Kamis, November 15, 2012

Menikmati Cara Berpikir Suku Bunaq Aitoun di Timor Tengah

  
 

*P. Benediktus Bere Mali, SVD*

Aitoun adalah sebuah desa yang terdapat di Kecamatan Raihat, kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.  Situasi Aitoun Tas adalah tempat tinggal pertama leluhur pada zaman dulu kala. Pembaca tentu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi letak situasi terkini Aitoun.  Inilah situasi Aitoun terkini dalam menjawabi rasa ingin tahu pembaca. 

Aitoun mempunyai artinya yang sangat unik. Kata Aitoun atau nama Aitoun bukan berasal dari kata bahasa Bunaq, tetapi dari kata bahasa Tetun,  terdiri dari kata Ai dan Toun. Ai adalah kata bahasa Tetun artinya Kayu. Ai dalam bahasa Bunaq berarti  hotel artinya kayu, tree, artinya pohon.  Toun berarti kuat, kokoh, tidak tergoyahkan oleh apapun dan oleh siapapun.  

Dengan demikian Aitoun adalah pohon yang berdiri kokoh menghalangi berbagai badai dan tantangan dan hambatan. Aitoun adalah pohon kekuatan, pohon kebaikan, pohon kebenaran, pohon keadilan, pohon kejujuran, pohon persahabatan, pohon persaudaraan, pohon keharmonisan, pohon kemanusian, pohon keilahian yang tetap berdiri kokoh di tengah badai dan gelombang apapun yang menyerang dan mengancam serta menghancurkannya. 

Muncul pertanyaan, mengapa suku Bunaq Aitoun  namanya sebagai Aitoun tetapi namanya itu bukan dalam bahasa Bunaq tetapi dalam bahasa Tetun? Fenomena ini menyimpan berbagai nomena dibaliknya yang masih memberi tanda tanya kritis setiap pembaca untuk mencari dan menemukan jawabannya.

Benar dan pasti leluhur penemu Aitoun adalah berbahasa Tetun. Bisa jadi juga Suku Bunaq berasal dari Suku Tetun. Boleh jadi juga bahwa Suku Bunaq mendiami Aitoun yang sudah ditemukan Suku Tetun. Bisa juga ada gandengan dengan peperangan antara daerah pada zaman dulu dari perspektif bahasa Tetun yang tempel dalam nama Aitoun. 

Aitoun adalah nama Tetun sebuah fenomena yang mengungkap kebenaran nomena dalam nama Aitoun itu sendiri. Fenomena Aitoun kini mengungkap kemurnian nomena Aitoun itu sendiri secara historis, filosofis, psikologis, sosiologis, antroplogis, dan teologis untuk terus didalami. 

Fenomena Aitoun juga bukan skedar kata. Aitoun adalah nama kampung leluhur. Letaknya  di atas bukit yang tinggi. Bukit itu adalah bernama Aitoun. Fenomena dari lokasi tempat tinggal leluhur di bukit Aitoun menguak konsep Suku Bunaq Aitoun tentang Bukit atau gunung yang tinggi. Aitoun jauh dari Laut. Tetapi Aitoun di pegunungan, di Bukit tinggi. Fenomena bukit atau gunung tinggi mengungkap konsep suku Bunaq yang unik pula.   Gunung atau bukit secara geografis dekat dengan langit. Langit adalah tempat tinggal Sang Roh Supranatural,  tempat tinggal roh-roh alam, dan 
tempat tinggal roh leluhur. Orang Aitoun tinggal di bukit menyatakan bahwa roh pribadi dan roh sesama tinggal dekat atau bersama roh supranatural, roh alam tempat tinggal membentuk cara berpikir suku Bunaq Aitoun.

Fenomena-nomena Aitoun sebagai tempat tinggal demikian memenuhi tiga tahap perkembangan cara berpikir dari Auguste Comte yaitu teologis, metafisik dan positivis tetapi sekaligus ada perbedaan khas cara berpikir Comte dengan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun. 

