Minggu, Februari 24, 2008

Suku Bunak Timor Leste Tenunlah Persatuan dalam Rumah Adat Suku Bunak



Konflik mencuat di Timor Leste merupakan satu keprihatinan penulis sebagai putra Suku Bunak. Sebagian besar Suku Bunak tinggal di Timor Leste yang sedang konflik ditingkat elite dan disaksikan oleh dunia internasional. Penulis bretemu dengan teman-teman pastor dari Timor Leste yang sama-sama menimbah ilmu pengetahuan, khususnya Filsafat dan Theologi di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi "Widya Sasana" Malang, Jawa Timur, Indonesia. Ada kesatuan adat suku Bunak Timor Leste dengan Suku Bunak Timor Barat.


Berdasarkan satu bahasa Bunak, suku Bunak di Timor Leste dan Timor Barat-Indonesia ada hubungan kesatuan. Di Timor Barat-Indonesia, khususnya di Lamaknen danDesa Aitoun, suku Bunak ini meliputi suku-suku kecil yang menyebar di Kecamatan Lamaknen yang terdiri dari tiga Paroki St. Theodorus Weluli dengan Pastor Parokinya Romo Stef Boisala Pr; Paroki St. Gerardus Nualain; dan Paroki Ratu Damai Fulur. Penulis kira suku Bunak di Timor Leste juga meliputi suku-suku Kecil yang menyebar di seluruh Timor Leste.


Di Timor Barat, suku-suku kecil yang menyebar itu memiliki relasi keterikatan yang kokoh. Keterikatan persatuan relasi antara suku-suku kecil itu adalah relasi hubungan " Suku Malu" dengan "Suku Aiba'a". Suku "Aiba'a" adalah suku yang menerima perempuan dari suku "Malu" sebagai pemberi perempuan. Perempuan itulah berkembang menjadi satu suku kecil, suku "Aiba'a" yang berbeda dengan suku pemberi perempuan. Relasi ini dewasa ini dimengerti dalam kacamata sistem Matrilineal suku Bunak. Persoalan model apapun, konflik semacam apapun yang terjadi dalam suku Bunak pasti ada jalan penyelesaiannya yaitu lewat relasi "malu" dengan "aiba'a" ini.


Penulis kira, relasi semacam ini juga ada dan bertumbuh subur dalam suku bunak di Timor Leste. Maka konflik intern di Timor Leste, konflik intern suku Bunak Timor Leste dapat diselesaikan lewat pintu ini. Suku Bunak Timor Leste bersatu secara kedalam sebagai satu kesaksian keluar dalam relasi dengan suku-suku lain yang tersebar di Timor Leste. Suku Bunak harus hidup damai dan bersatu mulai dari dalam, dari diri sendiri. Suku Bunak Timor Leste janganlah diadu domba oleh pengaruh asing yang anti humanitas.


Nenek moyang suku Bunak telah beradap dalam sistem adatnya yang sudah ada sebelum penjajah datang di suku Bunak. Para pendahulu suku Bunak telah membentuk satu kelompok adat berdasarkan relasi adat. Relasi adat "Malu" dengan "Aiba'a" ini harus dijaga agar identitas suku Bunak yang sarat dengan persatuan ini tidak mengalami keguguran oleh karena kepentingan politis yang tidak manusiawi. Suku Bunak Bersatulah... Penulisan ini mengetuk hati nurani para peneliti dari berbagai disiplin ilmu untuk meneliti adat suku Bunak dalam gandengannya dengan solusi tanpa kekerasan terhadap aneka konflik dalam Timor Leste yang sedang mencuat.


Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

ARTI SEBUAH NAMA MANUSIA DALAM ADAT SUKU BUNAK

Anak yang baru lahir dari seorang ayah dan ibu, pasti diberi nama adat Suku Bunak oleh kedua orang tuanya, sebelum dibaptis secara agama. Mengapa harus memberikan nama kepada bayi secara adat suku bunak dalam zaman modern seperti ini? Nama itu harus diberikan berdasarkan dogma adat suku Bangsa Bunak. Bayi yang tanpa nama, terus menangis dan tidak mau menetek ASI (Air Susu Ibu). Menurut dogma adat, bayi itu akan diam, tidak menangis atau berhenti menangis setelah diberi nama sesuai kehendak para leluhur yang telah hidup di dunia seberang, tetap dekat dan terus hadir rohnya di sekitar ibu yang baru melahirkan dan sedang memberikan nama kepada bayi yang telah lahir. Para leluhur adalah saksi ketika ibu dan ayah sedang memberikan nama kepada Bayi itu. Nama yang dikenakan kepada bati diambil dari nama-nama adat kampung suku Bunak yang berasal dari nama-nama leluhur dari suku ibu maupun ayah yang telah hidup di dunia seberang, dan sedang menyaksikan pemberian nama oleh kedua orang tua kepada bayi tersebut.

Selama pemberian nama itu belum tepat maka bayi itu terus menangis dan tidak mau meminum ASI. Setelah pemberian nama itu tepat sesuai kehendak para leluhur maka bayi itu tidak menangis dan langsung meminum ASI. Pemberian nama itu atas keterlibatan lahiriah kedua orang tua bayi tersebut atau kakek, nenek, om yang turut hadir ketiaka sedang memberi nama kepada bayi, dan berdialog dengan para leluhur yang diyakini hadir di sekitar ibu yang baru melahirkan, agar pemberian nama itu secepatnya secara tepat sesuai yang dininginkan oleh para leluhur suku ayah dan ibu dari anak atau bayi yang sedang diberi nama itu.

