Selasa, Maret 25, 2008

RUMAH SUKU ASTALIN DI SUKU BUNAQ AITOUN


*P.Benediktus Bere Mali, SVD*
 


Sharing Pengalaman Hidup Dalam Suku Bunak

1. Anak Bertanya Identitas Suku Bapa dan Bapa Memberi Jawaban tentang Identitas Sukunya

1.1. Mengenal Identitas Bapa dalam Relasi Malu dengan Aiba,a


Saya dilahirkan oleh kedua orang tua saya yang bersuku bangsa Bunak. Nama bapa saya adalah Gabriel Mali. Nama mama saya adalah Oliva Lawa Koi. Dalam suku Bunak ada juga kelompok-kelompok suku kecil. Mama saya berasal dari kelompok suku kecil yang dikenal dengan sebutan suku Monewalu. Suku Monewalu ini akan diuraikan atau disharingkan pada bagian identitas Suku Monewalu sebagai suku ibu saya dan saya sendiri mengikuti suku ibu dalam adatku yang menganut perkawinan Matrilineal. Bapa saya berasal dari sebuah suku kecil yang dikenal dengan sebutan Suku Astalin. Baik bapa maupun mama saya berasal dari sebuah tempat yang dikenal dengan nama Asueman. Pada bagian ini saya memusatkan perhatian pembaca pada pengenalan tentang suku Astalin yaitu kelompok suku bapa saya.
Bapa saya bernama Gabriel Mali. Bapak Gabriel Mali adalah seorang yang berasal dari satu kelompok suku kecil yang menyebar di suku Bunak yaitu Suku Astalin. Bapa Gabriel Mali ini dalam kebiasaan adat Suku bunak dikenal sebagai "Lal Gomo". Lal gomo merupakan sebutan bahasa Bunak bagi seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang adat istiadat suku Bunak. Lal Gomo adalah juga sebutan bagi seseorang yang pandai berbicara tentang adat yang ada dan berlaku dalam di Lingkungan adat istiadat suku Bunak. Dalam area gereja Katolik, bapak Gabriel Mali ini adalah Guru Agama Senior di Lingkungan Asueman, Paroki St. Theodorus Weluli, Dekenat Belu Utara, Keuskupan Atambua. Bapa Gabriel Mali menjadi Guru Agama Kampung sejak tahun 1960-an sampai dengan masa dewasa ini. Bapa Gabriel Mali memiliki pengabdian yang luar biasa kepada Gereja lewat Katekese, memimpin Ibadat Sabda Setiap Hari Minggu di Kapela Lingkungan Asueman, kecuali ada pastor paroki mengunjungi umat di Kapel Asueman.
Berikut ini penulis menguraikan secara deteil berbagi pengalaman kepada penikmat tulisan ini tentang asal-usul suku Astalin, Suku Bapa Gabriel Mali. Saya sebagai anaknya, ingin mengenal secara baik dan benar asal-usul suku Bapa Saya. Saya lewat tulisan ini lebih mengenal identitas suku Bapa saya. Saya mencoba melaksanakan harapan saya itu. Saya mendapat informasi yang selengkapnya lewat dialog santai dengan Bapak Gabriel, sambil minum kopi. Dalam suasana santai, rilek, didukung dengan otak segar, semua pembicaraan tentang asal-usul suku bapa Gabriel dapat berjalan dengan baik. Pembicaraan dengan Bapa Gabriel Mali tahap pertama ini berlangsung pada tanggal 21 Mei 2007 di rumah kelahiran penulis Malate-Telolo-Dusun Asueman-Desa Aitoun-Kecamatan Rai Hat-Kabupaten Dati II Belu-NTT. Pembicaraan itu ditulis dengan rapi, dan saya membawa hasil pembicaran itu kembali ke Surabaya, pada tanggal 28 Mei 2007. Setelah sekian lama saya membaca dan mendalami kembali secara pribadi hasil pembicaraan itu di Surabaya. Saya ingin menuliskan dan mempublikasikan pengalaman indah itu agar diketahui oleh pembaca pada umunya. Maka saya mulai menulis pengalaman itu.
Meskipun demikian, saya masih merasa belum lengkap untuk mempublikasikan asal-asul suku bapa Gabriel Mali, suku bapa kandung saya. Maka, pada hari Minggu, tanggal 9 Maret 2008, saya mendapat informasi yang lebih deteil tentang asal –usul suku bapa Gabriel Mali. Saya langsung menelephone Bapa Gabriel Mali. Informasi selengkapnya ini diterima dari wawancara langsung via telephone murah dengan menggunakan kartu Simpati Pede antara Penulis dengan Bapak Gabriel Mali yang tinggal di Rumah Induk Penulis Malate - Telolo - Lingkungan Asueman - Paroki St. Theodorus Weluli. Wawancara langsung antara penulis yang tinggal di Soverdi St. Arnoldus Janssen, Kamar No 12, Jalan Polisi Istimewa no. 09 Surabaya, dengan kode Pos 60265- Jawa Timur – Indonesia, dengan Bapak Gabriel Mali itu berlangsung dari pukul 20.30 - 22.30 Waktu Surabaya. Pembicaraan itu sungguh menarik. Informasi yang diperoleh lewat telephone itu menyempurnakan bahan hasil wawancara tatap muka dengan Bapa Gabriel Mali, pada 21 Mei 2007, lalu hasil paduan itu, saya ungkapkan dalam tulisan ini kepada pembaca. Penulisan ini berguna bagi pembaca agar dapat mengetahui dan mengenal identitas suku Astalin, suku Bapa Gabriel Mali. Generasi muda suku Astalin yang dewasa ini berkembang dan menyebar ke seluruh dunia, dapat mengenal asal-usul sukunya melalui penulisan sederhana ini. Sekaligus kekurangan dalam penulisan ini, terbuka untuk disempurnakan oleh setiap anggota suku Astalin yang membaca tulisan ini, agar pada edisi berikut, dapat dipublikasikan masukan dari pembaca yang mau menyempurnakan tulisan ini.
Bapak Gabriel Mali sebagai anggota Suku Astalin, yang bertempat tinggal di Dusun Asueman-Desa Aitoun- Kecamatan Rai Hat - Kabupaten Dati II Belu. Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (duabelas ) suku "Malu". Dua belas suku yang disebut sebagai suku malu itu menunjukkan bahwa suku Astalin itu berasal dari dua belas suku malu itu. Keduabelas suku itu memberikan perempuan dari sukunya kepada suku Astalin, dan menjadi suku Astalin yang ada di Dusun Asueman-Desa Aitoun dan bahkan dewasa ini sudah berkembang di tempat lain karena urbanisasi dan imigrasi dan sebagainya. Aiba’a artinya suku yang menerima perempuan. Malu artinya suku pemberi perempuan. Suku-suku yang menerima perempuan membentuk kelompok suku kecil di sebut suku Aiba’a. Suku yang memberi perempuan disebut suku Malu. Duabelas Suku "Malu" bagi Suku Astalin sebagai "Aiba'a" itu dapat disebutkan sebagai berikut :

