Kamis, Maret 27, 2008

MENEROPONG KARAKTER MANUSIA SUKU BUNAK LEWAT JEMBATAN KEHIDUPAN RELIGIUSNYA

Setiap pagi suku Bunaq memandang ke Timur melihat matahari terbit. Matahari memberi terang, kehangatan badan dan memberi keindahan di pagi hari. Betapa indahnya memandang matahari terbit di pagi hari di Desa Aitoun, dan seluruh kecamatan Lamaknen.Mengapa matahari terbit di Timur? Itulah pertanyaan yang selalu muncul dari anak-anak suku Bunak di pagi hari kepada orang tuanya ketika menikmati hangatnya sinar matahari pagi di dusun Asueman. Ada banyak pendapat tentang matahari terbit di timur. Ada yang berpendapat bahwa matahari terbit di Timur menunjukkan bahwa Terang dan kebijaksanaan itu berasal dari dunia Timur. Ada yang mengatakan bahwa keadaan alam ini menunjukkan bahwa kebaikan, keindahan, dan kebenaran itu juga datang dari Timur. Dalam kosa kata bahasa Bunaq, terang yang terbit dari Timur itu dikenal dengan sebutan "Hot Sae". "Hot Sae" ini sinonim dengan kata bahasa Bunak "Hot Taru", artinya Matahari terbit. Dalam Bahasa Latin "Sol Oriens". Dalam Bahasa Tetum "Loro Sae". Semuanya berarti matahari terbit. Sejak dahulu kala, para leluhur yang belum ternoda oleh pengaruh dari luar termasuk agama-agama yang berkembang di seantero ibu pertiwi negara Indonesia tercinta ini, telah memiliki kehidupan religius khas suku bangsa Bunaq. Suku bunak telah mengimani satu wujud tertinggi dalam kehidupannya. Wujud tertinggi itu menjadi harapan terakhir bagi suku Bunak dalam suka-duka, kepastian dan kebingungan perziarahan hidupnya. Mereka sangat konkret menyebut wujut tertinggi yang mereka akui itu dengan cukup melihat matahari. Matahari terbit itu menunjukkan bahwa itulah wujud tertinggi mereka. Wujud tertinggi suku Bunak ada dibalik matahari. Suku bunak melihat wujut tertinggi itu bukan sesuatu yang sangat jauh tetapi sangat dekat dan tampak dalam pengalaman merasakan indahnya matahari terbit di pagi hari yang cerah. Dalam kepercayaan suku Bunak, berdasarkan ceritera lisan dari mulut ke mulut, berdasarkan wawancara dengan para tua adat atau "lal gomo" yaitu insan-insan pandai adat suku Bunaq secara baik dan benar, atau lebih dikenal sebagai nabinya suku Bunak, rakyat suku Bunak tidak boleh menantang atau menatap matahari. Berdasarkan mitos, bahwa setiap orang yang menantang atau menatap matahari akan terkutuk mengalami kebutaan. Mengapa? Karena Matahari dibaliknya ada Wujud Tertinggi. Wujud Tertinggi itu tidak boleh ditantang. Setiap suku Bunak yang mengakui wujud tertinggi itu sebaiknya merendah di hadapan Wujud Tertinggi itu. Pandangan warisan para pendahulu itu menyimpan banyak makna yang perlu dibuka kepada pembaca. Penikmat tulisan mini ini akan menemukan bahwa semua suku Bunaq ditakutkan oleh mitos itu, sehingga mereka tidak menatap atau manantang matahari karena takut mendapat kutukan yang dimitoskan turun temurun oleh para pendahu dari generasi ke generasi. Ada juga yang barangkali menemukan satu pesan bahwa Wujut tertinggi itu dekat dibalik matahari sekaligus sebagai penguasa yang luarbiasa bagi suku Bunak. Kuasa Wujud tertinggi dalam konteks ini bisa saja dimengerti sebagai pengkerdilan geraklaku suku Bunak oleh paham yang menakutkan itu. Satu kehidupan religius yang menimbulkan pembonsaian kuasa manusia bunak di hadapan wujud tertinggi diakuinya. Pola atau paradigma seperti itu menjadi fundamen kehidupan religius suku Bunak.
Pola seperti itu bukan sesuatu yang hanya di dalam kepala manusia Bunak. Tetapi pola warisan itu dimiliki oleh para tokoh religius adat Suku Bunak. Para tokoh religius adat Suku bunak itu adalah para tua adat yang dikenal dalam kosa kata suku Bunak, lal gomo. Para lal gomo ini berperan sentral di dalam urusan kehidupan religius suku Bunak. Kehidupan religius suku Bunak ini sangat kompleks. Wujud tertinggi itu akan ditampakkan di dalam aneka urusan adat suku Bunak, meliputi adat kelahiran, kematian, panen dan sebagainya.