Penulis menyaksikan hal ini sebagai satu keyakinan suku Bunak dalam pemberian nama adat kepada bayi yang baru dilahirkan. Nama itu diambil dari nama para leluhur sesuku ayah dan ibu bayi itu. Dan berdasarkan pengalaman penulis selama hidup dalam suku Bangsa Bunak, benar-benar ditati oleh masyarakat suku Bunak. Lewat nama leluhur, nama leluhur tidak hilang tetapi tetap hidup. Itulah arti sebuah Nama dalam adat suku Bunak.

Selain nama itu mengabadikan keturunan, lewat nama itu para leluhur yang diyakini Suku Bunak hidup kekal di dunia seberang, menurunkan rahmat dan berkat berlimpah kepada bayi yang menerima nama itu. Para peneliti dari berbagai bidang ilmu diajak untuk melakukan pendalaman secara ilmiah atas adat suku bunak yang sangat menarik untuk didalami.

Senin, Februari 18, 2008

Anak-Anak Suku Bunak Baik Mengharumkan Nama Baik Suku Bunak

Orang tua seorang presiden mengalami harga dirinya yang naik karena putranya menjadi orang nomor satu di sebuah negera. Orang tua akan mengalami sebuah harga diri yang naik karena anaknya mendapat satu jenjang pendidikan yang terhormat dalam kehidupan sosial. Misalnya seorang pastor yang baik dan memiliki keunggulan dan kharisma serta memiliki sebuah teladan hidup yang baik, akan membuat kedua orang tunya dan saudara-saudarinya bahkan seluruh anggota sukunya mengalami naik harga dirinya di mata publik dalam kehidupan sosial. Sebaliknya seorang anak penjahat dan perampok atau pembunuh bahkan anak korupsi akan merusak dan menghancurkan bejana harga diri orang tua-saudara-saudarinya dan bahkan seluruh nama suku Bangsa anak penjahat itu.


Pada waktupenulis ditehbiskan di Katedral Bunda Karmel Malang, Bapa Gabriel Mali dan Kakak Maria Yasinta Bui mendampingi saya dalam perarakan menuju altar Tuhan. Kakak Maria Yasinta Bui adalah kakak sulung yang telah berjuang menyekolahkan saya. Dia mendampingi saya, menggantikan mama tercinta Oliva Lawa yang telah meninggal pada 17 Juli 1985, ketika saya masih duduk di bangku SD kelas empat. Pada malam tanggal 22 September 2004, Bapak saya memberi satu nasihat terpenting kepada saya sebelum dithbiskan. Bapaku berkata demikian, " sekarang Anakku bukan pemuda lagi tetapi akan menjadi pastor dan besok ditahbiskan anakku akan disebut pastor, romo, pater. Ini artinya sangat dalam. Anakku menjadi tokoh agama dan memiliki tuntutan yang lebih besar dari banyak orang, banyak umat. Maka anakku "tahu adat" dalam hidup bersama dengan semua orang dari segala golongan dan lapisan. Jangan mengecewakan kami orang tua. Doa Bapa selalu menyertaimu". Mendengar kata- kata orang tuaku itu saya merasa berat sekali untuk melaksanakan kata-kata terkhir orang tuaku sebelum saya ditahbiskan pada besok harinya. Lalu saya memohon doa restu dan berkat dari orang tuaku. Lalu Bapaku mendokan saya pada malam itu dan pada malam itu dalam mimpi, saya mendapat penampakan Tuhan Yesus memberikena sinar Roh KudusNya lewat perantaraan orang tuaku. Peristiwa indah itu terjadi pada hari Rabu Malam tanggal 22 September 2004 di Rumah Ret-ret Misericordia - Malang.

Aneka Simbol Adat Suku Bunaq Aitoun


* P. Benediktus Bere Mali, SVD*

Voto Tahbisan Imam
Katedral Keuskupan Malang
23.09.2004

Tanggal 23 September 2004 penulis yang sebagai Putera asli Suku Bunak dari Lingkungan Asueman, Paroki Santo Theodorus Weluli, Dekenat Belu Utara, Keuskupan Atambua menerima sakramen imamat di Katedral Keuskupan Malang. Waktu pentahbisan ada banyak keluarga Belu, khususnya Suku Bunak yang datang menghadiri perayaan Tahbisan itu. Saya sangat senang karena ada banyak orang yang mendukung saya termasuk dari Suku Bangsa Bunak. Mereka menggunakan simbol Adat Suku Bunaq Aitoun dalam kain adat Beseq motif unik suku Bunaq Aitoun dengan perlengkapan lainnya.


Pada tanggal 04 Oktober 2004, upacara penerimaan penulis sebagai imam baru di Kampung kelahiran penulis, Asueman, Suku Bunaq Aitoun. Upacara penerimaan itu bercirikhas adat suku Bunaq Aitoun. Saya sebagai imam baru waktu itu dirias secara adat Adat Suku Bunaq khas Suku Bunaq di Dusun Asueman, Desa Aitoun, Kecamatan Rai Hat, Kabupaten Dati II Belu.

