Minggu, Februari 03, 2008

Silsilah Keluarga dan Warisan dalam Sistem Matrilineal Suku Bangsa Bunak

Sebuah Contoh Silsilah

Vitalis Koi menikah dengan Rofina Lika menurunkan putera-peterinya yaitu Thresia Dau, Simon Tes, Savina Moru, Maria Boe, Maria Biak, Maria Hoar, Simon Kali, Salamon Mau, Yeremias Berek, Oliva Lawa Koi.


Bapak Gabriel Mali menikah dengan Oliva Lawa Koi menurunkan keturunan Maria Yasinta Bui, Maria Yustina Soik, Maria Ermelinda Boe, Thomas Maximus B, Benediktus BM, Marianus Luan, Marsiana Lika, Maria Gervasia Lawa.


Maria Yasin Bui Menikah dengan Dominikus Siri dan Menurunkan keturunan Anthonius Kristianus T, Ernestina Motu,Inosensia Lawa, Inosensia Lawa, Yohanes Bosco, Ensi Lawa.


Maria Yustina Soik menikah dengan Thobias M dan menurunkan Elfrida Dau, Ferdi M, Liu M, Yunita Lawa


Maria Ermelinda Boe menikah dengan Linus M, menurunkan Oscar M Asa, Rit M, dan Dino M



Warisan dalam Sistem Matrilineal


Sistem Matrilineal suku bunak sangat khas. Keunikannya terletak dalam penentuan garis keturunan. Anak laki-laki bukan menjadi penentu garis keturunan. Anak perempuanlah yang menentukan garis keturunan. Kebun, harta kekayaan dalam suku Bunak, pasti diberikan kepada anak perempuan bukan kepada anak laki-laki. Anak laki-laki setelah menikah akan hidup dari harta warisan yang diterima oleh isterinya. Anak laki-laki hidup dan tinggal di kediaman isteri disebut matrilokal.


Tetapi yang menarik, anak laki-laki setelah menikah tidak dimasukkan kedalam suku Isteri. Anak laki-laki tetap terikat dengan suku asalnya. Status anak laki yang sudah menduduki posisi OM sangat berpengaruh dalam menentukan pengambilan keputusan terhadap keponakan-keponakannya yang sesuku dengan OM. Di sini anak-anak dalam sebuah keluarga sangat dibatasi oleh dua buah kontrol sosial yang sangat ketat.


Anak-anak dikontrol oleh peran sentral Om dan peran sentral kedua orang tuanya. Semua masa depan anak-anak, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh peran kontrol Om dan kedua orang tua. Kontrol yang baik, human dan beriman akan menghasilkan kualitas anak-anak dalam sebuah suku kecil yang beriman sekaligus berkemanusiaan. sebaliknya tanpa kontrol kuat dari Om dan kedua orang tua yang ditopang oleh kemanusiaan dan keimanan itu maka kehidupan anak-anak juga akan tidak terarah pada kedua penopang itu.



Kontrol dengan teladan kemanusiaan dan keimanan


Kontrol apapun bentuknya, para pengontrol harus diandaikan dibentuk oleh gaya hidup beriman dan berkemanusiaan. Dalam arti bahwa pihak pengontrol dalam hal ini kedua orang tua dan para OM, harus menjadi teladan hidup beriman dan berkemanusiaan yang baik, agar kontrol itu tidak sekedar sebuah perintah yang menakutkan melainkan harus sebuah teladan hidup yang menyentuh hati setiap pribadi manusia yang mengalami pengontrolan itu.


Realitas suku Bunak yang menganut sistem matrilineal yang demikian, terbuka bagi umum, terutama bagi para peneliti dari aneka disiplin ilmu untuk menegakkan penghargaan terhadap martabat manusia suku Bunak sebagai insan berperikemanusiaan dan beriman. Para Peneliti datang dan lihatlah realitas sesungguhnya sistem matrilineal suku Bunak. Masih ada banyak hal yang masih tertutup rapat untuk dibuka oleh para peneliti.

Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

Sabtu, Februari 02, 2008

Hot Ezen: nama Sang Supranatural Suku Bunaq Aitoun

Setiap pagi suku Bunaq memandang ke Timur melihat matahari terbit. Matahari memberi terang, kehangatan badan dan memberi keindahan di pagi hari. Betapa indahnya memandang mathari terbit di pagi hari di Desa Aitoun, dan seluruh kecamatan Lamaknen.


Mengapa matahari terbit di Timur? Ada banyak pendapat bahwa Terang, kebijaksanaan dan kebaikan, keindahan, dan kebenaran itu datang dari Timur. Dalam kosa kata bahasa Bunaq, terang yang terbit dari Timur itu adalah "Hot Sae". "Hot Sae" ini sinonim dengan kata "Hot Taru" artinya Matahari terbit. Dalam Bahasa Latin "Sol Oriens". Dalam Bahasa Tetum "Loro Sae". Semuanya berarti matahari terbit.


Sejak dahulu kala, para leluhur yang belum ternoda oleh pengaruh dari luar termasuk agama-agama yang berkemabang di seanero ibu pertiwi negara Indonesia tercinta ini, telah memiliki kehidupan religius khas suku bangsa Bunaq. Suku bunak telah mengimani satu wujut tertinggi dalam kehidupannya. Wujud tertinggi itu menjadi harapan terakhir bagi suku Bunak dalam suka-duka, kepastian dan kebingungan perziarahan hidupnya. Mereka sangat konkret menyebut wujut tertinggi yang mereka akui itu dengan cukup melihat matahari. Matahari terbit itu menunjukkan bahwa itulah wujut tertinggi mereka.


Dalam kepercayaan suku Bunak, yang tidak dibukukan karena memang tidak ada orang yang berminat untuk membukukan atau menulis dan mempublikasiannya, hanya berdasarkan ceritera lisan dari mulut ke mulut, berdasrkan wawancara dengan para tua adat atau "lal gomo" yang diterima dan diakui sebagai insan-insan pandai adat suku Bunaq secara baik dan benar, atau lebih dikenal sebagai nabinya suku Bunak, rakyat suku Bunak tidak boleh menantang atau menatap matahari, sang terang sejati, wujut tertinggi suku bangsa Bunak. Berdasarkan mitos, bahwa setiap orang menantang atau menatap matahari akan terkutuk mengalami kebutaan. Maka semua suku Bunaq ditakutkan oleh mitos itu, sehingga mereka tidak menatap atau manantang matahari karena TAKUT mendapat kutukan yang dimitoskan turun temurun oleh para pendahu dari generasi ke generasi.


Ketakutan akan hukuman menjadi dasar ketaatan suku Bunaq yaitu tidak menatap matahari. Pola pikir demikian yang diwariskan secara turun-temurun itu sungguh berpengaruhh terhadap pola pikir dan gaya hidup dalam mentaati semua adat yang berlaku sampai saat ini. Adat itu dibuat oleh manusia dan dihidupi oleh suku Bunak dalam konteks zaman. Hakekat adat yaitu nilai kebersamaan dan kekeluargaan adalah abadi. Tetapi cara membangkitkan atau menghidupkan nilai-nilai luhur itu tidak menindas atau harus secara efektif dan efisien, dalam arti tidak memiskinkan suku Bunak, tidak merugikan rakyat suku Bunak pada umunya, tetapi cara menghidupi nilai-nilai luhur adat yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, keadilan sosial itu harus sungguh mengalir keluar dari humatas dan kehidupan iman yang dewasa.


Untuk itu para pengambil keputusan adat dalam hal ini status OM dan presiden suku serta para tua adat, pemuka agama dan pihak pemerintah harus memiliki wawasan yang sama untuk membentuk satu sistem yang mengatur gerak laku seluruh anggota suku bunak agar semakin beriman semakin manusiawi dalam segala bidang kehidupan yang digelutinya. Hal ini akan menjadi kenyataan, menurut penulis, kalau pendidikan para pengmbil kebijaksanaan dan keputusan adat suku Bunak sangat memadai.


Persoalannya para OM dan Ketua suku atau presiden suku, semauanya meiliki pendidikan yang memadai dan kurang kontak dengan dunia luar suku Bunak dan hanya dibentuk oleh pola pandang adat setempat sehinnga sulit mencapai idelisme tersebut di atas.

Di sini rupanya, "Hot Taru" atau matahari terbit yang menjadi pembawa terang bagi suku Bunak dewasa ini perlu ditafsir ulang. Artinya bahwa para tua adat melegitimasi adatnya dengan "Hot Essen" sebagai pembentuk adat yang ada dan sedang diperlakukan. Sehingga melawan adat sama dengan melawan 'Hot Essen" wujut tertinggi yang melegitimasi adat suku Bunak. Itu sama dengan membuka jalan untuk menerima aliran kutukan dari "Hot Essen" yang melegitimasi adat itu.


Rupanya perlu tafsir ulang sesuai dengan konteks zaman disini, penulis hendak menggariskan kembali bahwa rupanya adat tidak cukup dinilai dari pola religius yang diakui dan diterima serta diturunkan oleh para lelur. Kini dalam pola " Satu Hati aneka Wajah" mau melihat atau mendeteksi adat yang diberlakuakan dari berbagai displin ilmu, agar yang tidak humanitas dan tidak mengarah kepada kehidupan iman yang sejati, dimurnihkan dan dirahkan kepada dua tiang penopang itu. Untuk itu suku Bunak harus membuka gembok pintu adat suku Bunak agar diteliti oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, agar kemanusiaan dan keimanan ditampilkan ke permukaan menjadi nomor satu dalam seluruh pola dan gaya hidup suku bangsa Buna.


Tetapi persoalannya bahwa para generasi tua adat suku Bunak, tidak membuka adat sejelas-jelasnya, dengan dalih bahwa inilah hidup kami. Tanpa adat ini kami kehilangan jati diri. Kami kehilangan pekerjaan. Tanpa ini kami kehilangan sesuatu dan tidak ada yang menggantikannya. Kami kehilangan semacam mata pencaharian. Hal ini jelas dengan ketidakmampuan pihak Gereja untuk mengadakan pembaharuan adat Suku Bunak beberapa tahun yang lalu. Karena ada benteng pertahanan yang kuat dari para tua adat atau ketua suku atau presiden suku-suku kecil di Suku Bunak yang bersatu melawan upaya pihak gereja tersebut. Ya penulisan ini tidak cukup untuk mengubah dunia tetapi membuka hati dan pikiran agar setiap pembaca terutama suku Bunak mau melihat sesuatu yang lebih dalam menghidupi adatnya yang sudah melekat pada dirinya. Semua yang tidak efektif dan efisien perlu diekonomiskan tanpa mengaborsi yang namanya hakekat adat suku-suku kecil dalam wilayah suku Bangsa Bunak.


Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..


Kamis, Januari 31, 2008

Menggemakan kembali Tahbisan Diakonku 19 Februari 2004 di Katedral Malang

Hari ini, kamis 31 Januari 2008, penulis menghadiri perayaan pentahbisan para diakon SVD, O.CARM, SMM di Katedral Malang. Penthabis adalah Uskup Herman Yosef, O.Carm. Dalam kotbahnya, ditekankan bahwa kharism dan spiritualitas Tarekat adalah bekal bagi rahmat tugas perutusan Yesus yang dikukuhkan dalam tahbisan diakon. Bekal yang lain untuk melaksanakan tugas perutusan Yesus adalah iman yang rasional, yang telah dibentuk di panti pendidikan STFT. Semuanya itu disempurnakan dalam Doa sebagai kekuatan para diakon yang bertugas utama adalah sebagai pelayan Sabda, pelayan altar dan pelayan karya amal/sosial.