1.1.1. Suku Leb

Suku Leb bertempat tinggal di sebuah tempat yang namanya Lua Guju. Suku Leb ini adalah suku yang memberi perempuan kepada suku Astalin. Perempuan yang berasal dari suku Leb dan masuk menjadi suku Astalin itu berkembang biak dalam suku Astalin sehingga memiliki keturunan yang berjumlah banyak. Anggota suku Astalin yang berkembang dari perempuan yang berasal dari Suku Leb itu selalu menempatkan Suku Leb sebagai pemilik derajat yang lebih tinggi. Suku Leb dihormati secara istimewa karena menjadi asal-usul suku Astalin. Maka dalam konteks ini Suku Leb sebagai pemberi perempuan disebut suku Malu bagi suku Astalin. Suku Astalin sebagai penerima perempuan dari suku Leb, disebut suku Aiba’a bagi suku Leb dalam semua relasi adat. Bapak Gabriel Mali sebagai Aiba’a bagi suku Leb. Suku Leb ini sebagai akar bagi asal-asul Bapa Gabriel Mali. Relasi erat antara suku Malu dengan Aiba’a ini akan terlihat secara jelas ketika ada satu anggota suku Astalin atau Suku Leb yang meninggal dunia. Pada waktu kematian itu urusan proses adat kematiannya sangat kompleks dan rumit. Kerumitan itu lebih tampak pada proses urusan adat kematian yang dialami oleh salah seorang anggota suku Astalin. Urusan adat kematian suku Astalin akan dapat dilaksanakan kalau, ada kehadiran sekaligus restu dari suku Malu yaitu suku Leb dan suku-suku malu lainnya bagi suku Astalin, dalam konteks relasi Bapa Gabriel dengan Suku Leb dan suku-suku malu lainnya. Dalam hal ini kematian terjadi di suku Astalin bapa Gabriel Mali. Suku-suku Malu berikut sebagai malu bagi suku Astalin Bapa Gabriel Mali. Relasi antara suku-suku Malu dengan Aiba’a itu akan tampak terlihat dalam adat kematian yang dialami suku Astalin sebagai suku Aiba,a. Penjelasan tentang asal-usul suku malu yang lain, seperti yang disebut dibawa ini, saya belum menguraikan asal-usulnya secara deteil karena saya belum mendapat informasi yang lengkap tentang suku-suku malu berikut. Saya hanya menyebutkan secara garis besarnya saja. Suku malu yang lain itu seperti berikut:

1.1.2. Suku Lelabere Bese

Suku Lelabere Bese ini adalah pemberi perempuan kepada suku Astalin. Suku yang memberi perempuan ini disebut suku Malu. Sedang suku Astalin sebagai penerima perempuan disebut sebagai suku Aiba’a. Relasi antara suku Lelebere Bese dengan suku Astalin ini akan didalami secara panjang lebar dalam pembahasan tentang suku Lelabere Bese. Penulis ingin menggali dan mendalami setiap suku kecil di dalam Suku Bunak, termasuk Suku Lelabere Bese ini dalam publikasi berikutnnya. Untuk saat ini, penulis memfokuskan pembaca tulisan ini pada Suku Astalin.

1.1.3. Suku Lelabere Aisal Bul

Suku Lelebere Aisal Bul ini adalah suku Malu bagi suku Astalin sebagai Aiba’a. Suku Aiba’a adalah suku yang menerima perempuan dari suku Lelebere Aisal Bul. Mendalami suku Lelabere Aisal Bul ini penulis berencana akan dilaksanakan pada edisi-edisi berikutnya. Penulis pada saat ini memfokuskan perhatian pada suku Astalin Bapak Gabriel Mali yang berasal dari Suku Leb.

1.1.4. Suku Lelabere Kaluk

Suku Lelabere Kaluk ini juga disebut sebagai suku Malu bagi suku Astalin yang berkembang dan hidup di Suku Bunak, khususnya di Lingkungan Asueman, Paroki Santo Theodorus Weluli. Suku Lelebere Kaluk ini juga memberi perempuannya kepada Suku Astalin. Suku Astalin yang anggotanya berkembang banyak dewasa ini berasal dari Suku Lelebere Kaluk. Relasi adat Suku Malu dengan Suku Aiba’a ini menjadi satu relasi yang abadi, dari generasi ke generasi. Relasi adat semacam ini dilihat dalam pola pikir sistem perkawinan matrilineal yang sedang hidup dan berkembang dalam adat istiadat suku Bunak sampai dewasa ini.

1.1.5. Suku Lelabere Delo Bul

Suku Lelabere Delo Bul sebagai satu suku kecil pemberi perempuan kepada suku Astalin yang berkembang sampai dewasa ini dalam adat-istiadat suku Bangsa Bunak sebagai suku Besar. Suku Bunak ini disebut demikian karena memiliki satu bahasa yaitu bahasa Bunak yang mengikat sebutan itu. Semua yang berbahasa Bunak disebut suku Bunak. Relasi malu dengan aiba’a ini didalami dan dipahami dalam pola sistem perkawinan matrilineal yang sedang berkembang dalam suku Bunak.