Ada emas-perak-warisan leluhur yang saya kenakan waktu periasan dan dalam seluruh perarakan memasuki kampung kelahiranku. Kain adat yang saya kenakan waktu itu adalah berwarna emas dan bermotif khas Dusun Asueman.

Video
Aneka Simbol Budaya Suku Bunaq
Saat Penerimaan 
Tokoh Agama Memasuki
Wilayah Suku Bunaq Aitoun
04.10.2004.



Waktu saya dirias, saya sempat mengungkapkan kata-kata ini secara spontan. Mengapa waktu saya belajar atau studi, emas dan perak ini tidak dikeluarkan atau ditukarkan untuk saya yang bersusah payah studi dalam kesederhanaan. Mengapa waktu saya studi orang tua dan kakak adikku berjuang sendirian menyekolahkan saya? Kata-kata itu saya ucapkan dalam ruang rias yang penuh dengan para pemuka pemerintah setempat, pemuka agama dan pemuka adat suku Bunak. Saya tidak bermaksud apa-apa mengungkapkan kata-kata itu. Kata-kata itu terucap spontan keluar seperti air yang mengalir.

Mendengarkan kata-kata saya itu, ternyata ada seorang yang merasa tersentuh dengan kata-kata saya itu. bukan hanya sekedar tersentuh melainkan merasa tersinggung. Seorang yang merasa tersinggung itu sempat memberi reaksi dalam kata-katanya agak keras demikian, "sekarang pastor diam dan ikut apa yang diatur oleh panitia." Saya senyum mendengar kata-kata itu karena mereka tidak mengerti apa yang saya maksudkan.


Maksud saya adalah bahwa emas dan perak yang disimpan dalam rumah suku begitu berlimpah tetapi tidak memperhatikan pendidikan anggota rumah suku, apalah artinya kekayaan yang ada dalam rumah suku itu? Lebih baik anggota rumah suku kaya akan anggota-anggota sukunya yang berpendidikan daripada kaya harta yang dijaga oleh orang-orang yang tidak berpendidikan di dalam rumah suku.

Maksud penulis hal itu tersimpan di dalam hati pada waktu itu dalam ruang rias itu. Penulis menyimpan maksud penulis itu dalam hati dan mengikuti kemauan panitia yang telah mengingatkan penulis agar penulis diam tidak omong banyak dan mengikuti apa yang telah disiapkan dan diatur di dalam perarakan itu.


Tetapi, maksud saya itu harus saya ungkapkan kepada Suku Bunaq. Saya membutuhkan satu waktu yang tepat untuk menyampaikan maksud saya itu. Saya telah menemukan satu waktu yang tepat untuk menyampaikan isi hati saya itu.

waktu yang tepat adalah saat pembubaran panitia di Gua Maria di Atapupu dan Kolam Susu Atapupu. Pada saat itu adalah bulan November 2004. Dalam misa dan sambutan saya tegaskan agar Generasi muda suku Bunaq memiliki satu cita-cita yang setinggi langit untuk menempuh pendidikan minimal sarjana.

Hanya dengan pendidikan Suku Bunaq berubah dalam pola pikir dan pola tingkah laku yang mengutmakan humanitas dalam segal bidang kehidupan.

Untuk itu keluarga besar suku Bunaq harus hidup berkorban dan bekerja keras menggunakan sepuluruh jari, kaki, otak dan hati, serta tenaga untuk mendapat uang, harta yang cukup bagi pendidikan suku Bunaq. Suku Bunaq harus kerja sama, saling mendukung secara material kepada putra dan putri suku Bangsa Bunaq yang bercita-cita meraih pendidikan yang tinggi.

Mentalitas suku Bunaq untuk saling membantu sangat kuat dalam urusan adat yang diwariskan oleh nenek moyang. Tetapi kita sebagai suku Bangsa Bunak tidak berhenti berpuas diri dengan kekompakan dan saling mendukung dalam urusan adat itu saja.

Tetapi kita sebagai masyarakat suku Bangsa Bunaq harus beralih kepada habitus baru yaitu saling mendukung dan kerjasama dalam menyekolahkan anak-anak yang berpotensi secara intelektual. Hanya dengan pendidikan yang baik suku Bunaq dapat berkembang dan dibutuhkan oleh dunia internasional.


Setiap kebiasaan adat, setiap simbol adat dalam tata rias yang penulis alami itu, yaitu emas dan perak yang dikenakan penulis, semuanya itu perlu diberi makna baru yang memberi semangat pembaharuan sikap dan tingkahlaku suku bangsa Bunaq yang memiliki kebiasaan adat dan simbol-siobol adat Suku Bunaq.

Emas dan perak serta intan berlian yang penulis kenakan memang bukan jatuh dari langit tetapi itu diperoleh dari usaha dan kerja keras para nenek moyang dan itu disimpan dalam rumah adat atau rumah suku sebagai harta kekayaan suku Bunaq.

Saat ini memang materi juga penting untuk menambah harta kekayaan suku Bunaq, tetapi lebih penting juga bahwa harta pendidikan rumah suku perlu diberi porsi perhatian secara serius.