Tanpa doa yang kuat aktivis sosial akan merasa kering dan endingnya adalah meninggal tahbisan yang mulia itu. Ada banyak romo yang semangat sebagai aktivis, tetapi lemah di doa. Doa yang amburadul mematikan semua yang lain. Doa itu jantung hidup seorang tertahbis. Doa menghadirkan yang Jauh yaitu Tuhan yang tidak kelihatan secara lahiriah. Doa mendekatkan diri dengan sang pemiliki kehidupan. Doa adalah membuat kita merasakan kehadiran Tuhan sebagai teman dan kawan yang setia selalu mendampingi kita. Hanya dengan kekuatan doa sebagai yang mengikat diri secara erat dengan Tuhan, maka dari ikatan erat itu, tertahbis dapat mengalirkan rahmat Tuhan Yesus kepada sesama melintas batas.

Hai Para Petani Suku Bunaq Bersatulah

Petani adalah peran sentral mengadakan makanan bagi masyarakat kota yang tidak mempunyai kebun dan sawah. Penguasa dan pemerintah serta industri berpusat di kota-kota, misalnya Surabaya. Para penguasa lebih memperhatiakan masyarakat kota dibandingkan dengan masyarakat desa. Petani yang tinggal di kota sering dinilai atau diberi label sebagai orang yang tidak sejahtera seperti orang-orang yang tinggal di kota. Bahkan orang-orang kota termasuk para pemerintah melihat petani sebagai orang terkutuk dalam kehidupannya. Mendengar pernyataan atau komentar bahkan kenyataan yang memberi label kepada masyarkat desa demikian, dalam sebuah pertemuan sosialisasi hasil KWI di Paroki Santo Yakobus Surabaya pada tanggal 30 Januari 2008, telingah suku bunaq, penulis, sangat sakit dan memimpikan sebuah protes petani terhadap para pemberi label terhadap diri mereka seperti yang terungkap dalam kalimat sebelumnya di atas. Apa protes rakyat untuk membuka mata hati orang kota untuk melihat manusia desa penghasil utama beras, jagung adalah memiliki kemanusiaan yang sama dengan semua manusia termasuk manusia kota?


Ada satu hal yang menarik yang sempat rekam penulis suku bangsa Bunak ini adalah bahwa sang gembala tertinggi gereja-gereja lokal di Surabaya sempat secara blak-blakan mengungkapkan bahwa para petani lewat sms atau telephon kompak bersatu untuk mengingkatkan kesejahteraan yang para petani. Untuk menjadi sejahtera para petani bersatu menjual atau mebarter barang-barang makanan pokok dan sayur-sayuran hanya di antara mereka. Mereka bekerja sekedarnya hanya untuk kepentingan mereka setiap hari. Mereka bersatu ddan kompak untuk tidak menjual beras dan jagung serta ubi-ubian kepada orang kota yang meremehkan mereka sebagai orang yang terkutuk. Selama satu tahun para petani desa bersatu untuk tidak menjual beras dan jagung kepada orang kota, maka dalam 3 bulan persediaan makanan mereka akan habis dan pasti habis. Pada bulan yang keempat mereka akan mengalami kelaparan yang hebat dan mengerikan. Bahkan akan mengalami kematian sehingga penduduk kota akan habis dan akan diisi kembali orang desa, dan mengalami perubahan sebutan sebagai orang kota, dengan sistem kerja dan pola kerja serta pola pikir yang sangat berbeda, yang menghargai martabat manusia.

Ini adalah satu cara untuk mengubah sistem dan roh yang menggerakan sistem itu, yaitu dari habitus lama yang tidak menghargai martabat manusia, kembali menjadi insan-insan kota maupun desa yang menghargai semua orang. Tidak meremehkan sesama.

Hai manusia bersatulah. Kesatuan dalam hal yang positif dan bukan yang negatif. Persatuan yang demikian akan tetap kokoh kalau memiliki komitmen bersama. Komitmen bersama akan berjalan dengan baik, kalau ada kontrol secara teratur. Pengontrol itu bukan polisi, tentara. Pengontrol adalah kita sendiri. Cara pengontrolan terhadap komitmen bersama adalah dengan diadakannya secara teratur rapat evaluasi dalam komunitas. Ini adalah satu kontrol sosial yang sanat ideal dalam komunikasi jaman ini.


Apakah hal ini sedang dibuat di dalam suku Bunaq yang mayoritas tinggal di Desa-desa? Teori kelihatannya dimenegrti oleh suku Bunaq. Prakteknya urusan "dewe-dewe". Ah ada-ada saja. Kalau tidak demikian, mau apa lagi....

Rabu, Januari 30, 2008

Suku Bunaq mau yang mana : Adil dulu Baru Makmur atau Makmur dulu Baru Adil

Pada hari ini tanggal 30 Januari 2008, pertemuan tentang Sosialisasi hasil Sidang KWI untuk kevikepan Regio I bersama Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono di Paroki Santo Yakobus Surabaya. Ada beberapa pernyataan yang menyentuh hati penulis dan langsung mempublikasikannya agar tidak hilang dari memori. Satu pernyataan menarik penulis adalah sekitar kemakmuran dan keadilan. Apakah kemamuran lebih dulu atau keadilan lebih dulu dalam mencapai suatu masyarakat yang sejahtera?


Pada jaman orde baru, pemerintah mengutamakan kemakmuran dulu baru keadilan. Untuk itu pemerintah meminjam uang dalam jumlah besar dari luar negeri. Langkah pemerintah yang demikian, mengutamakan kemakmuran sebelum adil. Pengambilan keputusan oleh pemerintah dalam masa itu sangat bagus. Persoalan muncul ketika uang yang dipinjam dari luar negeri itu tidak dibagi secara merata bagi semua bidang yang menjadi prioritas pembangunan pada jaman itu sampai ke RW/RT. Kemakmuran itu hanya dialami para elite sedang rakyat kecil tetap miskin. Yang Kaya tambah kaya. Sedang yang miskin tambah miskin. Karena apa? Roti kemakmuran itu tidak dibagi secara merata. Pembagi dalam hal ini penguasa yang mengatur pembagian kue kemakmuran yang dipinjam dari luar negeri itu hanya untuk kekayaan dirinya. Akhirnya kemakmuran hanya dialami oleh segelintir yaitu pembagi kue kemakmuran yang dipinjam dari luar negeri itu sedang keadilan tidak pernah menjadi suatu kenyataan yang dialami dan dinikmati oleh masyarakat banyak. Itu merupakan satu kesalahan yang mematikan bangsa untuk terus maju dalam keadilan. Utang besar itu baru dibayar tujuh Milyar karena peristiwa huru-hara pada tahun 1998. Sedang kurang lebih 134 Milyar utang luar negeri belum dibayar sampai hari ini. Inilah kenyataan bangsa kita sampai saat ini.


Melihat realitas tersebut, tentu sebagai seorang Suku Bangsa Bunaq menentukan pilihan hidup dalam memilih mana yang lebih dahulu, keadilan atau kemakmuran dalam sebuah masyarakat Suku Bunaq yang sedang dibangun oleh para pembangun. Kemakmuran atau keadilan, mana yang lebih dahulu, bagi penulis bukan menjadi suatu persoalan. Mengutamakan keadilan menyusul keadilan atau sebaliknya, no problem. Semuanya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat umum, bonum commune, sebagai tujuan maka dalam pembangunan utamakan kebaikan bersama itu, bukan kebaikan pribadi.


Konsekuensinya bahwa pertama, para pembangun yang bersuku bangsa Bunaq harus berkorban dalam proses pembangunan suku Bunaq. Artinya apa, seorang pemimpin yang dipercaya untuk mengatur suku Bunaq, harus mengutamakan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Kedua, tidak ada korupsi dalam proses pembangunan. Tidak ada sunat menyunat dana pembangunan masyarakat Suku Bunaq, untuk memperkaya pembangun suku Bunak. Pemimpin pemerintahan setempat, dalam hal ini kepala Desa atau Camat atau Bupati, harus memiliki komitmen yang kokoh untuk mengutamakan kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraan pribadi yang sedang berkuasa.


Kedua hal, yaitu pengorbanan dan tanpa korupsi oleh seorang pembangun dalam proses pembangunan Suku Bunaq, hanya dapat dimiliki oleh seorang pembangun yang memiliki Hati bagi kemajuan Suku Bunaq ke masa depan yang jaya. Seorang pemimpin yang memiliki hati yang demikian dalam proses pembangunan, adalah seorang insan yang mencintai. Cinta kasih berarti memberi dan berkorban bagi banyak orang. Model cinta ini telah Yesus turunkan kepada kita manusia dalam TeladanNya bagi kita termasuk Suku Bunaq yang beriman kepadaNya.

Modal "Mendengarkan" Kunci Keberhasilan Pelajar Suku Bunaq

Beberapa mahasiswa dan pelajar yang berasal dari Suku Bunaq membagi pengalaman tentang keberhasilan mereka dalam Sebuah Studi. Kesuksesan kuliah atau studi sangat ditentukan oleh konsentrasi selama mengikuti pelajaran dan menanyakan kepada Guru atau dosen selama kuliah. Tanyakan kepada pendidik tentang, apa yang belum dimengerti adalah sungguh sangat menentukan keberhasilan. Mereka yang mendengarkan dosen atau guru dan aktif bertanya kepada pendidik selama kuliah atau pelajaran sedang berlangsung, jarang mendapat nilai C. Nilainya berkisar A dan B+. Sebaliknya mereka yang mengantuk dan tidak bertanya selama kuliah, nilainya ya sekitar C, D, E. Mendengarkan itu apa sih sulitnya?


Berdasarkan beberapa sharing pengalaman VIA SMS, bahwa mereka yang sungguh mendengarkan selama kuliah itu karena terpacu untuk meraih cita-citanya yang tinggi yaitu mendapat pekerjaan yang layak dan setelah kuliah gampang mencari pekerjaan karena secara akademis layak diterima oleh pihak yang menerima lamaran, baik swasta maupun negeri. Sebaliknya mereka yang malas belajar itu dikuasai oleh kebingungan orientasi hidup dalam menatap masa depan yang cerah. Tidak memiliki satu target hidup untuk meraih masa depan yang lebih baik yang telah terencana dengan sangat baik.


Hari ini, Rabu, 30 Januari 2008. Bacaan I dari 2 Sam 7 : 4 - 17 dan Injil Mrk 4 : 1 - 20 tentang orang yang "MENDENGARKAN" Sabda Allah, akan mendapat hasil yang berlipatganda, ada yang mendapat seratus kalilipat, ada yang 30 kalilipat. Singkatnya, mereka yang "Mendengarkan" dalam kepemimpinannya, pekerjaannya, karya dan usahanya, dia akan banyak diterima dan disenangi oleh banyak orang dan mendapat upah yang berlipat ganda.


Hai Mahasiswa Suku Bunaq, asahlah pisau "Mendengarkan" mu untuk mendapat hasil yang berlipat ganda. Jangan mengantuk dan tertidur dalam studimu. Ingatlah keringat dan susah payah kerja orang tua untuk membiayaimu selama anda kuliah. Janganlah hidup foya-foya. Ingatlah situasi suku Bunaq yang kering dan gersang. Suku Bunaq menantimu anda pulang kembali ke ibu pertiwi Pulau Cendana untuk membangun daerahmu dalam masa "Otonomi Daerah" ini. Belajarlah sungguh untuk merebut masa depan yang cerah.

Minggu, Januari 27, 2008

Orientasi Misi tanpa Permisi di Suku Bunak

Hidup dalam konflik merupakan suatu pengalaman yang tidak mengenakkan. Misalnya, konflik antara Suku Dayak-Madura beberapa tahun lalu, membuat teman-teman asal negeri seribu sungai bersembunyi di balik kamar Cost atau tempat-tempat yang aman atau keluar ke toko atau di jalan-jalan umum, harus menyembunyikan identitas dari musuh-musuhnya. Misalnya, konflik agama Kristen dan Islam di Ambon beberapa tahun lalu, memberi rasa tidak aman kepada teman-teman asal Ambon yang ada di Pulau Jawa. Demikianlah suasana hidup dalam sebuah dunia yang penuh dengan kerusuhan dan konflik.