1.1.6. Suku Hokiik "Deu Masak"

Suku Hokiik Deu Masak ini adalah suku malu karena suku ini adalah pemberi perempuan kepada Suku Astalin. Suku Astalin yang menerima perempuan disebut sebagai suku Aiba,a dalam seluruh urusan adat yang berlaku dalam suku Bunak.

1.1.7. Suku Hokiik "Deu Gol"

Suku Hokiik Deu Gol adalah suku yang memberi perempuan kepada suku Astalin. Suku yang memberi perempuan kepada suku Astalin ini disebut atau dikenal dengan nama suku Malu. Suku Astalin yang menerima perempuan dari suku Hokiik Deu Gol disebut suku Aiba’a. Dalam upacara adat kematian salah seorang anggota suku Astalin yang merupakan keturunan dari perempuan yang berasal dari Suku Hoiik Deu Gol ini, ketua suku Hokiik Deu Gol ini yang pertama menancapkan tajak dalam menggali kubur bagi yang meninggal itu. Demikian juga pemberkatan ala adat kepada anggota suku Astalin yang berasal dari Suku Hokiik Deu Gol ini diberikan oleh Suku Hokiik Deu Gol sebagai suku Malu. Suku malu memberikan rahmat berkat kepada Anggota Suku Astalin yang berasal dari suku Hokiik Deu Gol. Suku Malu yaitu suku pemberi perempuan kepada suku Astalin yaitu suku Hokiik Deu Gol ini dikenal oleh Suku Astalin yang berasal dari Suku Hokiik Deu Gol sebagai asal rahmat kehidupan mereka, dalam relasi adat yang berlangsung abadi dalam suku Bunak.

1.1.8. Suku Lakora bertempat tinggal di Magil

Suku Lakora adalah suku Malu bagi suku Astalin. Suku Astalin disebut sebagai suku Aiba,a. Suku Astalin sebagai suku yang menerima perempuan dari suku Lakora disebut sebagai suku Aiba,a bagi Suku Lakora. Suku Malu yaitu suku pemberi perempuan. Dalam hal ini Suku Lakora adalah pemberi perempuan maka dia disebut suku malu bagi suku Astalin. Relasi antara suku Malu dengan suku aiba’a ini akan tampak kompleks dan agak rumit terlihat jelas nanti dalam seluruh proses adat kematian. Adat kematian disebut oleh orang bersuku bunak dengan istilah adat “Lal Guju”.

1.1.9. Suku Sul Por di Magil

Suku Sul Por ini bertempat tinggal di Magil. Suku ini memberi perempuan kepada suku Astalin di Asueman. Pemberian perempuan ini berlangsung dalam perayaan adat. Model adat seperti ini dapat dipahami dalam sistem perkawinan matrilineal yang berlaku dalam suku Bunak sebagai suku besar. Relasi suku pemberi perempuan dan suku penerima perempuan ini akan terlihat rumit dan kompleks dalam upacara adat kematian. Anggota suku penerima perempuan yang salah satu anggota sukunya meninggal, proses adat kematian berlangsung secara tidak efektif dan efisien. Ada banyak hal yang tidak ekonomis dan tidak praktis dalam kacamata orang modern yang hidup di kota dan hanya bersandar kepada kehidupan agama dan mengurangi urusan adat yang berbelit-belit. Pengalaman penulis selama hidup dalam suku Bunak membuktikan hal di atas.

1.1.10.Suku Loka Bere di Magil

Suku Loka Bere ini bertempat tinggal di sebuah tempat yang dikenal dengan sebutan Magil. Rumah adat suku ini ada di Magil. Suku ini sebagai pemberi perempuan kepada suku penerima perempuan yaitu suku Astalin yang ada di Asueman. Suku Astalin sebagai Aiba’a bagi suku Loka Bere di Magil.

1.1.11.Suku Nikaran Deu Masak di Maumutin

Suku ini adalah suku yang memberi perempuan kepada suku penerima perempuan yaitu suku Astalin. Suku Nikaran Deu masak ini berdiam di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Maumutin. Suku Astalin sebagai penerima perempuan disebut sebagai Aiba’a bagi suku pemberi perempuan yaitu suku Nikaran Deu Masak. Relasi antara suku pemberi perempuan dengan suku penerima perempuan ini selalu dibangun kembali dan terus dihidupi dalam adat kematian yang terjadi dalam kedua suku tersebut. Urusan adat itu bila dilihat dari segi praktis dan efektivitasnya memang boleh dikatakan dapat menimbulkan kemiskinan suku bunak yang berkepanjangan. Tetapi hal ini dapat dilihat dari soal relasi sosial adat, dan persatuan adat maka dalam adat suku bunak khususnya relasi adat suku pemberi perempuan dan penerima perempuan ini, sebagai jaring-jaring persatuan erat antara suku-suku kecil yang tersebar di dalam suku bunak. Relasi persatuan adat yang demikian, sebetulnya tidak memberi cela bagi pihak luar atau golongan lain untuk memecahbelah suku Bunak.