Comte membuat proses berpikir hirarkis, pertama, paling rendah adalah cara berpikir teologis yaitu dari animisme, politeisme, dan kemudian monoteisme. Kedua, yang menengah, cara berpikir metafisik. Ketiga, paling tinggi, positivisme, cara berpikir berbasis data ilmiah yang paling baik dan benar. Comte memisahkan tiga cara berpikir secara terpisah hirarkis dan tidak terkoneksi satu sama lain. Bagan berikut membedakan cara pikir Barat dan Timur. 







Dalam konteks Aitoun, ketiga tahap cara berpikir manusia itu merupakan satu kesatuan yang sama-sama penting dalam bentuk pola yang melingkar bukan hirarkis. Dampaknya terasa pada kehidupan filosofis, sosiologis, antropologis dan psikologis, teologis Suku Bunaq Aitoun. Suku Bunaq Aitoun menganut cara berpikir terintegrasi teologis, metafisik, fisik. ketiganya setara, sederajat, sama-sama penting.

Bagan cara berpikir Aitoun mengandung cara berpikir Auguste Comte, tetapi bedanya terletak pada Auguste Comte memisahkan antara tiga tahap pemikiran itu dengan sistem berpikir hirarkis dan yang tertinggi adalah tahap cara berpikir yang berbasis data empiris. Sedangkan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun adalah ketiga cara berpikir itu pada posisinya setara berbentuk lingkaran sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain. 

Bagan cara berpikir Suku Bunaq Aitoun meliputi tiga macam (A,B,C)  seperti di bawah ini.  


A

Framework ini  sangat cocok dengan teologi Katolik.
Ada titik temu dengan cara berpikir Suku bunaq Aitoun. 
Dalam konsep Suku Bunaq cara berpikir ini terlalu menekankan roh positif. 

(By. P.Benediktus Bere Mali, SVD)

B
Framework ini  sangat tidak cocok dengan teologi Katolik. 
Tetapi tetap ada misteri yang tidak tuntas diselesaikan atau dipecahkan. 
Dari mana datangnya kejahatan?
Dalam konsep atau cara berpikir Suku bunaq Aitoun, Roh-roh itu marah karena lapar. Maka harus diberi makan agar kenyang dan  kembali ke kediamannya. Caranya lewat ritus adat memberi makan kepada mereka. Ritus adat "bula ho'on" misalnya. Roh yang marah itu menyakiti manusia. Ritus adat yang kaya akan gerak tubuh dan isyarat memberi makan kepada roh marah itu di kenal "heruk lelek"atau "heruk wa" dari orang yang disakiti roh marah-lapar itu.
(By. P.Benediktus Bere Mali, SVD)




C


Framework ini  sangat tidak cocok dengan Teologi Katolik. 
Tetapi sangat cocok bagi cara berpikir Suku Bunaq Aitoun. 
Terungkap dalam fenomena setiap ritus adat Suku Bunaq khususnya dalam contoh bagan B di atas. 
Dalam konsep atau cara berpikir Suku bunaq Aitoun, Roh-roh itu marah karena lapar dan harus diberi makan agar ia tidak mengganggu manusia lewat menyakiti atau mendatangkan bencana lainnya kepada manusia Suku Bunaq Aitoun.
Baik Roh Positif maupun Roh Negatif diberi porsi yang sama dalam ritus adat yang dibuat suku Bunaq Aitoun.  Ritus adat "bula ho'on" misalnya. Roh yang marah itu menyakiti manusia. Ritus adat ini sangat kaya akan gerak tubuh dan isyarat dalam memberi makan kepada roh marah itu di kenal "heruk lelek"atau "heruk wa" dari orang yang disakiti roh marah-lapar itu. 
Ritus adat beri makan kepada Roh Lapar dan Roh Positif itu penting agar keduanya boleh hidup di jalurnya masing-masing. Tidak saling mengganggu satu sama lain.
implikasi konsep harmoni ini luarbiasa pada kamarahan publik pada penguasa yang mengabaikan orang miskin dan lapar dalam kehidupan sosial sebuah negara, misalnya. 
(By. P.Benediktus Bere Mali, SVD)





Video berikut tentang ritus adat "bula hoo'on" 
yang menampilkan tiga bagan pemikiran di atas. Lokasi ritus adat ini 
di 
Puncak Bukit Aitoun Tas



Video ini dari BapakMarianus Luan
Saksikan langsung Ritus Adat Bula Hoon
di Bukit Aitoun Tas.