Suasana bathin pihak-pihak yang konflik dalam suku Bunak pun tentu saja tidak terlalu berbeda dengan konflik besar yang terungkap keluar dan dipublikasikan di dunia lokal, nasional, maupun internasional, seperti terungkap di atas. Pasti pihak-pihak yang sedang mengalami konflik yang berkepanjangan menguras banyak energi dalam mengolah pergulatan tekanan yang ada dalam hati. Singkat kata pasti ada sesutu yang tidak mengenakkan pihak-pihak yang konflik itu. Ada sesuatu yang hilang dari dalam diri pihak-pihak yang konflik yaitu kedamaian dan kebahagiaan.


Dalam keadaan itu tentu ada sebuah harapan untuk kembali mengalami kedamaian yang telah hilang dari pelukannya. Kedamaian itu akan kembali dicapai bisa melalui perantara atau langsung atas dasar inisiatif pihak-pihak yang konflik. Diharapkan agar suku-suku kecil di Asueman yang konflik dapat memiliki satu kerinduan untuk merebut kembali kedamaian yang telah hilang.

Hari ini Hari Minggu Biasa III A. Bacaan-bacaan suci hari ini melihat konflik sebagai situasi kegelapan yang dialami umat di Korintus dan umat di Galilea yang tertindas oleh para penindas bangsa Yahudi. Itulah suasana kegelapan yang dialami oleh umat Korintus dan Galilea.

Dalam keadaan kegelapan itu, kristus datang sebagai TERANG SEJATI bagi mereka, baik yang tertindas maupun penindas. Kristus sebagai Terang bagi kelompok-kelompok umat di Korintus yang terpecah-pecah karena merasa kelompok imannya yang paling layak. Kristus sebagai Terang yang menyatukan umat di Korintus dan di Galilea.

Yesus sebagai Terang yang menyatukan tampil beda dalam dua warna khas berikut: pertama, Satu Iman. Kehadiran Terang Kristus menuntun semua orang, semua komunitas iman untuk memusatkan iman mereka masing-masing hanya kepada Kristus. Unsur Kristosentris dalam iman menjadi fokus dan perhatian sentral. Bukan memusatkan perhatian pada para pewarta Kristus. Pewarta Kristus hanya sebagai alat penyalur Kehendak Allah untuk menarik semua manusia memiliki satu iman kepada Kristus sebagai kepala.


Kedua, Satu Kemanusiaan. Baik golongan Paulus, golongan Apolos, golongan Kefas, golongan Kristus, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi adalah setara, sehakekat, memiliki kemanusiaan yang sama.


Aplikasi bagi kita, termasuk Suku Bunak pengikut Yesus pada zaman ini adalah: Pertama, kita memiliki satu iman kepada Kristus. Kita dipanggil dan menjadi pengikut Kristus agar semua orang terjaring ke dalam kedamaian dan persekutuan dalam Kristus. Untuk itu patut kita ditegur oleh Paulus, kalau kita sendiri masih hidup dalam konflik yang berkepanjangan. Kita yang beriman kepada Kristus harus pertama-tama hidup dalam kedamaian dan kerukunan sebelum mewartakan kedamaian Kristus kepada orang lain. Kesaksian hidup adalah pewartaan yang paling menarik simpati banyak umat.

Kedua, kita harus menjadikan kemanusiaan sebagai jiwa relasi sosial maupun relasi iman dalam komunitas Suku Bunaq dan komunitas Biara atau dalam komunitas pastoran, atau dalam komunitas apa saja. Kita yang beriman kepada Kristus pembawa kemanusiaan universal, tidak ada tempat dalam hati kita, untuk melihat kelompok lain itu sebagai inferior, atau dikelasduakan atau diremehkan. Semua manusia itu sama hakekatnya. Ini harus menjadi suatu gaya hidup kita bukan sekedar teori. Pasti kita bisa asal kita mau. Kemauan kita itu harus ditopang dengan tiang reevaluasi diri dalam iman dan kemanusiaan secara berkelanjutan. Suku Bunaq harus dibawah kedalam kedua rel satu iman satu kemanusiaan ini sebagai basis relasi iman dan sosial adat suku Bunaq.


Kotbah Misa Hari Minggu di Kapel Soverdi Surabaya pada Hari Minggu 27 Januari 2008. Suku Bunak adalah tambahan penulis dalam penulisan.

Sabtu, Januari 26, 2008

"En Alan Gie Giol" artinya Suara Orang Pinggiran

Akhir-akhir ini penulis menerima banyak SMS dan Via Telephone tentang situasi suku Bunaq. Situasi suku Bunaq akhir-akhir ini diwarnai oleh konflik politik pemilihan kepala desa. Kelompok yang menang dan kalah dalam pemilu itu berending dengan sebuah hasil konflik yang berkepanjangan. Efek konflik politik itu masuk ke dalam relasi kekeluargaan dalam Suku-suku kecil Suku Bunaq. Perpecahan antara suku-suku Kecil bahkan anggota sesuku kecil pun mulai merusak persatuan dan kekompakan dalam Suku Tersebut. Pengaruh politik begitu kuat sampai relasi kekeluargaan adat yang akrab dirusak. Penulis melihat ini sebagai sebuah realitas dalam Suku Bunaq.


Pengalaman ini penulis alami sendiri pada bulan Agustus tahun 2007, ketika seminggu penulis cuti ke ibu pertiwi suku Bangsa Bunaq. Merasa sangat tidak enak hidup dalam sebuah kelompok suku yang hidup dalam perpecahan. Penulis melihat bahwa pihak-pihak yang konflik adalah orang-orang yang beragama Katholik dan secara administratif beriman Katholik. Penulis sebagai orang pinggiran yang tinggal di luar pusat kota Suku Bunaq menyuarakan Sabda Allah lewat tulisan dan media ini agar sedikit berguna bagi sesama anggota suku Bunaq untuk bertobat agar dapat menyambut Yesus Sang Terang Sejati Bagi Bangsa-bangsa termasuk kepada Suku Bunaq.


Keadaan perpecahan suku Bunaq ini memberi inspirasi untuk menyusun satu renungan pada hari Minggu III A yang bersumber pada Bacaan I Yes 8 : 23b - 9: 3 tentang janji Allah kepada Yesaya tentang datangnya Terang Besar Bagi Bangsa-Bangsa yang tinggal dalam kegelapan.


Bacaan II dimbil dari 1 Kor 1 : 10 -13, 17 tentang umat beriman Katholik/Kristen harus seia-sekata bahwa Kristus adalah fokus persatuan dan persekutuan iman mereka. Kristus adalah sang terang sejati bagi para pengikutNya. Para pengikut yang berbeda latarbelakang, budaya, asal dan profesi tetapi memiliki satu hati Yesus Pembawa Damai dan Terang sejati.


Bacaan Injil dari Mat 4 : 12 - 23 tentang keterbukaan hati manusia kepada sang terang sejati yang datang menyelamatkan dan membaharui dunia tanpa kekerasan. Yesus mengubah dunia lewat cara tanpa frontal menghadapi lawan atau musuh. Hal ini Dia nyatakan lewat menyepi ke Galilea, daerah pinggiran dimata orang Yahudi, setelah Yohanes ditangkap. Galilea sebagai tempat yang terbuka bagi semua bangsa, tanpa kontrol dari pihak pemerintah dan agama seperti di Yerusalem. Gerakan pembaharuan Yohanes dikontrol ketat oleh Herodes dan pihak penguasa agama, sebagai satu gerakan membahayakan. Maka tokoh kunci Yohanes ditangkap dan dipenjarakan.


Melihat pengalaman Yohanes itu Yesus mengambil jalan tanpa frontal dengan menyingkir ke Galilea. Di Galilea bukan Yesus menyembunyikan diri dari pengejaran para pencari dari pihak Negara atau pemerintah dan agama Yahudi, tetapi justru di Galilea yang dicap Orang Yahudi di Yerusalem sebagai negeri kafir itu, Yesus melaksanakan misinya mewartakan Kerajaan Allah.


Peluang di Galilea bagus untuk pewartaan Keraajan Allah. Yesus melihat bahwa ada jalan untuk menanamkan nilai Kerajaan Allah dalam diri umat Galilea yang dicap kafir oleh orang Yahudi itu. Maka tenaga pribadi Yesus sendiri tidak memadai. Yesus memilih para murid menjadi penjala manusia masuk kedalam jaring Kerajaan Allah yang berwarna kemanusian dan keimanan atau keilahian. Jaring kerajaan Allah yang dibawah oleh Yesus dan para murid perdana adalah jaring yang warna khas mengutamakan manusia semua golongan sebagai citra Allah dan berkemanusiaan.


Kita semua adalah kelompok para beriman kepada Kristus sang terang sejati bagi kita. Tanda bahwa kita telah menerima Dia sebagai terang sejati dalam diri kita adalah kita memiliki HATI yang diliputi oleh kemanusiaan dan keilahian yang bersumber pada Kristus iman sekaligus Yesus historis. Itu adalah "Jas Merah" iman kita. Konsekuensi pola permenungan ini hebat bahwa semua tindakan meremehkan sesama tidak diberi tempat. Semua manusia baik kriting, hitam jelek, cacat, memiliki hakekat kemanusiaan dan keilahian. Nilai Pemerintahan Allah ini bukan hanya sebuah teori melainkan harus menjadi Gaya Hidup kita orang beriman. Kita pasti bisa. Asal kita rendah hati dan terbuka di hadapan Tuhan pembawa terang keilahian dan kemanusiaan sebagai dua tinga kembar peziarahan kehidupan iman kita.


Inilah suara orang pinggiran yang tidak tinggal di pusat kota suku Bunaq. Dari tanah orang, penulis prihatian atas tanah kelahiran, ibu pertiwi suku Bangsa Bunaq. Suara orang pinggiran ini kiranya menyentuh setiap insan suku Bunaq untuk mengubah umat suku Bunaq, mulai dari mengubah diri sendiri dari habitus lama kepada habitus baru sebab Kerajaan Allah sudah dekat.

Regenerasi "Lal Gomo" Suku Bunaq

*P. Benediktus Bere Mali, SVD*



Pada tanggal 24 Agustus 2007, panitia menyelenggarakan sebuah pesta perak Imamat Rm. Lazarus Mau, SVD di Kampung adat Suku Bunaq di Kewar. Penjemputan sang yubilaris dan perarakan dari rumah induk SVD Nenuk menuju kampung adat kewar- terlaksana pada tanggal 23 Agustus 2007. Pada setiap Paroki yang dilalui sang Yubilaris, sang yubilaris selalu menerima sapaan adat dari "Lal Gomo" yang ditunjuk oleh umat yang berasal dari paroki tersebut.


"Lal Gomo" adalah sang nabi suku bunaq. Dia menyapa sang yubilaris berdasarkan kebenaran adat yang berlaku dan diterima suku Bunaq. Kebenaran adat itu diturunkan dari lelehur kepada para senior "Lal Gomo" dan para senior itu menjadi gurunya para yunior "Lal Gomo". Dengan demikian pengetahuan dan ilmu adat yang benar dari para senior diturunkan kepada para yunior "Lal Gomo".


Pada zaman dulu menjadi "Lal Gomo" itu dipandang sebagai satu kharisma yang diturunkan para leluhur kepada para "Lal Gomo" yang kini sedang hidup.