Pola ketakutan terhadap wujud tertinggi ini bisa mendatangkan prkatek kehidupan religius suku Bunak yang dapat menyesatkan. Suku Bunak bisa saja mentaati ritus kehidupan religius karena didorong oleh rasa ketakutan akan hukuman. Suku bunak bisa saja mentaati ritus adat kehidupan religius karena tidak mau dihukum oleh wujud tertinggi terhadap manusia yang tidak taat pada aturan adat-ritus kehidupan religius yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh para pendahulu dalam suku bunak. Para pemimpin kehidupan religius suku Bunak, bisa saja dapat menyetir pola pikir kehidupan rerligius yang demikian untuk menakut-nakuti rakyat kecil sederhana untuk mencari dan menemukan keuntungan pribadi. Hal ini bisa saja terjadi karena para penguasa adat dalam kehidupan religius sebagai pemilik dan pembuat aturan adat kehidupan religius yang memang pada awalnya duturunkan oleh nenek moyang tetapi di dalam perjalanan sejarah orientasinya bisa melenceng dari yang sebenarnya bagi kebaikan hidup bersama. Menghindari semuanya itu maka perlu adanya dialog dengan bidang ilmu lain yang bisa saja mengganggu kemapanan paham kehidupan religius dan juga bisa saja mengokohkan kembali paham tentang fundamen kehidupan religius demi kebaikan dan kebenaran bersama sebagai orientasi asali perziarahan kehidupan religius suku bunak.

Dalam paham tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa adat itu dibuat oleh manusia dan dihidupi oleh suku Bunak dalam konteks zaman. Hakekat adat yaitu nilai kebersamaan dan kekeluargaan adalah abadi. Tetapi cara membangkitkan atau menghidupkan nilai-nilai luhur itu tidak menindas atau harus secara efektif dan efisien, dalam arti tidak memiskinkan suku Bunak, tidak merugikan rakyat suku Bunak pada umunya, tetapi cara menghidupi nilai-nilai luhur adat yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, keadilan sosial itu harus sungguh mengalir keluar dari humanitas dan kehidupan iman yang dewasa.Untuk itu para pengambil keputusan adat dalam hal ini mereka yang sudah menempati status om dan presiden suku serta para tua adat, dalam sistem dan struktur adat suku Bunak, pemuka agama dan pihak pemerintah harus memiliki pendidikan atau wawasan yang sama untuk membentuk satu sistem yang mengatur gerak laku seluruh anggota suku bunak. Kesatuan paham itu perlu agar harapan manusia untuk semakin beriman semakin manusiawi dalam segala bidang kehidupan yang digelutinya, dapat dicapai dan dialami bersama. Sekali lagi bahwa hal ini akan menjadi kenyataan, kalau pendidikan para pengambil kebijaksanaan dan keputusan adat suku Bunak sangat memadai.Persoalan akan muncul kalau para om dan Ketua suku atau presiden suku, tidak memiliki pendidikan yang memadai dan kurang kontak dengan dunia luar, bergulat dan hanya dibentuk oleh pola pandang adat setempat sehinnga sulit mencapai idealisme tersebut di atas.Di sini rupanya, "Hot Taru" atau matahari terbit yang menjadi pembawa terang bagi suku Bunak dewasa ini perlu ditafsir ulang. Artinya bahwa para tua adat melegitimasi adatnya dengan "Hot Essen" yang dipandang sebagai pembawa hukuman, sebagai pembentuk adat yang sedang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melawan adat sama dengan melawan 'Hot Essen" wujut tertinggi yang melegitimasi adat suku Bunak. Tidak taat adat berarti membuka jalan untuk menerima aliran kutukan dari "Hot Essen" yang melegitimasi adat itu.Rupanya perlu tafsir ulang sesuai dengan konteks zaman disini, penulis hendak menggariskan kembali bahwa rupanya adat tidak cukup dinilai dari pola religius yang diakui dan diterima serta diturunkan oleh para lelur. Kini dalam pola " Satu Hati aneka Wajah" mau melihat atau mendeteksi adat yang diberlakuakan dari berbagai disiplin ilmu, agar yang tidak humanitas dan tidak mengarah kepada kehidupan iman yang sejati, dimurnihkan dan diarahkan kepada dua tiang penopang itu.

Untuk itu suku Bunak harus membuka gembok pintu adat suku Bunak agar diteliti oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, agar kemanusiaan dan keimanan ditampilkan ke permukaan menjadi nomor satu dalam seluruh pola dan gaya hidup suku bangsa Bunak. Memang pembaharauan sebuah pola pikir yang sudah berakar dalam dalam gaya hidup suku bunak, bukanlah sebuah usaha yang gampang. Pembaharuan membutuhkan proses. Dalam proses itu mendapat kemudahan dan kesulitan secara silih berganti. Gampang kalau setiap orang sadar akan kekurangan dalam pola pikir lama, dan mau bangkit bersama menuju pola pikir baru yang lebih manusiawi. Kesulitan kalau para generasi tua adat suku Bunak, tidak membuka adat sejelas-jelasnya, dengan dalih bahwa inilah hidup kami, tidak sadar akan elminasi kemanusiaan dalam pola pikir adatnya yang harus dibaharui. Para tua adat sulit menerima pembaharuan pola pikir dari generasi mudah karena para tua adat berprinsip bahwa tanpa adat ini kami kehilangan jati diri. Kami kehilangan pekerjaan. Tanpa adat ini kami kehilangan sesuatu dan tidak ada yang menggantikannya. Kami kehilangan semacam mata pencaharian. Karena ada benteng pertahanan yang kuat dari para tua adat atau ketua suku atau presiden suku-suku kecil di Suku Bunak yang bersatu melawan upaya pihak pembaharu adat maka kesulitan tetap ada didepan generasi muda pembaharu adat yang tidak manusiawi. Ya, penulisan ini tidak cukup untuk mengubah dunia tetapi membuka hati dan pikiran agar setiap pembaca terutama suku Bunak mau melihat sesuatu yang lebih, dalam menghidupi adatnya yang sudah melekat pada dirinya. Semua yang tidak efektif dan efisien perlu diekonomiskan tanpa mengaborsi yang namanya hakekat adat suku-suku kecil dalam wilayah suku Bangsa Bunak.