1.1.12. Suku Nikaran Deu Gol di Maumutin

Suku Nikaran Deu Gol ini adalah suku yang memberi perempuan kepada suku penerima perempuan yaitu suku Astalin. Suku pemberi perempuan disebut Malu. Suku penerima perempuan disebut Aiba,a. Relasi kedua suku ini akan terbangun kokoh dan terlihat dalam proses adat kematian yang biasanya berlangsung 3-4 hari. Selama urusan adat kematian itu, semua asal-usul anggota suku yang meninggal akan diceriterakan secara deteil kepada anggota suku yang sedang berduka, ingatan akan asal-usul sukunya tetap dibangun kembali. Kesadaran akan asal-usul suku itu akan berdampak pada perubahan perilaku anggota suku yang tahu akan asal-usulnya. Suku pemberi perempuan akan dihormati dan dihargai dan ditempatkan pada status adat yang lebih terhormat dalam urusan adat kematian. Penghargaan Aiba’a kepada suku pemberi perempuan itu juga terus dihidupi dalam relasi sosial adat pada umumnya. Keadaan sosial adat ini menarik untuk diteliti dan hasil penelitian itu perlu dipublikasikan untuk dikenal, dan ditemukan cela-cela keunggulan dan ketertinggalan suku Bunak yang menganut sistem adat seperti ini, bila ditakar dengan pola kemanusiaan global yang berkembang dalam dunia dewasa ini

1.2. Mengenal Identitas Malu dengan Aiba’a dalam Adat Kematian

Sebuah adat kematian akan dilaksanakan oleh Suku Astalin jika semua suku Malu yang jumlahnya 12 Suku tersebut itu hadir di tempat pelaksanaan adat kematian oleh Suku Astalin. Seorang anggota suku Astalin harus datang langsung beritahu sekaligus mengundang secara adat para suku malu itu untuk hadir menyaksikan Adat Kematian Seorang anggota Suku Astalin. Pemberitahuan itu tidak boleh lewat "SMS" atau lewat Telephone atau via HP, atau lewat surat. Presiden Suku Astalin atau ketua suku Astalin menyuruh seorang anggota suku Astalin langsung datang ke masing-masing presiden Suku "Malu" itu dan utusan resmi ketua suku Astalin itu memberitahukan secara jelas kepada para presiden suku malu yang berjumlah 12 suku malu tersebut bahwa akan segera melaksanakan adat kematian suku Astalin. Undangan model ini sebagai satu apresiasi Presiden Suku Astalin sebagai "Aiba'a" (penerima perempuan) kepada Para Presiden Suku "Malu" (pemberi perempuan). Undangan seperti ini satu penghargaan yang mulia dari pihak "Aiba'a' kepada "Malu". Memang bila ditakar dari segi praktisnya, undangan seperti ini sangat tidak efektif dan tidak efisien dalam sistem jaringan komunikasi canggih dewasa ini. Kalau toh para presiden suku malu yang jumlahnya 12 suku tersebut tahu berita kematian seorang anggota suku Astalin lewat orang lain atau lewat SMS, berita itu dianggap bukan berita yang sah atau resmi karena informasi semacam itu keluar dari mulut orang lain bukan dari mulut presiden suku atau ketua suku Astalin atau lewat utusan resmi presiden suku Astalin.
Pengecualian bagi seorang anggota suku malu yang keluar pulau karena tugas tertentu, bisa dihubungi lewat telephone atau SMS. Telephone atau SMS itu pun harus oleh ketua suku Astalin atau utusan resmi ketua suku Astalin. Diusahakan bahkan diwajibkan agar telephone atau SMS itu oleh presiden suku atau ketua suku Astalin. Dalam konteks undangan seperti ini, informasi yang diterima oleh suku malu dapat dikategorikan sebagai undangan yang sah. Perkembangan teknologi dan komunikasi yang cepat dapat mengikis gaya tradisional menyebarkan dan menyampaikan undangan adat dari Suku Malu kepada suku Aiba’a. Itulah satu dampak perkembangan komunikasi pada zaman ini. Secara perlahan dan bahkan orang-orang desa yang masih kuat berpegang pada adat istiadat nenek moyang pun jaringan komunikasi yang berkembang pesat memaksa mereka untuk mengikuti cara modern dalam menyampaikan informasi dan terutama dalam konteks ini termasuk undangan untuk urusan adat kematian. Undangan para Presiden Suku "Malu" atau yang mewakili Setiap Suku "Malu" itu bertujuan agar mereka semua hadir dalam pelaksanaan adat kematian itu. Kalau satu suku "Malu" tidak hadir maka adat kematian belum dapat dimulai. Menunggu semua wakil suku "Malu" hadir, baru segera dimulai tata adat kematian. Upacara adat akan berbelit-belit atau urusan adat kematian diulur-ulur kalau para suku "Malu" tidak mau datang atau sengaja tidak mau datang karena ada persoalan atau tersinggung karena soal politik, soal konflik antara Suku "Malu" atau antara suku malu dengan suku aiba’a. Persoalan demikian dijadikan alasan bagi pihak-pihak yang konflik tidak mau datang ke tempat berduka, tempat pelaksanaan adat kematian oleh anggota suku Astalin sebagai suku "Aiba'a". Maka semua soal yang ada perlu diselesaikan. Semua yang mengalami masalah atau konflik itu harus didamaikan oleh para pemuka adat dalam hal ini para ketua suku atau presiden suku sehingga sesudah damai-aman-rujuk, adat kematian suku Astalin dapat dilaksanakan. Di sini adat kematian sebagai kesempatan untuk mendamaikan pihak-pihak yang konflik. Proses perdamaian itu bukan tanpa biaya. Dibutuhkan sejumlah uang dan kain adat serta sedikit minuman alkohol serta korban binatang dalam proses perdamaian itu. Pihak-pihak yang konflik harus memulihkan kembali relasi yang telah retak dengan memberikan uang, kain adat dan korban binatang dan makan minum kepada para pendamai dalam hal ini para presiden suku atau ketua suku selaku pemuka adat dalam sistem adat suku Bunak. Suku "Malu" yang tidak mau datang karena tersinggung atau konflik dengan Suku Astalin sebagai suku "Aibaa'a" itu disebut dalam bahasa Bunaq, dengan istilah "Malu Aiba'a Gege Robon". Uang yang dibawah oleh Suku Astalin sebagai "Aiba'a" kepada Suku "Malu" itu sebagai uang rujuk - rukun kembali antara suku "Malu" yang bersangkutan dengan suku Astalin sebagai "Aiba'a" dalam proses perdamaian itu. Setelah rukun, Suku "Malu"itu memenuhi undangan suku Aiba’a untuk datang menghadiri, menyaksikan perayaan adat kematian salah seorang anggota suku Astalin sebagai suku Aiba’a.
Masalah akan lebih rumit kalau anggota suku "Malu" itu banyak dan juga semuanya pada konflik dengan Suku Astalin sebagai "Aiba'a". Semua konflik itu diselesaikan satu persatu untuk mencapai rujuk-rukun. Semakin banyak masalah semakin banyak waktu yang dibutuhkan dalam proses perdamaian oleh para pendamai. Sesudah semuanya damai, Suku Astalin baru dapat melaksanakan adat kematian secara baik dan benar menurut adat yang berlaku turun temurun.
Soal-soal yang melahirkan konflik itu biasanya sederhana, pada umumnya karena Para Suku " Malu" merasa dilecehkan oleh kata-kata Suku "Aiba'a". Semakin banyak konflik semakin tidak efektif dan tidak efisien melaksanakan adat kematian suku Astalin. Perayaan adat kematian ini dalam istilah bahasa Bunaq dikenal dengan sebutan "Lal Hoon" atau disebut juga dengan nama “Lal Guju”. Semua konflik antara "Aiba'a" dengan setiap suku "Malu" sudah diselesaikan secara damai, dan semua suku "Malu sudah hadir di sekitar perayaan adat kematian, barulah dilaksanakan adat Kematian atau " Lal Ho’on". Proses adat "Lal Ho’on" atau “lal Guju”artinya adat kematian dapat diuraikan dalam pelaksanaan adat kematian seperti dibawa ini. Pelaksana Adat kematian adalah suku Astalin dengan susunan anggota suku "Malu"nya yang berbeda-beda. Perayaan adat Kematian suku Astalin sebagai berikut :