Tetapi pada zaman ini orang mulai dengan budaya tulis menulis dan merekam, men-DVD-kan ilmu "Lal Gomo" senior sehingga para yunior jaman ini mempelajarinya dengan tekun dan dalam praktek pembicaraan adat resmi berakar dalam sebuah penjiwaan dan penghayatan yang mendalam sehingga para pendengar merasakan sentuhan hati dan perasaan seni yang diungkapkan oleh "Lal Gomo".


Satu hal yang menarik dipetik dan menjadi sesuatu yang perlu dihidupi oleh kita masing-masing dalam sebuah komunitas kecil maupun besar adalah adanya rasa berbagi dan memberikan serta bahkan menurunkan harta pengetahuan-ilmunya oleh yang senior kepada yang yunior sehingga yunior menerima bekal pengetahuan adat sekaligus yang yunior disiapkan dengan ilmu yang khusus untuk kelak menempati posisi senior dalam segala urusan adat kebiasaan dalam suku Bunak. Roh kemanusiaan dan keimanan digulirkan dalam lapangan adat Suku Bunaq oleh para "Lal Gomo" sebagai peran sentral.


Hari ini tanggal 26 Januari 2008. Gereja Katholik sejagat memperingati Santo Timotius dan Tituz sebagai Uskup. Persis hari peringatan ini jatuh satu hari setelah Saulus bertobat menjadi Paulus. Paulus, Titus dan Timotius adalah teman misionaris dalam mewartakan Kristus. Mereka bertiga adalah team dalam mewartakan Kerajaan Allah. Paulus adalah misionaris senior, sedang Tituz dan Timotius sebagai misionaris yunior. Karena kegetolannya mewartakan Kristus yang bangkit, Paulus ditangkap dan dipenjarakan. Dalam penjara dia menurunkan ilmunya tentang misi dengan menuliskan surat kepada Titus dan Timotius.


Paulus adalah senior dalam bermisi dan bertheologi. Dia memang sungguh yakin bahwa dengan dipenjarakan yang sedang dia alami itu, tugas pewartaan dan memberi kesaksian akan kebangkitan Kristus tidak akan berakhir. Maka agar jejak misinya tidak tinggal nama, maka dia menulis surat dan menyampaikan trik-triknya sebagai misionaris yang sukses dan setia kepada kedua sahabat misionaris yaitu Titus dan Timotius. Ilmu misi Paulus harus diteruskan dan ditumbuhkembangkan oleh Titus dan Timotius. Dia sungguh menyiapkan generasi sesudah dirinya sehingga nilai kemanusiaan dan keimanan yang ditanamkan lewat misinya dengan kekhasannya tersendiri dapat diterussempurnakan oleh Titus dan Timotius (2Tit 1:1-8 atau 1:1-8). Paulus adalah teladan sosok misionaris senior yang mendapingi, membantu, meneguhkan dan membangkitkan semangat misi dalam diri para misionaris yunior, sehingga para misionaris terus menghidupi pesan-pesan dan teldan baik Paulus dalam tugas perutusannya mewartakan Kerajaan Allah.


Bacaan Injil Luk 10:1-9 juga sangat jelas mengungkapkan bahwa pewartaan Kerajaan Allah itu adalah misi utama Putera Allah. Misi ini luas dan besar programnya. Yesus sangat mengerti bahwa untuk tugas misi dan pelayanan, perlu dibentuk team misionaris agar misi Kerajaan Allah terlaksana dengan baik. Team misionaris yang dibentu Yesus itu adalah 12 Rasul dan 70 murid. Team Yesus itu berkembang sampai hari ini di seluruh dunia. Ada buktinya. SSpS dan SVD adalah misionaris Allah jaman ini yang bergerak di segala lini bidang kehidupan agar Hati Yesus Hidup dalam Hati semua manusia.



Gerakan misi SVD dan SSpS dalam segala lini bidang kehidupan dewasa ini terungkap dalam komisi-komisi karya kategorial yang ditangani oleh kdeua Kongregasi tersebut. Dalam SVD dan SSpS ada komisi-komisi itu sebagai media penyaluran nilai-nilai Kerajaan Allah agar Kerajaan Allah dapat mendiami hati semua manusia. Koordinator setiap komisi harus rendah hati untuk bekerja dalam team agar semuanya dapat terlaksana dengan baik. Dan team itu terbentuk bukan karena ditentukan soal suka atau tidak suka, tetapi soal minat pribadi pada bidang yang bersangkutan sehingga kerjanya pun tidak merupakan suatu paksaan melainkan berdasarkan kehendak bebas.


Ini adalah sebuah proses regenerasi dalam bidang-bidang karya misi SSpS dan SVD. Kita harus utamakan kerja team yang direkrut dari kelompok awam dan konfraters muda atau yunior untuk menjadi pewarta Sang Sabda Kasih lewat karya kategorial, agar setelah yang senior dimisaarwahkan tidak terkuburlah semua pastoral kategorial yang ditangani para senoir selama hidupnya.


Semuanya itu adalah sebuah pendidikan Regenerasi dalam SVD dan SSpS. Untuk itu yang senior tidak pelit menyediakan hatinya bagi sebuah pendampingan terhadap yang yunior dan yang yunior juga tidak menganggap diri sudah tahu segalanya sehingga tertutup dan tidak mau belajar dari yang senior dalam pengetahuan maupun pengalaman.Lalu mengapa, ada saja kesulitan kerjasama yang senior dan yang yunior dalam sebuah komunitas kecil, besar maupun dalam paroki? Tanyalah pada hatimu sendiri, di sana ada jawabannya.

Senin, Januari 21, 2008

Mengintip Eliminasi Kemanusiaan dalam Relasi "Deu Malu" terhadap "Deu Aiba'a" dalam Suku Bunaq

Setiap manusia yang membangun relasi dengan sesama membutuhkan satu relasi yang sangat ideal yang menjadi jiwa atau Roh penggerak yang menggulirkan bola relasi satu terhadap yang lain. Dalam dunia yang masyarakatnya feodal, roh yang menjadi penggulir bola relasi adalah relasi atasan dengan bawahan, relasi antara pemimpin dengan yang dipimpin, relasi yang menempatkan pemimpin-atasan sebagai yang lebih tinggi posisi dan kedudukannya terhadap bawahan, yang dipimpin. Dalam dunia bisnis, roh yang menggerakkan relasi antara sesama adalah keuntungan materi dan uang. Relasi akan terus berjalan kalau relasi itu saling menguntungkan pihak-pihak yang membangun relasi. Relasi dengan sesama akan berakhir kalau relasi itu lebih cenderung merugikan atau tidak mendapat keuntungan lagi.



Dunia manusia Suku Bangsa Bunaq, terdapat puluhan suku-suku kecil yang memiliki istana kediaman sukunya masing-masing, yaitu Rumah Suku. Rumah suku itu terbagi dalam dua kelompok. Pertama, "Deu Malu" . Kedua, "Deu Aiba'a". Penjelasan tentang "Deu Aba'a" dan "Deu Malu" sebagai berikut. "Deu Malu" yaitu rumah suku yang memberi perempuan kepada "Deu Aiba'a". "Deu Aiba'a" yaitu Rumah Suku yang menerima perempuan dari "Deu Malu".



Apa maksud "Deu Malu" menjual perempuannya kepada "Deu Aiba'a"? Apa keuntungan "Deu Malu" dan "Deu Aiba,a"?"Deu Malu" memberi perempuan ke dalam "Deu Aiba'a" karena "Deu Malu" memiliki banyak keturunan perempuan dan "Deu Aiba'a" mengalami kekurangan perempuan. Mengapa bukan laki-laki? Dalam adat suku Bunaq yang menganut sistem perkawinan Matrilineal hingga dewasa ini, bukan laki-laki yang menentukan garis keturunan. Melainkan garis keturunan ditentukan oleh perempuan. Mengapa "Deu Malu" menjual anak perempuannya masuk ke dalam "Deu Aiba'a"? Adat sudah demikian bahwa perilaku adat itu merupakan satu aset seumur hidup bagi "Deu Malu". Aset itu akan terasa dan terbukti dalam adat kematian "Deu Aiba'a". Setiap anggota "Deu Aiba'a" (Rumah Suku "Aiba'a") meninggal, adat liturgi kematian hanya dapat dilakukan atau dilaksanakan kalau anggota rumah suku "Malu" hadir atau wakil rumah suku "Malu" itu hadir dan merestui pelaksanaan tata adat kematian anggota suku "Aiba'a" . Presiden rumah suku "Malu" itu diundang secara resmi oleh anggora Rumah suku "Aiba'a" tanpa perantara oleh orang dari Suku lain. Ada satu penghargaan suku "Aiba'a" kepada suku "Malu" sekaligus ada terasa sedikit sinyal feodal dalam relasi itu. Pada dasarnya para anggota suku " Malu" atau "Deu Malu" sangat senang menghadiri dan merestui pelaksanaan adat kematian "Deu Aiba'a" atau suku "Aiba'a" karena inilah musim panen adat bagi "Deu Malu". Akan panen apa? "Deu Malu" akan panen uang, daging adat yang dipersembahkan oleh "Deu Aiba'a".



Nasib "Deu Aiba'a" sudah ditentukan para "Deu Malu". Kasihan generasi suku "Aiba'a"kini, tidak tahu persis proses awal penyerahan perempuan dari "Deu Malu" kepada "Deu Aiba'a" oleh para nenek moyang, tidak mampu menolak lagi DOGMA ADAT RELASI "DEU MALU" dengan "DEU AIBA'A" yang secara eksplisit mengeliminasi Roh Kemanusiaan dalam relasi tersebut. Suku "Malu" diuntungkan oleh suku "Aiba'a". Nasib dan Dogma sudah begitu. Generasi kini taat melaksanakan saja.

Minggu, Januari 20, 2008

Pembaptisan Bayi ala Adat Suku Bunaq

Penulis berjumpa dengan seorang yang bersuku bangsa Bunaq di Seminari Tinggi Widya Sasana Malang atau lebih dikenal sebagai STFT Widya Sasana Malang. Teman itu bernama Lito Soares berasal dari Timor Leste berbangsa Suku Bangsa Bunaq. Lito Soares waktu itu sebagai frater Projo Keuskupan Dili. Kini Lito Soares menjadi Romo Projo Keuskupan Dili. Waktu saya bertemu di STFT "Widya Sasana" Malang sempat berdiskusi tentang panggilan teman-teman yang berasal dari Bali, ada yang bernama WAYAN, ada yang bernama Kadek, ada yang bernama Nyoman, ada yang bernama Ketut, ada yang bernama Made. Menurut kebiasaan adat Bali, nama-nama itu adalah nama khas setiap orang yang bersuku bangsa Bali. Lantas, penulis bersama dengan Lito Soares juga mengalihakan pandangan kepada nama panggilan dalan adat istiadat Suku Bangsa Bunaq. Dalam suku Bangsa Bunaq pun ada panggilan khas setiap anak yang lahir sebagai suku bangsa Bunaq.



Apa kekhasan nama dalam Antropologi Suku Bangsa Bunaq? Ada panggilan khas untuk anak laki-laki dan anak perempuan berdasarkan kelahiran pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima.


Panggilana khas untuk anak laki-laki. Untuk anak pertama atau laki-laki pertama yang lahir dari ibu dalam sebuah keluarga, dipanggil dengan nama "APA". Untuk kedua disebut dengan nama "POU". Anak ketiga diapnggil dengan nama "Uju". Anak keempat dipanggil dengan nama baptis adat suku bangsa Bunaq yaitu "UKA". Dan untuk anak terakhir dalam keluarga yang lahir kemudian dibaptis dengan nama adat suku Bunaq yaitu "GULO" artinya bungsu. Penulis dalam keluarga sebagai anak laki kedua maka ibuku tercinta Mama Oliva Lawa Koi memanggilku dengan nama "POU". Nama Baptis adat Suku Bunaq "POU" sangat akrab di mulut ayah, ibu, kakek, nenek, dan seluruh keluarga di ibu peritwi Suku Bunaq.



