Sabtu, Desember 29, 2007

TUBI LAI adalah Memberi makanan kepada Leluhur di Suku Bunaq Aiitoun


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Kosa kata TUBI LAI ini sangat akrab di telinga Suku Bangsa Bunaq, dikala seorang anggota suku Bunaq (khususnya di dusun Asueman, desa Aitoun, Paroki Santo Theodorus Weluli, Dekenat Belu Utara, Keuskupan Atambua) meninggal dunia.

 Setelah meninggal dunia secara berturut-turut pada setiap malam dan saterusnya sampai malam 40 setelah meninggal dan juga dikuburkan, adat TUBI LAI di dalam rumah dan sepiring nasi dan lauk-pauk, disiapkan di atas meja makan untuk sama saudara yang meninggal dunia.

TUBI LAI dan sepiring nasi yang merupakan bagian yang meninggal itu juga secara teratur dibuat di atas kuburan orang yang telah meninggal, pada malam ketiga, ketuju, keseratus, satu tahun, seribu hari, sebagai symbol bahwa yang meninggal itu tetap hidup seperti kita hanya berada di dunia lain.

Dia yang meninggal dan hidup di dunia lain itu dapat melihat dan memperhatikan kita walaupun kita yang di dunia ini tidak melihatnya secara fisik. Dia yang telah meninggal dan hidup di dunia lain juga diyakini makan minum seperti kita di dunia ini.

Atas dasar keyakinan itulah maka Suku Bunaq, selalu memberikan makanan kepada orang yang telah meninggal.  Makanan itu diberikan di atas kuburan yang bersangkutan maupun diberikan di rumah orang yang telah meninggal. Roh orang yang meninggal itu ada di rumahnya dan makamnya.



Acara TUBI LAI ini kemudian dirayakan secara masal seragam oleh Suku Bunaq, di kuburan umum Halekel, Dusun Asueman, Desa Aitoun dan dikukuhkan oleh Gereja Katolik  dalam menyebarkan nilai-nilai iman akan kehidupan kekal dan kebangkitan badan seperti yang diproklamasikan dalam CREDO atau DOA AKU PERCAYA, dan itu yang dirayakan dalam PERAYAAN EKARISTI di Kuburan Umum setiap tanggal 2 November di dalam kalender liturgi Gereja Katolik. "Misionaris Sabda Allah dibaptis dengan tenggelamkan diri di dalam Yordan Suku Bunaq Aitoun dan belajar adat budaya Suku Bunaq Aitoun, dan melahirkan sebuah teologi rasa suku Bunaq Aitoun." Demikian kata Aloysius Pieris teolog rasa Asia dan implikasinya dalam konteks budaya Suku Bunaq Aitoun.



Adat TUBI LAI ini telah ada sejak dulu kala sebelum agama masuk ke daerah Suku Bangsa Bunaq. Acara adat TUBI LAI ini mengungkapkan bahwa Suku Bangsa Bunaq sudah sejak dulukala mengakui dan meyakini bahwa kematian itu bukan akhir dari segala-galanya. Kematian adalah akhir dari segala beban hidup di dunia, dan awal dari hidup kekal tanpa beban di dalam persekutuan dengan para leluhur.


(Baca juga tema tentang SI POR PAK : sebagai adat pengesahan pemasukkan seorang anggota yang telah meninggal ke dalam persekutuan kehidupan abadi para leluhur di dunia seberang atau Surga. Suku Bunaq sudah memiliki konsep Surga yang dirayakan dalam ritus adat SI POR PAK yang menutup pintu neraka bagi setiap anggota suku Bunaq).



Pesan mendalam lain yang mau ditampilkan dalam acara TUBI LAI ini adalah bahwa relasi manusia itu tidak dibatasi oleh unsur fisik yang kelihatan, tetapi lewat ADAT TUBI LAI ini, relasi manusia itu melintas batas.

Relasi yang demikian hanya dapat dibangun di atas dasar cinta rohani yang sejati. Cinta yang sejati dalam relasi adalah sebuah relasi yang dapat diungkapkan dalam doa.

Berdoa merupakan satu komunikasi bathin yang membuat yang telah tiada atau meninggal selalu dekat dan hadir di dalam lingkungan sekitar rumah, tempai pendoa yang sedang membangun komunikasi bathin dalam doanya bagi yang meninggal. Suku Bunaq membangun komunikasi dengan Arwah Leluhur dalam kata-doa-ritus dan aksi TUBI LAI memberi makanan real di atas makam dan di rumah orang yang telah meninggal. Pertama dan utama memberi makan yang paling baik kepada orang yang meninggal sambil berdoa dan berkomunikasi bathin dengan arwah leluhur selama kurang lebih satu sampai dua jam. Lalu seluruh anggota keluarga yang hadir mengambil makanan itu dan makan bersama di sekitar makam kalau TUBI LAI di kuburan dan di rumah kalau TUBI LAI dilaksanakan di rumahnya. ***



Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..