1.2.1. "Tel Taba"

Suku Leb adalah suku Malu bagi Bapak Gabriel Mali, yang bersuku Astalin sebagai suku Aiba’a. Suku Malu yang berhak untuk pertama kali atau mengawali menancapkan tajak pada tanah tempat kuburan yang akan digali, bagi seorang anggota suku Astalin yang meninggal dan akan dimakamkan di tempat yang akan digali itu. Suku malu itu adalah Suku Leb. Mengapa harus suku Leb yang mengawali menancapkan tajak sebelum penggalian kubur bagi kuburan seorang anggota suku Astalin-nya Bapak Gabriel Mali? Karena Suku Leb adalah asal asli Suku Astalin Bapak Gabriel Mali. Suku Astalin Bapak Gabriel Mali ini berasal dari Suku Leb. Anggota suku Astalin yang meninggal yang adat kematiannya sedang dirayakan ini sesungguhnya berasal dari suku Leb dan suku Leb juga yang mengantarnya ke tempat kuburan dan kedalam dunia para leluhur atau “Mot Tama”. Suku Leb ini memberikan seorang perempuan kepada suku Astalin dan di dalam suku Astalin keturunan itu bertambah banyak lewat perkawinan. Sistem ini dipahami dalam konteks perkawinan matrilineal. Maka relasi malu dengan aiba’a di sini dikenal sebagai relasi penerima dan pemberi perempuan bukan penerima dan pemberi laki-laki atau pria. Itulah keunikan sistem perkawinan adat matrilienal suku Bunak, yang membangun relasi adat suku malu dengan suku aiba’a.
Selama Suku Leb ini ada dan tidak berhalangan untuk hadir, Suku Leb ini yang berhak menancapkan tajak untuk pertama kali, di atas tanah, tempat untuk kuburan bagi seorang anggota suku yang telah meninggal. Suku Leb mendapat stipendium adat untuk penancapan pertama itu. Stipendium itu adalah Si Besal atau Si Geweel dan sejumlah uang. Kalau Suku Leb berhalangan hadir dengan alasan yang masuk akal, maka Presiden Suku Leb ini memberi mandat kepada suku "Malu" yang lain untuk menancapkan tajak pertama di atas tanah tempat kuburan itu. Pemberian mandat berarti pemberian stipendium yaitu Si Besal atau Si Geweel kepada "Malu" yang menerima mandat itu. Sesudah itu penggalian dilanjutkan oleh Suku "Malu" yang lain yaitu Suku Lelabere Delo Bul. Mereka juga mendapat stipendium yaitu Sejumlah daging dan sejumlah uang. Untuk "Tel Taba" ini ada seekor Babi yang dikorbankan dan sejumlah uang dan siri pinang yang telah disepakati secara adat. Tata adat demikian diwariskan secara turun-temurun dalam adat kematian yang dialami oleh Suku Astalin. Dari sharing pengalaman di atas, maka suku Astalin yang tersebar di seluruh penjuru suku Bunak itu berasal dari kedua belas suku malu yang telah disebutkan di atas. Masing-masing anggota suku Astalin tahu persis, dari mana dia berasal. Dengan kata lain Suku Astalin itu merupakan pendatang dari keduabelas suku Malu dan membentuk suku baru yaitu suku Astalin sebagai suku Aiba’a bagi keduabelas suku Malu tersebut.

1.2.2. "Gon Tolo"

Para "Malu" akan memindahkan tangan seorang anggota suku Astalin yang meninggal di atas dadanya. Pemindahan ini punya stipendiumnya tersendiri. Jumlahnya sekitar Rp.50.000 sampai Rp.100.000. Tergantung permintaan "Malu" yang memindahkan tangan suku Astalin sebagai "Aiba'a" yang telah meninggal. Untuk adat pemindahan tangan ini satu ekor babi dibunuh.

1.2.3. "Gawak"

Gawak berarti mengarak Peti Jenazah ke tempat pemakaman. Orang yang memikul peti jenazah pada dasarnya para suku malu dengan para pemuda yang bertenaga. Peti Jenazah itu ditutup dengan kain adat yang bagus. Kain adat itu akan diperebutkan oleh para suku "Malu". Prinsip perebuatan itu adalah malu siapa yang cepat dan gesit akan mendapat dan memiliki kain penutup peti itu. Perebuatan biasanya sebelum tiba di Kuburan. Setelah upacara penguburan, anggota suku "Malu" dan "Aiba'a" kembali ke rumah duka.