Hanya dengan pendidikan anggota runah suku Bunaq yang baik dapat mempertajam kualitas kompetitif dalam  dunia dewasa ini. Maka harta akan dicari secara lebih baik dan profesional. Kayakan dulu anggota rumah suku dari segi pendidikan, maka yang lain akan ditambahkan kepada anggota rumah suku-yang tersebar di banyak tempat dewasa ini.

kita bersatu dalam adat dan pendidiakan anggota rumah suku dalam tuntutan dunia dewasa ini.  Hanya dengan itu kita bisa bertahan hidup di dalam dunia dewasa ini yang sangat kompetitif secara profesional karena berpendidikan, berpengaruh, berkedudukan.***


Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..


Selasa, Februari 12, 2008

Menyelesaikan Persoalan Pribadi-Pribadi Suku Bunak

Persoalan tidak akan berakhir dalam dunia kehidupan anak manusia. Setiap pribadi selama hidupnya mengalami persoalan kecil sampai persoalan yang menimbulkan pusing tujuh keliling untuk dicari solusinya. Masyarakat suku Bunak pun mengalami aneka wajah persoalan hidup. Persoalan adalah bagian dari hidup manusia. Tetapi persoalan tidak harus menindas manusia. Persoalan ada untuk diatasi oleh manusia atau diselesaikan oleh manusia. Maka setiap ada persoalan, manusia tidak boleh panik dan dikuasai oleh persoalan yang sedang dihadapi. Manusia harus membangkitkan kesadarannya untuk menghadapi masalh itu dengan ketenangan dan mencari solusi yang tepat. Ketenangan dalam menghadapi berbagai persoalan merupakan satu hal yang sangat mencerminkan kematangan seseorang.


Kematangan yang demikian bukan sesuatu jatuh dari langit. Kematangan itu dibentuk dari usaha dan upaya pribadi dalam pengalaman bergulat dengan berbagai persoalan hidup. Pengalaman-pengalaman dalam menghadapi persoalan dan mencari solusi yang tepat, menjadi guru yang paling bijak yang membentuk kematangan pribadi seseorang. Kematangan seperti itulah yang tampak dalam kematangan seseorang dalam mengahadapi dan mengatasi persoalan kelompok sosial, baik dalam kelompok besar maupun dalam komunitas kecil.

Senin, Februari 11, 2008

Suku Bunak Semakin Beriman Semakin Berkemanusiaan

Agama dan Suku yang beraneka wajah di dunia ini adalah perbedaan yang memberi keindahan kepada kita manusia. Tetapi keanekaan agama dan suku di bumi ini, khususnya di ibu pertiwi Indonesia ini tetap terbuka kemungkinana bagi terjadinya konflik yang menimbulkan korban yang sama sekali anti iman para pemeluk agama-agama yang berkemanusiaan, dan kembali pro primordialisme suku-suku yang beraneka wajah.


Peran pendidikan iman yang berkemanusiaan dan budaya humanitas perlu ditanam dalam agama-agama dan suku-suku atau budaya-budaya lokal, agar iman yang berkemanusiaan menjadi jiwa setiap agama dan setiap suku. Dengan demikian meskipun agama-agama berbeda-beda wajah dalam penampilan lahiriahnya dan juga suku-suku dengan kehasannya tersendiri memiliki roh kemanusiaan yang menjadi motor yang menghidupi seluruh pola pikir, perkataan dan perilaku setiap suku dan agama, sehinnga secara esensi memiliki hati yang sama, yang menyatukan aneka wajah agama dan suku.


Penanaman jiwa kemanusiaan dalam agama-agama dan suku-suku ini harus diberi porsi perhatian yang serius agar pintu konflik anti kemanusiaan yang akan terjadi, pintunya tergemboki oleh kesadaran yang sama yaitu menjadikan kemanusiaan sebagai sentral perhatian yang mengarahkan perziarahan hidup agama-agama dan suku-suku yang tampil beda dalam beraneka wajah. Kesadaran dan gaya hidup agama-agama dan suku-suku yang dikontrol oleh kemanusiaan akan menghadapi semua provokator politisi demi kekuasaan, harta kekayaan, dan kenimatan duniawi, tidak diberi jalan gerak menuju kepentingan kotornya. Bendera Kemanusiaan telah dikibarkan tanda bendera anti humanitas dikuburkan.


Suku Bangsa Bunak pun harus mengibarkan bendera kemanusiaan dan keimanan dalam dunianya yang terdiri dari sejumlah agama yang berbeda yang hidup bertetangga dan terutama suku-suku kecil yang hidup bersama dalam lokus suku Bunak khususnya di Kecamatan Lamaknen dan kedesaan Aitoun-Kecamatan Rai Hat. Bendera itu dikibarkan dan sekaligus menjadi gaya hidup suku Bunak, karena adanya kerjasama yang solid antara pemimpin pemerintah setempat dan para pemimpin agama-agama serta para pemimpin adat yaitu para presiden suku atau ketus suku-suku kecil yang tersebar di seluruh daerah teritorial suku bangsa Bunak bersama para "lal gomo" yaitu nabinya suku Bunak yang hidup dari dulu hingga kini dan untuk selamanya. Pihak-pihak ini perlu duduk berdialog bersama menuju penyatuan ide dan aksi untuk mengibarkan bendera kebijaksanaan adat suku bangsa Bunak, bendera iman agama-agama dan bendera kemanusiaan semua manusia di atas planet ini yang tampil indah menarik dalam aneka wajah budaya dan suku-suku.