Panggilan untuk kelahiran anak perempuan dalam keluarga. Anak perempuan pertama dibaptis dengan nama "AIBA". Anak perempuan kedua dibaptis dengan nama "POU". Anak perempuan ketiga dibaptis secara adat suku Bunaq dengan nama "UJU". Anak perempuan keempat dibaptis dengan nama "UKA". Anak perempuan terakhir dalam sebuah keluarga dibaptis secara adat dengan nama "GULO".


Ada perbedaan pembaptisan anak pertama laki-laki dan perempuan dalam keluarga berdasarkan adat Suku Bunaq. Anak pertama laki dibaptis dengan nama "APA". Anak pertama perempuan yang lahir dalam keluarga dibaptis dengan nama "AIBA". Berdasarkan Pembatisan adat itu, dalam sebuah keluarga Suku Bunaq, maksimal punya anak sepuluh yaitu 5 laki-laki dan 5 perempuan. Memang pada zaman dulu banyak anak banyak rezeki karena banyak tenaga kerja di kebun menghasilkan hasil yang berlimpah. Waktu dulu hal itu sangat memungkinkan karena lahan masih luas, penduduk masih sedikit. Tetapi sekarang sudah lain. Banyak anak banyak beban. Karena apa penduduk padat, biaya hidup anak mahal, dan mencari pekerjaan sangat sulit. Maka sedikit anak semakin sejahtera. Banyal anak sulit sejahtera.

Merasakan Rumah Suku Asutalin Asueman di Suku Bunaq Aitoun



*P.Benediktus Bere Mali, SVD*



Suku Astalin di Asueman adalah satu suku kecil yang tersebar di wailayah suku Bunaq sebagai suku Besar. Bapak Gabriel Mali adalah seorang Suku Astalin, Bapa Gabriel Mali ini adalah "LAL GOMO" yaitu seorang yang tahu dan pandai berbicara tentang adat yang ada dan berlaku dalam di Lingkungan Asueman - Paroki Sto. Theodorus Weluli - Keuskupan Atambua. Bapak Gabriel Mali adalah Guru Agama Senior di Paroki St. Theodorus Weluli. Bapak Gabriel Mali ini menjabat Guru Agama Lingkungan Asueman sejak tahun 1960-an sampai hari ini. Pengabdiannya kepada Gereja lewat Katekese, Pimpin Ibadat Sabda Setiap Hari Minggu di Kapela Lingkungan Asueman sangat mengagumkan. Kesetiaan, pengorbanan dan komitmennya pada Misi Yesus, Misi Gereja sudah sangat teruji. Bahkan pada suatu kali, Bapak Gabriel Mali ini dimarahi oleh Pastor Paroki St. Theodorus Weluli karena kelalaiannya persiapan perkawinan di lingkungan Asueman, bahkan sang Pastor Gembala Baik itu dikuasai oleh emosi manusiawi menampar Bapak Gabriel Mali, guru Agama, yang telah bekerja mengabdi Gereja dan Tuhan secara tulus, berkorban tanpa upah. Bapak Gabriel Mali menerima tamparan sang pastor paroki yang mengkhianati perannya sebagai Gembala Baik yang seharusnya bertindak tanpa kekerasan. Bapak Gabriel Mali menyerahkan tamparan itu kepada Tuhan Sang Gembala Sejati. TuhanPasti tahu dan membalas sesuai keadilan dan kebenaranNya. Upah Bapak Gabriel Mali pasti diperhitungkan oleh Sang Gembala Yang Baik. Berikut ini penulis menguraikan secara deteil Suku Bapak Gabriel Mali yaitu Suku Astalin ("Aiba'a) dengan para suku "Malu" nya. Informasi ini diterima dari wawancara langsung via telephone HP Simpati Pede antara Penulis dengan Bapak Gabriel Mali yang tinggal di Rumah Induk Penulis Malate - Telolo - Lingkungan Asueman - Paroki Sto. Theodorus Weluli. Wawancara langsung antara penulis yang tinggal di Soverdi Sto Arnoldus Janssen, Kamar No 12, Jalan Polisis Istimewa Surabaya, denga kode Pos 60265- Jawa Timur - Indonesia dengan Bapak Gabriel Mali itu berlangsung dari pukul 20.30 - 22.30 Waktu Surabaya. Informasi selengkapnya dapat diikuti dalam penulisan berikut. Penulisan ini berguna sekali bagi penulis dan juga generasi muda suku Bunaq, khususnya suku Astalin yang menyebar ke seluruh dunia, agar dapat mengenal siapa dirinya lewat publikasi ringan ini yang meneguhkan atau menggugat identas dirinya, tergantung meresponnya dari sisi dispiln ilmu apa yang digunakan sebagai teropong untuk mendeteksi tata adat tradisional warisan para leluhur yang masih hidup dan dihidupi oleh Suku Astalis di Dususn Asueman-Desa Aitoun-Kecamatan Rai Hat-Kabupaten Dati II Belu.


Bapak Gabriel Mali sebagai anggota Suku Astalin di Asueman-Desa Aitoun- Kecamatan Rai Hat - Kabupaten Dati II Belu. Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (duabelas ) suku "Malu". Dua Belas Suku "Malu" bagi Suku Astalin sebagai "Aiba'a" itu dapat disebutkan sebagai berikut :


1.Suku Leb

Suku Leb bertempat tinggal di sebuah tempat yang namanya LUA GUJU. Suku Leb ini adalah suku asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali;

2. Suku Lelabere Bese;
3. Suku Lelabere Aisal Bul;
4. Suku Lelabere Kaluk;
5. Suku Lelabere Delo Bul;
6. Suku Hokiik "Deu Masak";
7. Suku Hokiik "Deo Gol";
8. Suku Lakora bertempat tinggal di Magil;
9. Suku Sul Por di Magil;
10.Suku Loka Bere di Magil;
11.Suku Nikaran Deu Masak di Maumutin
12. Suku Nikaran Deu Gol di Maumutin


Sebuah adat kematian akan dilaksananakan oleh Suku Astalin jika semua suku Malu yang jumlahnya 12 Suku dia atas itu hadir. Seorang anggota suku Astalin harus datang langsung beritahu sekaligus mengundang secara adat untuk hadir menyaksikan Adat Kematian Seorang Suku Astalin. Pemberitahuan itu tidak boleh lewat "SMS" atau lewat Telephone via HP, atau lewat surat. Presiden Suku Astalin menyuruh seorang anggota suku Astalin langsung datang ke masing-masing presiden Suku "Malu" itu memberitahukan secara jelas bahwa akan segera melaksanakan adat kematian suku Astalin. Undangan model ini sebagai satu apresiasi Presiden Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Para Presiden Suku "Malu". Undangan speri ini satu penghargaan yang mulia dari pihak "Aiba'a' kepada "Malu". Tetapi kalau dari segi praktisnya, memang undangan seperti ini sangat tidak efektif dan tidak efisien. Dewasa ini bisa efektif dan efisien, para presiden "Malu" itu langsung diundang oleh Presiden Suku "Aiba'a" leweat telehone (HP) atau "SMS" terutama Para Presiden suku yang tinggal di tempat yang jauh dari tempat pelaksanaan adat kematian oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Entah kapan undangan itu lewat HP, kita tunggu saja waktu yang tepat. Kalau para presiden suku mulai menakar perayaam adat dari segi efektif dan efisien, pasti akan mengundang lewat HP saja.


Undangan para Presiden Suku "Malu" atau yang mewakili Setiap Suku "Malu" itu bertujuan agar mereka semua hadir dalam pelaksanaan adat kematian itu. Kalau satu suku "Malu" tidak hadir maka adat kematian belum dapat dimulai. Menunggu semua wakil suku "Malu" hadir, baru segera dimulai tata adat kematian. Upacara adat akan berbelit-belit atau dulur-ulur kalau para suku "Malu" tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang karena ada persoalan tersinggung karena soal plitik, soal konflik yang lain antara Suku "Malu" yang tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang dengan anggota suku Astalin sebagai suku "Aiba'a". Maka perlu selesaikan masalah konflik itu dengan sejumlah uang yang harus dibawah oleh suku Astalin sebagai suku "Aiba'a" kepada Suku "Malu", yang bersangkutan. Suku "Malu" yang tidak mau datang karena tersinggung atau konflik dengan Suku Astalin sebagai suku "Aibaa'a" itu disebut dalam bahasa Bunaq, dengan istilah "Malu Aiba'a Gege Robon". Uang yang dibawah oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Suku "Malu" itu sebagai uang rujuk - rukun kembali antara suku "Malu" yang bersangkutan sengan suku Astalin sebagai "Aiba'a". Setelah rukun baru Suku "Malu"itu memenuhi undangan itu datang menghadiri, menyaksikan perayaan adat kematian. Masalah akan lebih rumit kalau anggota suku "Malu" itu banyak dan juga semuanya pada konflik dengan Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Semua konflik itu diselesaikan baru melaksanakan adat kematian. Soal-soal itu biasanya sederhana, pada umumnya karena Para Suku " Malu" merasa dilecehkan oleh kata-kata Suku "Aiba'a". Semakin banyak konflik semakin tidak efektif dan tidak efisien melaksanakan adat kematian suku Astalin. Perayaan adat kematian ini dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan sebutan "LAL HOON".



Semua konflik antara "Aiba'a" dengan setiap suku "Malu" sudah diselesaikan secara damai, dan semua suku "Malu sudah hadir di sekitar perayaan adat kematian, barulah dilaksanakan adat Kematian atau " LAL HOON". Proses adat "LAL HO'ON" atau adar kematian sama persis yang sudah diuraiakan dalam Adat "Lal Ho'on" pada Suku Monewalu. Hanya Pelaksana Adat yaitu suku Astalin dengan susunan anggota suku "Malu"nya yang berbeda-beda. Perayaan adat Kematian suku Astalin sebagai berikut :

1. "Tel Taba"

Suku Malu yang berhak "Pertama kali menancapkan tajak pada tanah tempat kuburan yang akan digali, bagi seorang anggota suku Astalin yang meninggal adalah Suku Leb sebagai suku yang menjadi asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali. Selama Suku Leb ini ada dan tidak berhalangan hadir, Suku Leb ini yang berhak menancapkan tajak untuk pertama kali di tanah tempat untuk kuburan bagi seorang anggota suku yang telah meninggal. Suku Leb mendapat stipendium adat untuk penancapan pertama itu. Stipendium itu adalah SI BESAL atau SI GEWEEL dan sejumlah uang. Kalau Suku Leb berhalangan hadir dengan alasan yang masuk akal, maka Presiden Suku Leb ini memberi mandat kepada suku "Malu" yang lain untuk menancapkan tajak pertama di atas tanah tempat kuburan itu. Pemberian mandat berarti pemberian stipendium yaitu SI BESAL atau SI GEEL kepada "Malu" yang menerima mandat itu. Sesudah itu penggalian lanjutnya oleh Suku "Malu" yang lain yaitu Suku Lelabere Delo Bul. Mereka juga mendapat stipendium yaitu Sejumlah daging dan sejumlah uang. Untuk "Tel Taba" ini ada seekor Babi yang dikorbankan.


2. "Gon Tolo"

Para "Malu" akan memindahkan tangan seorang anggota suku Astalin yang meninggal di atas dadanya. Pemindahan ini punya stipendiumnya tersendiri. Jumlahnya sekitar Rp.50.000 sampai Rp.100.000. Tergantung permintaan "Malu" yang memindahkan tangan suku Astalin sebagai "Aiba'a" yang telah meninggal. Untuk ini satu ekor babi dibunuh.


