Selasa, November 13, 2012

"NO HATAMA", DI MALANG Minggu 11 Nopember 2012



MENJADI
KETUA SUKU BUNAQ 
SEMALAM   “NO HATAMA"
DI MALANG


(P. Benediktus Bere Mali, SVD)



Orang yang banyak jalan, banyak pula yang dikunjungi, banyak pula yang dilihat, banyak pula yang didengar, banyak juga makna yang dihirup. Hari ini Minggu 11 Nopember 2012, acara  hantaran adat dari calon mempelai Pria kepada calon mempelai wanita. Acara ini dalam bahasa ibu, bahasa Buna’ disebut dengan istilah “ No Hatama”. Saya sendiri sebagai salah satu bagian dari keluarga calon mempelai pria.



Kami datang ke kediaman mempelai perempuan tepat pukul 19.00 WIB. Setiba di pondok mempelai perempuan, kami menerima sambutan hangat dalam suasana kekeluargaan yang sangat akrap. Hantaran langsung diterima dan disimpan di kamar pengantin. Kami langsung dipersilahkan duduk di kediaman mempelai perempuan.



Acara sapaan selamat datang dan perkenalan pun dimulai. Acara ini dipandu oleh MC atau juru bicara dari keluarga mempelai perempuan maupun dari keluarga mempelai laki-laki.


Pertama-tama disampaikan maksud dan tujuan kedatangan keluarga mempelai laki-laki yaitu untuk menyampaikan kepastian status calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai perempuan, yang akan diresmikan dalam sakramen pernikahan pada tanggal 12 Nopember 2012 di Gereja Katedral Malang.



Keluarga baru ini berasal dari adat dan budayasebagai akarnya yang pertama, maka pada malam hari ini malam perkenalan adat dan budaya kedua calon mempelai.  


Diawali perkenalan pihak keluarga calon mempelai laki-laki yang dipandu oleh Om Mis sebagai juru bicara calon mempelai laki-laki.  


Lalu disambung perkenalan pihak keluarga calon mempelai perempuan, yang dipimpin oleh juru bicara dari calon mempelai perempuan.

Kemudian serah kain adat Kasih dari keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita, lalu di susul dengan doa syukur bagi kedua mempelai dan doa santap malam bersama lalu komukasi santai kekeluargaan lalu bubar.


Menarik  sekali  ketika serah kain adat Timor dan kalung emas dari keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita. Pemaknaan atas peristiwa pengalungan selendang dari orang tua calon mempelai pria kepada orang tua calon mempelai wanita serta pengalungan selendang kepada adiknya calon mempelai wanita serta penyerahan kalung emas kepada calon mempelai perempuan, dipandu oleh putera suku Bunaq yaitu P. Benediktus Bere Mali, SVD sebagai keluarga dari calon mempelai pria yang adalah darah suku Buna’  juga.



Mengapa harus saya? Karena yang hadir dibelakang Bapak Martinus Meta sebagai “malu bul” bagi saya sebagai “aiba’a”,  hanyalah saya seorang diri. Maka ini adalah wakil istimewa dari darah “malu – aiba’a”. 


Peristiwa pengalungan selendang adalah sebuah peristiwa adat penerimaan tamu agung yang datang di daerah suku Buna’ dan sekaligus sebagai penghormatan dan selamat datang di daerah suku Buna’.  Artinya dengan pengalungan ini, tamu atau pendatang bukan menjadi orang luar yang menjadi asing, tetapi sudah menjadi bagian dari mereka yang menerima. Suasananya dari keterasingan – orang luar berubah  menjadi orang dalam bagian dari penerima.



Pada malam hari ini konteks pengalungan selendang memberikan kesan yang indah. Selendang atau kain adat ini adalah kain adat Timor. Mengapa kain adat Timor? Karena Nando calon mempelai pria ini berasal dari akarnya yaitu darah Timor, dari darah ayahnya dari Timor, khusus suku Buna’. Menerima Nando berarti menerima adat dan budaya Timor khusus suku Buna’.