Selain Ritus "Bula Ho'on" seperti dalam video di atas yang menampilkan tiga cara berpikir suku Bunaq Aitoun, juga pembaca dapat merasakan tiga cara berpikir itu dalam ritual adat di atas UMON yaitu mezbah di setiap kebun atau ladang atau sawah di Suku Bunaq 
&


Tiga cara berpikir di atas dari orang Aitoun mengantarnya cerdas dalam konteks dimana dan kapan dia berdiri. Ketika tempat dan waktunya adalah konteks adat maka  di sana konsep berpikir harmoni energi positif dan negatif dijadikan fokus gaya berpikir, berperasaan, dan beraksi. Inilah kebijaksaan Orang Aitoun dalam hidupnya bersama yang lain. 

Ketika waktu dan tempat eksistensinya adalah Gereja Katolik maka cara berpikir didominasi oleh energi positif sesuai cara berpikir teologi Katolik sebagai tempat dan waktu dalam memaknai ada bersama yang lain.

Ketika waktu dan tempatnya berdiri dalam keadaan marah tak terkenkali karena berbagai pemicu dari dalam maupun dari luar diri, yang sulit terkontrol dalam tempat dan waktu itu maka secara otomatis cara berpikirnya menyalurkan energi negatif dalam berpikirnya, perasaannya, dan ekspresi aksinya. 



Dalam gandengannya dengan Fenomena pohon Aitoun menghadirkan nomena pohon Aitoun sebagai pohon kebenaran, kebaikan, keadilan, kejujuran, persahabatan yang kokoh, cara berpikir harmonislah yang paling bijaksana  dalam menyaring   beraneka cara berpikir ekstrim kanan atau kiri  yang datang berbaur dengan cara berpikir  Aitoun.  Semua yang mendukung konsep harmoni dari Suku Bunaq Aitoun diterima sebagai sebuah kekayaan sesuai konteks zaman dan tempat. Tetapi semua yang ekstrim kiri atau kanan perlu diwaspadai. 



Putera dan Puteri Generasi muda Suku Bunaq  Aitoun adalah penjaga dan pemelihara Aitoun sebagai pohon kebenaran, kebaikan, keadilan serta hikmat-kebijaksanaan, agar pohon Aitoun ini tetap berdiri kokoh dalam menghadapi badai dan gelombang zaman yang menghantam kekokohan Aitoun. 

Bentuk pemeliharaan itu, harus nyata. Contoh, menulis dan mempublikasikan hakekat Aitoun harus digalakkan. Dengan demikian Roh Aitoun itu akan  selalu hidup dan bergerak dari Kepala ke Kepala, dari hati ke hati lewat membaca tulisan tentang Aitoun, mendengar tentang makna Aitoun dan  lewat menulis tentang Aitoun. 

Benar sekali bahwa Aitoun merangkum fenomena sekaligus nomena bagi generasi Aitoun di seluruh dunia. Fenomena Aitoun selalu terbuka untuk ditilik dari aneka perspektif. Misalnya Menilik Kecerdasan Majemuk Suku Bunaq Aitoun dari kacamata Howard Gardner dan atau dari perspektif fenomena dan nomena Immanuel Kant.




 “Ketika teks sudah dilempar keluar, maka pengarang sudah mati”

–Roland Barthes. The Pleasure of the tex- 




Teks yang menggairahkan pembaca.


Membaca bukan lagi mencari melainkan menunda makna, bukan mencari struktur melainkan menstrukturasi, bukan untuk mengonsumsi melainkan memproduksi teks.
Teks kemudian harus menjadi bisa membawa alam bawah sadar pembaca merumuskan teks baru atas pembacaannya itu. 



