Sabtu, Februari 02, 2008

Hot Ezen: nama Sang Supranatural Suku Bunaq Aitoun

Setiap pagi suku Bunaq memandang ke Timur melihat matahari terbit. Matahari memberi terang, kehangatan badan dan memberi keindahan di pagi hari. Betapa indahnya memandang mathari terbit di pagi hari di Desa Aitoun, dan seluruh kecamatan Lamaknen.


Mengapa matahari terbit di Timur? Ada banyak pendapat bahwa Terang, kebijaksanaan dan kebaikan, keindahan, dan kebenaran itu datang dari Timur. Dalam kosa kata bahasa Bunaq, terang yang terbit dari Timur itu adalah "Hot Sae". "Hot Sae" ini sinonim dengan kata "Hot Taru" artinya Matahari terbit. Dalam Bahasa Latin "Sol Oriens". Dalam Bahasa Tetum "Loro Sae". Semuanya berarti matahari terbit.


Sejak dahulu kala, para leluhur yang belum ternoda oleh pengaruh dari luar termasuk agama-agama yang berkemabang di seanero ibu pertiwi negara Indonesia tercinta ini, telah memiliki kehidupan religius khas suku bangsa Bunaq. Suku bunak telah mengimani satu wujut tertinggi dalam kehidupannya. Wujud tertinggi itu menjadi harapan terakhir bagi suku Bunak dalam suka-duka, kepastian dan kebingungan perziarahan hidupnya. Mereka sangat konkret menyebut wujut tertinggi yang mereka akui itu dengan cukup melihat matahari. Matahari terbit itu menunjukkan bahwa itulah wujut tertinggi mereka.


Dalam kepercayaan suku Bunak, yang tidak dibukukan karena memang tidak ada orang yang berminat untuk membukukan atau menulis dan mempublikasiannya, hanya berdasarkan ceritera lisan dari mulut ke mulut, berdasrkan wawancara dengan para tua adat atau "lal gomo" yang diterima dan diakui sebagai insan-insan pandai adat suku Bunaq secara baik dan benar, atau lebih dikenal sebagai nabinya suku Bunak, rakyat suku Bunak tidak boleh menantang atau menatap matahari, sang terang sejati, wujut tertinggi suku bangsa Bunak. Berdasarkan mitos, bahwa setiap orang menantang atau menatap matahari akan terkutuk mengalami kebutaan. Maka semua suku Bunaq ditakutkan oleh mitos itu, sehingga mereka tidak menatap atau manantang matahari karena TAKUT mendapat kutukan yang dimitoskan turun temurun oleh para pendahu dari generasi ke generasi.


Ketakutan akan hukuman menjadi dasar ketaatan suku Bunaq yaitu tidak menatap matahari. Pola pikir demikian yang diwariskan secara turun-temurun itu sungguh berpengaruhh terhadap pola pikir dan gaya hidup dalam mentaati semua adat yang berlaku sampai saat ini. Adat itu dibuat oleh manusia dan dihidupi oleh suku Bunak dalam konteks zaman. Hakekat adat yaitu nilai kebersamaan dan kekeluargaan adalah abadi. Tetapi cara membangkitkan atau menghidupkan nilai-nilai luhur itu tidak menindas atau harus secara efektif dan efisien, dalam arti tidak memiskinkan suku Bunak, tidak merugikan rakyat suku Bunak pada umunya, tetapi cara menghidupi nilai-nilai luhur adat yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, keadilan sosial itu harus sungguh mengalir keluar dari humatas dan kehidupan iman yang dewasa.


Untuk itu para pengambil keputusan adat dalam hal ini status OM dan presiden suku serta para tua adat, pemuka agama dan pihak pemerintah harus memiliki wawasan yang sama untuk membentuk satu sistem yang mengatur gerak laku seluruh anggota suku bunak agar semakin beriman semakin manusiawi dalam segala bidang kehidupan yang digelutinya. Hal ini akan menjadi kenyataan, menurut penulis, kalau pendidikan para pengmbil kebijaksanaan dan keputusan adat suku Bunak sangat memadai.


Persoalannya para OM dan Ketua suku atau presiden suku, semauanya meiliki pendidikan yang memadai dan kurang kontak dengan dunia luar suku Bunak dan hanya dibentuk oleh pola pandang adat setempat sehinnga sulit mencapai idelisme tersebut di atas.

Di sini rupanya, "Hot Taru" atau matahari terbit yang menjadi pembawa terang bagi suku Bunak dewasa ini perlu ditafsir ulang. Artinya bahwa para tua adat melegitimasi adatnya dengan "Hot Essen" sebagai pembentuk adat yang ada dan sedang diperlakukan. Sehingga melawan adat sama dengan melawan 'Hot Essen" wujut tertinggi yang melegitimasi adat suku Bunak. Itu sama dengan membuka jalan untuk menerima aliran kutukan dari "Hot Essen" yang melegitimasi adat itu.


Rupanya perlu tafsir ulang sesuai dengan konteks zaman disini, penulis hendak menggariskan kembali bahwa rupanya adat tidak cukup dinilai dari pola religius yang diakui dan diterima serta diturunkan oleh para lelur. Kini dalam pola " Satu Hati aneka Wajah" mau melihat atau mendeteksi adat yang diberlakuakan dari berbagai displin ilmu, agar yang tidak humanitas dan tidak mengarah kepada kehidupan iman yang sejati, dimurnihkan dan dirahkan kepada dua tiang penopang itu. Untuk itu suku Bunak harus membuka gembok pintu adat suku Bunak agar diteliti oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, agar kemanusiaan dan keimanan ditampilkan ke permukaan menjadi nomor satu dalam seluruh pola dan gaya hidup suku bangsa Buna.


Tetapi persoalannya bahwa para generasi tua adat suku Bunak, tidak membuka adat sejelas-jelasnya, dengan dalih bahwa inilah hidup kami. Tanpa adat ini kami kehilangan jati diri. Kami kehilangan pekerjaan. Tanpa ini kami kehilangan sesuatu dan tidak ada yang menggantikannya. Kami kehilangan semacam mata pencaharian. Hal ini jelas dengan ketidakmampuan pihak Gereja untuk mengadakan pembaharuan adat Suku Bunak beberapa tahun yang lalu. Karena ada benteng pertahanan yang kuat dari para tua adat atau ketua suku atau presiden suku-suku kecil di Suku Bunak yang bersatu melawan upaya pihak gereja tersebut. Ya penulisan ini tidak cukup untuk mengubah dunia tetapi membuka hati dan pikiran agar setiap pembaca terutama suku Bunak mau melihat sesuatu yang lebih dalam menghidupi adatnya yang sudah melekat pada dirinya. Semua yang tidak efektif dan efisien perlu diekonomiskan tanpa mengaborsi yang namanya hakekat adat suku-suku kecil dalam wilayah suku Bangsa Bunak.


Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..