Dengan memberikan pengalungan selendang – kain adat Timor ini menunjukkan bahwa ikatan keluarga Nando dengan Widya, bukanlah hanya ikatan pribadi Nando-Widya melainkan ikatan ini adalah ikatan seluruh keluarga besar Nando-dengan keluarga besar Widya. Ikatan ini adalah ikatan adat dan budaya Nando – dengan adat dan budaya Widya. Maksudnya Nando menghargai dan menjunjung tinggi keunggulan adat dan budaya Widya.  Demikian juga Widya menghargai dan menjunjung tinggi keunggulan adat dan budaya Nando.

Usai penyampaian makna kain adat,  saya memberikan kesempatan kepada Bapak Martinus Yosef Meta sebagai ayah dari calon mempelai laki-laki, memberikan pengalungan selendang adat Timor kepada Bapak Hari sebagai ayah dari calon mempelai perempuan, lalu disusul  Ibu Martinus sebagai mama dari calon mempelai pria mengalungkan selendang kepada ibu Hari sebagai mama dari calon mempelai perempuan, dan Arni sebagai saudari kandung calon mempelai pria mengalungkan selendang kepada Mba Dea sebagai adik kandung dari calon mempelai perempuan. Pengalungan itu disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah dari para undangan dan keluarga besar kedua calon mempelai Nando – Widya.


Setelah tepuk tangan meriah atas pengalungan kain adat itu, disusul dengan pemaknaan pemberian kalung emas dari ibu Martinus kepada anak mantunya. Di awali dengan sejarah kalung emas ini dan pemaknaannya.


Kaluang Emas ini berasal dari nenek dan kakeknya Nando yang ada di Timor. Kalung ini diberikan kepada ibu Martinus saat menjadi anak mantunya.  Kalung yang sama, yang berasal dari nenek dan kakeknya Nando yang ada di Timor itulah yang pada malam hari ini akan dan segera diberikan kepada Widya sebagai anak mantu dari Bapak dan Ibu Martinus.


Maksudnya dengan menerima dan mengenakan kalung emas ini, Widya secara sadar, bahwa kalung emas ini dari nenek dan kekeknya Nando, dan Widya dengan penuh kesadaran menghormati dan menghargai Nenek dan Kakek Nando, Bapak dan Mama Nando, saudara dan saudari Nando, keluarga besar Nando, adat dan budaya keluarga Nando.  Lalu Ibu Martinus mengalungkan Kalung Emas kalung bersejarah itu kepada Widya sebagai anak mantunya.  Ibu Martinus sempat berbisik di telinga anak mantunya sambil mengalungkan kalung bersejarah itu dalam bahasa Belu – Timor “Uma nain  foun uma nain laran fehan” artinya anak mantu yang sangat baik.



Demikianlah makna dari peristiwa kain Kasih dan kalung Kasih. Disebut Kain Adat Kasih dan Kalung Kasih. Mengapa?


Karena kami memberi singkatan kata KASIH demikian. KASIH : Keunggulan Adat dan budaya Selalu Isi Hati. Hati itu adalah hati Widya-Hati Nando, hati keluarga Nando dan keluarga Widya serta hati kita semua.


Akhirnya kami memberikan harapan bahwa jikalau kain Kasih dan kalung kasih hilang termakan usia, maka maknanya tetap dan pasti berdiam di hati Widya dan keluarga Widya serta kita semua yang hadir dan menjadi saksi pada malam hari ini.


Kalau demikian, tepat kata sang filsuf, ketika kata-kata terucap mulut pembicara dan dan maknanya diterima telinga hati pendengar, maka jiwa kata kata ini bukan lagi menjadi milik pembicara tetapi telah menjadi milik penerima berita.  Dengan demikian, jiwa, roh, spirit pembicaraan, kata-kata, atau tulisan tetap hidup dari waktu ke waktu, dari hati ke hati, dan dari kepada ke kepala.***



Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..