Itulah kenikmatan sebuah teks yang dibaca
-Roland Barthes-




Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..




Rabu, November 14, 2012

Kotbah Misa Harian, Kamis 15 November 2012, Di Soverdi Surabaya



KEWIBAWAAN PEWARTA

Flm 7-20; Luk 17:20-25
 

(P. Benediktus Bere Mali, SVD)


KETIKA BAHASA AGAMA RONTOK, demikian judul artikel Opini, karangan AHMAD SYAFII MAARIF, dalam Kompas, Rabu, 14 November 2012, p.6. Isinya tentang kekalahan partai yang berlabel agama, dalam kampanye pilkada cawagub DKI beberapa waktu lalu.


Kekalahan itu karena bahasa agama yang digunakan dalam kampanye bukan lahir dari kesaksian hidup tetapi hanya berteori. Kembalikan kewibawaan bahasa agama adalah dengan mengkonkretkan bahasa agama memihak orang kecil, sebagai visi dasar partai berlabel keagamaan.


Atau dapat merangkum isi artikel itu dalam pertanyaan dan jawaban sebagai berikut.  Apa perbedaan antara bahasa agama rontok dengan bahasa agama berwibawa? Perbedaannya adalah terletak di dalam penjelasan sebagai berikut. Bahasa agama yang berwibawa adalah bahasa agama yang disampaikan dalam kata-kata yang lahir dari pelaksanaan atau kesaksian hidup berdasarkan keimanan yang berkemanusiaan dan kemanusiaan yang berkeimanan. Kesaksian hidup itu adalah hidup dan kehidupan setiap hari, yang selalu memihak orang kecil yang menjadi fokus agama. Sedangkan bahasa agama yang rontok, adalah bahasa yang indah dalam ungkapannya, tetapi realitas pelaksanaannya jauh dari visi dan misi agama yang mengutamakan keselamatan universal.



"Kerajaan Allah sudah ada di antara kamu." Ini adalah bahasa agama. Kerajaan Allah adalah nilai keadilan, kebenaran , kebaikan, kedamaian dan kesejahteraan dan kebahagiaan. Bahasa agama ini akan berwibawa kalau orang yang beragama yang mewartakan Kerajaan Allah itu terlebih dahulu menghidupi Kerajaan Allah itu di dalam diri sendiri sebagai basis pergi mewartakan khabar sukacita Injil kepada dunia sejagat. Sebaliknya Kerajaan Allah yang adalah bahasa keagamaan itu akan rontok kalau seorang pembicara, hidupnya tidak bermoral, dan tidak beretika.



Contoh. Seorang pengkotbah berkotbah setiap kali memimpin Perayaan Ekaristi. Kata-katanya yang bersumberkan bahasa keagamaan atau Kitab Suci itu akan kehilangan kewibawaannya kalau hidup pengkotbah itu tidak bermoral dan tidak berbudi pekerti luhur. Sebaliknya pengkotbah yang berwibawa adalah bahasa keagamaan yang diucapkannya itu lahir dari kesaksian hidupnya sendiri.



Misalnya, seorang ketua lingkungan yang saleh, sopan, jujur, rajin dan disiplin menjalankan hidup dan tanggungjawabnya sebagai ketua lingkungan, akan disegani serta selalu menerima respek dari anggota lingkungannya karena dia memiliki kewibawaannya dalam kata dan perbuatan. Sebaliknya seorang ketua lingkungan yang hidup moralnya merosot, tentu tidak akan menerima respek yang dalam, dari anggota umat selingkungan.


Apakah Anda memiliki kewibawaan dalam mewartakan Injil?