1.2.4. "Il Hesik"

"Il Hesik" artinya para "malu" memercikkan air ke atas para "aiba'a" yang berduka. "Il hesik" ini dilaksanakan di depan rumah duka. Waktu pulang dari kuburan usai penguburan, para suku "Malu" telah mendahului "para aiba'a" dan berdiri di depan pintu rumah duka, dan telah siap dengan air berkat secara adat ala para suku "malu". Caranya, para anggota suku "Aiba'a" yang pulang dari penguburan itu berdiri berbaris di depan pintu rumah duka, direciki dengan air suci ala adat itu kemudian baru mereka masuk ke dalam rumah duka itu. Perecikan itu bermakna menyucikan hati, pikiran duka keluarga "aiba,a" dan menguatkan serta meneguhkan mereka agar tidak dikuasai oleh rasa duka yang berkepanjangan. Mereka menyerahkan kepergian anggota suku yang meninggal dengan tulus tanpa suatu beban berat tertentu.

1.2.5. "En Gawa Gini"

Sesudah suku "Malu" memerciki suku "Aiba'a", kini mereka berkonsentrasi bekerja di dapur untuk mempersiapkan makan-minum melayani para suku "Malu" yang ada. Suku "Malu" sebagai tamu agung yang harus dilayani oleh suku "aiba'a". Para suku "Aiba'a" memberi pelayanan yang istimewa dan sempurna kepada para suku "Malu" yang ditempatkan pada posisi sebagai "Raja" di mata Suku "Aiba'a". Makanan harus enak, dengan lauk pauk dan sayur-sayuran yang istimewa. Kalau makan kurang enak, para "malu" biasanya memberi komentar atau penilaian yang agak miring kepada para "aiba'a" yang melayani mereka.

1.2.6. "Lasik Wa"

Para "aiba'a" pun makan bersama setelah melayani para "malu". Dalam makan bersama, presiden suku "Aiba'a" mengumumkan kepada "Mane Pou" dan "Deu Gomo", untuk mengumpulkan uang. Jumlah uang yang akan dikumpulkan sebesar Rp.20.000/orang atau Rp.50.000/orang, berdasarkan kesepakan dan keputusan presiden suku Aiba’a. Uang yang dikumpulkan itu disebut "Lasik Wa". Uang itu untuk apa? Untuk beli babi untuk adat "Si Por Pak". Adat "si por pak" yaitu adat memasukkan jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal kedalam Persekutuan para leluhur di rumah adat suku leluhur di dunia seberang. Rumah adat para leluhur itu disebut "Mot". Memasukkan jiwa orang yang meninggal ke dalam rumah adat Suku Leluhur itu disebut "Mot Tama". Para "Malu" hidup damai dengan "aiba'a" dan hadir dalam seluruh adat kematian itu secara lengkap sempurna maka jiwa suku anggota suku "aiba'a" itu layak masuk dalam rumah adat suku leluhur atau "Mot Tama". Sebaliknya kalau salah satu malu tidak setuju atau tidak hadir dalam adat kematian, maka adat kematian itu tidak dapat dilaksanakan, dibatalkan, ditunda maka jiwa anggota suku "aiba'a" yang telah meninggal itu masih berkeliaran di luar rumah adat suku leluhur, dia belum masuk dalam rumah adat leluhur atau belum "Mot Tama" yang secara harafiah diartikan belum masuk rumah adat para leluhur yang berbahagia abadi di dalam "MOT".Uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu juga akan digunakan untuk beli beras, beli sayur-sayuran, beli minuman, kopi, gula. Uang itu juga digunakan untuk uang stipendium bagi para "Malu" yang akan melaksanakan "Kaba" dan "Tais Hota". Uang itu digunakan untuk membeli siri pinang yang akan digunakan untuk "Kaba" "aiba'a" oleh "malu". Uang itu digunakan untuk membeli jumlah "taka giral" sejumlah banyaknya suku "malu". Dalam Suku Astalin sebagai "Aiba'a" memiliki 12 (dua belas) suku "Malu" maka harus disiapkan 12 (dua belas "taka giral").Biasanya uang yang dikumpulkan dalam "Lasik Wa" itu sangat banyak. Setelah adat kematian selesai, biasanya masih ada uang sisa atau saldonya.
Pada zaman dulu, pengumpulan uang pada satu tangan tunggal yaitu presiden suku tanpa sekretaris yang mencatat nama dan jumlah uang yang dikumpulkan oleh para anggota suku "aiba'a" baik dari "mane pou" maupun dari "deu gomo", maka sisa uang itu akan masuk dalam kantong saku presiden suku dan menjadi milik pribadi presiden suku atau ketua suku "aiba'a". Keadaan ini disebut dalam bahasa Bunak “Kotin Gol”.
Pada dewasa ini, hal semacam itu telah dikendalikan oleh seorang sekretaris sekaligus bendahara yang dipilih secara musyawarah-mufakat oleh anggota suku aiba’a. Sekretaris itu bertugas menulis nama para pengumpul uang dalam “Lasik Wa’ itu, pengeluaran dengan semua bukti / Nota belanja, dan pada akhir adat kematian itu dibacakan atau dilaporkan secara terbuka kepada anggota suku aiba’a, sehinnga anggota suku tidak mencurigai atau berprasangka buruk terhadap Presiden suku atau ketua suku tentang uang yang telah terkumpul untuk seluruh urusan adat tersebut. Dengan demikian, anggota suku semakin percaya kepada kejujuran presiden suku, pelayanan dan pengorbanannya dalam memimpin sebuah adat kematian.