KENAL IDENTITAS SUKU BUNAK LEWAT NAMA

Penulis berjumpa dengan seorang yang bersuku bangsa Bunaq di Seminari Tinggi Widya Sasana Malang atau lebih dikenal dengan nama STFT Widya Sasana Malang. Teman itu bernama Lito Soares berasal dari Timor Leste berbangsa Suku Bangsa Bunaq. Lito Soares waktu itu sebagai frater Projo Keuskupan Dili. Kini Lito Soares menjadi Romo Projo Keuskupan Dili. Waktu saya bertemu di STFT "Widya Sasana" Malang sempat berdiskusi tentang panggilan teman-teman yang berasal dari Bali, ada yang bernama WAYAN, ada yang bernama KADEK, ada yang bernama NYOMAN, ada yang bernama KETUT, ada yang bernama MADE. Menurut kebiasaan adat Bali, nama-nama itu adalah nama khas setiap orang yang bersuku bangsa Bali. Lantas, penulis bersama dengan Lito Soares juga mengalihkan pandangan kepada nama panggilan dalan adat istiadat Suku Bangsa Bunaq. Dalam suku Bangsa Bunaq pun ada panggilan khas setiap anak yang lahir sebagai suku bangsa Bunaq.Apa kekhasan nama dalam Antropologi Suku Bangsa Bunaq? Ada panggilan khas untuk anak laki-laki dan anak perempuan berdasarkan kelahiran pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima.Panggilana khas untuk anak laki-laki. Nama panggilan adat untuk anak laki-laki pertama yang lahir dari ibu dalam sebuah keluarga, dipanggil dengan nama "APA". Nama panggilan untuk anak laki-laki kedua adalah bernama "POU". Anak ketiga dipanggil dengan nama "UJU". Anak keempat dipanggil dengan nama baptis adat suku bangsa Bunaq yaitu "UKA". Dan untuk anak terakhir dalam keluarga yang lahir kemudian dibaptis dengan nama adat suku Bunaq yaitu "GULO" artinya bungsu. Penulis dalam keluarga sebagai anak laki-laki kedua maka ibuku tercinta Mama Oliva Lawa Koi memanggilku dengan nama "POU". Nama Baptis adat Suku Bunaq "POU" sangat akrab di mulut ayah, ibu, kakek, nenek, dan seluruh keluarga di ibu peritiwi Suku Bunaq.Panggilan untuk kelahiran anak perempuan dalam sebuah keluarga suku Bunak. Anak perempuan pertama dibaptis dengan nama "AIBA". Anak perempuan kedua dibaptis dengan nama "POU". Anak perempuan ketiga dibaptis secara adat suku Bunaq dengan nama "UJU". Anak perempuan keempat dibaptis dengan nama "UKA". Anak perempuan terakhir dalam sebuah keluarga dibaptis secara adat dengan nama "GULO", artinya bungsu.Ada perbedaan pembaptisan anak pertama laki-laki dan perempuan dalam keluarga berdasarkan adat Suku Bunaq. Anak pertama laki-laki dibaptis dengan nama "APA". Anak pertama perempuan yang lahir dalam keluarga dibaptis dengan nama "AIBA". Berdasarkan Pembatisan adat itu, dalam sebuah keluarga Suku Bunaq, maksimal punya anak sepuluh yaitu 5 laki-laki dan 5 perempuan. Memang pada zaman dulu banyak anak banyak rezeki. Banyak anak berarti punya banyak tenaga kerja di kebun untuk bekerja secara maksimal menghasilkan hasil yang berlimpah. Waktu dulu hal itu sangat memungkinkan karena lahan masih luas, penduduk masih sedikit. Tetapi sekarang sudah lain pola pikir dan pola perilaku manusia suku Bunak. Banyak anak banyak beban, karena biaya hidup anak mahal, dan mencari pekerjaan sangat sulit. Maka sedikit anak semakin sejahtera. Banyak anak sulit sejahtera. Meskipun demikian, manusia memiliki akal budi. Mempunyai anak sedikit atau banyak dapat diatur oleh manusia yang berakal budi dalam kehidupan berkeluarga suku Bunak.