Kotbah Misa Harian, Rabu 14 Nopember 2012



TuHAN Kasih Saya : THANKS

(Tit 3:1-7; Luk 17:11-19)
Kotbah Misa Harian, Rabu, 14 Nopember 2012
Di Soverdi Surabaya


(P. Benediktus Bere Mali, SVD)


Setiap Saat Tuhan Kasihi Kita manusia. Kasih berarti memberi. Tuhan selalu memberi hidup dalam nafas hidup yang kita alami. Tuhan selalu memberi tubuh kita dengan segala kelengkapan inderanya. Tuhan memberi mata yang normal. Tuhan memberi pendengaran yang sehat. Tuhan memberi kemampuan otak dan hati serta fisik yang baik dan sehat. Tuhan memberikan KASIHNYA kepada kita melalui sesama kita.


Siapakah sesama itu? Sesama itu adalah kedua orang tua yang telah melahirkan dan menjaga serta membesarkan kita dalam kemampuan otak dan hati serta fisik. Para Guru, dosen dan pendidik formal dan non-formal yang membuat diri kita semakin terbentuk sesuai kehendak Tuhan yang menyelamatkan. Para donatur dan para pendoa bagi kita. Para misionaris yang meninggalkan kampung halamannya, dan membangun secara fisik dan SDM di tempat kita, di paroki dan keuskupan kita. Para dokter, perawat, bidan, serta analis kesehatan yang merawat dan mengobati kita saat sakit.


Tuhan sungguh mengasihi kita. (K)uasa (A)llah (S)enantiasa (I)si (H)ati = (KASIH) kita manusia. Kuasa yang Tuhan beri kepada kita adalah kuasa hanya untuk kebaikan dan kebenaran, serta keselamatan universal, melintasi batas-batas buatan manusia.


Apa contoh nyata bahwa Tuhan memberi keselamatan universal melintas batas ? Tuhan Yesus seorang Yahudi masuk Samaria. Ada sepuluh orang sakit kusta datang kepadaNya untuk disembuhkan. Tuhan memberi Kasih kesembuhan kepada mereka. Padahal, orang Yahudi memandang rendah orang Samaria karena mereka dipandang kafir dan bukan bangsa pilihan Allah. Orang merasa jijik mendekati Orang Samaria.


TetapiYesus melalui kedatanganNya ke Samaria dan teristimewa menyembuhkan orang Sakit Kusta, meruntuhkan tembok stereotipe Yahudi terhadap orang Samaria. Pandangan warisan leluhur yang merendahkan martabat dan harkat manusia dirobohkan.


Kemanusiaan universal dan secitra Allah dari anak manusia dibangun kembali di dalam pandangan Yahudi maupun Samaria, sebagai dasar kokoh sumber hidup dan kehidupan manusia. Perbedaan dalam kesetaraan dan kesetaraan dalam perbedaan menjadi pola pikir, kata dan perilaku dalam hidup bersama.


Demikian KASIH Tuhan. KASIH berarti (K)ehendak (A)llah (S)elalu (I)si (H)ati. Hati itu adalah hatimu, hatiku, hati kita semua. Hati yang terbuka kasih Allah selalu meresponsnya secara positif dalam pikir, kata, tindakan.


Sebaliknya ketika pikir, kata, tindakan yang merendahkan sesama, adalah ANTI Kasih Tuhan. ANTI berarti (A)ku ( N)ekat (T)anpa (I)lahi/Allah. Dosa adalah ANTI Tuhan. Untuk kembali kepada PRO Tuhan, perlu pertobatan dalam cara berpikir, berkata-kata, dan bertindak.


Apakah kita tahu berterimakasih dan bersyukur kepada Tuhan yang selalu memberikan KASIH kepada kita setiap saat? Belajarlah pada sepuluh orang kusta yang sama-sama menerima kasih kesembuhan dari Tuhan Yesus.


Tetapi hanya satu yang datang berkata terimakasih kepada Tuhan Yesus. Apakah kita adalah satu yang tahu berterimakasih atau sembilan yang tidak tahu adat berterimakasih?


Mari kita tengok ke dalam ruangan hati, apakah disana ada tertulis tahu terimakasih kepada Tuhan dan sesama yang membentuk kita, atau di sana penuh dengan tulisan tidak tahu adat terimakasih?

