*P.Beneduktus Bere Mali,SVD*
Suku Bunak menganut sistem perkawinan matrilineal. Model perkawinan demikian berpengaruh terhadap urusan adat warisan di dalam sebuah keluarga. Penulis mencoba membagikan pengalaman pembagian warisan dalam suku penulis yaitu Suku Monewalu. Penulis mengawalinya dengan nenek dan kakek. Kakek saya bernama Vitalis Koi yang bersuku Uma Leon di desa Tohe tepatnya di Wilain. Nenek saya bernama Rovina Lika bersuku Monewalu. Kakek dan nenek ini menurunkan anak-anaknya yaitu Yeremias Berek, Simon Kali, Simon Tes, Salamon Mau Bau, Thresia Dau, Savina Moru, Maria Boe, Maria Biak, Maria Hoar dan Oliva Lawa Koi. Harta warisan dalam keluarga tersebut, diterima oleh anak-anak perempuan. Anak-anak laki-lakinya tidak mendapat warisan di dalam keluarga tersebut. Anak laki-laki yang telah berkeluarga tinggal di keluarga isteri yang menerima harta warisan dari kedua orang tuanya.
Oliva Lawa Koi menikah dengan Gabriel Mali. Keduanya menurunkan keturunan yaitu Maria Yasinta Bui, Maria Yustina Soik, Maria Ermelinda Boe, Maria Marsiana Lika, Maria Gervasia Lika, Thomas Maximus Bau Mali, Benediktus Bere Mali, Marianus Luan Berek. Dalam keluarga ini, yang berhak menerima harta warisan adalah anak-anak perempuan. Ini dipahami karena sistem perkawinannya matrilineal. Sistem Matrilineal suku bunak sangat khas. Keunikannya terletak dalam penentuan garis keturunan. Anak laki-laki bukan menjadi penentu garis keturunan. Anak perempuanlah yang menentukan garis keturunan. Kebun, harta kekayaan dalam suku Bunak, pasti diberikan kepada anak perempuan bukan kepada anak laki-laki. Anak laki-laki setelah menikah akan hidup dari harta warisan yang diterima oleh isterinya. Anak laki-laki hidup dan tinggal di kediaman isteri. Tempat kediaman keluarga baru setelah menikah di tempat kediaman isteri ini disebut matrilokal. Tetapi yang menarik, anak laki-laki setelah menikah tidak dimasukkan kedalam suku Isteri. Anak laki-laki tetap terikat dengan suku asalnya. Status anak laki yang sudah menduduki posisi om dalam keluarga sangat berpengaruh dalam menentukan pengambilan keputusan terhadap keponakan-keponakannya yang sesuku dengan om. Di sini anak-anak dalam sebuah keluarga sangat dibatasi oleh dua buah kontrol sosial yang sangat ketat. Anak-anak dikontrol oleh peran sentral om dan peran sentral kedua orang tuanya. Semua masa depan anak-anak, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh peran kontrol om dan kedua orang tua. Kontrol yang baik, human dan beriman akan menghasilkan kualitas anak-anak dalam sebuah suku kecil yang beriman sekaligus berkemanusiaan. sebaliknya tanpa kontrol kuat dari om dan kedua orang tua yang ditopang oleh kemanusiaan dan keimanan itu maka kehidupan anak-anak juga akan tidak terarah pada kedua penopang itu. Diharapkan bahwa kontrol itu jauh dari warna feodal. Kontrol yang ideal adalah kontrol dengan teladan kemanusiaan dan keimanan. Kontrol apapun bentuknya, para pengontrol harus diandaikan dibentuk oleh gaya hidup beriman dan berkemanusiaan. Dalam arti bahwa pihak pengontrol dalam hal ini kedua orang tua dan para om, harus menjadi teladan hidup beriman dan berkemanusiaan yang baik, agar kontrol itu tidak sekedar sebuah perintah yang menakutkan melainkan harus sebuah teladan hidup yang menyentuh hati setiap pribadi manusia yang mengalami pengontrolan itu. Realitas suku Bunak yang menganut sistem matrilineal yang demikian, terbuka bagi umum, terutama bagi para peneliti dari aneka disiplin ilmu untuk menegakkan penghargaan terhadap martabat manusia suku Bunak sebagai insan berperikemanusiaan dan beriman. Para peneliti diundang untuk datang dan melihat sendiri realitas sesungguhnya sistem matrilineal suku Bunak. Masih ada banyak hal yang masih tertutup rapat untuk dibuka oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu.***
Daftar Pustaka
A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978(2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..