3. "Gawak"

Gawak berarti mengarak Peti Jenazah ke tempat pemakaman. Orang memikul pada dasarnya malu dengan para pemuda yang bertenaga. Peti Jenazah itu ditutup dengan kain. Kain itu akan diperebutkan oleh para suku "Malu". Prinsip perebuatan itu adalah malu siapa yang cepat dan gesit akan mendapat dan memiliki kain penutup peti itu. Perebuatan biasanya sebelum tiba di Kuburan. Setelah upacara penguburan, anggota suku "Malu" dan "Aiba'a" kembali ke rumah duka.


4. "Il Hesik"

"Il Hesik" artinya para "malu" memercikkan air ke atas para "aiba'a" yang berduka. "Il hesik" ini dilaksanakan di depan rumah duku. Waktu pulang dari kuburan usai penguburan, para suku "Malu" telah mendahului "para aiba'a" dan berdiri di depan pintu rumah duka, dan telah siap dengan air berkat secara adat ala para suku "malu". Caranya, para anggota suku "Aiba'a" yang pulang dari penguburan itu berdiri berbaris di depan pintu rumah duka, direciki dengan air suci ala adat itu kemudian baru mereka masuk ke dalam rumah duka itu. Perecikan itu bermakna menyucikan hati, pikiran duka keluarga "aiba,a" dan menguatkan serta meneguhkan mereka agar tidak dikuasai oleh rasa duka yang berkepanjangan. Mereka menyerahkan kepergian anggota suku yang meninggal dengan tulus tanpa suatu beban berat tertentu.



5. "En Gawa Gini"

Sesudah suku "Malu" memerciki suku "Aiba'a" kini mereka konsentrasi bekerja di dapur untuk mempersiapkan makan-minum melayani para suku "Malu" yang ada. Suku "Malu" sebagai tamu agung yang harus dilayani oleh suku "aiba'a". Para suku "Aiba'a" memberi pelayanan yang istimewa dan sempurna kepada para suku "Malu" yang ditempat sebagai "Raja" di mata Suku "Aiba'a". Makanan harus enak, dengan lauk pauk dan sayur-sayuran yang istimewa. Kalau makan kurang enak, para "malu" biasanya memberi komentar atau penilaian yang agak miring kepada para "aiba'a" yang melayani mereka.


6. "Lasik Wa"

Para "aiba'a" pun makan bersama setelah melayani para "malu". Dalam makan bersama, presiden suku "Aiba'a" mengumumkan kepada "Mane Pou" dan "Deu Gomo", untuk mengumpulkan uang. Jumlah uang yang akan dikumpulkan sebesar Rp.20.000/orang atau Rp.50.000/orang, berdasarkan kesepakan dan keputusan presiden suku. Uang yang dikumpulkan itu disebut "Lasik Wa". Uang itu untuk apa? Untuk beli babi untuk adat "Si Por Pak". Adat "si por pak" yaitu adat memasukkan jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal kedalam Persekutuan para leluhur di rumah adat suku leluhur di dunia seberang. Rumah adat para leluhur itu disebut "MOT". Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam rumah adat Suku Leluhur itu disebut "MOT TAMA". Para "Malu" hidup damai dengan "aiba'a" dan hadir dalam seluruh adat kematian itu secara lengkap sempurna maka jiwa suku anggota "aiba'a" layak masuk dalam rumah adat suku leluhur atau "Mot Tama". Sebalinya kalau salah satu malu tidak setuju atau tidak hadir dalam adat kematain makan adat kematian itu tidak dapat dilaksanakan, dibatalkan, ditunda maka jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal itu masih berkeliaran di luar rumah adat suku leluhur, dia belum masuk dalam rumah adat leluhur atau belum "MOT TAMA" yang secara harafiah diartikan belum masuk rumah adat para leluhur yang berbahagia abadi di dalam "MOT".

Uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu juga akan digunakan untuk beli beras, beli sayur-sayuran, beli minuman, kopi, gula. Uang itu juga digunakan untuk uang stipendium bagi para "Malu" yang akan melaksanakan "Kaba" dan "Tais Hota". Uang itu digunakan untuk membeli siri pinang yang akan digunakan untuk "Kaba" "aiba'a" oleh "malu". Uang itu digunakan untuk membeli jumlah "taka giral" sejumlah banyaknya suku "malu". Dalam Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (dua belas) suku "Malu" maka harus disiapkan 12 (dua belas "taka giral").

Biasanya uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu sangat banyak. Setelah adat kematian selesai, biasanya masih ada uang sisa atau saldonya. Pada zaman dulu, pengumpulan uang pada satu tangan tunggal yaitu presiden suku tanpa sekretaris yang mencatat nama jumlah uang yang dikumpulkan oleh para anggota suku "aiba'a" baik "mane pou" dan "deu gomo", maka sisa uang itu akan masuk dalam kantong saku presiden suku dan menjadi milik pribadi presiden suku atau ketua suku "aiba'a". Pada dewasa ini, hal semacam itu telah dikendalikan oleh seorang yang sepakat diangkat oleh anggota suku "aiba'a" untuk menjadi sekretaris yang bertugas menulis nama para pengumpul uang, pengeluaran dengan semua bukti / Nota belanja, dan pada akhir adat kematian itu dibacakan atau dilaporkan oleh sekretaris dengan suara lantang kepada publik suku "aiba'a" sehinnga anggota suku tidak mencurigai atau berprasangka buruk terhadap Presiden suk atau ketua suku, tetapi semakin percaya kepada kejujuran presiden suku, pelayanan dan pengorbanannya dalam memimpin sebuah adat kematian.



7. "Si Giwitar Pak"

Adat "Si Giwitar Pak" ini dipimpin oleh "LAL GOMO". Dia adalah pribadi yang tahu adat asal-usul suku Astalin sebagai "aiba'a". Dia menjelaskan sejarah suku "aiba'a" dengan jujur, dan benar. Kesalahn dalam hal ini akan mendapat hukuman atau kutukan dari para leluhur. Dia juga menyampaikan doa atau mantra-mantra bagi jiwa orang yang meninggal. Doa-doa itu mengarak masuk jiwa anggota suku yang meninggal masuk ke dalam rumah adat suku leluhr atau "MOT TAMA". Setiap "Malu" mendapat satu ikat daging dengan sejumlah uang berkisar Rp. 50.000 sampai Rp.100.000 kepada setiap "malu". Dalam hal ini semakin besar daging dan jumlah uang tentu saja para malu yang menerima bagiannya sangat gembira. Ini semacam gaji atau stipendium mereka. Dalam suku astalin yang mempunyai 12 "malu" maka daging yang dibagi dan uang yang merupakan bagian "malu" sejumlah 12 ikat daginh dengan sejumlah uang yang telh disetujui dan diberikan. Setipa malu setelah doa "LAL GOMO" itu mengangkat bagiannya masing-masing. Biasanya setiap bagian itu diserhkan oleh presiden suku "aiba'a" kepada setiap "malu". "Lal Gomo" mendapat stipendiumnya tersendiri. Di sini tampak bahwa pihak "aiba'a" sudah berduka, harus melaksanakan kewajiban memberi uang dan daging kepada setiap wakil pihak suku "malu". Dalam hal ini yang mendapat pemasukan besar adalah pihak suku "malu" sedangkan yang wajib membayar uang kepada "Malu" adalah suku Astalin sebagau asal-usul suku "aiba'a" (Suku Astalin).


8. "Tais Hota"

Setelah pelaksanaan adat di atas meja altar "Si Por Pak" kini beralih ke meja altar adat "Tais Hota". Proses adat di atas altar adat "Tais Hota" adalah para "malu" membawa kain adatnya di atas altar adat "Tais Hota". Para "malu" menawarkan "TAIS" atau kain adat kepada para "aiba'a". Para "aiba'a" harus membeli setelah tawar menawar itu. Tawar-menawar tapi tidak dibeli oleh "aiba'a" maka pihak "malu" akan tersinggung. Itu akan tersimpan dan diungkapkan kembali pada adat "Tais Hota" pada kematian berikut. Rujukannya dengan cara, pihak "aiba'a" yang telah menimbulkan rasa tersinggung adat, memberi seujmlah uang kepada pihak "malu" tersebut. Pihak "aiba'a" yang tidak mau membeli kain adat itu biasanya alasannya masuk akal secara ekonomis. Kain adat yang kurang meyakinkan harus ditawar dengan harga mahal misalnya Rp.50.000 atau Rp.100.000,- biasanya pihak "aiba'a" menolak untuk membeli. Tapi penolakan itu melahirkan beban adat kematian pada kematian berikut. Baik-buruk kain adat yang ditawarkan di atas "meja altara adat Tais Hota" ini, pihak "aiba'a" demi sebuah relasi adat, harus membeli dengan harga yang telah ditentukan oleh pihak "malu". Di sini apa yang terjadi? Dalam hal demikian, adat memang sangat tidak ekonomis hanya demi gengsi belaka. Ada pihak yang menerima keuntungan besar yaitu "malu". Ada pihak yang dirugikan yaitu suku Astalin sebagai "Aiba'a". Ada prinsip ekonomi berlaku bagi para suku "malu" yaitu mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu perayaan di atas meja altar adat "tais hota". Ada unsur bisnis bermain dalam adat kematian yang dimainkan oleh para suku "malu". Sedang bagi para suku "Aiba'a" siap berkorban melayani kebutuhan atau keinginan para "malu" demi sebuah nilai yaitu relasi harmonis, rukun, damai, mengalah dalam relasi dengan para suku "malu".
Barangkali, adat "Tais Hota" ini bisa ditiadakan karena sangat merugikan suku yang berduka dalam hal ini suku Astalin sebagai sebuah suku yang berperan sebagai "aiba'a" dalam altar meja adat "Tais Hota".


9. "Kaba"

Dari meja altar adat "Tais Hota", kini beralih ke meja altar adat "Kaba" yang dibuat oleh pihak "malu" kepada "aiba'a". Ada aturan main di atas meja altar adat "Kaba". Di depan setiap wakil 12 Suku "malu" disediakan masing-masing "Taka Giral". Di dalam setiap "Taka Giral" yang disediakan di depan 12 Suku "Malu" itu, diisi Siri-Pinang-Uang Sitipendium sekitar Rp. 200.000 / "Taka Giral" kepada setiap "malu". Siri-pinang -uang dalam "Taka Giral" itu didoakan secara bersama-sama oleh para "malu". Setelah itu setiap malu mengambil siri-pinang yang ada dalam "Taka Giral" itu lalu makan-kunya.


Lalu setiap anggota "aiba'a" dipanggil secara berurutan untuk menerima "Kaba" dari para "malu. Pertama di depan Malu suku Leb sebagai asal asli suku Astalisn. Wakil Suku Leb sebagai "Malu" yang memberi "Kaba" yaitu berkat leluhur lewat diri suku "malu" yaitu suku Leb yang mengalirkan berkat leluhur itu kepada suku Astalin sebagai suku "aiba'a". Caranya, suku Leb itu mengambil siri-pinang yang telah dikunyah dan merah dari mulutnya lalu dengan itu membuat tanda salib di dahi anggota suku astalin yang menerima "Kaba" atau lewat itu menerima berkat leluhur. Kemudian dari Suku Leb beralih ke suku-suku yang lain sebagai "malu". Suku-suku "malu" yang lain ini memberi berkat leleluhur tidak dengan ambil ampas merah sirih pinang dari mulutnya, tetapi suku "aiba'a" mengulurkan ujung kedua tangannya kepada setiap suku "malu" itu sehinnga suku-suku "malu" itu mengalirkan berkat dan rahmat dari para leluhur kepada suku "aba'a" itu dengan meniupkan kedua ujung tangannya. Setiap wakil suku yang duduk di altas adat "Kaba" ini meniupkan ujung tangan suku "aiba'a" sampai selesai. Usai perayaan di atas meja altar adat "Kaba" maka usailah sudah seluruh rangkaian adat kematian atau adat "Lal Ho'on.