Selasa, November 13, 2012

"NO HATAMA", DI MALANG Minggu 11 Nopember 2012



MENJADI
KETUA SUKU BUNAQ 
SEMALAM   “NO HATAMA"
DI MALANG


(P. Benediktus Bere Mali, SVD)



Orang yang banyak jalan, banyak pula yang dikunjungi, banyak pula yang dilihat, banyak pula yang didengar, banyak juga makna yang dihirup. Hari ini Minggu 11 Nopember 2012, acara  hantaran adat dari calon mempelai Pria kepada calon mempelai wanita. Acara ini dalam bahasa ibu, bahasa Buna’ disebut dengan istilah “ No Hatama”. Saya sendiri sebagai salah satu bagian dari keluarga calon mempelai pria.



Kami datang ke kediaman mempelai perempuan tepat pukul 19.00 WIB. Setiba di pondok mempelai perempuan, kami menerima sambutan hangat dalam suasana kekeluargaan yang sangat akrap. Hantaran langsung diterima dan disimpan di kamar pengantin. Kami langsung dipersilahkan duduk di kediaman mempelai perempuan.



Acara sapaan selamat datang dan perkenalan pun dimulai. Acara ini dipandu oleh MC atau juru bicara dari keluarga mempelai perempuan maupun dari keluarga mempelai laki-laki.


Pertama-tama disampaikan maksud dan tujuan kedatangan keluarga mempelai laki-laki yaitu untuk menyampaikan kepastian status calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai perempuan, yang akan diresmikan dalam sakramen pernikahan pada tanggal 12 Nopember 2012 di Gereja Katedral Malang.



Keluarga baru ini berasal dari adat dan budayasebagai akarnya yang pertama, maka pada malam hari ini malam perkenalan adat dan budaya kedua calon mempelai.  


Diawali perkenalan pihak keluarga calon mempelai laki-laki yang dipandu oleh Om Mis sebagai juru bicara calon mempelai laki-laki.  


Lalu disambung perkenalan pihak keluarga calon mempelai perempuan, yang dipimpin oleh juru bicara dari calon mempelai perempuan.

Kemudian serah kain adat Kasih dari keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita, lalu di susul dengan doa syukur bagi kedua mempelai dan doa santap malam bersama lalu komukasi santai kekeluargaan lalu bubar.


Menarik  sekali  ketika serah kain adat Timor dan kalung emas dari keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita. Pemaknaan atas peristiwa pengalungan selendang dari orang tua calon mempelai pria kepada orang tua calon mempelai wanita serta pengalungan selendang kepada adiknya calon mempelai wanita serta penyerahan kalung emas kepada calon mempelai perempuan, dipandu oleh putera suku Bunaq yaitu P. Benediktus Bere Mali, SVD sebagai keluarga dari calon mempelai pria yang adalah darah suku Buna’  juga.



Mengapa harus saya? Karena yang hadir dibelakang Bapak Martinus Meta sebagai “malu bul” bagi saya sebagai “aiba’a”,  hanyalah saya seorang diri. Maka ini adalah wakil istimewa dari darah “malu – aiba’a”. 


Peristiwa pengalungan selendang adalah sebuah peristiwa adat penerimaan tamu agung yang datang di daerah suku Buna’ dan sekaligus sebagai penghormatan dan selamat datang di daerah suku Buna’.  Artinya dengan pengalungan ini, tamu atau pendatang bukan menjadi orang luar yang menjadi asing, tetapi sudah menjadi bagian dari mereka yang menerima. Suasananya dari keterasingan – orang luar berubah  menjadi orang dalam bagian dari penerima.



Pada malam hari ini konteks pengalungan selendang memberikan kesan yang indah. Selendang atau kain adat ini adalah kain adat Timor. Mengapa kain adat Timor? Karena Nando calon mempelai pria ini berasal dari akarnya yaitu darah Timor, dari darah ayahnya dari Timor, khusus suku Buna’. Menerima Nando berarti menerima adat dan budaya Timor khusus suku Buna’.