Bersama kita pasti bisa. Inspirasi dari bacaan Ekaristi Kudus Senin 11 Februari 2008, Im 19 : 1 - 2. 11 - 18 dan Mat 25 : 31 - 46. Yesus bersabda, " Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang manusia dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya untuk AKU". Beriman kepada Tuhan berarti melayani sesama manusia pada taraf kemanusiaan manusia yang tercipta secitra Allah.

Sabtu, Februari 09, 2008

Menggemakan Kembali Nasihat Kakek Nenek Suku Bunak

Tahun1995, setelah tamat Seminari Santa Maria Immaculata Lalian, Nenek dan Kakek menasihati saya yang saat itu sedang menyiapkan diri untuk masuk Novisiat SVD "Roh Kudus" Batu-Malang. Pada malam terakhir sebelum saya meninggalkan rumah induk kelahiranku di Malate-Telolo-Asueman-Lingkungan Asueman-Paroki Santo Theodorus Weluli-Dekenat Belu Utara-Keuskupan Atambua, nenek, kakek, para OM dan peresiden Suku berkumpul di Rumah dan memberi nasihat yang meneguhkan saya yang akan pergi ke Novisiat. Satu hal yang menarik adalah bahwa semua nasihat itu intinya satu yaitu "Jadilah biarawan SVD yang sungguh-sungguh, tidak basa-basi dan tidak ikut-ikutan". Keluargaku yang mayoritas petani, memberi nasihat agar seperti mereka yang menjadi petani yang sungguh-sungguh dan terbukti lewat mendapat hasil tani yang selalu memberi makan yang cukup serta penghasilan mereka yang cukup, demikian juga kalau saya menjadi biarawan, jadilah biarawan yang sungguh-sungguh, bukan sekedar basa-basi, bukan sekedar ikut-ikutan dan rame-rame.


Nasihat keluarga itu sederhana. Nasihati itu keluar dari pengalaman hidup mereka sebagai petani. Mereka menasihati dari apa yang mereka alami dalam dunia pertanian mereka. Dengan demikian nasihat itu tidak dapat diragukan. Nasihat harus diterima. Nasihat mereka itu direniungkan dalam konteks panggilan kita masing-masing, entah sebagai awam maupun pastor, uskup, frater, bruder, suster, mahasiswa, pendidik, dokter dan pengacara, ataupun sebagai insan yang menjalani pilihan hidup berkeluarga. Kita masing masing diajak untuk menjadi orang yang tidak sekedar basa-basi atau sekedar ikut-ikutan dalam menjadi biarawan atau hidup berkeluarga atau pilah hidup apapun yang kita jalani saat ini. Nasihat sederhana di atas mau mengajak kita semua, baik suku Bangsa Bunak maupun semua manusia di segala zaman, untuk menjadi insan-unsan yang memiliki keseriusan yang dibangun di atas sebuah bangunan komitmen yang kokoh pada tugas dan tanggunjawab yang dipercayakan Tuhan dan sesama kepada kita untuk membangun dan menyelamat diri, dunia, dan Gereja dan bangsa.


Renungan ini dinsiprasikan oleh Panggilan Zakheus. Zakheus ikut Yesus bukan basa-basi atau ikut-ikutan atau hanya sekedar mencoba-coba saja. Zkaheus yang telah hidup dalam jaringan korupsi yang telah memberi hidup kepadanya, meninggalkan cara hidup lama itu dan mengikuti Yesus bukan untuk membangun jaringan korupsi baru di kalangan kelompok para pengikut Yesus pada zaman itu, dan pada zaman ini dibahasakan demikian bahwa Zakheus masuk dalam kelompok Gereja bukan untuk mengintip kekayaan Gereja dan membangun jaringan korupsi dalam Gereja untuk mencari keuntungan atau menjadi lahan baru untuk hidup dan keuntungan dirinya sendiri. Zakheus mengikuti Yesus sebagai bentuk pertobatan radikal, untuk menyelamatkan dunia dan semua orang.


Walaupun Zakheus dicap oelh temam-teman lama yang ditinggalkannya dalam jaringan korupsi pada zamannya itu, sebagai orang yang mengkhianati kelompok teman lama mereka, Zakheus telah tegas-jelas menentukan pilihan hidup, menjadi murid Yesus, bukan basa-basi, bukan sekedar coba-coba, bukan rame-rame dan ikut-ikutan. Dia ikut Yesus secara konsekuen dan memiliki komitmen yang kokoh sebagai kekuatannya. Itulah bentuk pertobatan nyata dari Zakheus. Inspirasi dari bacaan Perjamuan Ekaristi Sabtu 10 Februari 2008, Yes 58 : 9b - 14 ; Luk 5 : 27 - 32 .

Jumat, Februari 08, 2008

ADA KERIKIL TAJAM MENUJU "TIGA-BER" DI SUKU BUNAQ AITOUN

*P.Benediktus Bere Mali, SVD*


Para tua adat dalam Suku Bunaq merupakan satu warisan sejak jaman sebelum Gereja Masuk dalam Suku Bunaq.