10.  Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu


Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.


Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.

Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER  dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.

Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.

Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir  atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.

Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.

Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.

Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir  atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.

Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER  atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.

Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.

Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.

Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.

Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.

Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti  dan terbukti bahwa: "ketika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."***











Sabtu, Januari 19, 2008

Menyentuh Rasa Ritus Adat Kenduri Suku Bunaq Aitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*



Seseorang suku Bunaq meninggal ada tata adatnya sendiri. Dalam tulisan sederhana ini penulis mengolah tata urutan acara adat kematian dan maknanya. Informasi ini diterima dari Sumber Utama LAL GOMO yaitu tua adat di Asueman-via telephone pada malam ini Sabtu 19 Januari 2008, dari Jam 20.30-22.30 Waktu Surabaya. Penulis langsung telephone dengan Bapak Gabriel Mali-Tokoh Adat Suku Bunaq di Asueman-Guru Agama senior yang telah banyak makan asam garam dalam agama Katholik dan adat Suku Bunaq, khususnya adat yang berlaku di Desa Aitoun-Kecamatan Raihat-Kabupaten Dati II Belu. Urutan adat kematian itu sebagai berikut :


Pertama dan utama adalah ketua suku mendamaikan anggota rumah suku yang konflik. Kalau ketua suku juga terlibat dalam konflik maka ketua suku dari rumah suku "MALU" akan mendamaikan pihak-pihak yang konflik.  Pendamai mendamaikan dengan ritus adat Rekonsiliasi yang berlaku di Suku Bunaq Aitoun.  Video ritus adat rekonsilasi Suku Bunaq Aitoun ini dari Bapak Marianus Luan. Beliau merekam ritus rekonsiliasi yang berlangsung di Asueman-Malate-Aitoun. Voice asli dihapus oleh penulis dan diganti dengan musik dan lagu dari Mazmur 133 yang merangkum ritus rekonsiliasi anggota rumah suku yang mengalami rekonsiliasi "Betapa indahnya hidup rukun dan damai sebagai saudara."

Video ini dari Bapak Marianus Luan
Beliau hadir langsung dalam proses adat rekonsiliasi anggota rumah suku Monewalu
Suku Bunaq Aitoun




Sesudah semua anggota rumah suku hidup rukun dan damai maka tahap-tahap adat kenduri dapat dilaksanakan. Catatan penting untuk pembaca bahwa ritus adat kenduri ini adalah sebuah contoh adat kenduri dari seorang anggota rumah suku Monewalu dan anggota rumah suku Monewalu memiliki MALU BUL dari rumah suku Laimea. Jadi pembaca fokus pada relasi Rumah Suku Monewalu dengan Rumah Suku Laimea dalam uraian contoh ritus adat kenduri di bawah ini. Mengapa karena setiap anggota sebuah rumah suku memiliki MALU BUL yang berbeda-beda. MALU BUL artinya rumah suku yang mengutus anggotanya masuk ke dalam rumah suku yang lain. Misalnya dalam hubungan Rumah Suku Monewalu dengan Rumah Suku Laimea dalam contoh ini. Secara historis dalam kaitannya dengan anggota rumah suku Monewalu yang adat kendurinya dilaksanakan dalam uraian ini. Rumah Suku Laimea secara historis memberikan anggotanya mendirikan rumah suku Monewalu atau menjadi anggota rumah suku Monewalu. Maka Rumah Suku Laimea adalah MALU BUL bagi seorang anggota rumah suku Monewalu yang sedang dibuat adat kenduri dalam pembahasan ini. Anggota rumah suku Monewalu yang lain berasal dari rumah suku yang lain dan itu tidak diuraikan dalam tulisan ini. 

1. "TEL TABA"

"Tel Taba" artinya menggali kuburan. Orang pertama yang menggali kuburan adalah MALU khususnya LAIMEA. Sesudah itu malu yang lain (bukan suku LAIMEA )menggali kuburan selanjutnya. Mengapa Suku Laimea sebagai "malu" yang pertama menancapkan tajak ke tanah untuk membuka penggalian khubur? Karena Suku Laimea adalah asal asli suku Monewalu. Suku Malu lain boleh menancapkan tajak pertma sebelum gali khubur, tetapi harus mendapat mandat dari Suku Laimea. Kalau suku "malu" lain mendahului, maka suku "malu" lain akan berkomentar bahwa itu tidak benar secara adat. Harus dipulihkan dengan memberi sejumlah uang kepada Suku Laimea.


2. "GON TOLO"

"Gon Tolo" artinya, meletakkan tangan seorang AIBA'A yang meninggal di atas dadanya. Peletak tangan seorang yang meninggal itu di atas dadanya itu dilakukan oleh para "Malu". Dalam istilah bahasa Bunaq : " Gon Tolo" artinya "Malu gini en heser gon ba giwitar no Tula". Para "Malu" yang memindahkan tangan seorang yang meninggal ke atas dadanya itu dibayar dengan sejumlah uang sesuai permintaan "para Malu" yang mengangkat tangan yang meninggal ke atas dadanya". Pada umunya harga adat "Gon Tolo" itu mulai dari Rp.10.000 sampai dengan Rp.100.000.- Tata adat ini diwariskan para leluhur secara turun temurun. Sampai dewasa ini tetap dijalankan oleh suku Bunaq di desa Aitoun-Kecamatan Raihat - Kabupaten Dati II Belu - Propinsi Nusa Tenggara Timur - Negara Kesatuan Republik Indonesia.


3. "Gawak".

"Gawak" berarti mengarak peti jenasah ke Kuburan yang telah disiapkan. Peti Jenasah ini ditutup dengan Kain Adat. Kain adat itu diambil oleh para "Malu" itu. Pada dasarnya para "Malu" berebutan, siapa yang cepat dia yang dapat kain adat penutup Peti Jenasah itu. Rebutan itu terjadi di kuburan sebelum peti jenasah diturunkan ke dalam kubur. Pemikul peti jenasah itu adalah para "malu" bersama para pemuda.



4. "IL HESIK".

"Il Hesik" berarti pemercikan air putih oleh Para "Malu", ke atas para "AI BA'A" di depan rumah duka, setelah pulang dari kuburan, agar dengan hati yang bersih masuk dalam rumah duka. Makna pemercikan ini adalah pembersihan, penyucian "AI BA'A" yang berduka, agar hati mereka kembali dikuatkan oleh rahmat pembersihan dan penyucian yang diberikan oleh para "Malu" sebagai pemilik rahmat penyucian itu.



5. "En Gawa Gini".


"En Gawa Gini" artinya memberi makan minum kepada semua "malu gol" dan "Aiba'a gol" yang datang di rumah duka. Acara makan minum ini berlangsung setelah pulang dari acara penguburan.


6. "Lasik Wa"

"Lasik Wa" ini berlangsung selama makan minum bersama setelah pulang pulang dari adat penguburan. "Lasik Wa" ini hanya oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo" suku "AIBA'A" yang anggotanya meninggal dunia. "Lasik Wa" ini berarti ketua suku atau "Presiden Suku" bersama para OM sebagai elite adat suku, menentukan keputusan berapa jumlah uang yang akan dikumpulkan oleh "Mane Pou" dan "Deu Gomo". Jumlah uang yang ditentukan itu jumlanya sama yang harus ditanggung oleh "Mane Pou" yaitu suami para perempuan ("AIBA'A" yaitu suku keluarga yang berduka) dan "Deu Gomo" yaitu semua laki-laki yang disebut sebagai "AIBA'A. Berdasarkan pengalaman, para Om bersama Ketua Suku atau Presiden Suku memutuskan jumlah besarnya uang yang akan dikumpulkan itu berkisar Rp.20.000 / "Mane Pou" dan "Deu Gomo" sampai Rp.100.000. Uang yang dikumpulkan itu disebut "LASIK WA".


Uang yang dikumpulkan itu untuk apa? Uang itu akan digunakan untuk pelaksanaan adat "SI GIWITAR PAK" atau "SI POR PAK" yaitu adat memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam Rumah Suku Para Leluhur yang hidup bahagia tan akhir di dunia seberang; Beli Beras; Beli Babi untuk adat "SI POR PAK"; Uang yang dikumpulkan itu juga untuk adat "KABA" yaitu pemberian berkat oleh "Malu" kepada "Aiba'a"; uang dari "Lasik Wa" itu juga untuk "TAIS HOTA"; uang itu juga untuk stipendium bagi "Lal Gomo" yaitu dia yang tahu sejarah asal-usul suku "Aiba'a" dan mendoakan jiwa suku "Aiba'a" yang telah meninggal untuk memasukkan jiwanya ke dalam persekutuan bahagia abadi para leluhurnya di dunia seberang, sebagai acara puncak "Si Por Pak"; Kalau uang yang dikumpulkan itu masih ada lebih, maka kelebihan uang itu masuk kantong ketua suku atau presiden suku (pada zaman dulu) tetapi pada zaman sekarang ini terkontrol oleh sekretaris yang menulis jumlah uang yang dikumpulkan itu dan setelah pengualaran uang dan sisa saldonya diumumkan kepada anggota suku "Aiba'a" yang telah mengumpulkan itu sehingga dewasa ini lebih transparan jujur dibandingkan dulu-dulu.


7. "Si Por Pak".

Adat Si Por Pak" ini dipimpin oleh "Lal Gomo" yaitu dia yang tahu tentang asal usul sejarah suku "AIBA'A" yang telah meninggal, dan juga anggota suku "AIBA'A" yang masih hidup, yang sedang berduka. "Lal Gomo" itu didampingi oleh para Om suku "Aiba'a" dan presiden suku. Setiap suku yang menjadi asal-usul suku "AIBA'A", yaitu suku-suku "Malu" yang disebut sebagai asal-ausl sejarah suku "Aiba'a" itu punya bagian adatnya. Bagian adat setiap suku "Malu" itu terdiri dari satu ikat daging dengan jumlah uang sekitar Rp.50.000 sampai Rp.200.000.- Bagian-bagian itu ditentukan oleh "Lal Gomo" dan disatukan dalam doa "Lal Gomo" yang intinya memasukkan jiwa anggota suku "Aiba'a" yang telah meninggal ke dalam rumah suku para lelujurnya yang hidup bahgia di dunia seberang, setelah hidup di dunia ini. Penjelasan dan Doa "Lal Gomo" ini dberi stipendium sekitar Rp.250.000 - Rp. 500.000.- Peran "Lal Gomo"itu sangat penting dalam memberi penjelasan yang tepat dan benar tentang asal-usul suku orang yang meninggal dan memasukkan jiwanya ke dalam rumah suku para leluhur. Kesalahan penjelasan akan diberi hukuman atau kutukan oleh para leluhur.


8. "Mot Tama".


"Mot Tama", berarti jiwa orang yang meninggal itu telah masuk ke dalam persekutuan dalam rumah suku para leluhur di dunia seberang, yang hidup tiada akhir, bahagia untuk selamanya. "Mot Tama" itu tercapai oleh jiwa orang yang meninggal setelah adat "Si Por Pak" dilaksanakan secara sempurna. Video berikut merupakan intisari adat kenduri. Adat "si por pak" adalah syarat utama anggota yang meninggal masuk ke dalam Surga tempat kebahagiaan abadi. Surga dalam bahasa bunaq Aitoun adalah "Mot Tama" yaitu tempat sukacita abadi leluhur. Adat ini yang membuka pintu surga bagi orang yang meninggal.  Adat ini menutup pintu neraka. Adat suku Bunaq tidak mengenal neraka bagi manusia yang meninggal. Taat adat ini surga terbuka lebar.