Kotbah Misa Harian, Selasa 13 Nopember 2012



HAMBA - ISME

Tit 2:1-8.11-14; Luk 17:7-10
Misa Harian, Selasa 13 Nopember 2012,
Di Soverdi Surabaya

(P. Benediktus Bere Mali, SVD)


Kita hidup di antara aneka pandangan hidup yang menyertai keberadaan kita. Beraneka warna paradigma itu, salah satunya adalah Hamba-isme di dalam relasi sosial.


Mendengar pandangan hamba-isme pasti muncul banyak reaksi, ada yang menerima ada yang menyangkalnya dalam relasi sosial baik dalam lingkungan makro maupun mikro.


Menolak karena bukan jamannya lagi orang menjadi hamba dalam relasi sosial. Orang jaman ini menekankan kesetaraan dalam keberbedaan, bukan supordinasi satu terhadap yang lain.


Menerima karena dalam relasi spiritual, hal ini sangat penting. Relasi rohani antara manusia dengan Allah dibangun di atas pola hamba dengan majikan. Manusia sebagai hamba sedangkan Majikan adalah Allah.


Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa relasi antara manusia dengan Allah didirikan di atas dasar paradigma seorang hamba dengan raja? Alasan yang mewarnai pandangan relasi hamba dengan raja sebagai dasar relasi dengan manusia adalah konteks zamannya. Pada zaman Yesus dalam sejarah hidupnya, pandangan hambaisme bertumbuh subur dalam relasi sosial. Raja memperlakukan rakyatnya sebagai hamba.


Pandangan ini digunakan Yesus dalam pewartaanNya. Meskipun demikian, yang membedakan pandangan Hamba-isme dalam pandangan sosial pada saat itu dengan pandangan spiritual yang dihadirkan di dalam pewartaan Tuhan Yesus adalah sebagai berikut.


Pandangan dunia, hamba melakukan apa saja, entah itu baik atau tidak baik, entah benar atau tidak benar, harus dilakukan oleh rakyat untuk kesenangan raja atau penguasa, untuk egoisme raja atau pemimpin.


Sedangkan dalam pandangan rohani, hamba-isme yang dimaksud adalah umat manusia melakukan yang sehat, entah itu sehat pikiran, sehat kata-kata dan sehat perilaku dalam takaran kehendak Allah yang menyelamatkan secara universal melintas batas-batas ciptaan manusia.


Dengan kata lain, Yesus menyetir pandangan dunia itu ke arah yang spiritual, agar rakyat dalam konteks sipil dan umat dalam konteks keagamaan, menjadi hamba dalam berelasi dengan atasan yaitu pemimpin dunia dan pemimpin sipiritual, melakukan semua yang sehat: baik dan benar, untuk kebaikan, kebenaran, kesejahteraan, keselamatan bersama.


Kita hidup sebagai hamba Allah. Artinya dalam komunitas manapun habitat kita, kita bukan melaksanakan kehendak pribadi yang lebih bernuansa egoistik, tetapi kita utamakan kehendak Allah yang membawa keselamatan yang abadi.


Misalnya kita hadirkan habitualisasi keselamatan yang bersumber dari Allah di dalam kehidupan berkeluarga. Kalau dulu anggota keluarga jarang berkomunikasi secara langsung, dengan berbagai alasan, kini berusaha dan mau berkorban untuk berkomunikasi secara langsung antara orang tua dengan anak-anak, agar anak-anak mengalami cinta kasih orang tua secara langsung, bukan melalui, ATM saja, telephone saja, sms saja. Kalau dulu pikiran, kata, dan perilaku tidak atau kurang sehat, kini adalah saatnya untuk memiliki dan membagikan iman yang sehat kepada sesama. Iman yang sehat itu melahirkan pikiran, kata-kata dan perilaku yang sehati dengan kehendak Allah yang menyelamatkan secara umum tanpa membeda-bedakan.