Sebelum Gereja berpengaruh seperti dewasa ini di dalam Suku Bangsa Bunaq, adat tradisional Suku Bunaq sudah mengalami kemapanan.

Adat adalah identitas Suku Bunaq. Adat telah menjadi patokan dasar Suku Bunaq dari dulu sampai saat ini dan seterusnya. Walau tidak efektif dan efisien dalam dunia modern ini, tetapi adat adalah identitas suku Bunaq.


Gereja masuk dalam suku Bunaq membawa dua bendera yaitu iman yang berpusat pada Kristus Yesus dan kemanusiaan yang melekat pada semua manusia di planet bumi ini.

"Kristus sudah ada di dalam Suku Bunaq. Gereja sudah melihat dan menemukan. Tetapi belum tepat dan maksimal caranya."

Agama dan kemanusiaan pasti ada titik temunya. Keduanya bertemu sampai menjadi sahabat sejati. Adat-Agama adalah seperti dua buah mata uang satu-kesatuan tak terpisahkan.

Dua bendera itu bukan saja sebagai penampilan luar tetapi itu adalah jiwa para misionaris yang bermisi dalam suku Bunaq. Para Misionaris SVD yang masuk dalam suku Bunaq, berdasarkan kesaksian para senior dan para tua adat dan keturunan raja, bahwa misionaris - misionaris itu kebanyakan antropolog.

Antropologi budaya-adat konteks setempat terbaca oleh antropolog sebagai modal utama sekaligus basis tanah subur untuk menumbuhkan pohon iman Katolik agar dapat bertumbuh berakar dalam.

Pendekatan antropologi budaya ini sebagai kunci yang dapat digunakan untuk membuka gembok pintu adat suku Bunaq agar terbuka dan terlihat sehingga dideteksi secara ilmiah dan dengan data yang ada itu sebagai titik awal refleksi iman dan menyusun strategi misi yang tepat dalam budaya suku Bunaq.

Adat dan budaya sebagai lahan subur yang diolah para antropolog Kristiani untuk menanam pohon iman dalam Suku Bunaq. Antropolog sahabat sejatinya para tua adat Rumah Suku di Wilayah setempat dalam mengembangkan ilmunya. Merasa sangat tepat juga kalau Misionaris pun menjadi sahabat sejati para tua adat Suku Bunaq. Dan dari sanalah ilmu teologi misionaris dapat bertumbuh berakar dalam.


Tanaman iman itu telah berbuah di wilayah suku Bunaq. Berdasarkan katalogus SVD sejagat,  imam sulung SVD dari Suku Bunaq, Pater Yustus Asa SVD, sekarang Vikjen Keuskupan Atambua, umat suku Bunaq di Kecamatan Lamaknen dan Desa Aitoun, sudah mencapai jumlah kurang lebih seratus biarawan-biarawati dan rohaniwan.

Misionaris awal di Suku Bunaq memulai satu Misi yang tepat sehingga kini buahnya berlimpah ruah. Tiga Ber- yaitu berpengaruh, berpendidikan, berkedudukan mengalami jalan mulus  sampai tujuannya bila melewati jalan aspal pendekatan yang tepat sebagaimana misionaris antropolog dengan pendekatan dari bawah bukan turun dari surga yang memaksa tanah berbatu karang berubah jadi tanah subur iman.

Suku Bunaq tanah adat yang subur bagi benih iman bertumbuh. Ada berbagai kekuatan adat suku Bunaq untuk bertumbuh subur iman yang diwartakan para pelayan Sakramen. Menulis tentang Adat Suku Bunaq sebagai sebuah cara psikoedukasi yang sangat tajam baik untuk misionaris maupun pemilik Adat. Ketika kesadaran akan kekuatan adat tinggi untuk disempurnakan dan dilengkapi dengan satu kata lagi menjadi agama-adat atau agama-katolik-adat, maka disitulah mulai pembaharuan dari dalam diri terjadi. Disanalah mulai sinar sang supranatural Agama-Adat bisa bertemu dan menjadi sahabat sejati. "Temukan Kristus di tanah misi, jangan membawa Kristus konteks asal misionaris kepada umat di tanah misi Suku Bunaq" Kata Aloysius Pieris seorang teolog dengan rasa Asia.

Data tentang jumlah biarawan-biarawati berasal dari Suku Bunaq ini, penulis dapat dalam wawancara dengan Pater. Yustus Asa, SVD, di Jn. Polisi Istimewa 9, Surabaya, SOVERDI SANTO ARNOLDUS JANSSEN pada Jumat 8 Februari 2008. Catatan bahwa daftar pustaka ditambah kemudian karena saat interview buku A.A.Bere Tallo dan buku Kembali Ke Akar belum dibaca penulis.****


Daftar Pustaka


A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978


Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

Minggu, Februari 03, 2008

Silsilah Keluarga dan Warisan dalam Sistem Matrilineal Suku Bangsa Bunak

Sebuah Contoh Silsilah

Vitalis Koi menikah dengan Rofina Lika menurunkan putera-peterinya yaitu Thresia Dau, Simon Tes, Savina Moru, Maria Boe, Maria Biak, Maria Hoar, Simon Kali, Salamon Mau, Yeremias Berek, Oliva Lawa Koi.