FENOMENA RITUS DI "UMON" MELAHIRKAN GAYA BERPIKIR SUKU BUNAQ AITOUN


*P. Benediktus Bere Mali, SVD*


Setiap fenomena yang tampak di mata kita dapat kita lihat dengan kacamata tertentu untuk menemukan nomena di baliknya. Salah satu fenomena yang mau ditampilkan dalam konteks tulisan ini adalah aksi ritus adat di atas UMON (mezbah) di setiap kebun, ladang atau sawah setiap orang dari dan di wilayah Suku Bunaq Aitoun. Dari observasi mendalam atas aksi ritus adat di atas UMON oleh suku Bunaq dapat menentukan gaya berpikir dan perasaannya. Fenomena tindakan yang tampak di depan indera mengantar observer menggali lebih dalam untuk menemukan cara berpikir dan perasaan yang masih belum tampak telanjang di mata publik. Fokus observer mengobservasi tindakan yang diobservasi untuk mendapat ketepatan hubungannya dengan perasaan dan pikiran yang diobservasi adalah tilikan tajam dalam membaca fenomena manusia secara utuh dengan menggunakan kacamata "Cognitive behavioral therapy" (CBT) dalam dunia psikologi konseling. Tetapi  di dalam konteks ini tidak ada proses therapy, hanya ambil cara berpikir, perasaan dan tindakan Suku Bunaq Aitoun dalam satu event "ritus di atas UMON" yang berlaku umum bagi suku Bunaq Aitoun dari leluhur hingga dewasa ini dan tentu seterusnya.

Di Atas Umon pembaca merasakan pola pikir Suku Bunaq Aitoun. Pola Pikir Suku Bunaq Aitoun dalam ritus adat di UMON (Mezbah) di tengah kebun atau ladang atau sawah di dalam bagan (A, B, C) berikut.










Umon adalah satu kosa kata yang sangat akrab di telinga para petani suku Bunaq. Baik itu petani di kebun, di ladang, atau di sawah di wilayah Suku Bunaq Aitoun.

Bicara dalam bahasa Petani, kosa kata UMON pasti mereka langsung mengerti. UMON ini adalah semacam altar-tugu- atau lebih tepatnya mezbah yang disusun atau dibentuk dari batu-batu, dan altar ini diletakkan atau ditempatkan tepat di pertengahan kebun atau ladang atau sawah yang sedang dibuka atau diolah untuk menanam jagung, padi, atau kacang-kacangan atau bawang. Nezbah ini biasanya sudah ada sejak luluhur pertama yang membuka lahan atau ladang atau sawah sebagai tempat perayaan ritus di kebun.




UMON ini berfungsi sebagai pusat atau sentral dari sebuah kebun. Biasanya UMON ini sudah ada di setiap pemilik kebun dan dibuat sejak dulu kala oleh orang pertama yang membuka atau mengolah kebun tersebut. UMON itu sebagai pusat pelaksanaan adat sebelum menanam dan saat tiba panen hasil.

Setelah lahan sudah dibersihkan, dan akan siap untuk memulai menanam benih yang telah disiapkan, diawali dengan upacara adat.

Adat itu sebagai berikut: seekor ayam jantan, atau babi, atau kambing, atau anjing dikorbankan di atas UMON itu oleh pemilik kebun.

Darah korban binatang itu dipercikkan di atas UMON itu, juga dipercikan diatas segenggam beras, sirih pinang, kapur yang telah disediakan atau disimpan di sebuah wadah anyaman berupa TAKA GOL, yang juga disimpan di atas UMON, sambil mengucapkan mantra-mantra sakti adat.  Inti mantra sakti itu adalah bahwa korban darah yang dipercikkan itu menunjukkan pemberian jatah atau bagian kepada kekutan-kekuatan jahat yang dipandang akan menjadi hama atau perusak tanaman yang akan ditanam.

Kekuatan-kekuatan jahat itu diperintahkan pemantra adat dan menyuruh pergi kekuatan jahat dari kebun itu agar yang ada di kebun itu hanyalah kekutan yang baik, yang memberi kesuburan bagi tanaman dan memberikan hasil yang baik dan berlimpah.

Saat pengucapan mantra sakti itu, disusul pemantra menghamburkan beras dari UMON tersebut ke empat sudut kebun sesuai arah mata angin sebagai bukti memberikan makanan yang menjadi bagian dari kekuatan jahat yang akan menjadi hama, dan sekaligus menyuruh pergi dari kebun itu dengan bekalnya yaitu beras yang telah dihamburkan ke empat sudut mata angin tersebut.

Setelah mantra itu, korban binatang itu dimasak, dan satu piring nasi dengan daging yang telah masak itu disimpan di atas UMON itu sebagai bagian dari kekuatan jahat. Peletakan makanan dan daging di atas UMON itu adalah makanan dan daging yang terbaik untuk kekuatan jahat. Mereka diberi makanan terbaik agar mereka makan kenyang lalu dipindahkan pergi ke kediamannya dalam keadaan perut yang tidak lapar lagi. Dengan demikian dia tidak akan memakan tanaman di kebun tersebut.