1.2.7. "Si Giwitar Pak"

Adat "Si Giwitar Pak" ini dipimpin oleh "Lal Gomo". Dia/lal gomo adalah pribadi yang tahu adat asal-usul suku Astalin sebagai "aiba'a". Dia menjelaskan sejarah suku "aiba'a" dengan jujur, dan benar. Kesalahn dalam hal ini akan mendapat hukuman atau kutukan dari para leluhur. Dia juga menyampaikan doa atau mantra-mantra bagi jiwa orang yang meninggal. Doa-doa itu mengarak masuk jiwa anggota suku yang meninggal masuk ke dalam rumah adat suku leluhur atau "Mot Tama". Setiap "Malu" mendapat satu ikat daging dengan sejumlah uang berkisar Rp. 50.000 sampai Rp.100.000. Dalam hal ini semakin besar daging dan jumlah uang tentu saja para malu yang menerima bagiannya sangat gembira. Ini semacam gaji atau stipendium mereka. Dalam suku Astalin yang mempunyai 12 "malu" maka daging yang dibagi dan uang yang merupakan bagian "malu" sejumlah 12 ikat daging dengan sejumlah uang yang telah disetujui dan diberikan. Setiap malu setelah doa "Lal Gomo" itu mengangkat bagiannya masing-masing. Biasanya setiap bagian itu diserahkan oleh presiden suku "aiba'a" kepada setiap suku "malu". "Lal Gomo" mendapat stipendiumnya tersendiri. Di sini tampak bahwa pihak "aiba'a" sudah berduka, harus melaksanakan kewajiban memberi uang dan daging kepada setiap wakil pihak suku "malu". Dalam hal ini yang mendapat pemasukan besar adalah pihak suku "malu" sedangkan yang wajib membayar uang kepada "Malu" adalah suku Astalin sebagai "aiba'a". Model adat kematian ini memang memiskinkan keluarga aiba,a yang berduka kalau dilihat dari segi ekonomisnya.


1.2.8. "Tais Hota"

Setelah pelaksanaan adat di atas meja altar "Si Por Pak" kini beralih ke meja altar adat "Tais Hota". Proses adat di atas altar adat "Tais Hota" adalah para "malu" membawa kain adatnya di atas altar adat "Tais Hota". Para "malu" menawarkan "Tais" atau kain adat kepada para "aiba'a". Para "aiba'a" harus membeli setelah tawar menawar itu. Tawar-menawar oleh pihak malu kepada suku aiba’a, tapi kemudia aiba’a tidak membeli dengan harga yang telah dipatok atau ditentukan oleh malu, maka pihak "malu" akan tersinggung, merasa ditolak, tidak dipedulikan, tidak dihargai oleh suku aiba’a. Itu akan menimbulkan konflik baru yang lahir dari perasaan ditolak dan tidak dihargai itu. Persoalan itu akan tetap tersimpan dalam hati malu yang merasa tersinggung itu dan diungkapkan kembali pada adat "Tais Hota" pada kematian berikut, yang dialami oleh Suku Astalin sebagai Aiba’a. Pada kematian berikut akan mengalami urusan yang rumit karena konflik yang lahir dari rasa ditolak itu harus ditebus atau dirujuk kembali. Rujukannya dengan cara, pihak "aiba'a" yang telah menimbulkan rasa tersinggung itu, memberi sejumlah uang kepada pihak "malu" tersebut.
Pihak "aiba'a" yang tidak mau membeli kain adat itu biasanya alasannya masuk akal secara ekonomis. Kain adat yang kurang meyakinkan harus ditawar dengan harga mahal misalnya Rp.50.000 atau Rp.100.000,- biasanya pihak "aiba'a" menolak untuk membeli. Tapi penolakan itu melahirkan beban adat kematian pada kematian berikut. Baik ataupun buruknya kain adat yang ditawarkan di atas "meja altar adat Tais Hota" ini, harus dibeli oleh aiba,a hanya karena demi relasi harmonis antara suku malu dengan suku aiba’a. Secara akal sehat dan secara ekonomis, pihak yang untung adalah suku malu sedang pihak aiba’a tetap berada pada pihak yang kalah dan rugi. Di sini apa yang terjadi? Dalam hal demikian, adat memang sangat tidak ekonomis hanya demi gengsi belaka. Ada pihak yang menerima keuntungan besar yaitu "malu". Ada pihak yang dirugikan yaitu suku Astalin sebagai "Aiba'a". Ada prinsip ekonomi berlaku bagi para suku "malu" yaitu mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu perayaan di atas meja altar adat "tais hota". Ada unsur bisnis bermain dalam adat kematian yang dimainkan oleh para suku "malu". Sedang bagi para suku "Aiba'a" siap berkorban melayani kebutuhan atau keinginan para "malu" demi sebuah nilai yaitu relasi harmonis, rukun, damai, mengalah dalam relasi dengan para suku "malu". Barangkali, adat "Tais Hota" ini bisa ditiadakan karena sangat merugikan suku yang berduka dalam hal ini suku Astalin sebagai sebuah suku yang berperan sebagai "aiba'a" dalam altar meja adat "Tais Hota".

1.2.9. " Kaba"

Dari meja altar adat "Tais Hota", kini beralih ke meja altar adat "Kaba" yang dibuat oleh pihak "malu" kepada "aiba'a". Ada aturan main di atas meja altar adat "Kaba". Di depan setiap wakil 12 Suku "malu" disediakan masing-masing "Taka Giral". Di dalam setiap "Taka Giral" yang disediakan di depan 12 Suku "Malu" itu, diisi Siri-Pinang-Uang Sitipendium sekitar Rp. 200.000 per "Taka Giral" kepada setiap "malu". Siri-pinang -uang dalam "Taka Giral" itu didoakan secara bersama-sama oleh para "malu". Setelah itu setiap malu mengambil siri-pinang yang ada dalam "Taka Giral" itu lalu makan-kunya.Lalu setiap anggota "aiba'a" dipanggil secara berurutan untuk menerima "Kaba" dari para "malu. Pertama di depan Malu suku Leb sebagai asal asli suku Astalin. Wakil Suku Leb sebagai "Malu", memberi "Kaba" yaitu berkat leluhur lewat diri suku "malu" yaitu suku Leb yang mengalirkan berkat leluhur itu kepada suku Astalin sebagai suku "aiba'a". Caranya, suku Leb itu mengambil siri-pinang yang telah dikunyah - merah dari mulutnya lalu dengan itu membuat tanda salib di dahi anggota suku Astalin yang menerima "Kaba" atau menerima berkat leluhur. Kemudian dari Suku Leb ini beralihlah para suku aiba’a itu ke suku-suku malu yang lain. Suku-suku "malu" yang lain ini memberi berkat leluhur tidak dengan ambil ampas merah sirih pinang dari mulutnya, tetapi suku "aiba'a" mengulurkan ujung kedua tangannya kepada setiap suku "malu" itu sehingga suku-suku "malu" itu mengalirkan berkat dan rahmat dari para leluhur kepada suku "aiba'a" itu dengan meniupkan kedua ujung tangannya. Setiap wakil suku yang duduk di altar adat "Kaba" ini meniupkan ujung tangan suku "aiba'a" sampai semua suku aiba’a menerima berkat “kaba” itu dari suku malu. Usai perayaan di atas meja altar adat "Kaba" berarti belum selesai seluruh rangkaian adat kematian atau adat "Lal Ho'on.