Bapak Gabriel Mali menikah dengan Oliva Lawa Koi menurunkan keturunan Maria Yasinta Bui, Maria Yustina Soik, Maria Ermelinda Boe, Thomas Maximus B, Benediktus BM, Marianus Luan, Marsiana Lika, Maria Gervasia Lawa.


Maria Yasin Bui Menikah dengan Dominikus Siri dan Menurunkan keturunan Anthonius Kristianus T, Ernestina Motu,Inosensia Lawa, Inosensia Lawa, Yohanes Bosco, Ensi Lawa.


Maria Yustina Soik menikah dengan Thobias M dan menurunkan Elfrida Dau, Ferdi M, Liu M, Yunita Lawa


Maria Ermelinda Boe menikah dengan Linus M, menurunkan Oscar M Asa, Rit M, dan Dino M



Warisan dalam Sistem Matrilineal


Sistem Matrilineal suku bunak sangat khas. Keunikannya terletak dalam penentuan garis keturunan. Anak laki-laki bukan menjadi penentu garis keturunan. Anak perempuanlah yang menentukan garis keturunan. Kebun, harta kekayaan dalam suku Bunak, pasti diberikan kepada anak perempuan bukan kepada anak laki-laki. Anak laki-laki setelah menikah akan hidup dari harta warisan yang diterima oleh isterinya. Anak laki-laki hidup dan tinggal di kediaman isteri disebut matrilokal.


Tetapi yang menarik, anak laki-laki setelah menikah tidak dimasukkan kedalam suku Isteri. Anak laki-laki tetap terikat dengan suku asalnya. Status anak laki yang sudah menduduki posisi OM sangat berpengaruh dalam menentukan pengambilan keputusan terhadap keponakan-keponakannya yang sesuku dengan OM. Di sini anak-anak dalam sebuah keluarga sangat dibatasi oleh dua buah kontrol sosial yang sangat ketat.


Anak-anak dikontrol oleh peran sentral Om dan peran sentral kedua orang tuanya. Semua masa depan anak-anak, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh peran kontrol Om dan kedua orang tua. Kontrol yang baik, human dan beriman akan menghasilkan kualitas anak-anak dalam sebuah suku kecil yang beriman sekaligus berkemanusiaan. sebaliknya tanpa kontrol kuat dari Om dan kedua orang tua yang ditopang oleh kemanusiaan dan keimanan itu maka kehidupan anak-anak juga akan tidak terarah pada kedua penopang itu.



Kontrol dengan teladan kemanusiaan dan keimanan


Kontrol apapun bentuknya, para pengontrol harus diandaikan dibentuk oleh gaya hidup beriman dan berkemanusiaan. Dalam arti bahwa pihak pengontrol dalam hal ini kedua orang tua dan para OM, harus menjadi teladan hidup beriman dan berkemanusiaan yang baik, agar kontrol itu tidak sekedar sebuah perintah yang menakutkan melainkan harus sebuah teladan hidup yang menyentuh hati setiap pribadi manusia yang mengalami pengontrolan itu.


Realitas suku Bunak yang menganut sistem matrilineal yang demikian, terbuka bagi umum, terutama bagi para peneliti dari aneka disiplin ilmu untuk menegakkan penghargaan terhadap martabat manusia suku Bunak sebagai insan berperikemanusiaan dan beriman. Para Peneliti datang dan lihatlah realitas sesungguhnya sistem matrilineal suku Bunak. Masih ada banyak hal yang masih tertutup rapat untuk dibuka oleh para peneliti.

Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..

Sabtu, Februari 02, 2008

Hot Ezen: nama Sang Supranatural Suku Bunaq Aitoun

Setiap pagi suku Bunaq memandang ke Timur melihat matahari terbit. Matahari memberi terang, kehangatan badan dan memberi keindahan di pagi hari. Betapa indahnya memandang mathari terbit di pagi hari di Desa Aitoun, dan seluruh kecamatan Lamaknen.


Mengapa matahari terbit di Timur? Ada banyak pendapat bahwa Terang, kebijaksanaan dan kebaikan, keindahan, dan kebenaran itu datang dari Timur. Dalam kosa kata bahasa Bunaq, terang yang terbit dari Timur itu adalah "Hot Sae". "Hot Sae" ini sinonim dengan kata "Hot Taru" artinya Matahari terbit. Dalam Bahasa Latin "Sol Oriens". Dalam Bahasa Tetum "Loro Sae". Semuanya berarti matahari terbit.


Sejak dahulu kala, para leluhur yang belum ternoda oleh pengaruh dari luar termasuk agama-agama yang berkemabang di seanero ibu pertiwi negara Indonesia tercinta ini, telah memiliki kehidupan religius khas suku bangsa Bunaq. Suku bunak telah mengimani satu wujut tertinggi dalam kehidupannya. Wujud tertinggi itu menjadi harapan terakhir bagi suku Bunak dalam suka-duka, kepastian dan kebingungan perziarahan hidupnya. Mereka sangat konkret menyebut wujut tertinggi yang mereka akui itu dengan cukup melihat matahari. Matahari terbit itu menunjukkan bahwa itulah wujut tertinggi mereka.


