Setiap pagi suku Bunaq memandang ke Timur melihat matahari terbit. Matahari memberi terang, kehangatan badan dan memberi keindahan di pagi hari. Betapa indahnya memandang matahari terbit di pagi hari di Desa Aitoun, dan seluruh kecamatan Lamaknen.Mengapa matahari terbit di Timur? Itulah pertanyaan yang selalu muncul dari anak-anak suku Bunak di pagi hari kepada orang tuanya ketika menikmati hangatnya sinar matahari pagi di dusun Asueman. Ada banyak pendapat tentang matahari terbit di timur. Ada yang berpendapat bahwa matahari terbit di Timur menunjukkan bahwa Terang dan kebijaksanaan itu berasal dari dunia Timur. Ada yang mengatakan bahwa keadaan alam ini menunjukkan bahwa kebaikan, keindahan, dan kebenaran itu juga datang dari Timur. Dalam kosa kata bahasa Bunaq, terang yang terbit dari Timur itu dikenal dengan sebutan "Hot Sae". "Hot Sae" ini sinonim dengan kata bahasa Bunak "Hot Taru", artinya Matahari terbit. Dalam Bahasa Latin "Sol Oriens". Dalam Bahasa Tetum "Loro Sae". Semuanya berarti matahari terbit. Sejak dahulu kala, para leluhur yang belum ternoda oleh pengaruh dari luar termasuk agama-agama yang berkembang di seantero ibu pertiwi negara Indonesia tercinta ini, telah memiliki kehidupan religius khas suku bangsa Bunaq. Suku bunak telah mengimani satu wujud tertinggi dalam kehidupannya. Wujud tertinggi itu menjadi harapan terakhir bagi suku Bunak dalam suka-duka, kepastian dan kebingungan perziarahan hidupnya. Mereka sangat konkret menyebut wujut tertinggi yang mereka akui itu dengan cukup melihat matahari. Matahari terbit itu menunjukkan bahwa itulah wujud tertinggi mereka. Wujud tertinggi suku Bunak ada dibalik matahari. Suku bunak melihat wujut tertinggi itu bukan sesuatu yang sangat jauh tetapi sangat dekat dan tampak dalam pengalaman merasakan indahnya matahari terbit di pagi hari yang cerah. Dalam kepercayaan suku Bunak, berdasarkan ceritera lisan dari mulut ke mulut, berdasarkan wawancara dengan para tua adat atau "lal gomo" yaitu insan-insan pandai adat suku Bunaq secara baik dan benar, atau lebih dikenal sebagai nabinya suku Bunak, rakyat suku Bunak tidak boleh menantang atau menatap matahari. Berdasarkan mitos, bahwa setiap orang yang menantang atau menatap matahari akan terkutuk mengalami kebutaan. Mengapa? Karena Matahari dibaliknya ada Wujud Tertinggi. Wujud Tertinggi itu tidak boleh ditantang. Setiap suku Bunak yang mengakui wujud tertinggi itu sebaiknya merendah di hadapan Wujud Tertinggi itu. Pandangan warisan para pendahulu itu menyimpan banyak makna yang perlu dibuka kepada pembaca. Penikmat tulisan mini ini akan menemukan bahwa semua suku Bunaq ditakutkan oleh mitos itu, sehingga mereka tidak menatap atau manantang matahari karena takut mendapat kutukan yang dimitoskan turun temurun oleh para pendahu dari generasi ke generasi. Ada juga yang barangkali menemukan satu pesan bahwa Wujut tertinggi itu dekat dibalik matahari sekaligus sebagai penguasa yang luarbiasa bagi suku Bunak. Kuasa Wujud tertinggi dalam konteks ini bisa saja dimengerti sebagai pengkerdilan geraklaku suku Bunak oleh paham yang menakutkan itu. Satu kehidupan religius yang menimbulkan pembonsaian kuasa manusia bunak di hadapan wujud tertinggi diakuinya. Pola atau paradigma seperti itu menjadi fundamen kehidupan religius suku Bunak.
Pola seperti itu bukan sesuatu yang hanya di dalam kepala manusia Bunak. Tetapi pola warisan itu dimiliki oleh para tokoh religius adat Suku Bunak. Para tokoh religius adat Suku bunak itu adalah para tua adat yang dikenal dalam kosa kata suku Bunak, lal gomo. Para lal gomo ini berperan sentral di dalam urusan kehidupan religius suku Bunak. Kehidupan religius suku Bunak ini sangat kompleks. Wujud tertinggi itu akan ditampakkan di dalam aneka urusan adat suku Bunak, meliputi adat kelahiran, kematian, panen dan sebagainya.
Pola ketakutan terhadap wujud tertinggi ini bisa mendatangkan prkatek kehidupan religius suku Bunak yang dapat menyesatkan. Suku Bunak bisa saja mentaati ritus kehidupan religius karena didorong oleh rasa ketakutan akan hukuman. Suku bunak bisa saja mentaati ritus adat kehidupan religius karena tidak mau dihukum oleh wujud tertinggi terhadap manusia yang tidak taat pada aturan adat-ritus kehidupan religius yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh para pendahulu dalam suku bunak. Para pemimpin kehidupan religius suku Bunak, bisa saja dapat menyetir pola pikir kehidupan rerligius yang demikian untuk menakut-nakuti rakyat kecil sederhana untuk mencari dan menemukan keuntungan pribadi. Hal ini bisa saja terjadi karena para penguasa adat dalam kehidupan religius sebagai pemilik dan pembuat aturan adat kehidupan religius yang memang pada awalnya duturunkan oleh nenek moyang tetapi di dalam perjalanan sejarah orientasinya bisa melenceng dari yang sebenarnya bagi kebaikan hidup bersama. Menghindari semuanya itu maka perlu adanya dialog dengan bidang ilmu lain yang bisa saja mengganggu kemapanan paham kehidupan religius dan juga bisa saja mengokohkan kembali paham tentang fundamen kehidupan religius demi kebaikan dan kebenaran bersama sebagai orientasi asali perziarahan kehidupan religius suku bunak.