1.2.10.Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu



Informasi ini diperoleh dari P.Linus Mali. pada Minggu 23 November 2008 pukul 20.00 - 21.30 WIB via tellepone dari Surabaya ke Asueman. Berikut Ritus adat Lobor Hin, Boto, Lesu Asu sebagai akhir adat kenduri di wilayah suku Bunaq Aitoun.


Dikatakan bahwa pada waktu seorang anggota suku meninggal NAER dan DIABU DEPAL DARA dalam dan sekitar LOBOR atau tenda yang dibangun untuk pelaksanaan LAL GUJU atau adat duka atau kenduri Suku Bunaq Aitoun.

Maka setelah adat duka itu LOBOR atau tenda itu harus dibongkar dan NAER  dan DIABU DEPAL DARAH harus dbubarkan atau dipindahkan ke tempat asalnya atau tempat kediamannya.

Proses pembongkaran LOBOR dan Pemindahan NAER atau DIABU DEPAL DARAH atau kekuatan gelap ini dengan membunuh seekor Babi dan kepalanya disimpan didepan LAL GOMO atau TUA ADAT lantas disampaikanlah mantra-mantra untuk memindahkan atau mengusir kekuatan jahat yang ada di sekitar rumah adat tempat berlangsungnya adat Kenduri tersebut.

Kata sakti LAL GOMO itu berdaya mengusir  atau lebih tepatnya memindahkan NAER dan DIABU yang ada di sekitar tempat LAL GUJU.

Dengan kata sakti dalam mantra tentang pemindahan kekuatan jahat itu, maka usai pembongkaran itu keadaan sekitar rumah duka kembali normal.

Acara adat LOBOR HIN atau pembongkaran ini mengakhiri semua adat kematian suku Bunaq Aitoun.

Kepala babi dan doa mantra atau kata sakti mengusir  atau memindahkan kekuatan jahat yaitu NAKAR GOMO atau tuan kejahatan dan UIT GOMO GOLI atau usir kekuatan gelap atau jahat diusir atau dipindahkan ke tempat asalnya atau kediamannya.

Merasakan keyakinan bahwa selama EN HESER  atau orang meninggal, kekuatan kegelapan atau kejahatan yang disebut UIT GOMO dan NAKAR GOMO sedang DEPAL DARAH atau memasang kuping dan matanya sedang mencari korban kematian berikutnya karena mereka ini haus darah dan makan daging dan minum darah manusia.

Kekutan jahat ini harus dipindahakan ke tempatnya dengan memberi kepala babi dalam kata sakti dalam mulut LAL GOMO yang berdoa dalam ritus adat itu.

Merasakan hal ini sungguh manarik sekali bahwa suku Bunaq Aitoun memproduksi cara berpikirnya yang sangat unik. Kekhasan itu terletak dalamn fondasi berpikirnya dalam menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara kekuatan jahat dan kekuatan yang baik. Atau dengan tumusan lain bahwa harmoni suku Bunaq Aitoun adalah memberikan bagian yang proporsional kepada kekuatan jahat-negatif dan kekuatan baik-positif sehingga masing-masing berada pada posisi dan tempatnya masing-masing, tidak saling merebut atau mengganggu satu sama yang lain. Hal ini terungkap dalam pemberian kepala daging kepada kekuatan jahat disertai kata sakti LAL GOMO atau TUA ADAT dalam adat ritus LOBOR HIN atau bongkar tenda, BOTO artinya bubar, LESU ASU artinya menurunkan semua embel-embel dan perhiasan LOBOR atau tenda adat kenduri atau LAL GUJU.

Konsep harmoni yang demikian sangat berbeda dengan konsep berpikir Agama Katolik yang mengutamakan kekuatan baik-positif dan mengusir atau menolak kekiatan jahat-negatif.

Mayoritas penduduk Suku Bunaq Aitoun adalah beragama Katholik berkat karya pelyanan para misionaris tetapi masih berakar kuat dalam adat istiadatnya yang dalam konteks ini masih sangat bertentangan dengan ajaran Iman Katolik. Kekuatan jahat dan kekuatan baik selalu ada dalam sebuah hidup dan adat kematian suku Bunak. Ritus adat ciptaan tradisi mencipta cara berpikir, berperasaan dan beraksi suku Bunaq Aitoun di dalam kehidupannya sehari-hari.

Perjuangan antara kekuatan jahat dengan kekuatan kebaikan untuk merebut rakyatnya manusia sangat dominan dalam adat istiadat LAL GUJU Suku Bunak Aitoun. Pertanyaannya adalah bagaimana tentang masa depan manusia yang diperebutkan oleh kedua kekuatan itu? Penulis merasakan hanya satu jawaban yang pasti  dan terbukti bahwa: "jika restoran tidak ada, maka sangat penting menciptakannya."***

Daftar Pustaka



A.A. Bere Tallo. (1978), Adat Istiadat dan Kebiasaan Suku Bangsa Bunaq di Lamaknen-Timor Tengah, Weluli, 7 Juli 1978

Mali, Benediktus Bere, Wolor, John (ed). (2008). Kembali ke Akar . Jakarta: Cerdas Pustaka Pub..