Dalam kepercayaan suku Bunak, yang tidak dibukukan karena memang tidak ada orang yang berminat untuk membukukan atau menulis dan mempublikasiannya, hanya berdasarkan ceritera lisan dari mulut ke mulut, berdasrkan wawancara dengan para tua adat atau "lal gomo" yang diterima dan diakui sebagai insan-insan pandai adat suku Bunaq secara baik dan benar, atau lebih dikenal sebagai nabinya suku Bunak, rakyat suku Bunak tidak boleh menantang atau menatap matahari, sang terang sejati, wujut tertinggi suku bangsa Bunak. Berdasarkan mitos, bahwa setiap orang menantang atau menatap matahari akan terkutuk mengalami kebutaan. Maka semua suku Bunaq ditakutkan oleh mitos itu, sehingga mereka tidak menatap atau manantang matahari karena TAKUT mendapat kutukan yang dimitoskan turun temurun oleh para pendahu dari generasi ke generasi.


Ketakutan akan hukuman menjadi dasar ketaatan suku Bunaq yaitu tidak menatap matahari. Pola pikir demikian yang diwariskan secara turun-temurun itu sungguh berpengaruhh terhadap pola pikir dan gaya hidup dalam mentaati semua adat yang berlaku sampai saat ini. Adat itu dibuat oleh manusia dan dihidupi oleh suku Bunak dalam konteks zaman. Hakekat adat yaitu nilai kebersamaan dan kekeluargaan adalah abadi. Tetapi cara membangkitkan atau menghidupkan nilai-nilai luhur itu tidak menindas atau harus secara efektif dan efisien, dalam arti tidak memiskinkan suku Bunak, tidak merugikan rakyat suku Bunak pada umunya, tetapi cara menghidupi nilai-nilai luhur adat yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, keadilan sosial itu harus sungguh mengalir keluar dari humatas dan kehidupan iman yang dewasa.


Untuk itu para pengambil keputusan adat dalam hal ini status OM dan presiden suku serta para tua adat, pemuka agama dan pihak pemerintah harus memiliki wawasan yang sama untuk membentuk satu sistem yang mengatur gerak laku seluruh anggota suku bunak agar semakin beriman semakin manusiawi dalam segala bidang kehidupan yang digelutinya. Hal ini akan menjadi kenyataan, menurut penulis, kalau pendidikan para pengmbil kebijaksanaan dan keputusan adat suku Bunak sangat memadai.


Persoalannya para OM dan Ketua suku atau presiden suku, semauanya meiliki pendidikan yang memadai dan kurang kontak dengan dunia luar suku Bunak dan hanya dibentuk oleh pola pandang adat setempat sehinnga sulit mencapai idelisme tersebut di atas.

Di sini rupanya, "Hot Taru" atau matahari terbit yang menjadi pembawa terang bagi suku Bunak dewasa ini perlu ditafsir ulang. Artinya bahwa para tua adat melegitimasi adatnya dengan "Hot Essen" sebagai pembentuk adat yang ada dan sedang diperlakukan. Sehingga melawan adat sama dengan melawan 'Hot Essen" wujut tertinggi yang melegitimasi adat suku Bunak. Itu sama dengan membuka jalan untuk menerima aliran kutukan dari "Hot Essen" yang melegitimasi adat itu.


Rupanya perlu tafsir ulang sesuai dengan konteks zaman disini, penulis hendak menggariskan kembali bahwa rupanya adat tidak cukup dinilai dari pola religius yang diakui dan diterima serta diturunkan oleh para lelur. Kini dalam pola " Satu Hati aneka Wajah" mau melihat atau mendeteksi adat yang diberlakuakan dari berbagai displin ilmu, agar yang tidak humanitas dan tidak mengarah kepada kehidupan iman yang sejati, dimurnihkan dan dirahkan kepada dua tiang penopang itu. Untuk itu suku Bunak harus membuka gembok pintu adat suku Bunak agar diteliti oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, agar kemanusiaan dan keimanan ditampilkan ke permukaan menjadi nomor satu dalam seluruh pola dan gaya hidup suku bangsa Buna.


Tetapi persoalannya bahwa para generasi tua adat suku Bunak, tidak membuka adat sejelas-jelasnya, dengan dalih bahwa inilah hidup kami. Tanpa adat ini kami kehilangan jati diri. Kami kehilangan pekerjaan. Tanpa ini kami kehilangan sesuatu dan tidak ada yang menggantikannya. Kami kehilangan semacam mata pencaharian. Hal ini jelas dengan ketidakmampuan pihak Gereja untuk mengadakan pembaharuan adat Suku Bunak beberapa tahun yang lalu. Karena ada benteng pertahanan yang kuat dari para tua adat atau ketua suku atau presiden suku-suku kecil di Suku Bunak yang bersatu melawan upaya pihak gereja tersebut. Ya penulisan ini tidak cukup untuk mengubah dunia tetapi membuka hati dan pikiran agar setiap pembaca terutama suku Bunak mau melihat sesuatu yang lebih dalam menghidupi adatnya yang sudah melekat pada dirinya. Semua yang tidak efektif dan efisien perlu diekonomiskan tanpa mengaborsi yang namanya hakekat adat suku-suku kecil dalam wilayah suku Bangsa Bunak.


Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..