Dalam paham tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa adat itu dibuat oleh manusia dan dihidupi oleh suku Bunak dalam konteks zaman. Hakekat adat yaitu nilai kebersamaan dan kekeluargaan adalah abadi. Tetapi cara membangkitkan atau menghidupkan nilai-nilai luhur itu tidak menindas atau harus secara efektif dan efisien, dalam arti tidak memiskinkan suku Bunak, tidak merugikan rakyat suku Bunak pada umunya, tetapi cara menghidupi nilai-nilai luhur adat yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, keadilan sosial itu harus sungguh mengalir keluar dari humanitas dan kehidupan iman yang dewasa.Untuk itu para pengambil keputusan adat dalam hal ini mereka yang sudah menempati status om dan presiden suku serta para tua adat, dalam sistem dan struktur adat suku Bunak, pemuka agama dan pihak pemerintah harus memiliki pendidikan atau wawasan yang sama untuk membentuk satu sistem yang mengatur gerak laku seluruh anggota suku bunak. Kesatuan paham itu perlu agar harapan manusia untuk semakin beriman semakin manusiawi dalam segala bidang kehidupan yang digelutinya, dapat dicapai dan dialami bersama. Sekali lagi bahwa hal ini akan menjadi kenyataan, kalau pendidikan para pengambil kebijaksanaan dan keputusan adat suku Bunak sangat memadai.Persoalan akan muncul kalau para om dan Ketua suku atau presiden suku, tidak memiliki pendidikan yang memadai dan kurang kontak dengan dunia luar, bergulat dan hanya dibentuk oleh pola pandang adat setempat sehinnga sulit mencapai idealisme tersebut di atas.Di sini rupanya, "Hot Taru" atau matahari terbit yang menjadi pembawa terang bagi suku Bunak dewasa ini perlu ditafsir ulang. Artinya bahwa para tua adat melegitimasi adatnya dengan "Hot Essen" yang dipandang sebagai pembawa hukuman, sebagai pembentuk adat yang sedang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melawan adat sama dengan melawan 'Hot Essen" wujut tertinggi yang melegitimasi adat suku Bunak. Tidak taat adat berarti membuka jalan untuk menerima aliran kutukan dari "Hot Essen" yang melegitimasi adat itu.Rupanya perlu tafsir ulang sesuai dengan konteks zaman disini, penulis hendak menggariskan kembali bahwa rupanya adat tidak cukup dinilai dari pola religius yang diakui dan diterima serta diturunkan oleh para lelur. Kini dalam pola " Satu Hati aneka Wajah" mau melihat atau mendeteksi adat yang diberlakuakan dari berbagai disiplin ilmu, agar yang tidak humanitas dan tidak mengarah kepada kehidupan iman yang sejati, dimurnihkan dan diarahkan kepada dua tiang penopang itu.
Untuk itu suku Bunak harus membuka gembok pintu adat suku Bunak agar diteliti oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, agar kemanusiaan dan keimanan ditampilkan ke permukaan menjadi nomor satu dalam seluruh pola dan gaya hidup suku bangsa Bunak. Memang pembaharauan sebuah pola pikir yang sudah berakar dalam dalam gaya hidup suku bunak, bukanlah sebuah usaha yang gampang. Pembaharuan membutuhkan proses. Dalam proses itu mendapat kemudahan dan kesulitan secara silih berganti. Gampang kalau setiap orang sadar akan kekurangan dalam pola pikir lama, dan mau bangkit bersama menuju pola pikir baru yang lebih manusiawi. Kesulitan kalau para generasi tua adat suku Bunak, tidak membuka adat sejelas-jelasnya, dengan dalih bahwa inilah hidup kami, tidak sadar akan elminasi kemanusiaan dalam pola pikir adatnya yang harus dibaharui. Para tua adat sulit menerima pembaharuan pola pikir dari generasi mudah karena para tua adat berprinsip bahwa tanpa adat ini kami kehilangan jati diri. Kami kehilangan pekerjaan. Tanpa adat ini kami kehilangan sesuatu dan tidak ada yang menggantikannya. Kami kehilangan semacam mata pencaharian. Karena ada benteng pertahanan yang kuat dari para tua adat atau ketua suku atau presiden suku-suku kecil di Suku Bunak yang bersatu melawan upaya pihak pembaharu adat maka kesulitan tetap ada didepan generasi muda pembaharu adat yang tidak manusiawi. Ya, penulisan ini tidak cukup untuk mengubah dunia tetapi membuka hati dan pikiran agar setiap pembaca terutama suku Bunak mau melihat sesuatu yang lebih, dalam menghidupi adatnya yang sudah melekat pada dirinya. Semua yang tidak efektif dan efisien perlu diekonomiskan tanpa mengaborsi yang namanya hakekat adat suku-suku kecil dalam wilayah suku Bangsa Bunak.