Sedangkan makanan dan daging yang lainnya akan dimakan oleh pemilik kebun itu serta anggota keluarganya itu merupakan bagian roh yang baik yang akan memberikan hasil yang baik.

Namun menaruk juga bahwa makanan terbaik di atas UMON juga akan diambil dan dimakan oleh hadirin dalam ritus adat tersebut. 

Saat hasilnya akan dipanen, sebelum panen dimulai, pemilik kebun itu memilih hasil yang unggul, lalu hasil itu disimpan di atas UMON tersebut, dengan mantra-mantra sakti yang isinya syukur dan terimakasih kepada sang pemberi hasil yang baik. Di sana juga ada korban binatang ayam atau babi atau anjing atau kambing atau bahkan sapi. Darah korban binatang itu dipercikan di atas UMON dengan semua hasil bumi unggul yang diletakkan di atas UMON.

Perasaan syukur itu pertama-tama lewat mempersembahkan hasil unggul sulung yang diserahkan atau dipersembahkan kembali kepada Wujud Tertinggi, HOT ESEN, di atas UMON-ALTAR itu.

Hasil unggul itu dipersembahkan kepada wujud tertinggi, bersama daging ayam, atau babi atau kambing, yang dikorbankan dan dipercikkan darahnya di atas UMON tersebut.

Daging yang ditempatkan itu adalah bagian daging yang paling baik. Daging yang lainnya dimakan oleh pemilik kebun dan anggota keluarganya.

Setelah itu dimulailah panen seluruh hasil di kebun tersebut. Para pemanen akan bersukacita selama memanen karena hasilnya yang berlimpah, yang membuat mereka tidak kelaparan.


Adat kebiasaan itu sudah berlaku dalam dunia pertanian sejak dulukala, dan diturunkan dari generasi ke generasi selama Suku Bunaq hidup sebagai petani.

Peristiwa adat ini telah bersatu erat dengan masyarakat petani Suku Bunaq. Penulis sejak kecil, sebagai anak petani, sudah mengalami dan merasakan adat di atas UMON bersama orang tua,  sebagai petani di tanah kelahiran Dusun Asueman, Desa Aitoun.

Pengalaman itu memberi masukkan bahwa Suku Bangsa Bunaq sejak nenek moyang dulu kala telah mengakui dan menerima kekuatan jahat dan kekuatan yang baik dalam konteks dunia pertanian.

Kekuatan jahat itu dilihat dalam perusak tanaman atau hama. Sebaliknya kekuatan baik itu adalah pemelihara tanaman, pemberi kesuburan kepada tanaman sehingga memberi hasil yang maksimal.

Suku Bunaq Aitoun mengakui kedua kekuatan itu lewat upacara adat yang dilaksanakan di kebun di atas UMON. Dari adat itu, ditampilkan bahwa pada dasarnya Suku Bunaq Aitoun mengutamakan kekuatan baik daripada kekuatan jahat.

Ritus Adat kepada kekuatan jahat di awal musim tanam. Ritus adat kepada kekuatan baik di saat sebelum memulai memanen hasil. Hasil terbaik dipersembahkan kepada sang sumber kebaikan, wujud tertinggi suku Bunaq Aitoun, HOT EZEN.  Di sinilah ditemukan titik pertemuan fenomena fisikal UMON dengan nomena-metafisikal sang wujud tertinggi, HOT EZEN suku Bunaq Aiitoun.

Dari ritus adat di atas umon ini juga pembaca menemukan ada  rasa pola pikir Suku Bunaq  tentang harmoni secara sangat mendalam.

Harmony dalam konsep suku Bunaq Aitiun bukan berarti hanya mengutamakan atau menerima semua yang baik-positif saja seperti pola pikir Agama Katolik, dengan menolak secara ketat semua yang jahat-negatif.


Tetapi ada rasa istimewa harmoni dalam konsep suku Bunaq Aitoun, berilah porsinya kepada roh jahat-negatif dan roh baik-positif secara proporsional agar  dengan demikian masing-masing berada pada tempat dan jalurnya masing-masing dengan perut yang kenyang, tidak lapar, sehingga tidak saling mengganggu satu sama lain, tidak berkelahi, tidak terjadi kaos, tidak terjadi konflik.

Itulah rasa harmoni suku Bunaq Aitoun yang lahir dalam ritus adat di atas UMON di kebun. Konsep ini selalu terbuka untuk menentukan pola pikir suku Bunaq Aitoun secara utuh menyeluruh. Memang asyik sekali merasakan Pola Pikir Suku Bunaq Aitoun dari atas UMON di tengah kebun atau ladang atau sawah bukan di bangku kuliah. ***


Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978



Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..