Video ini direkam oleh penulis.
Adat Kenduri
MAMA MARIA BETE ASA
RUMAH SUKU LAIMEA AITOUN

LOKASI 
FATUBENAO-ATAMBUA


9. "Tai Hota".


"Tais Hota", berarti "Suku-suku Malu" membawa kain adat dan anggota suku "Aiba'a" membawa uang untuk membeli kain itu. Harga kain adat itu ditentukan "Malu" sebagai penjual barangnya kepada "Aiba'a". Para "Malu" tentukan harga kain itu kepada pembeli yaitu "Aiba'a" dan para "Aiba'a" harus membeli kain itu. Kalau "Aiba'a" tidak mau membeli maka akan muncul masalah baru yaitu para "malu" merasa tersinggung, tidak dihargai. Dan itu akan diungkapkan pada adat kematian berikutnya, dan bayrannya tetap yaitu pihak "aba'a" memberi uang kepada " malu " yang tidak dihargai itu sebagai rujuk-rukun kembali secara adat. Ada sedikit unsur bisnis dalam adat "tais hota" ini.


10. "KABA"


"Kaba" berarti pemberian berkat oleh suku-suku "Malu" kepada suku "Aiba,a". Suku monewalu di-"kaba"-kan oleh "Malu" yang bersuku Laimea. Suku-suku "malu" yang lain juga memberi kaba kepada suku "Aiba'a" tetapi caranya berbeda.



Bahan yang disiapkan unntuk "Kaba". Suku "Aiba'a" menyediakan 5 (lima) buah "Taka Giral" tempat siri pinang dan uang stipendiuam atau derma kepada para suku "Malu". Angka 5 (lima) "Taka Giral" itu sesuai jumlah suku "Malu" dalam kacamata suku Monewalu sebagai suku "Aiba'a". Dapat disebutkan bahwa 5 (lima) "Taka Giral" sama dengan 5 (lima) suku "Malu" yaitu suku Laimea, suku Mone Sogo, Suku Si Gup, Suku Lianain, suku Hokiik bagi Suku Monewalu sebagai suku "Aiba;a".


Proses "kaba" pemberian berkat oleh "malu" kepada "aiba'a". Pertama-tama para wakil suku-suku Malu itu mendoakan bersama di atas siri-pinang dan uang yang ada dalam "Taka Giral" depan masing-masing suku "malu" itu. Doa para malu atas siri - pinang - uang dalam "Taka Giral" itu dikenal dalam bahasa bunaq dengan istilah "Molo Guhu" .


Setelah acara doa atas "Taka Giral", atau "Molo Guhu", disususl dengan Wakil Suku Laimea memberi berkat tanda salib di dahi setiap anggota suku "aiba'a", dan disusul oleh wakil suku-suku "malu" yang lain dengan cara anggota "aiba'a" setelah terima "kaba" tanda salib dengan sirih pinang yang dimakan dari suku Laimea, anggota "aiba'a" itu pindah ke pada wakil suku "malu yang berikut dengan menyerahkan atau mengulurkan tangannya dan wakil suku 'malu yang lain meniupkan ujung kedua tangan anggota "aiba'a". semua suku "malu" makan siri pinang yang telah disiapkan dalam "Taka Giral" tadi. Suku Laimea memberi "Kaba" dengan mengmbil ampas siri-pinang dari mulutnya dan membuat tanda salib di dahi setiang anggota suku "aiba'a" yang di-"kaba"-kan. Empat (4) suku "malu" lainnya memberi "kaba" dengan meniupkan ujung tangan anggota "aiba'a" seteleh terima tanda salib -kaba- dari suku Laimea. Mengapa suku Laimea memberi "kaba" tanda salib di dahi suku Monewalu sebagai "aiba'a"? Karena Suku Monewalu berasal dari suku Laimea. Setelah Adat "kaba" usai, maka semua adat kematian juga belum selesai.

11. Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu


Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.


Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.

Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER  dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.

Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.

Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir  atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.

Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.

Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.

Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir  atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.

Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER  atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.

Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.

Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.

Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.

Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.

Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti  dan terbukti bahwa: "ketika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."


Dari semua uraian di atas ditemukan tiga rasa cara pikir-rasa-aksi Suku Bunaq Aitoun seperti di dalam tiga bagan berikut.***












Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..






Sistem Relasi "Malu-Ai" Rumah Suku Monewalu di Aitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*



Suku Monewalu adalah satu suku kecil yang ada, dan hidup serta berkembang dalam suku Bunaq sebagai suku Besar. Suku Monewalu ini ada karena ada suku-suku lain yang disebut sebagai asal suku Monewalu. Para suku-suku kecil yang disebut sebagai asal-usul suku Monewalu ini, dikenal dengan nama suku "malu" dalam pandangan Suku Monewalu. Suku-Suku "Malu" itu adalah suku-suku yang memberi perempuan suku-suku itu kepada suku Monewalu. Suku Monewalu disebut suku yang menerima perempuan dari suku-suku "Malu" itu. Dalam pandangan suku Monewalu, pemberi perempuan kepada suku Monewalu disebut sebagai "Malu". Suku Monewalu sendiri sebagai suku yang menerima perempuan disebut sebagai "Aiba'a".



Suku-suku yang tergolong sebagai "Malu" dalam kacamata Suku Monewalu itu adalah Suku Laimea; Suku Monesogo; Suku Si Gup; Suku Lianain; Suku Hoki'ik yang ada di Desa Aitoun-Kecamatan Raihat-Kabupaten Dati II Belu - Propinsi Nusa Tenggara Timur - Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suku-suku kecil yang disebut "Malu" itu adalah suku-suku yang menjadi asal-usul suku Monewalu. Suku Monewalu tahu diri sebagai sebuah suku yang berasal dari orang lain, yaitu suku-suku yang disebut sebagai "Malu". Suku Monewalu tetap menggemakan kembali, menghidupkan kembali kesadaran tentang asal-usul sukunya dalam setiap perayaan adat yang diselenggarakan oleh setiap anggota Suku Monewalu. Dalamsetiap upacara adat yang diselenggarakan suku Monewalu, suku Monewalu dengan rendah hati mengundang secara hormat para suku "Malu" yaitu suku-suku yang menjadi asal-usulnya. Dengan demikian relasi adat yang diselenggarakan oleh Suku Monewalu, menjadi satu perayaan adat yang kembali mengokohkan relasi suku Monewalu dengan para suku "Malu" yaitu suku-suku yang menjadi asal-usul suku Monewalu.




Khususnya dalam adat kematian seorang Suku Manewalu, semua suku "Malu" itu diundang oleh suku oleh suku Monewalu. Di situ ada adat-adat yang mengokohkan relasi adat antara Suku Monewalu sebagai Aiba'a dengan para suku "Malu" sebagai suku-suku yang disebut sebagai asal-usul suku Monewalu. Ada adat-adat yang menguatkan atau menggemakan kembali rerlasi "MALU" dengan "AIBA'A" yaitu adat "TAIS HOTA" dan "KABA". Dalam adat "KABA" dan "TAIS HOTA" terjadi semacam persembahan/kolekte adat dari "IABA'A" kepada "MALU". Adat "KABA" berarti para suku "MALU" membuat tanda salib di dahi suku "AIBA'A" dengan siri-pinang, tanda berkat berlimpah Allah kepada manusia yang disalurkan melalui para suku "MALU" sebagai asal-usul suku "AIBA'A" yaitu suku Monewalu. Para suku "Malu" meletakkan tangan di atas kepala suku "AIBA'A", mendoakan suku "AIBA'A" lalu membuat tanda salib di dahi anggota suku Monewalu yang menerima adat "KABA" dari suku "MALU". Ini seperti anak-anak sekolah Minggu atau para bayi yang menerima berkat tanda salib di dahinya oleh Pastor pada hari Minggu di Gereja.



Saling memberkati-saling mendoakan secara tulus sudah ada sejak dahulu kala, tampak jelas dalam adat suku Monewalu, khusus dalam adat "KABA". Saling mendoakan dalam adat suku Monewalu, tidak hanya pada waktu adat kematian. Anggota suku Monewalu sebagai "AIBA'A" , sebelum pergi ke tempat yang jauh, misalnya ke luar pulau untuk bekerja, untuk tugas tertentu, datang kepada salah seorang "MALU", supaya "MALU" itu meletakkan tangan di atas kepala, mendoakan, dan meniupkan napas rahmat dan kekutan Allah di atas kepala anggota suku "AIBA'A" yang akan pergi ke tempat yang kauh, serta membuat tanda salib di dahinya oleh "MALU", sebagai bukti bahwa ramat leluhur disalurkan lewat pendoa yaitu "MALU". Doa-doa itu secara psikologis dan spiritual sangat memberi kekuatan kepada anggota suku "AIBA'A" yang akan pergi ke tempat yang jauh. Dia yang akan ke tempat yang jauh mendapat kepercayaan diri untuk memasuki wilayah yang baru. Dia lewat doa para "MALU" itu, yakin bahwa para leluhur, yang menjadi asal-usulnya selalu memberkati dia, mendampingi dia dalam setiap langkah suka duka hidupnya.



Dalam Gereja Katholik, sering muncul pertanyaan yang menantang iman Katholik dari pihak luar. Misalnya, mengapa orang harus berdoa dengan perantaraan Santa Maria? Mengapa tidak langsung berdoa kepada Allah? Mengapa harus mengaku dosa kepada Pastor/imam? Mengapa tidak langsung mengaku dosa kepada Tuhan? Realitas adat suku Monewalu seperti di atas, yaitu mendoakan sesama yang membutuhkan doa dari sesama, dukungan dari sesama yang menguatkan, sebelum pergi ke tempat jauh, atau dalam ke adaan normal, menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam diri manusia ada kebutuhan didoakan sebagai satu kekuatan tersendiri bagi dirinya. Doa tulus dari sesama, dapat memberi kekuatan yang luar biasa kepada sesama yang didoakan.



Dalam kehidupan kita manusia pada umumnya, ketika seorang anak akan pergi meninggalkan kedua orang tuanya, sanak saudaranya untuk bekerja atau menuntut ilmu, sebelum berangkat, kedua orang tua, kakek-nenek, para Om, sanak-saudara berkumpul dan berdoa dan mendoakan dia yang akan pergi jauh. Doa itu sungguh memberi kekuatan yang luar biasa kepada anak yang akan pergi ke tempat yang jauh. Anak akan merasa percaya diri dan diberi kekuatan sendiri untuk memasuki lingkungan yang baru. Anak akan diberi kekauatan untuk bersaing secara sehat di lingkungan dunia baru yang dimasukinya.




Dalam Kitab Suci, jelas bahwa doa tulus para beriman memberi kesembuhan dan keselamatan bagi orang yang didoakan. Doa Yudas Makabe bagi sahabat-sahabatnya meninggal, membawa kebangkitan kepada mereka yang didoakan. Doa/Iman seorang perwira membangkitkan hambanya. Doa dan iman sahabat-sahabat orang sakit/mati dapat menyembuhkan/membangkitkan orang mati.


Berdasarkan pengalaman umum dan praktek doa manusia, apa yang tertulis dalam kitab suci tentang betapa penting doa sesama bago orang lain dapat menguatkan dan menyembuhkan, bahkan menyelamatkan dan menyembuhkan, maka tidak ada alasan yang cukup untuk membatalkan orang Katholik untuk berdoa bagi sesama dengan perantaraan para santo-santa, para imam, rohaniwan dan biarawan dan biarawati, atau setiap orang yang memiliki kharisma tertentu *** 



Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..