Dengan memberikan pengalungan selendang – kain adat Timor ini menunjukkan bahwa ikatan keluarga Nando dengan Widya, bukanlah hanya ikatan pribadi Nando-Widya melainkan ikatan ini adalah ikatan seluruh keluarga besar Nando-dengan keluarga besar Widya. Ikatan ini adalah ikatan adat dan budaya Nando – dengan adat dan budaya Widya. Maksudnya Nando menghargai dan menjunjung tinggi keunggulan adat dan budaya Widya.  Demikian juga Widya menghargai dan menjunjung tinggi keunggulan adat dan budaya Nando.

Usai penyampaian makna kain adat,  saya memberikan kesempatan kepada Bapak Martinus Yosef Meta sebagai ayah dari calon mempelai laki-laki, memberikan pengalungan selendang adat Timor kepada Bapak Hari sebagai ayah dari calon mempelai perempuan, lalu disusul  Ibu Martinus sebagai mama dari calon mempelai pria mengalungkan selendang kepada ibu Hari sebagai mama dari calon mempelai perempuan, dan Arni sebagai saudari kandung calon mempelai pria mengalungkan selendang kepada Mba Dea sebagai adik kandung dari calon mempelai perempuan. Pengalungan itu disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah dari para undangan dan keluarga besar kedua calon mempelai Nando – Widya.


Setelah tepuk tangan meriah atas pengalungan kain adat itu, disusul dengan pemaknaan pemberian kalung emas dari ibu Martinus kepada anak mantunya. Di awali dengan sejarah kalung emas ini dan pemaknaannya.


Kaluang Emas ini berasal dari nenek dan kakeknya Nando yang ada di Timor. Kalung ini diberikan kepada ibu Martinus saat menjadi anak mantunya.  Kalung yang sama, yang berasal dari nenek dan kakeknya Nando yang ada di Timor itulah yang pada malam hari ini akan dan segera diberikan kepada Widya sebagai anak mantu dari Bapak dan Ibu Martinus.


Maksudnya dengan menerima dan mengenakan kalung emas ini, Widya secara sadar, bahwa kalung emas ini dari nenek dan kekeknya Nando, dan Widya dengan penuh kesadaran menghormati dan menghargai Nenek dan Kakek Nando, Bapak dan Mama Nando, saudara dan saudari Nando, keluarga besar Nando, adat dan budaya keluarga Nando.  Lalu Ibu Martinus mengalungkan Kalung Emas kalung bersejarah itu kepada Widya sebagai anak mantunya.  Ibu Martinus sempat berbisik di telinga anak mantunya sambil mengalungkan kalung bersejarah itu dalam bahasa Belu – Timor “Uma nain  foun uma nain laran fehan” artinya anak mantu yang sangat baik.



Demikianlah makna dari peristiwa kain Kasih dan kalung Kasih. Disebut Kain Adat Kasih dan Kalung Kasih. Mengapa?


Karena kami memberi singkatan kata KASIH demikian. KASIH : Keunggulan Adat dan budaya Selalu Isi Hati. Hati itu adalah hati Widya-Hati Nando, hati keluarga Nando dan keluarga Widya serta hati kita semua.


Akhirnya kami memberikan harapan bahwa jikalau kain Kasih dan kalung kasih hilang termakan usia, maka maknanya tetap dan pasti berdiam di hati Widya dan keluarga Widya serta kita semua yang hadir dan menjadi saksi pada malam hari ini.


Kalau demikian, tepat kata sang filsuf, ketika kata-kata terucap mulut pembicara dan dan maknanya diterima telinga hati pendengar, maka jiwa kata kata ini bukan lagi menjadi milik pembicara tetapi telah menjadi milik penerima berita.  Dengan demikian, jiwa, roh, spirit pembicaraan, kata-kata, atau tulisan tetap hidup dari waktu ke waktu, dari hati ke hati, dan dari kepada ke kepala.***



Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..