti roh marah-lapar itu.
Ritus adat beri makan kepada Roh Lapar dan Roh Positif itu penting agar keduanya boleh hidup di jalurnya masing-masing. Tidak saling mengganggu satu sama lain.
implikasi konsep harmoni ini luarbiasa pada kamarahan publik pada penguasa yang mengabaikan orang miskin dan lapar dalam kehidupan sosial sebuah negara, misalnya.
(By. P.Benediktus Bere Mali, SVD)
Video berikut tentang ritus adat "bula hoo'on"
yang menampilkan tiga bagan pemikiran di atas. Lokasi ritus adat ini
di
Puncak Bukit Aitoun Tas
Video ini dari BapakMarianus Luan
Saksikan langsung Ritus Adat Bula Hoon
di Bukit Aitoun Tas.
Selain Ritus "Bula Ho'on" seperti dalam video di atas yang menampilkan tiga cara berpikir suku Bunaq Aitoun, juga pembaca dapat merasakan tiga cara berpikir itu dalam ritual adat di atas UMON yaitu mezbah di setiap kebun atau ladang atau sawah di Suku Bunaq
&
Ketika waktu dan tempat eksistensinya adalah Gereja Katolik maka cara berpikir didominasi oleh energi positif sesuai cara berpikir teologi Katolik sebagai tempat dan waktu dalam memaknai ada bersama yang lain.
Ketika waktu dan tempatnya berdiri dalam keadaan marah tak terkenkali karena berbagai pemicu dari dalam maupun dari luar diri, yang sulit terkontrol dalam tempat dan waktu itu maka secara otomatis cara berpikirnya menyalurkan energi negatif dalam berpikirnya, perasaannya, dan ekspresi aksinya.
Dalam gandengannya dengan Fenomena pohon Aitoun menghadirkan nomena pohon Aitoun sebagai pohon kebenaran, kebaikan, keadilan, kejujuran,
persahabatan yang kokoh, cara berpikir harmonislah yang paling bijaksana dalam menyaring beraneka cara berpikir ekstrim kanan atau kiri yang datang berbaur dengan cara berpikir Aitoun. Semua yang mendukung konsep harmoni dari Suku Bunaq Aitoun diterima sebagai sebuah kekayaan sesuai konteks zaman dan tempat. Tetapi semua yang ekstrim kiri atau kanan perlu diwaspadai.
Putera dan Puteri Generasi muda Suku
Bunaq Aitoun adalah penjaga dan pemelihara Aitoun sebagai pohon kebenaran, kebaikan, keadilan serta hikmat-kebijaksanaan, agar pohon Aitoun ini tetap berdiri kokoh dalam menghadapi badai dan gelombang zaman yang menghantam kekokohan Aitoun.
Bentuk pemeliharaan itu, harus nyata.
Contoh, menulis dan mempublikasikan hakekat Aitoun harus digalakkan. Dengan demikian Roh Aitoun
itu akan selalu hidup dan bergerak dari Kepala
ke Kepala, dari hati ke hati lewat membaca tulisan tentang Aitoun, mendengar tentang makna Aitoun dan lewat menulis tentang Aitoun.
Benar sekali bahwa Aitoun merangkum fenomena sekaligus nomena bagi generasi Aitoun di seluruh dunia. Fenomena Aitoun selalu terbuka untuk ditilik dari aneka perspektif. Misalnya Menilik Kecerdasan Majemuk Suku Bunaq Aitoun dari kacamata Howard Gardner dan atau dari perspektif fenomena dan nomena Immanuel Kant.
–Roland Barthes. The Pleasure of the tex-
Teks yang menggairahkan pembaca.
Membaca bukan lagi mencari melainkan menunda makna, bukan mencari struktur melainkan menstrukturasi, bukan untuk mengonsumsi melainkan memproduksi teks.
Teks kemudian harus menjadi bisa membawa alam bawah sadar pembaca merumuskan teks baru atas pembacaannya itu.
Itulah kenikmatan sebuah teks yang dibaca
-Roland Barthes-
Benar sekali bahwa Aitoun merangkum fenomena sekaligus nomena bagi generasi Aitoun di seluruh dunia. Fenomena Aitoun selalu terbuka untuk ditilik dari aneka perspektif. Misalnya Menilik Kecerdasan Majemuk Suku Bunaq Aitoun dari kacamata Howard Gardner dan atau dari perspektif fenomena dan nomena Immanuel Kant.
“Ketika teks sudah dilempar keluar, maka pengarang sudah mati”
–Roland Barthes. The Pleasure of the tex-
Teks yang menggairahkan pembaca.
Membaca bukan lagi mencari melainkan menunda makna, bukan mencari struktur melainkan menstrukturasi, bukan untuk mengonsumsi melainkan memproduksi teks.
Teks kemudian harus menjadi bisa membawa alam bawah sadar pembaca merumuskan teks baru atas pembacaannya itu.
Itulah kenikmatan sebuah teks yang dibaca
-Roland Barthes-
Daftar Pustaka
A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978
(2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..
(2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..